[Nusantara] Kesia-siaan Mimpi Negara Teokrasi

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Dec 12 10:24:01 2002


Kesia-siaan Mimpi Negara Teokrasi 

Oleh Victor Silaen 

Mimpi merupakan sesuatu yang teramat penting dimiliki
oleh setiap orang, baik secara individual maupun
kolektif, di dalam kehidupan ini. Dengan adanya mimpi,
yang dalam konteks ini disamakan dengan cita-cita atau
visi, niscaya seseorang atau sekelompok orang menjadi
lebih terencana, terarah, dan bersemangat dalam
menjalani kehidupannya. Sebab, ada sesuatu yang
teramat penting yang hendak dicapai atau diwujudkannya
kelak. Tak heran, kalau bagi orang atau kelompok orang
yang bermimpi itu, energi untuk berjuang seolah tak
pernah habis meski telah kerap menghadapi rintangan.
Sekaitan itu, Amerika Serikat (AS) adalah contoh
bangsa di dunia ini yang telah menyadari betul arti
dan pentingnya sebuah mimpi. Sampai-sampai, pada
Olimpiade 1996 di Atlanta, AS menetapkan lagu ”The
Power of Dream” sebagai theme song pesta akbar
olahraga sedunia itu. Padahal, untaian kata dalam lagu
itu sebenarnya tak mengetengahkan hal-hal yang berkait
langsung dengan olahraga. Cermati saja petikan
syairnya berikut ini: /The world unites in hope and
peace/ Pray that it always will be/ It is the power
the dream that bring us here/. 

Bandingkan, misalnya, dengan Kejuaraan Sepakbola Dunia
di Italia tahun 1990, yang menjadikan lagu ”To Be
Number One” sebagai theme song-nya. Tapi, itulah
uniknya AS sebagai bangsa pemimpi. Bahkan sejak dulu,
sebelum terbentuk menjadi bangsa baru pada 1776, mimpi
menjadi teladan bagi bangsa-bangsa di dunia telah
tertanam di dalam diri the founding fathers mereka.
Hal ini tercermin, misalnya, dalam sebuah keyakinan
kukuh yang dibawa oleh kaum Puritan asal Inggris ke
benua baru tersebut pada awal abad ke-17. Mereka
merasa diri sebagai umat pilihan Tuhan (God’s chosen
people) yang dipanggil untuk mendiami sebuah tanah
impian yang telah dijanjikan Tuhan (God’s promised
land). Karena itulah, dengan semangat membara mereka
datang ke Amerika membawa sebuah misi ilahi (divine
mission) untuk mendirikan ”sebuah kota di atas bukit”
yang akan menerangi kegelapan hidup bangsa-bangsa
lain. ”We shall be as a City Upon a Hill, the eyes of
all people are upon us,” demikian inti khotbah John
Winthrop, salah seorang pemimpin kaum Puritan yang
kemudian menjadi gubernur pertama di Massachusetts
(Bercovitch, 1978). 

Selanjutnya, wilayah Amerika pun dipandang sebagai
negeri harapan oleh gelombang demi gelombang imigran
baru (umumnya dari Eropa). Harapan mereka, antara
lain, adalah mewujudkan kebebasan beragama dan mencari
kehidupan yang lebih sejahtera. Memang, pada mulanya
Amerika tak mampu memuaskan harapan itu, karena
kenyataannya wilayah baru ini masih merupakan
hutan-rimba yang liar dan ganas. Namun, dalam jangka
waktu yang relatif singkat, kaum pendatang itu
berhasil mengubah wajah suram Amerika menjadi sebuah
negeri yang indah dan subur. Etika kerja Puritan (the
Puritan Ethic atau kelak disebut the Protestant Ethic)
yang mereka hayati dalam upaya menaklukkan dan
menguasai the wilderness itu kelak memberikan dasar
bagi tumbuhnya kemandirian dan optimisme yang besar di
dalam kehidupan mereka (Ziff, 1974). Tapi, di awal
kehidupan mereka itu, sebenarnya ada sebuah mimpi yang
gagal total untuk diwujudkan. Yakni, hasrat membangun
negara teokrasi di tengah masyarakat yang kian lama
kian majemuk. Kristokrasi versi Puritanisme yang
hendak dipaksakan itu justru menjadi pangkal penyebab
perpecahan di antara mereka sendiri. Hal itu
sebenarnya mudah dipahami. Sebab, kelompok demi
kelompok imigran baru sesudah kaum Puritan asal
Inggris itu justru datang ke Amerika untuk mencari
kebebasan. Jadi, bagaimana mungkin keseragaman suatu
agama (baik ajaran, syariat, dan lainnya) hendak
dipaksakan kepada mereka? 

