[Nusantara] Mau ke mana Arief Budiman?
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Wed Aug 28 08:27:50 2002
"akang" <garuda9876@yahoo.com>
28 Aug 2002 00:48:43 +0200
Mau ke mana Arief Budiman?
Tanggapan kritis dari jaringan surat elektronik
Mau ke mana Arief Budiman?
Catatan: A Supardi Adiwidjaya *)
Penulis memperdalam catatan mengenai tanggapan kritis
atas pendapat Arief Budiman
ini, dus saya pribadi, menyadari bahwa menurut para
pendukungnya, nama Arief Budiman
adalah sebuah nama besar dan beken, serta katanya, dia
telah banyak jasanya untuk kemajuan
ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini, saya tidak bisa
memberikan bantahan apapun.
Dari riwayat hidupnya, dia tidak pernah absen dalam
serangkaian demonstrasi tahun
1965/1966, dus termasuk orang yang punya andil bagi
tegaknya Orde Baru. Namun, kemudian
kelihatannya berbalik, sebab pada tahun 1970 dia
terlibat dalam demonstrasi anti korupsi
dan setahun kemudian (1971), bersama kawan-kawan ia
memboikot Pemilu dengan melancarkan
gerakan Golput.
Keikutsertaannya menentang proyek Taman Mini Indonesia
Indah memberi dia satu bulan dalam
tahanan Kopkamtib. Menurut pengakuannya, ia tinggal di
luar negeri dua periode. Periode
pertama, di Perancis (1972-1973), dilanjutkan kemudian
di AS (1973-1981). Periode kedua,
di Australia (1997 - sekarang).
Menurut koran Tempo, Arief Budiman seperti tak pernah
berhenti bersikap kritis terhadap
pemerintah. Sosiolog yang kini mengajar di Universitas
Melbourne, Australia, ini, sudah
sejak masa Soekarno menjadi pengkritis kebijakan.
Semasa Soeharto, kabarnya ia mendapat
perhatian khusus dari para intelijen karena khawatir
pada sepak terjangnya mengkritisi
pemerintahan Orde Baru. Demikian pula pada waktu
pemerintahan diwariskan pada B.J.
Habibie, yang disebutnya sebagai perpanjangan Orde
Baru. Saat pemerintahan berganti dan
dipimpin koleganya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,
Arief tak juga berhenti bicara.
Pernah, sekali waktu, namanya jadi buah bibir media
massa karena kritiknya pada Gus Dur
untuk tidak lebih banyak membuat musuh sebagai upaya
untuk bisa bertahan. "Gus Dur harus
berkoalisi," katanya ketika itu. (Lihat, Tempo, edisi
16 Agustus 2002).
Memuakkan
Berita terbaru tentang mantan dosen di Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga, lanjut
koran Tempo (16/08/2002) adalah ketika ia menyatakan
kritik pedasnya terhadap kepemimpinan
Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan yang
dianggapnya sebagai partai yang rusak dan
kacau. Ia pun dihujani kritik, bahkan makian.
Dalam diskusi terbatas di sebuah jaringan surat
elektronik, lanjut Tempo, beberapa
simpatisan partai berlambang banteng bulat itu bahkan
menyebut alumnus Harvard University
ini sebagai tidak nasionalis karena terlalu banyak
bicara dan mengkritik sambil memilih
berada di luar negeri. Apa yang disinyalir koran Tempo
tersebut di atas, perlu kiranya
diungkap lebih jelas, karena catatan ini memang
bermaksud mengungkapkan pendapat kritis
atas (baik substansi maupun cara pengutaraan di dalam)
beberapa surat, yang dilontarkan
oleh Arief Budiman ke publik lewat, antara lain milis
<National>. Beberapa netter dari
milis <National> ini memberikan tanggapan. Ada yang
kontra, ada yang menyambut baik
pikiran yang dilontarkan oleh Arief Budiman tersebut.
