[Nusantara] Ketahanan Pangan, Mati-Hidupnya Suatu Bangsa

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Wed Dec 11 10:36:25 2002


Ketahanan Pangan, Mati-Hidupnya Suatu Bangsa 

Oleh Achmad Suryana dan Sudi Mardianto 

Meningkatnya harga bahan pangan pokok menjadi topik
utama pemberitaan media massa cetak dan elektronik
setiap memasuki bulan puasa dan menjelang hari-hari
besar keagamaan, tidak terkecuali pada tahun 2002.
Untuk melukiskan kejadian tersebut, sebagian media
massa memilih kata-kata hiperbola, seperti harga
pangan mengamuk, melejit, membubung, meroket, tidak
terkendali, dan lain-lain. 

Pada kejadian lain, saat kemarau tiba berita sawah
kekeringan banyak menghiasi halaman depan media massa,
dengan ungkapan: kita bakal menghadapi kerawanan
pangan, atau produksi bakal merosot dan petani
menjerit. 

Kedua contoh topik pemberitaan yang berulang setiap
tahun tersebut membuktikan bahwa ketahanan pangan
bangsa ini tetap menjadi perhatian masyarakat luas.
Ketahanan pangan rumah tangga merupakan salah satu
aspek pembangunan nasional yang tidak boleh diabaikan
pemerintah, apabila pemerintah yang sedang berkuasa
itu tidak mau menghadapi banyak masalah yang dapat
muncul kemudian. 

Dalam sejarah Republik Indonesia, Presiden pertama RI,
Sukarno menyadari betul betapa vitalnya ketahanan
pangan ini bagi kelangsungan kehidupan bangsanya. Lima
puluh tahun lalu, tepatnya 27 April 1952 dalam pidato
pada acara Peletakan Batu Pertama pembangunan Gedung
Fakultas Pertanian, Universitas Indonesia di Bogor,
Presiden Sukarno berucap "... apa yang saya hendak
katakan itu, adalah amat penting, bahkan mengenai soal
mati-hidupnya bangsa kita di kemudian hari ... oleh
karena, soal yang hendak saya bicarakan itu mengenai
soal persediaan makanan rakyat". 

Selanjutnya, dua pertanyaan penting disampaikan Bung
Karno, yaitu: Cukupkah persediaan makan rakyat di
kemudian hari? Jika tidak, bagaimana cara menambah
persediaan makanan rakyat kita? 

Todongan Pistol 

Dari penggalan pidato tersebut dapat diketahui bahwa
Presiden Sukarno menyadari betul apabila negara tidak
mampu menyediakan pangan yang cukup bagi rakyatnya,
maka akan timbul keresahan sosial yang pada akhirnya
dapat mengganggu kestabilan ekonomi dan politik.
Ironisnya, pemerintahan Presiden Sukarno pada tahun
1965 jatuh, salah satu pemicunya adalah membubungnya
harga bahan pangan, khususnya beras. Peristiwa yang
hampir sama terulang kembali pada saat jatuhnya
pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998. Pada
saat itu, dalam waktu dua bulan harga beras meningkat
tiga kali lipat dan masyarakat kota menyerbu toko dan
supermarket untuk memborong bahan pangan. 

Sejalan dengan catatan sejarah tersebut, tidak salah
jika David Nelson, seorang kolumnis menulis di
Newsweek pada bulan April 1996 yang mengatakan bahwa
shortage of food can lead to a civil war (kekurangan
pangan dapat menimbulkan perang saudara). Kegundahan
Presiden Sukarno saat itu didasarkan pada analisis
yang menunjukkan pada tahun 1952 terjadi
ketidakseimbangan antara produksi dan kebutuhan beras
Indonesia. Pada saat itu, dengan jumlah penduduk
sebanyak 75 juta dan konsumsi beras per kapita per
tahun sebesar 86 kg (setara dengan 1.712 kkal/hari),
maka kebutuhan beras dalam negeri mencapai 6,45 juta
ton, sementara produksi beras nasional hanya mencapai
5,5 juta ton, maka terjadi defisit sebesar 0,95 juta
ton (15% dari kebutuhan). 