Singkat kata, menyadari kemustahilan mimpi tersebut,
kaum Puritan pun segera berubah pikiran dengan
menerima keanekaragaman sebagai hal yang niscaya di
dalam kehidupan mereka. Itulah yang menjadi dasar kuat
bagi berkembangnya Amerika kelak sebagai negara-bangsa
demokratis pertama di dunia. Ketika negara-negara lain
saat itu masih berbentuk kerajaan yang feodalistik,
Amerika sudah berbentuk republik yang deklarasi
kemerdekaannya menyebutkan dengan jelas perihal
”kontrak sosial” antara rakyat dan pemerintahnya.
Ketika negara-negara lain saat itu masih menyatukan
pengelolaan urusan gereja dan pemerintahan, Amerika
sudah memisahkannya sebagai dua institusi yang
masing-masing setara. Ditambah pencantuman ketiga hak
asasi mendasar (hak atas kehidupan, hak untuk mengejar
kebahagiaan, dan hak atas kebebasan beragama) dan
pengakuan atas kesetaraan semua orang di dalam
deklarasi kemerdekaan mereka, maka jadilah Amerika
sebagai kampiun demokrasi di dunia ini. Karena,
merekalah yang pertama menjadi negara-bangsa yang
demokratis. Itulah alasannya, dan bukan karena
demokrasi mereka yang paling baik dan sempurna. 

Meskipun sebuah mimpi penting telah gagal total, tapi
bagi AS, hidup harus terus bermimpi. Dan dalam
kenyataannya, mereka memang berhasil menjadi
negara-bangsa yang besar dan makmur, yang seiring
waktu makin luas wilayahnya dan makin banyak
penduduknya. Hal inilah kelak yang menumbuhkan
perasaan supremasi, sebagai bangsa unggul di antara
bangsa-bangsa lainnya. Dikarenakan hal itulah, maka
misi ilahi yang sejak awal telah tertanam di dalam
diri mereka terus bertahan dari waktu ke waktu, meski
esensinya yang semula religius (Kristokrasi) telah
berubah menjadi sekuler (demokrasi). Kelak, di bawah
kepemimpinan Woodrow Wilson (1913-1921), AS
mengungkapkan mimpi besarnya untuk menjadikan seluruh
dunia ini ”save for democracy” (Green, 1970). Lalu,
apa yang dapat disimpulkan dari pengalaman AS itu?
Mimpi mendirikan negara teokrasi di tengah masyarakat
yang majemuk agaknya merupakan sesuatu yang teramat
sulit diwujudkan. Mimpi itu sendiri sebenarnya sah-sah
saja. Tapi, ia niscaya mengundang banyak penolakan
disebabkan adanya kemajemukan itu. Jikapun dipaksakan,
maka sebagai konsekuensi logisnya, penolakan itu akan
berkembang menjadi perlawanan. Pengalaman yang hampir
sama pernah terjadi di Indonesia, di masa revolusi
melawan penjajah Belanda. Adalah Kartosuwirjo, yang
selama 13 tahun berjuang untuk mendirikan Negara Islam
Indonesia (NII) demi terciptanya Darul Islam
(DI)—sebuah dunia baru masyarakat Islam, di mana kaum
muslimin dan muslimat dapat menjalankan hukum Islam
secara menyeluruh. 

Mulanya, Sekretaris Umum Partai Sarekat Islam Hindia
Timoer di Batavia ini ingin mendirikan NII secara
legal, baik dengan persetujuan pemerintah di
Yogyakarta ataupun karena kejatuhan Pemerintah RI
(Dengel, 1995). Karena itulah, pada 1948, ia meminta
agar Panglima Sudirman mengangkatnya menjadi
”panglima” atas rakyat dan semua jajaran TNI di Jawa
Barat. Selain itu, ia juga meminta sebuah daerah
percobaan untuk Negara Islam yang akan didirikannya.
Tapi, Sudirman menolaknya. 

Pada 10 Februari 1948, 160 wakil organisasi Islam
berkumpul di Cisayong, Jawa Barat, untuk mengadakan
konferensi. Saat itu Kartosuwirjo hadir sebagai wakil
Pengurus Besar Masjumi untuk Jawa Barat. Dalam
konferensi tersebut, Masjumi dan semua cabang
organisasinya diubah menjadi Madjlis Islam Pusat
(MIP), yang dipimpin Kartosuwirjo sebagai Imam, dan
yang merupakan sebuah pemerintahan Islam di daerah
tersebut. Keputusan penting lainnya adalah pembentukan
Tentara Islam Indonesia (TII) yang telah lama
direncanakan, sebagai gabungan Sabilillah, Hizbullah,
dan organisasi Islam lainnya. Namun, Kartosuwirjo tak
memberitahukan teman-temannya di Yogyakarta tentang
perubahan MIP menjadi Dewan Imamah yang dipimpinnya
itu. Bahkan, pada 6 Juli 1948, ia mengirim pesan
rahasia kepada Kamran (komandan teritorial Sabilillah)
atas nama Pemerintah Negara Islam Indonesia (PNII)
yang ditandatanganinya sendiri sebagai Imam. 