Penulis catatan ini termasuk salah seorang (netter
milis <National>), yang dengan tegas
menyatakan ketidak setujuannya atas beberapa pikiran,
baik cara pengutaraannya yang terasa
sombong dan arogan, maupun substansi permasalahan yang
dilontarkan Arief Budiman. Namun,
agar tanggapan kritis ini tidak dirasakan terlalu
subyektif, maka penulis di sini lebih
menonjolkan pengungkapan pendapat kritis dari beberapa
netter di milis <National>, yang
menurut penilaian penulis perlu disimak.
Pertama, saya ingin menyinggung soal kata makian, yang
disinyalir koran Tempo (lihat:
edisi 16 Agustus 2002). Pernyataan tersebut di atas
perlu saya komentari dan saya nilai
jelas berat sebelah. Kata memuakkan dari sang
professor Arief Budiman (yang dilontarkannya
ke publik dalam rangka mengkritisi Kwik Kian Gie)
disebut sebagai "kritik pedas". Namun,
penggunaan kata yang sama, yakni memuakkan yang
dilontarkan kembali oleh salah seorang
netter milis atau jaringan surat elektronik <National>
(yang nota bene adalah penulis
catatan ini), untuk menanggapi isi surat sang
professor itu dinilainya sebagai makian yang
menjurus pada "penyerangan pribadi".
Kedua, dalam menanggapi penyataan Litbang PDI
Perjuangan yang disampaikan oleh Kwik Kian
Gie dalam sebuah konperensi pers, Arief Budiman
menulis:
"Saya memang orang yang memulai memakai kata
"memuakkan" setelah membaca pernyataan Kwik
Kian Gie/Litbang PDI-P. Lengkapnya kalimat saya
adalah:
"Ini pembelaan Kwik terhadap Megawati. Menurut saya
sih cukup memuakkan.
Bagaimana pendapat anda? Arief". Selanjutnya Arief
mengatakan: "Saya merasa, saya
menggunakan kata "memuakkan" tersebut secara cukup
sopan, tidak terlalu vulgar."
Dia tidak memberikan alasan tentang pelontara kata
"memuakkan" dimaksud, karena menurut
pengakuannya, ingin memancing tanggapan (surat Arief
Budiman tertanggal 19.08.2002).
Menanggapi pernyataan Arief Budiman tersebut, salah
seorang netter milis <National> Toton
Soeharto menulis: "Sebaiknya cara-cara seperti ini
ditinggalkan saja, karena didalam
kehidupan dunia politik, bisa saja diartikan 'sebagai
provokasi ibarat melempar batu ke
kepala orang dan pergi begitu saja' ".
Sejarah perjuangan rakyat Indonesia, lanjut Toton
Soeharto, sudah cukup "penuh dilukai
oleh cara-cara seperti ini", yang kadang-kadang
provokasinya menjalar menjadi pertumpahan
darah yang mengerikan. Lihat saja kejadian G30S,
bukankah di dalamnya penuh dengan
"memancing pendapat orang (untuk kemudian disikatnya),
provokasi, fitnah, desas desus,
ghosip, tuduhan, dengki, irihati dan lain sebagainya",
yang telah mengambil "korban jiwa
jutaan manusia dan korban physik, psychis dan
eksistensial dari puluhan juta manusia".
Menurut Toton Soeharto, rupanya "memancing tanggapan
tersebut" , masih disusulnya dengan
surat kedua tertanggal 13.8.2002, yang ditulisnya
terburu-buru, karena katanya tidak punya
waktu, sebagai berikut: Sebenarnya saya mau menulis
panjang, tapi waktunya tidak cukup
karena saya sibuk sekali. Sekarangpun saya tidak bisa
menjawab secara panjang, tapi saya
merasa bertanggung jawab untuk membuat beberapa butir
sikap yang menjadi sebab saya anggap
statement tersebut "agak memuakkan."