Selanjutnya, Bung Karno memproyeksikan delapan tahun
ke depan, yaitu tahun 1960. Dengan asumsi konsumsi
beras per kapita tetap dan kemampuan memproduksi padi
juga tetap, apabila penduduk bertambah delapan juta
jiwa menjadi 83 juta tahun 1960, maka kebutuhan impor
beras meningkat menjadi 2,2 juta ton (dengan tingkat
konsumsi energi 1.712 kkal/hari). Apabila konsumsi
energi yang ingin dipenuhi sesuai standar kecukupan
(2.250 kkal/hari/orang), maka kebutuhan impor akan
mencapai 6,3 juta ton, yang berarti 50 persen
kebutuhan beras dipenuhi dari impor. Lantas, apabila
kemampuan untuk memproduksi lemah dan devisa ataupun
utang luar negeri untuk mengimpor tidak ada, maka
rata-rata konsumsi energi per kapita akan menjadi
1.547 kkal/hari. Pada tingkat konsumsi energi seperti
itu, orang tidak dapat hidup sehat, apalagi produktif.


Kondisi tersebut menurut Bung Karno akan menyebabkan
"rakyat kelaparan, kocar-kacir dan menyedihkan secara
permanen kuadrat". Dalam kalimat yang sangat tegas
Bung Karno menyatakan ".... bahwa kita sekarang ini
menghadapi hari kemudian yang amat ngeri, bahkan suatu
todongan pistol 'mau hidup atau mau mati'...". 

Kondisi ancaman "todongan pistol" tersebut ternyata
sampai saat ini masih relevan untuk tetap diwaspadai.
Walaupun dalam 50 tahun produksi padi dapat
ditingkatkan 5,9 kali lipat, (dari 5,5 juta ton tahun
1952 menjadi 32,5 tahun 2002), tetapi dengan
pertumbuhan penduduk yang tinggi (dari 75 juta menjadi
212 juta jiwa) dan peningkatan konsumsi beras per
kapita per tahun yang besar (dari 86 kg menjadi 142
kg), maka Indonesia masih harus mengimpor beras
sekitar satu juta ton, suatu jumlah yang relatif kecil
dibandingkan dengan total kebutuhan. Sebagai
perbandingan, satu juta ton beras impor tahun 2002
hanya sekitar tiga persen dari produksi domestik,
sementara 50 tahun lalu jumlah itu setara dengan 15
persen. Fakta ini dapat dinilai sebagai prestasi dari
para petani kita. 

Namun demikian, ancaman "todongan pistol" kerawanan
pangan tersebut pada waktu yang akan datang masih
tetap relevan apabila: (1) tingkat pertumbuhan
penduduk tidak dapat diturunkan (saat ini 1,49
%/tahun), (2) kapasitas produksi pangan nasional tidak
dapat dipelihara atau dipertahankan, antara lain
karena konversi lahan yang tidak terkendali, dan (3)
tingkat konsumsi beras/kapita tidak dapat diturunkan. 

Peningkatan 

Menghadapi persoalan pemenuhan kebutuhan pangan
rakyatnya, dalam pidato tersebut Presiden Sukarno
menguraikan upaya-upaya yang perlu dilakukan, yang
ternyata masih sangat relevan hingga saat ini. Pada
saat itu, Bung Karno mengatakan bahwa untuk
meningkatkan produksi beras, upaya yang dapat
dilakukan antara lain memperluas daerah pertanian di
luar Jawa, mengintensivir (intensifikasi) usaha
pertanian melalui pemupukan, seleksi benih unggul, dan
memanfaatkan lahan kering dan ladang, dengan
pengembangan perhewanan ternak (integrasi tanaman
dengan ternak) dan mekanisasi. 

Menyadari pentingnya pemenuhan pangan bagi seluruh
penduduk, setiap pemerintahan sesudah era Sukarno
tetap mempunyai perhatian penuh pada upaya-upaya
peningkatan produksi pangan yang berbasis pada
kekayaan sumber daya domestik. Pada era Presiden
Soeharto, kita mengenal berbagai program intensifikasi
pertanian yang dikemas dalam gerakan bimbingan massal
(Bimas). Pada saat ini, Presiden Megawati
Soekarnoputri membentuk Dewan Ketahanan Pangan sebagai
forum koordinasi perumusan kebijakan dan evaluasi
pemantapan ketahanan pangan; yang mencakup
ketersediaan, distribusi, dan konsumsi pangan; serta
aspek mutu dan keamanan pangan. 