Pada 25 Agustus 1948, keluarlah maklumat pertama PNII
yang memerintahkan mobilisasi dan militerisasi total
dari rakyat. Dua hari kemudian, selesailah penyusunan
Kanun Azasi sebagai konstitusi NII. Dalam maklumat
berikutnya, Kartosuwirjo menyatakan tak mungkin lagi
dapat menyelesaikan masalah dengan Belanda secara
damai. Karena itu, rakyat harus disiapkan untuk
menghadapi perang total. Ketika pecah Agresi Militer
yang menyebabkan tertangkapnya Presiden Soekarno dan
Wakil Presiden Hatta oleh Belanda, Kartosuwirjo segera
mempermaklumkan ”perang suci semesta” demi dapat
mendirikan NII. Ia menyerukan pentingnya satu kesatuan
komando untuk menghindarkan politik devide et impera
di masa mendatang. Ia juga menyatakan kesanggupannya
memegang kesatuan komando itu sebagai pimpinan NII. Ia
berharap NII akhirnya dapat dilegalisir tanpa perlu
proklamasi. Itulah awal bagi terjadinya kerusuhan
panjang yang melibatkan DI/TII, rakyat, dan TNI, yang
kelak mengakibatkan kerugian besar dan kerusakan berat
dalam pembangunan daerah Jawa Barat. Menurut laporan
resmi, jumlah korban yang terbunuh, luka parah, dan
terculik mencapai 22.895 jiwa. Sedangkan jumlah
kerugian materiil saat itu diperkirakan 650 juta
rupiah. 

Selanjutnya, pertengahan 1960, dimulailah penumpasan
dan pengisolasian gerakan DI/TII di Kabupaten Lebak
(termasuk Korem Banten) melalui pelaksanaan konsep
Perang Wilayah yang dipimpin Pangdam Siliwangi Ibrahim
Adjie. Dalam keadaan terdesak, pada 11 Juni 1961,
pihak DI mengeluarkan Perintah Perang Semesta. Banyak
yang menyerah, tak sedikit pula yang mati. Namun,
Kartosuwirjo tetap bertahan. Meski sakit parah, ia
masih sempat memerintahkan membunuh Presiden Soekarno
ketika sedang mengikuti salat Idul Adha di halaman
Istana Negara, tahun 1962. Akhirnya, Kartosuwirjo
tertangkap. Di depan Sidang Mahkamah Angkatan Darat,
16 Agustus 1962, ia dituntut hukuman mati karena
didakwa bersalah atas kegiatan makar untuk merobohkan
Negara RI dan dan makar untuk membunuh Kepala Negara.
Pada 5 September 1962, Kartosuwirjo menemui ajalnya di
hadapan regu penembak dari keempat angkatan. 

Holk H. Dengel, penulis Darul Islam dan Kartosuwirjo,
Angan-angan yang Gagal (1995), menyimpulkan bahwa di
satu sisi sebenarnya Islam berhasil menjadi kekuatan
nasional. Namun, di sisi lain, ia gagal menjadi simbol
politik dan faktor pemersatu rakyat Indonesia.
Kalaupun DI/TII mampu bertahan selama 13 tahun, hal
itu dikarenakan ketaatan dan kesetiaan (dengan sumpah)
para anggota gerakan terhadap Kartosuwirjo sebagai
Imam dan Panglima Tertinggi. Uraian tentang kegagalan
pengalaman dua kelompok religius untuk mendirikan
negara teokrasi itu menjadi landasan penulis untuk
menyimpulkan bahwa mimpi negara teokrasi di tengah
masyarakat majemuk merupakan kesia-siaan belaka.
Apalagi dewasa ini, di tengah kehidupan modern yang
kian kompleks dan mengedepankan individualitas. Jadi,
baik mimpi membangun Negara Islam Nusantara (yang
mencakup sebagian besar wilayah Asia Tenggara bahkan
sampai selatan Australia) maupun Negara Kristen Raya
(kalau benar mimpi ini ada, seperti disebut Fauzan
Al-Anshari, Ketua Departemen Data dan Informasi
Majelis Mujahiddin, dalam artikelnya di Kompas
9-11-2002) yang meliputi Singapura, Taiwan, Hongkong,
Macao, Sabah-Serawak-Perlis-Penang-Selangor-Perak,
Maluku, Timor Timur, dan Sulawesi Utara, selayaknya
dipikir ulang beribu kali oleh kedua kelompok yang
bersangkutan. 

Penulis adalah dosen Fisipol UKI, Jakarta. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com