Kemudian ditambahkan lagi dengan suratnya tertanggal
16.8.2002: (Sayangnya KKG tidak
menyinggung desas-desus yang kuat yang mengatakan
mungkin ada kerjasama bisnis antara
Sutiyoso dan Taufik Kiemas, suami Ibu Presiden.)
Bertolak dari kedua kutipan tersebut, lanjut Toton
Soeharto, apakah ini bisa diartikan,
bahwa bagi sdr. Arief Budiman semua ini hanyalah
bagaikan "soal sampingan di celah-celah
pekerjaannya yang sangat sibuk"? Sadarkah, bahwa
"pilihan kata-kata dan kalimatnya" dan
pengambilan "sumber informasinya yang hanya berlevel
desas desus", sesungguhnya berada
"dibawah level normal standard" dan telah pula
"melukai banyak orang, baik yang
diserangnya maupun pembaca-pembaca lainnya".
"Apakah kurang dipahaminya, bahwa permasalahannya
adalah 'sangat serius dan berkharakter
nasional' dan bukan 'permasalahan yang cukup
ditanggapinya secara sampingan', karena di
dalamnya terlibat Litbang PDI-P (Partai yang dipilih
oleh puluhan juta rakyat Indonesia),
Drs. Kwik Kian Gie, baik sebagai orang dalam Litbang
maupun, mau tidak mau adalah juga
Menteri dan Kepala Bappenas Pemerintahan Republik
Indonesia dan last but not least,
didalamnya tersangkut juga Ibu Megawati Soekarnoputri,
Presiden Republik Indonesia?",
tegas Toton Soeharto.
Dengan sigapnya, secara maraton, Arief Budiman
melancarkan kritik bombastisnya, terutama
ditujukan kepada orang yang disebutnya pejabat publik,
yakni Presiden Megawati
Soekarnoputri.
Dalam konteks ini, perlu saya sitir kembali secara
lengkap apa yang dikemukakan oleh Arief
Budiman di dalam suratnya (tertanggal 19 Agustus 2002)
butir ke-7, sebagai berikut: "Kalau
soal Sutiyoso dan Mega, saya cukup mau berdiskusi.
Mereka 'kan pejabat publik, karena itu
mereka perlu terus menerus dinilai. Apa yang mereka
lakukan punya dampak kepada publik.
Kalau soal Mega sebagai pribadi, itu bukan urusan
saya, dan saya tidak tertarik
mengurusinya. Soal Sutiyoso, saya baru saja mendapat
informasi yang mengatakan: "Bung
Arief, ini sekedar info, apakah anda sudah mendapatkan
atau belum alasan Mega mendukung
Sutiyoso, karena jaminan soal ijin membuat kasino di
Pulau Seribu, dan beberapa pengamanan
aset-aset bisnis Taufik yang baru dalam rangka baik
pemilu mendatang, maupun "uang
pensiun" keluarga Taufik Kiemas yang lain." (kutipan
dari surat yang saya terima) Saya
tidak langsung percaya, tapi ini penting kita
perhatikan. Sekali lagi bukan karena saya
punya sentimen dengan Sutiyoso atau Taufik Kiemas
secara pribadi. Tapi dia 'kan pejabat
publik. TK adalah suami presiden kita dan bahkan
dipersangkakan bahwa hubungan bisnis
inilah yang menjelaskan dukungan Mega terhadap
Sutiyoso. Nah, kalau soal ini mungkin ini
merupakan urusan kita semua. Kita semua punya
kepentingan untuk menyelidiki berita ini".
