[Nusantara] Tanggapan atas Stevanus Subagijo, Perlukah Rekonsiliasi dengan Konglomerat?

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Wed Dec 11 06:48:26 2002


Tanggapan atas Stevanus Subagijo, Perlukah
Rekonsiliasi dengan Konglomerat? 

Oleh Padang Wicaksono 

Menarik sekali analisis Saudara Stevanus Subagijo
dalam kolom opininya yang berjudul Paska Kebijakan
Release and Discharge: Babak Baru Konglomerat? (Sinar
Harapan, 26/11/2002). Terlepas dari analisis yang
sangat debatable tersebut, Stevanus Subagijo cukup
berani melawan arus di tengah-tengah gelombang kecaman
atas sepak terjang konglomerat selama ini. Namun
sayangnya, beliau terlalu menyederhanakan masalah soal
peranan konglomerat. Hal ini nampak pada analisis
beliau yang berulang kali menekankan bahwa konglomerat
adalah aset nasional yang penting terutama berkaitan
dengan penyediaan lapangan kerja dan juga pemulihan
ekonomi. Benarkah demikian? 

Ada baiknya kita melihat kilas balik perjalanan para
taipan di masa awal Orde Baru berdiri tatkala mereka
masih gurem dan belum menancapkan kukunya dalam kancah
perekonomian nasional. Berbicara mengenai usahawan
kelas kakap yang lantas terkenal dengan sebutan
konglomerasi memang tidak terlepas dari kiprah Orde
Baru yang dikomandani oleh Jenderal Soeharto ketika
berhasil tampil ke panggung kekuasaan. 

Tampilnya Soeharto ke puncak kekuasaan telah
melahirkan babak baru dalam perjalanan bangsa
Indonesia khususnya menyangkut pembangunan ekonomi.
Ekonomi telah menjadi panglima, demikian ungkapan
beberapa cendekiawan dan intelektual. Memang benar
bahwa pembangunan ekonomi yang diluncurkan oleh Orde
Baru telah berhasil mengubah wajah Indonesia yang
semula tradisional, kusam menjadi lebih modern dan
atraktif dilihat dari sisi fisiknya apabila kita
menilik laju industrialisasi yang kencang disertai
berdirinya gedung-gedung megah di Jakarta. 

Demikian pula dengan catatan pertumbuhan ekonomi yang
selalu mendapat pujian dari Bank Dunia maupun IMF
semakin menggenapkan keberhasilan kebijakan ekonomi
Soeharto. Namun dibalik pujian dan indahnya
angka-angka statistik yang melaporkan keberhasilan
pembangunan ekonomi di masa Orde Baru itu ternyata
terselip persoalan besar yang bagaikan bom waktu yang
kelak meledak di kemudian hari, yakni soal konsentrasi
kapital di tangan segelintir orang dan kesenjangan
yang terus melebar antara pengusaha besar dengan
pengusaha kecil. 

Jika akumulasi kapital yang sedemikian besar itu
diperoleh dengan cara kompetisi yang fair antara
sesama pelaku bisnis tentu tidak menjadi persoalan.
Artinya, konglomerat yang mampu menjadi besar dengan
berbekal daya saing yang tangguh dan didukung dengan
cara kerja yang efisien tentu menjadi aset yang sangat
berharga bagi perekonomian nasional. 

Masalahnya, konglomerat yang seperti ini hanya ada
dalam mimpi oleh karena dalam perjalanannya menjadi
sebuah usaha raksasa, konglomerat telah mendapat
dukungan dari pemerintah baik berupa produk
undang-undang maupun proteksi terselubung seperti tata
niaga, akses kredit yang murah maupun subsidi. 

Salah satu konglomerat yang fenomenal adalah Salim
Grup. Dalam catatan Adam Schwarz, di tahun 1990 jumlah
kekayaan Salim Grup ditaksir mencapai 8-9 miliar dolar
AS di mana 60 persen dari kekayaan itu diperoleh dari
hasil operasi bisnisnya di Indonesia. Penjualan
domestik Salim saja mencapai sekitar 5 persen dari PDB
Indonesia di masa itu. Salim Grup menjalankan
aktivitas usaha mulai dari sembako, semen, perbankan,
otomotif, minyak, produk kimia hingga properti. 

Akumulasi kapital Salim Grup yang luar biasa besar ini
diawali dengan pemberian hak monopoli penuh pada tahun
1969 mulai dari mengimpor gandum, menggiling gandum
menjadi tepung terigu, hingga jaringan distribusi
tepung terigu tanpa pesaing berarti. Tentu saja hak
monopoli itu bisa diperoleh berkat hubungan khusus
dengan sang mantan Presiden. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa Sudono Salim telah membina hubungan sejak
lama dengan Pak Harto ketika masih menjadi Pangdam
Diponegoro di tahun 1950-an. 

Belakangan PT Bogasari milik Salim Grup menjadi pabrik
tepung terigu terbesar di dunia dengan mencatat
penerimaan sebesar 460 juta dolar AS di tahun 1990.
Meski Bogasari memiliki lisensi impor secara langsung
namun proses impor tersebut harus melalui Bulog.
Kemudian Bulog menjualnya ke Bogasari dengan harga
yang sangat murah oleh karena mendapat subsidi sebesar
80 dolar per ton dari pemerintah (berdasarkan laporan
Bank Dunia). Setelah mengolah gandum menjadi tepung
terigu, 

Bogasari menjual kembali tepung terigu tersebut pada
Bulog dengan margin keuntungan sebesar 30%. Margin
keuntungan ini 5 kali lebih besar dari margin
keuntungan yang diperoleh perusahaan sejenis di
Amerika Serikat. Artinya, Bogasari memiliki struktur
biaya produksi yang tergolong sangat tinggi sehingga
merugikan perekonomian nasional. Tentunya semua orang
juga tahu bahwa praktik di atas tak lebih dari sebuah
praktik akal-akalan belaka. 

