[Nusantara] Citra TNI di Tengah Belantara Informasi

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Dec 10 03:48:08 2002


Citra TNI di Tengah Belantara Informasi 
M Alfan Alfian M, 
Analis Sospol Katalis dan ACG Advisory Group, Jakarta 

PEMBERITAAN The Washington Post, pada 3 November 2002
berjudul ''Indonesia Military Allegedly Talked of
Targetting Mine”'' dinilai tidak benar. Panglima TNI
Jenderal Endriartono Sutarto melayangkan somasi (surat
teguran). Menurut kuasa hukumnya, Frans Hendra
Winarta, terhitung 14 hari setelah somasi dilayangkan,
TNI akan mengajukan gugatan perdata atas harian
terkemuka di AS itu. Gugatan akan dilakukan di
Indonesia dan ada kemungkinan dilakukan juga di AS
(besarnya US$1 miliar). 

Sementara itu, kuasa hukum The Washington Post, Todung
Mulya Lubis telah menerima somasi tersebut,
menghormati dan menghargai langkah yang ditempuh
Panglima TNI. Kasus TNI versus The Washington Post
kini menjadi perhatian publik luas. Ia menjadi
menarik, setidaknya disebabkan dua hal. Pertama,
pilihan menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan
masalah, tentu saja layak dihargai. Harapannya, dengan
begitu TNI terbiasa memanfaatkan lembaga hukum untuk
menyelesaikan kasus-kasus yang menimpanya. Sehingga
publik luas paham apa persis persoalannya, dan
bagaimana proses hukum berujung. Pilihan memakai
pendekatan hukum, bagaimanapun merupakan upaya yang
patut didukung dalam rangka penegakan hukum (rule of
law). 

Kedua, kasus ini berskala internasional. TNI nyaris
jarang berurusan dengan instutusi asing, yang dibawa
ke meja hukum. Dengan adanya kasus ini, maka
konsekuensinya, tidak hanya publik Indonesia saja yang
tahu, tapi juga, khususnya publik AS. 

Memang persoalannya bukan antara pihak TNI (yang
secara kelembagaan bisa dibaca sebagai bagian dari
pemerintah RI) dan pemerintah AS. Tapi, antara TNI dan
sebuah lembaga pers di AS, yang sahamnya dipastikan
bukan dikuasai oleh pemerintah AS. Karena itu,
barangkali dengan demikian, pihak TNI sadar bahwa
kalau pihaknya mempersoalkan secara hukum kasus ini,
maka tidak akan mengganggu hubungan kedua negara,
Indonesia-AS. 

*** 

Yang menjadi pertanyaan, mengapa pihak TNI kali ini
terkesan enggan melayangkan hak jawab, guna menolak
dan meluruskan pemberitaan yang memberatkan itu?
Mengapa memilih jalur hukum? Sebagian jawabannya
terbaca di atas, karena pihak TNI yakin persoalannya
bukan antara RI-AS, melainkan institusi TNI versus
institusi pers AS. Selanjutnya, tampaknya ada hakikat
yang lebih mendasar: TNI ingin memperbaiki citra
dirinya di mata internasional. 

Sejak Orde Baru tumbang hingga kini, apalagi di tengah
itu ada kasus jajak pendapat dan kemerdekaan Timor
Timur (Timor Lorosae) yang menjadi sorotan tajam dunia
internasional, TNI selalu menjadi 'bulan-bulanan'
media massa Barat. Sorotan itu, dikaitkan dengan
sangkut paut TNI dengan 'pelanggaran HAM' yang
dilakukannya dalam berbagai peristiwa di Indonesia
--baik yang masih berupa dugaan, maupun fakta. Selama
ini pihak TNI tampak defensif, alias, malah 'tanpa
komentar' dalam menyikapi pemberitaan-pemberitaan
media massa Barat itu. 

Dengan kata lain, selama ini terkesan, pihak TNI
cenderung enggan menanggapi pemberitaan-pemberitaan
media massa Barat, yang kalau ditelusuri tak menutup
kemungkinan banyak model pemberitaan semacam yang
dipaparkan The Washington Post --dengan atau tanpa
allegedly (konon). Faktor utama saat itu, tampaknya,
TNI sedang menghadapi persoalan-persoalan sosial
politik di dalam negeri yang penanganannya harus
diprioritaskan --sehingga tidak terlampau hirau pada
pemberitaan pers asing. 