(kutipan selesai)
Dalam menanggapi "kritik" Arief Budiman tersebut di
atas, Fuadi Samalo (seorang netter
jaringan surat elektronik) menulis: "Coba bayangkan
apa yang Anda pernah lakukan? Anda
berkunjung ke Indonesia, ikut jingkrak-jingkrak di
tengah-tengah orang yang
berdemonstrasi, terus pergi ke rumah Mega di
Kebagusan. Oleh Satpam ditolak menemui Mega
karena Mega ada di kamar tidur. Terus Anda
marah-marah, memaki-maki Mega sebagai pemimpin
brengsek, karena negara dalam keadaan sulit kok Mega
tidur di siang hari bolong dan tidak
mau menerima Anda dan kawan-kawan. Lho sejak kapan
Mega menjadi kawan dan bahkan
pemimpin Anda ? Mega ketika itu hanya seorang Ketua
Umum PDI-P yang selalu Anda hina
sebagai partainya orang-orang bodoh dan dungu."
Sehubungan dengan isu yang dilontarkan oleh Arief
Budiman di atas, perlu saya berikan
catatan bahwa hal yang "baru merupakan info" perlu
dikaji atau diselidiki kebenarannya
dengan baik, sehingga bukan sekedar rumor. Masalahnya,
di media cetak dan elektronik, dus
lebih-lebih di "dunia maya" internet, cukup sering
mencuat: info sejenis dan rumor sudah
dianggap sebagai "bukti nyata".
Dan apa yang diuraikan oleh Arief Budiman tersebut
bisa dinilai, bahwa begitulah caranya
(yang memang canggih) dia melontarkan isu ke publik
yang tujuan utamanya mendiskreditir
Presiden Megawati Soekarnoputri yang nota bene adalah
Ketua Umum DPP PDI Perjuangan.
Itulah sebabnya saya anjurkan kepada semuanya silahkan
memberikan kritik yang
proporsional. Tentang "kritik yang proporsional" pun
terdapat berbagai pendapat ataupun
interpretasi (oleh) masing-masing orang. Saya pribadi
berpendapat, PDI Perjuangan di bawah
pimpinan Megawati (lepas dari segala
kelemahan-kelemahannya) saya golongkan sebagai
kekuatan proreformasi.
Oleh karena itu, "kritik" yang dilontarkan kepada
kekuatan tersebut seyogyanya didasari
oleh titik pijak (yang menurut sdr. Prihandono
dikemukakan/ditulis oleh Pramoedya Ananta
Toer dalam tetraloginya) "bertindaklah adil sejak dari
pikiran".
Dari apa yang diuraikan oleh Arief Budiman di atas,
bisa dinilai bahwa dia tidak
"bertindak adil sejak dari pikiran" terhadap Presiden
Megawati. Dalam konteks ini, bagi
mereka yang kritis (atas pernyataan Arief Budiman
tersebut) menimbulkan pertanyaan:
Mengapa? Ada apa di balik kritik bombastis yang
dilontarkan Arief Budiman ke publik? Mau
ke mana Arief Budiman?
Ada apa di balik komoditas ide federal yang dijajakan
Arief Budiman?
Setelah melayangkan surat yang ke publik lewat
jaringan internet, lewat telepon Arief
Budiman memberikan wawancara kepada wartawan Koran
Tempo (edisi 16 Agustus 2002), yang
diberi judul "Nasionalisme Rentan Terhadap
Manipulasi".
Dalam interview tersebut, lagi-lagi Arief Budiman
mengarahkan "ujung tombak"
"kritik"nya kepada Presiden Megawati Soekarnoputri.
Hal itu sah-sah saja dalam kehidupan
demokrasi. Namun, terus terang, sekali lagi penulis
catatan ini tidak bisa menyembunyikan
suatu kecurigaan dan mempertanyakan: Ada apa di balik
pelontaran kritik yang begitu
sistematis dan bombastis, terutama terhadap Presiden
Megawati Soekaroputri itu, meskipun
dengan alasan bahwa beliau seorang pejabat publik yang
perlu terus menerus dinilai?
Tentu tidak mudah mendapatkan jawaban atas pertanyaan
yang mengandung kecurigaan tersebut.