Dengan berlandaskan pada Keputusan Presiden No. 132
Tahun 2001, tentang Pembentukan Dewan Ketahanan
Pangan, saat ini sudah 29 provinsi dan lebih dari 200
kabupaten/kota membentuk Dewan Ketahanan Pangan
Daerah. 

Kembali pada upaya memantapkan ketahanan pangan untuk
menghindari kondisi di bawah "todongan pistol mau
hidup atau mati", secara umum ada dua kelompok besar
upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah, bersama
masyarakat. 

Pertama, peningkatan pasokan (produksi) dan penurunan
permintaan (konsumsi) pangan. Peningkatan produksi
pangan dapat dilakukan melalui: ekstensifikasi atau
perluasan areal tanam, dengan arah pengembangan di
Luar Jawa; rehabilitasi sarana irigasi yang saat ini
kondisinya sudah sekitar 40 persen rusak; dan
peningkatan indeks pertanaman melalui efisiensi
pemanfaatan air. 

Selain itu, peningkatan produksi pangan juga dapat
dilakukan melalui peningkatan produktivitas atau
intensifikasi seperti penggunaan benih unggul,
pemupukan berimbang, pengendalian hama terpadu, dan
efisiensi pemanfaatan air. Kegiatan lain yang juga
dapat menyumbang pada penyediaan pasokan dari domestik
adalah pengurangan kehilangan hasil saat panen dan
pascapanen melalui introduksi alat mesin pertanian,
termasuk teknologi penggilingan padi. 

Kedua, adalah diversifikasi pangan, baik dari sisi
produksi maupun konsumsi. Diversifikasi produksi
dilakukan melalui (a) pengembangan pangan karbohidrat
khas Nusantara spesifik lokasi seperti sukun, talas,
garut, sagu, jagung dan lain-lain, (b) pengembangan
produk (product development) melalui peran industri
pengolahan untuk meningkatkan cita rasa dan citra
produk pangan khas nusantara (image product) dan (c)
peningkatan produksi dan ketersediaan sumber pangan
protein (ikan, ternak) dan zat gizi mikro
(hortikultura). 

Diversifikasi konsumsi pangan terkait dengan upaya
mengubah selera dan kebiasaan makan. Karena itu, pokok
kegiatan ini berupa peningkatan pengetahuan,
sosialisasi, dan promosi mengenai pola pangan beragam,
bergizi, berimbang. Pendekatan pengembangan
diversifikasi konsumsi pangan jangan diidentikkan
dengan ke-giatan pengentasan kemiskinan, tetapi
merupakan upaya perbaikan konsumsi gizi dan kesehatan.


Dengan mengonsumsi pangan yang lebih beragam, bergizi,
dan dengan kandungan nutrisi yang berimbang, maka
kualitas kesehatan akan semakin baik. Hasil ikutannya
adalah, konsumsi beras per kapita diharapkan menurun.
Hasil ikutan ini sama pentingnya dengan pencapaian
tujuan utamanya tadi. 

Apabila upaya-upaya tersebut di atas berhasil
dilakukan maka: (a) produksi padi dan pangan sumber
karbohidrat lain serta protein dan zat gizi mikro akan
semakin meningkat, (b) konsumsi beras per kapita akan
menurun, dan (c) kualitas konsumsi pangan masyarakat
akan semakin beragam, bergizi dan berimbang. 

Dengan demikian pada akhirnya ketahanan pangan
masyarakat Indonesia akan semakin mantap, kita
terlepas dari "todongan pistol" permasalahan pangan.
Selain itu, negara ini akan didukung oleh manusia
sehat dan produktif, sehingga mampu berkiprah sejajar
dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain. u 

Penulis pertama adalah Sekretaris Dewan Ketahanan
Pangan, dan penulis kedua, Peneliti Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com