[Nusantara] "Ambon" <sea@swipnet.se> - Menjadi Manusia Indonesia

bhineka@brd.de bhineka@brd.de
Fri Aug 23 05:00:09 2002


"Ambon" <sea@swipnet.se>
Menjadi Manusia Indonesia
31 Jul 2002 22:33:13 +0200

SUARA PEMBARUAN DAILY


Menjadi Manusia Indonesia

Katakan saja namanya Oei Bo Kok. Ia mempunyai pengalaman pedih sebagai seorang
warga negara Indonesia. Sebagai pegawai tinggi dari departemen pertambangan, ia
pernah di- kirim ke Texas untuk mempelajari perminyakan.
Ketika seseorang bertanya pada dia tentang negara asalnya, dia mengatakan, "Saya
berasal dari Indonesia.'' Orang Amerika memang istimewa karena mereka tak tahu
di mana Indonesia. Lalu Oei berkata bahwa Indonesia adalah negara
yang terletak di antara Australia dan Singapura. Orang Amerika itu berseru, "Itu
Bali, tapi pakaianmu dan wajahmu tidak menyerupai orang Bali. Kamu bukan orang
Bali, kamu orang Tionghoa.''
Tidak dianggap sebagai orang Bali dan rupanya Bali lebih dikenal daripada
Indonesia, sekembali dari Texas Oei mampir di Hong Kong, kota dekat negeri
leluhurnya. Di Hong Kong dia ditanya etnis dan suku asal nenek moyangnya.
Oei jadi bingung karena tidak satu patah bahasa dan dialek Tionghoa yang ia
kuasai dan tak tahu asal desanya. Kemudian orang yang bertanya padanya berkata,
"Kamu pasti bukan orang Tionghoa. Semua orang Tionghoa pasti bisa dialek asalnya
walaupun tidak bisa menulis.''

Tiba di Indonesia, tempat tumpah darahnya, pengalaman lebih pahit menimpanya.
Ketika Oei harus memperbarui paspornya, ia kembali diragukan kewarganegaraannya
meskipun puluhan tahun ia adalah pegawai tinggi dari departemen pertambangan.
Kesetiaan dan pengabdiannya yang bekerja bagi Indonesia masih menuntut Oei untuk
membuktikan di atas secarik kertas bahwa ia adalah warga negara Indonesia
sejati. Statusnya sebagai pegawai Negeri puluhan tahun tidak menolong banyak.

Di Indonesia terdapat banyak Oei yang harus membuktikan dirinya sebagai warga
negara Indonesia dengan secarik kertas meskipun ia telah memberikan jiwa raganya
untuk Indonesia melalui berbagai bidang kehidupan. Untuk memiliki surat bukti
kewarganegaraan ongkosnya tidak sedikit karena bisa menjadi sumber pungutan
liar. Peraturan pemerintah yang mengharuskan Oei membuktikan kewarganegaraannya
di atas secarik kertas sehingga semua birokrat tidak berkutik untuk mengubahnya.
Belum dicabut kilah para birokrat. Tidak peduli bahwa Oei lebih menguasai bahasa
daerah dan bahasa Indonesia daripada bahasa Mandarin. Tidak peduli Oei adalah
generasi beberapa turunan dari nenek moyangnya yang datang dari Tiongkok. Oei
mengalami krisis identitas dan bingung siapa sebenarnya dirinya?

Krisis Identitas Salah satu krisis multidimensi bangsa Indonesia yang paling
besar saat ini bukan soal krisis ekonomi semata, tapi krisis identitas sebagai
warga negara Indonesia dan penegakan hukum. Krisis identitas atau wawasan
kebangsaan saat ini tidak hanya dialami oleh Oei sebagai orang Indonesia
peranakan Tionghoa, tapi juga oleh suku-suku yang membentuk bangsa Indonesia.
Orang sekarang lebih suka disebut dirinya orang Aceh, Maluku, Papua, Riau,
Sumba, Dayak daripada disebut orang Indonesia. Krisis identitas yang bersumber
ketidakadilan yang dirasakan inilah yang memicu konflik dan semangat separatisme
untuk melepaskan diri dari negara kesatuan. Arti sebagai bangsa dan warga negara
Indonesia menjadi kabur manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah
nama tanpa makna dan menjadi sapi perahan.

Padahal ketika para pendiri republik mendirikan negara kesatuan dari Sabang
sampai Merauke, Agustus 1945 telah bersepakat bahwa negara Indonesia yang akan
dibangun bebas dari diskriminasi dan pemerasan. Krisis identitas atau krisis
wawasan kebangsaan menjadi makin subur ketika zaman Orde Baru dan era
globalisasi menerjang kehidupan orang atau golongan yang tersingkir karena tidak
bisa merasakan makna pembangunan dan keadilan. Orang mudah dipicu sentimennya
dan melakukan amuk massa karena perbedaan etnis, daerah dan agama. Perasaan
berbangsa Indonesia menjadi rentan.