Tidak berhenti sampai di sini, bersama Hutomo Mandala
Putra dan Bob Hasan, Liem Sioe Liong menjalankan
Sarpindo (sebuah perusahaan pengolah biji kedelai
hingga menjadi pakan ternak) yang didirikan pada tahun
1988. Sarpindo menguasai setengah dari konsumsi biji
kedelai tanah air. Kemampuan ini diperoleh berkat
adanya hak eksklusif yang diberikan oleh pemerintah
dalam mengimpor biji kedelai. 

Dengan menguasai biji kedelai praktis Sarpindo
menguasai pangsa pasar pakan ternak nasional. Lebih
dahsyat lagi, pemerintah memberikan subsidi sebesar 21
juta dolar AS per tahun dalam rangka membiayai
aktivitas Sarpindo yang bertindak mulai dari importir
biji kedelai hingga mengolah biji kedelai tersebut
menjadi pakan ternak. 

Akibatnya biaya yang ditanggung oleh perekonomian
nasional sangat besar dan berimbas pada struktur harga
yang melambung tinggi. Proteksi atas Sarpindo
menyebabkan harga pakan ternak menjadi mahal sehingga
sangat membebani industri yang mengkonsumsi pakan
ternak ini seperti budi daya udang dan peternakan.
Dampak selanjutnya industri budi daya udang maupun
peternakan Indonesia sangat sulit bersaing di pasaran
dunia akibat menanggung struktur biaya yang tidak
efisien tersebut. 

Tidak hanya Sudono Salim saja, Bob Hasan dan Prajogo
Pangestu selain menguasai Hak Pengusahaan atas Hutan
(HPH) juga berperanan dalam hancurnya ekosistem hutan
tropis nusantara. Bob Hasan sebagai ketua Apkindo
(Asosiasi Pengusaha Kayu Lapis Indonesia) menguasai
produksi kayu lapis hingga mampu membentuk jaringan
kartel internasional. Prajogo Pangestu pada tahun 1991
memiliki HPH sebesar 5,5 juta hektar, sebuah lahan
yang setara dengan 5-6 milyar dolar AS. Semua inipun
tak terlepas dari koneksi mereka dengan Cendana. 

Dalam banyak kasus, semenjak diluncurkannya deregulasi
pada dekade 80-an, proyek-proyek raksasa yang
dijalankan oleh para konglomerat sangat tergantung
dari kredit yang dibiayai oleh konsorsium bank asing
dengan bank pemerintah. Bank-bank asing tentu tidak
mau begitu saja mengucurkan dananya untuk membiayai
proyek-proyek raksasa tersebut jika tidak ada garansi
dari pemerintah. Akibatnya jika para konglomerat
tersebut tidak mampu melunasi utang mereka pada
kreditor asing maka pemerintah bersedia menanggung
utang-utang konglomerat. 

Salah satu contohnya adalah proyek Candra Asri. Proyek
bernilai 2,4 miliar dolar AS yang dijalankan oleh
Prajogo Pangestu, Bambang Trihatmodjo, dan Henry
Pribadi akhirnya terbengkalai dan meninggalkan beban
utang yang harus ditanggung oleh negara melalui APBN.
Sementara APBN pun mau tidak mau harus dibebankan pula
pada rakyat Indonesia yang nota bene tidak ada sangkut
pautnya dengan aktivitas bisnis konglomerat. 

Mengingat keterbatasan tempat, tulisan ini tentu tidak
mampu memuat seluruh praktik manipulatif yang
dilakukan oleh konglomerat. Dalam menyikapi
konglomerat, penulis ingin mengingatkan pada khalayak
ramai agar tidak mudah melupakan sepak terjang mereka
di masa lampau yang telah berperanan dalam
menghancurkan struktur perekonomian nasional. Ketika
krisis ekonomi mencapai puncaknya pada tahun 1998,
telah terjadi pelarian modal secara besar-besaran ke
luar negeri yang berakibat pada melonjaknya posisi
utang luar negeri Indonesia.Tak pelak lagi konglomerat
mempunyai andil yang paling besar dalam persoalan
tersebut. 

Dalam era reformasi ini para konglomerat memang
mengalami masa surutnya namun mereka telah menikmati
akumulasi kapital yang sedemikian besarnya akibat
operasi bisnis di masa lampau. Meski secara resmi
banyak perusahaan mereka yang telah tumbang namun
bukan berarti mereka menjadi miskin oleh karena dengan
cerdik mereka telah memindahkan aset pribadi ke luar
negeri sementara perusahaan mereka yang telah bangkrut
menjadi tanggungan negara. Lebih parah lagi aset yang
telah dijaminkan pada BPPN ternyata tak lebih dari
pepesan kosong belaka alias tak berharga dibandingkan
dengan utang yang harus mereka bayar. 

Maka tak berlebihan jika aktivitas konglomerat
tersebut hendaknya dibatasi sampai pada tingkat nadir.
Dengan kata lain, jangan biarkan konglomerat kembali
ke panggung bisnis Indonesia jika kita tidak ingin
terantuk untuk kedua kali. 

Penulis adalah peneliti pada Department of Economic
Science, Graduate School of Economics Saitama
University, Jepang . 

Copyright © Sinar Harapan 2002 

===== =========================================== 

Padang Wicaksono 
Department of Economic Science 
Graduate School of Economics 
Saitama University 
Japan 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com