Namun ada suatu ide yang diperdagangkan oleh Arief
Budiman, yang sedikit banyak bisa
menjadi bahan untuk mencari benang merah yang
menghubungkan kritik-kritik bombastisnya
dengan maksud di baliknya.
Dalam wawancaranya dengan Tempo (16/08/2002), Arief
Budiman menyatakan:
"Megawati, dalam hal otonomi daerah dan negara
federasi, itu menunjukkan memang kapasitas
intelektual dia terbatas sekali. Sehingga dia hanya
mewariskan bahwa negara Indonesia itu
Bung Karno dan negara kesatuan. Lalu dia tidak bisa
terjemahkan secara sophisticated
sehingga dia menganggap otonomi daerah akan
memperkecil volume atau kualitas negara
kesatuan. Kalau menurut saya itu saja dasarnya. Saya
kira Megawati tidak punya dasar yang
lebih canggih daripada itu. Bagi dia hanya ada negara
kesatuan, tidak boleh ada otonomi
daerah, apalagi negara federal. Kalau dengar negara
federal dianggap sudah berkhianat. Dan
disinilah kesesuaiannya dengan kepentingan TNI. Kalau
militer kan alasannya mereka sudah
banyak berkorban dengan prajurit yang tewas
mempertahankan negara kesatuan. Lalu kenapa
dipecah-pecah lagi. Dulu memang mereka menolak negara
federal pada zaman Republik
Indonesia Serikat (RIS). Tetapi itu dulu kan yang
dipakai oleh Belanda untuk pemecah
belah. Nah, sekarang yang buat kita sendiri.
Belandanya juga tidak ada lagi. Dalam hal ini
militer dan Megawati setara lah. Dua-duanya punya
mitos-mitos yang tidak bisa ditawar
tanpa penjelasan yang baik".
Menanggapi pernyataan Arief Budiman (yakni, "Megawati,
dalam hal otonomi daerah dan negara
federasi, itu menunjukkan memang kapasitas intelektual
dia terbatas sekali"), saya merasa
perlu memberikan pendapat: Betapa sombong dan
arogannya orang yang menjadi Guru Besar di
Universitas Melbourne ini! Secara langsung atau tidak
langsung dia menyombongkan dirinya
sebagai orang memiliki kapasitas intelektual yang
"tidak terbatas sekali". Sungguh sangat
tendensius dan merupakan suatu kesombongan yang luar
biasa!
Membaca pernyataan saya di atas, kemungkinan besar,
Arief Budiman akan kembali melontarkan
pendapat, yang pernah dilontarkannya dalam suratnya:
"Tapi yang jelas bahwa surat itu (baca: pendapat saya
tersebut di atas) sudah tidak lagi
mempersoalkan materi dari persoalan yang saya angkat.
Jadi memang tidak akan saya layani".
Sehubungan dengan ini, pertanyaan saya, apakah
penilaiannya terhadap Megawati sebagai
"orang yang memiliki kapatasitas intelektual yang
terbatas sekali" (meskipun "hanya"
dikaitkan dengan penjelasan "dalam hal otonomi daerah
dan federasi") tidak perlu
ditanggapi?
Mempelajari isi beberapa surat dan wawancaranya di
Tempo (16/08/2002) timbul kesan yang
cukup kuat dalam pikiran saya, yang menyebabkan saya
pribadi melihat dan menuduh sosok
orang kondang bernama Arief Budiman, kelihatannya
sebagai sosok "seorang serba muka".