Kini suasananya sudah lain, sehingga memungkinkan
pihak TNI mencurahkan perhatiannya pada, bahkan
hal-hal yang sesungguhnya bisa diselesaikan dengan
langkah sederhana: menulis hak jawab. Dengan menulis
'hak jawab' dan melakukan permakluman (konferensi
pers) di depan publik, persoalan bisa dijelaskan
(di-clear-kan). Namun, TNI memilih jalan pemecahan
masalah yang 'tidak sederhana'. Pihaknya tidak
membiarkan 'belantara informasi' berlalu dengan
sendirinya dan dijadikan 'referensi kebenaran',
padahal pihak TNI sudah menyangkal. Polanya, kini TNI
tampak cenderung ofensif. 

*** 

Kalau dulu, dalam memperbaiki citra cukup dengan pola
defensif, antara lain menjawab persoalan seperlunya,
kini ofensif penjernihan dilakukan dengan penuntutan.
Terkesan TNI hendak menunjukkan pada publik dan
institusi media massa mana pun, baik di dalam maupun
luar negeri, bahwa TNI punya sikap yang jelas, dan
tidak bisa 'disudutkan' terus-menerus oleh sebuah
pemberitaan yang 'tak jelas sumbernya'. TNI sudah bisa
'berkecak pinggang' dengan media massa, dan
memanfaatkan institusi hukum untuk menuntaskan
persoalan. 

Bagi media massa (dunia jurnalistik) sendiri, tentu,
persolan ini merupakan tantangan tersendiri. Kasus
sebagaimana dialami TNI versus The Washington Post
ini, sesungguhnya tergolong klasik di dunia pers.
Pers, sudah 'manaati' kaidah-kaidah jurnalistik
universal, antara lain menggunakan metode cover both
side (seimbang berdasarkan cek dan ricek), namun
adakalanya harus menyembunyikan 'sumber berita' yang
menggelontorkan isu awalnya --antara lain demi alasan
keamanan. Atas narasumber yang tidak mau disebut
identitasnya, pihak pers wajib melindunginya. 

Terhadap hal-hal semacam itu, adakalanya (atau bahkan
kerap) pers segera menemukan banyak pertanyaan atau
bahkan protes dari pembacanya --apalagi pihak yang
merasa dipojokkan oleh berita model demikian. Karena
itulah pers wajib menyediakan ruang khusus bagi
narasumber untuk mengklarifikasi kebenaran berita.
Itulah yang disebut hak jawab. 

Dalam banyak kasus, hak jawab saja dianggap tidak
cukup, maka dibawalah kasusnya ke pengadilan (diproses
secara hukum). Di situ perdebatan dilakukan, saksi
ahli didatangkan, dan hakim memutuskan. 

*** 

Tidak hanya TNI, tapi semua pihak, baik individu
maupun institusi, kini dihadapkan pada realitas
'belantara informasi'. Informasi datang pergi silih
berganti dengan kecepatan yang tinggi, dan amat
beraneka, serta datang dari banyak sumber. Tentunya,
tidak semua informasi yang terbentang memiliki
kualitas kebenaran yang baik. Ada, bahkan banyak,
informasi yang tidak layak dan harus dibuang ke
'keranjang sampah'. 

Di tengah kondisi demikian, selayaknya semua pihak
menunjukkan profesionalismenya masing-masing. Pers,
ditantang untuk tidak sekadar menyajikan informasi,
sementara institusi dan individu yang menjadi 'objek
berita' pun dituntut pula untuk pandai-pandai
menyikapi pemberitaan. Jangan terjadi trial by press
di satu sisi, dan di sisi lain juga jangan sampai
terjadi arogansi publik atas pers. 

Belum diketahui persis bagaimana perkembangan kasus
TNI versus The Washington Post ini. Apakah kelak bisa
diselesaikan secara damai, ataukah proses peradilanlah
yang dijalankan hingga diketahui siapa 'yang menang'.
Kasus ini unik dan tampak jelas merupakan potret
bagaimana TNI pasca-Orde Baru sibuk merespons segala
macam persoalan yang membuat pihaknya sensitif --untuk
ditanggapi.

*** 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com