Bulan Agustus, bulan proklamasi patut menjadi saat suci untuk merenungkan makna
wawasan kebangsaan memasuki abad ke-21. Satu bangsa, bangsa Indonesia; satu
tanah air, tanah air Indonesia; satu bahasa, bahasa Indonesia perlu dihayati
kembali oleh para pemimpin politik dan wakil rakyat. Apakah amandemen UUD '45
yang akan berlangsung dalam sidang tahunan MPR bulan Agustus 2002 memberi tempat
dan jaminan bahwa seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali bebas dari rasa
takut karena diskriminasi dan sapi perahan?

Apakah politik pecah belah Orde Baru masih harus dijalankan dengan memakai isu
ras, etnis daerah dan agama? Masih berapa lamakah konflik Aceh, Poso, Papua dan
Ambon akan berlangsung? Sudah banyak korban berjatuhan akibat konflik dan
diskriminasi dan pemerasan. Penentuan hari raya Imlek menjadi hari libur
nasional bukan merupakan Solusi dan tanda hapusnya diskriminasi terhadap satu
golongan agama dan suku tertentu. Pencabutan ketentuan dan kebijakan publik yang
diskriminatif seperti
kewajiban melengkapi surat bukti kewarganegaraan, dan peraturan lainnya jauh
lebih penting. Itu yang dibutuhkan oleh jutaan Oei di seluruh Indonesia.

Indonesia Baru Sidang Tahunan (ST) MPR 2002 rupanya terfokus pada soal pemilihan
presiden langsung dan tak langsung, peranan, dan kekuasaan MPR. Seyogianya ST
MPR 2002 menjadi momentum untuk membulatkan tekad dan meluruskan wawasan
kebangsaan yang sudah bengkok. Siapa pun presidennya, ia tidak akan mampu
memperbaiki kehidupan rakyat kalau Indonesia gagal merumuskan wawasan kebangsaan
yang cocok dalam abad modern. Membangun kembali puing- puing kebangsaan yang
rontok akibat kekuasaan Orde Baru dan fanatisme agama dan etnis jauh lebih
mendasar dan sangat diperlukan. Rasa keadilan dan rasa diayomi sebagai warga
negara Indonesia perlu diberlakukan tanpa pandang bulu. Dalam masyarakat yang
majemuk, kewarganegaraan seseorang tidak lagi ditentukan oleh wajah, kulit dan
agama mereka. Bisa saja seorang warga negara Amerika dan Inggris bermata sipit
atau berkulit hitam dan berambut kribo dan beragama bukan Kristen.

Warna kulit, agama, dan ras tidak menentukan kewarganegaraan seseorang.
Menyimak kata-kata yang dikutip oleh T. Roosevelt Thomas Jr dalam tulisannya
berjudul Diversity in Community, kita perlu merenungkan:

1. Apakah faktor turunan, ras dan agama menjadi faktor penentu kewarganegaraan
sejati? Ataukah komitmen seseorang untuk mengabdi kepada kesejahteraan suatu
bangsa menjadi faktor penentu kewarganegaraan seseorang?
2. Apakah untuk menjadi warga negara sejati harus diukur bahwa seseorang harus
berpindah kepercayaan dan nama dan mengabaikan/melepaskan bahasa ibu dan
budayanya?

3. Dalam masyarakat Indonesia baru seyogianya kebijakan publik tidak
dikendalikan dan ditentukan oleh satu golongan untuk kepentingan golongan
sendiri dan merugikan persatuan dan rasa keadilan orang banyak. Tidak ada satu
agama, suku dan golongan yang lebih berjasa dalam Menegakkan kemerdekaan
Indonesia. Pemakaian simbol agama atau suku oleh sebagian Kecil kelompok atas
nama mayoritas untuk menuntut hak lebih bisa mengganggu wawasan kebangsaan yang
menjadi dasar berdirinya Republik Indonesia.

Masing-masing suku dan golongan telah sepakat membangun Indonesia yang adil dan
makmur tanpa diskriminasi berdasarkan apa yang mereka miliki dan bukan
berdasarkan apa yang mereka tak miliki.

Semua suku dan golongan telah memberikan pengorbanan yang sama sesuai Dengan
keberadaannya dalam mewujudkan Indonesia merdeka. Apabila amandemen  UUD '45
gagal memberi landasan wawasan kebangsaan Indonesia yang bersatu, majemuk, dan
demokratis, akibat yang akan terjadi sudah jelas. Indonesia tidak akan mampu
menyatukan kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing suku dan golongan dalam
memasuki era globalisasi. Indonesia akan rapuh dalam menghadapi perpecahan dan
konflik. Itu yang tidak kita harapkan. Penulis adalah pengamat etika sosial.