Menurut pengamatan saya, kritik-kritik tajam yang
terasa bak hujatan yang begitu kasar dan
bombasits, yang saat ini sedang giat-giatnya diarahkan
terutama kepada Presiden Megawati
Soekarnoputri, besar kemungkinannya, pertama hanyalah
untuk membelokkan atau mengalihkan
perhatian orang akan maksud tersembunyinya yang sedang
diperjuangkannya untuk jangka
panjang; kedua, Megawati (yang jelas konsekuen
pendiriannya untuk tetap mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai
ke Merauke) adalah merupakan lawan
politik yang perlu dilawan dan dikalahkan, dengan cara
mendiskreditir Megawati, antara
lain, dengan melakukan segala cara untuk bisa mengadu
domba jajaran PDI Perjuangan yang
tidak puas atas kebijakan yang diambil oleh DPP PDI
Perjuangan (yang nota bene Megawati
sebagai Ketua Umum), misalnya dalam hal dukungan
Megawati atas pencalonan Sutiyoso sebagai
gubernur DKI Jakarta.
Saya mensinyalir ada ide atau gagasan (yang
dilontarkan oleh Arief Budiman) yang mempunyai
jangkauan tujuan yang jauh ke depan, yakni
memperjuangkan ide tentang pembentukan negara
federasi Indonesia, (yang tahap pertamanya, tergantung
situasi dan kondisinya) bisa masih
termasuk negara-negara bagian: Aceh (NAD), Republik
Papua Barat, dan Republik Maluku
Selatan. Atau jika situasi dan kondisinya dianggap
matang, maka "ketiga negara bagian
tersebut" bisa langsung memisahkan diri dari apa yang
disebut "Negara Federasi Republik
Indonesia" ("NFRI") atau "Republik Indonesia Serikat"
("RIS") Dalam kaitan ide negara
federal, baik kiranya di sini saya kemukakan tanggapan
dari sdri Lenny, juga seorang
netter jaringan surat elektronik <National> atas surat
Arief Budiman, yang dilontarkannya
ke jaringan surat elektronik tersebut. Menurut Lenny,
Arief Budiman sepertinya telah
meramalkan bahwa Indonesia akan "bercerai-berai".
Berdasarkan ucapan-ucapan yang
dilontarkan Arief Budiman kepada publik, bahwa setelah
Timor Timur memisahkan diri dari
RI, sepertinya dia meyakini hal itu akan disusul
dengan Aceh, Kalimantan, Irian Jaya.
Sehubungan dengan itu, Lenny menulis: "Saya yakin
bapak mempunyai alasan yang kuat untuk
'mengharapkan' semua ini terjadi. Namun sebagai
seorang yang merasa cinta 'tanah air'
sebaiknya bapak melupakan 'ramalan' dan angan-angan
bapak ini dan mulai memikirkan
bagaimana memperbaiki keadaan ekonomi di Indonesia.
Karena kalau hanya pandai berpolitik
saja tidak cukup di negera kita ini di mana
penduduknya sebagian besar tidak
berpendidikan setinggi dan semujur Bapak".
Dan sungguh menarik apa yang ditulis oleh sdri Lenny
tersebut sebagai berikut: "Saya
pribadi dapat memahami 'hutang budi' Pak Arief yang
sudah mendapatkan 'bantuan' dari
Universitas Melbourne. Dan hal ini layak-layak saja
sesuai dengan kata "teman-teman"
Bapak "Mana sih ada anjing yang tak ('berhutang budi')
membela tuannya". Namun yang saya
sesalkan adalah dalam beberapa kesempatan diskusi
'Internasional' mengenai keadaan
politik di Indonesia, ulasan (topik yang dipilih) Pak
Arief yang guru besar ini memberikan
kesan sepertinya Pak Arief ini hanya penonton di luar
gelanggang yang maunya hanya
mengeritik. Yang lebih mengecewakan lagi adalah bahwa
kritikannya itu sifatnya tidak
konstruktif sama sekali".
Saya sengaja menghindari pemakaian kata "memuakkan",
lanjut sdri Lenny, karena rasanya
kata tersebut kurang pantas untuk 'disandingkan'
dengan atribut pak Arief yang guru besar
itu. Dan juga kata 'memuakkan' memberikan kesan
sepertinya ada dendam kesumbat dalam diri
saya terhadap orang yang sedang saya kritik. Sebagai
orang timur saya ingin selalu
menghargai adat ketimuran.
"Sekarang kembali kepada topik yang dipilih oleh Pak
Arief di salah satu seminar mengenai
Indonesia beberapa tahun yang lalu di Universitas
Melbourne: "Indonesia is in crisis. Has
the end of the tunnel been seen yet?" Kesan saya atas
topik ini adalah sepertinya Pak
Arief ini hanya penonton (komentator) atau seorang
juri yang ingin menilai dengan sinis
'if Indonesia can put an end to this crisis' dan
komentar atau kritikan-kritikan Pak Arief
sungguh destruktif saya rasakan. Sebagai seorang
Indonesia yang kebetulan hadir dalam
seminar tersebut, saya mengharapkan sang guru besar
untuk mengajak kita semua berpikiran
konstruktif agar dapat menelorkan gagasan yang berguna
untuk negara tercinta ini",
demikian tulis Lenny.
MENGENAI wacana atau ide federasi, yang dilontarkan
Arief Budiman ke publik,
jika terus diperjuangkannya di lapangan nyata di tanah
air Indonesia, ujung-ujungnya akan
merupakan usaha untuk memecah belah bangsa dan negara
Indonesia. (Saya tidak mempersoalkan
lepasnya Timor Timur dari RI, karena Timtim ini bukan
wilayah bekas jajahan Belanda.
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
wilayah bekas jajahan Belanda - yang
disebut Hindia Belanda).
Dalam catatan ini saya sengaja tidak mendiskusikan
hakekat negara federal.
Tentu saja, membicarakan dan mendiskusikan diskursus
masalah bentuk negara federal sebagai
wacana sah-sah saja. Tetapi menurut pendapat saya,
memperjuangkan perealisasian bagi
terbentuknya negara federal atau negara serikat dalam
situasi dan kondisi keterpurukan
dalam segala bidang kehidupan masyarakat Indonesia
sekarang ini sungguh berbahaya!
Secara singkat perlu saya ingatkan, bahwa pemaksaan
bagi terbentuknya negara federal di
wilayah Nusantara, pertama akan menambah persoalan
pelik yang harus diselesaikan; dan
kedua, jika perjuangan untuk terbentuknya negara
federal dimaksud dilaksanakan di
lapangan, maka pertumpahan darah manusia yang pro dan
kontra negara federal tidak bisa
dihindarkan! Dus, paling tidak masalah pembentukan
negara federal itu seyogyanya
dibicarakan dan diperbincangkan dalam situasi dan
kondisi di mana masyarakat Indonesia
sudah keluar dari krisis multidimensi sekarang ini.
Dalam kaitan ini, perlu kiranya direnungkan apa yang
dikemukakan oleh Dr. Meutia Hatta:
"Negara kesatuan perlu dipertahankan. Negara federal
bukan merupakan solusi, meskipun
merupakan alternatif dari berbagai pilihan. Negara
federal bahkan mungkin bisa menumbuhkan
persoalan-persoalan baru yang kita tidak perkirakan
dan mengancam persatuan nasional.
Persoalannya bukan pada pilihan negara kesatuan atau
negara federal, tetapi pada
pelaksanaan otonomi secara murni, konsekuen, dan
bertanggungjawab". (lihat: Media
Indonesia, edisi 22 Oktober 1998).
Sudah banyak tulisan yang mengungkapkan hakekat bentuk
negara kesatuan ataupun negara
federal. Lihat misalnya tulisan-tulisan: Dr. Meutiah
Hatta - "Negara Kesatuan vs Negara
Federal" (Media Indonesia, 8 Oktober 1998); Mursal
Esten - Negara Federal: Sebuah Solusi?"
(Republika, 8 Oktober 1998); PJ Suwarno - "Negara
Kesatuan dan Negara Serikat (Republika
22 September 1998); Prof Dr Jimly Asshiddique -
"Federalisme dan negara Kesatuan" (Media
Indonesia, edisi 30 September dan 1 oktober 1998);
Miftah Thoha - "Otonomi Daerah
Seluas-luasnya" (Republika, 21 September 1998);
"Kesatuan versus Federasi" - Tajuk Rencana
(Media Indonesia, 29 September 1998), dan sebagainya.
Penulis cacatatan ini juga pernah
melontarkan tulisan berjudul "Ada Apa di Balik Ide
Federal" (lihat harian Merdeka, edisi
Senin, 14 Desember 1998).
Meskipun begitu, dari uraian di atas dan dari
pengamatan saya pribadi tentang isi berbagai
tulisan mengenai negara federal, dari pengalaman
kehidupan pribadi selama lebih dari
seperempat abad di salah satu negara yang melaksanakan
sistem federal (waktu itu Uni
Soviet), dari pengamatan mengenai sistem federasi di
Jerman dan di Jugoslavia (dulu,
sebelum pecah), maka dengan suatu keyakinan mendalam
dan teguh saya berpendapat: Apabila
ide federasi berhasil dimenangkan oleh para penjajanya
(termasuk Arief Budiman), maka
perlahan-lahan dan bahkan boleh diprediksikan dalam
waktu relatif singkat, berbagai
sukubangsa di Nusantara yang masing-masing berhasil
membentuk negara bagian dari apa yang
disebut "Republik Indonesia Serikat" akan segera
menyatakan dirinya masing-masing sebagai
bangsa. Dengan demikian, mudah dibayangkan, bahwa
masing-masing negara-negara bagian dapat
dengan mudah memisahkan diri (keluar) dari negara uni
federasi atau apa yang disebut
"Republik Indonesia Serikat"/RIS itu. Dus,
negara-negara bagian Aceh, Papua Barat, Maluku
Selatan akan segera memisahkan diri dengan mudah tanpa
halangan apapun dari "RIS".
Kemudian akan diikuti oleh Kaltim, Riau, Bali,
Pasundan dan lain-lainnya lagi.
Kalau sudah begini, bangsa yang namanya Indonesia akan
hanya sebagai kenangan sejarah.
Sebab nama Indonesia itu dikekalkan memang sebagai
sebuah nama untuk mempersatukan seluruh
sukubangsa - BHINEKA TUNGGAL IKA - para penghuni
Nusantara.
Di belakang ide federal yang dijajakan oleh Arief
Budiman, rasa-rasanya kuat sekali adanya
kepentingan asing, yang berada di belakang Arief
Budiman. Dalam konteks ini, reformasi ala
professor Universitas Melbourne (Australia) Arief
Budiman naga-naganya bisa diprediksikan,
yakni keinginan mereformasi tatanan kehidupan
masyarakat dan bangsa Indonesia menuju:
tahap pertama - pembentukan apa yang dinamakan negara
serikat/federal; kemudian terjadilah
proses hilangnya nama Indonesia dari permukaan bumi
Nusantara. Apakah ide negara federal
yang saat ini sedang dijajakan oleh antara lain Prof
Arief Budiman adalah bukan kedok
untuk ujung-ujungnya menghancurkan bangsa Indonesia
dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia?
Kita tunggu saja langkah-langkah konkret apa yang
dilakukan oleh Arief Budiman dalam
rangka merealisasikan ide tentang pembentukan negara
federal.
*) Penulis adalah Pengamat Masalah Politik, tinggal di
Negeri Belanda.
(Berita Merdeka, Selasa, 27 Agustus 2002)
=====
Milis bermoderasi, berthema 'Mencoba Bicara Konstruktif Soal Indonesia', rangkuman posting terpilih untuk ikut berpartisipasi membangun Indonesia Baru, Damai, dan Sejahtera. http://nusantara2000.freewebsitehosting.com/index.html
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Finance - Get real-time stock quotes
http://finance.yahoo.com