[Nusantara] Kontroversi Soal Bisnis Militer

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Dec 19 08:36:34 2002


Kontroversi Soal Bisnis Militer 

Oleh Moh Samsul Arifin 

Penelitian mutakhir Indonesia Corruption Watch (ICW)
dan Yayasan Penguatan Partisipasi dan Kemitraan
Masyarakat Indonesia (Yappika) bekerja sama dengan
National Democratic Institute (NDI) menghasilkan
kesimpulan yang mengejutkan ihwal bisnis militer.
Berdasarkan penelitian terhadap unit usaha
yayasan-yayasan di bawah naungan TNI (tiga angkatan,
AD, AL, dan AU) disimpulkan, pendapatan yang diperoleh
mereka tidak mampu menutup kekurangan anggaran
pertahanan, karena keuntungannya tidak signifikan. 

Dalam kurun waktu empat tahun terakhir tercatat
kontribusi unit usaha di bawah Yayasan Kartika Eka
Paksi (YKEP) berkisar Rp 142,331 miliar. (Kompas,
26/11). Jumlah ini berarti hanya 1,2 persen dibanding
dengan anggaran militer dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang mencapai sekitar Rp 12
triliun. Padahal YKEP yang berada di bawah kendali TNI
AD, sejak Orde Baru merupakan ladang yang subur bagi
militer untuk memburu rente ekonomi. 

Kondisi setali tiga uang dialami beberapa "sekoci
bisnis" unit-unit usaha yang dikelola TNI AL.
Dikhabarkan tak kurang 13 dari 29 unit usaha Yayasan
Bhumyamca, salah satu yayasan yang dimiliki Angkatan
Laut, bakal ditutup. Sisanya akan segera disusulkan.
Bayangkan saja, sebuah usaha (Yala Ghitatama) yang
dibangun dengan modal Rp 200 juta hanya sanggup meraih
untung Rp 6,4 juta. "(Ini) cuma bisa buat beli permen
karet. Buat bayar gaji pegawai saja enggak cukup,"
ujar Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana
Bernhard Kent Sondakh. (Tempo, 17 November 2002). 

Adalah sesuatu yang tak terbantah bahwa keterlibatan
militer (individu atau institusi) dalam dunia bisnis
di negeri kita telah menyejarah. Di lain pihak, kita
tidak menyaksikan adanya rambu-rambu yang secara tegas
mengatur keterlibatan militer dalam bisnis serta apa
itu bisnis militer. Oleh karena itu, tak heran, jika
segalanya masih tampak remang-remang. 

Namun demikian, apabila kita menelisik arus opini
ihwal militer dan keterlibatan militer dan keterkaitan
dengan bisnis, setidaknya ada tiga pendapat yang
menyeruak. Pertama, bisnis militer terus berlangsung
karena pemerintah tak kunjung berhasil menyediakan
biaya operasional TNI. Disebut-sebut dana yang
disediakan pemerintah cuma 30 persen dari total yang
dibutuhkan TNI. Mantan Menteri Pertahanan Juwono
Sudarsono merupakan tokoh yang kerap melansir pendapat
ini. 

Kedua, bisnis militer yang dimanifestasikan oleh
yayasan-yayasan di ketiga angkatan layak diteruskan
mengingat kontribusinya dalam meningkatkan
kesejahteraan prajurit TNI. Pendapat ini dianut oleh
kalangan dalam militer sendiri, termasuk Panglima TNI
Jenderal Endriartono Sutarto. 

Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa keterlibatan
militer (secara institusional dan individual) dalam
bisnis tidak punya keabsahan sama sekali. Kalangan ini
meminta diberlakukan supremasi sipil atas militer,
karena itu mereka menuntut militer kembali ke barak.
Bagi mereka keterlibatan militer dalam bisnis hanya
akan memperkuat intervensi militer dalam politik
nasional. 

Pada kenyataannya, tuntutan tersebut tak lagi memadai
ketika UU Yayasan diundangkan oleh pemerintah beberapa
waktu lalu. Alih-alih mengatur bisnis militer, UU
Yayasan justru memberikan landasan hukum bagi
keterlibatan militer dalam bisnis. Tentara yang
dilarang berbisnis melalui PP Nomor 6 Tahun 1974
justru diizinkan berbisnis melalui yayasan dengan
ketentuan maksimal penyertaan 25 persen dari total
kekayaan yayasan. 

Perbedaan pendapat ihwal pengaturan militer serta
keterlibatan mereka di panggung bisnis tentu saja tak
boleh dibiarkan begitu saja. Dibutuhkan konsensus
minimal di antara politisi sipil dan para jenderal
(militer) untuk mengaturnya. Artinya, secara normatif
(teoritis) harus disepakati dalam kredo dan
nilai-nilai apa keterlibatan militer dalam bisnis
masih dapat ditoleransi. Jika militer mesti di bawah
supremasi sipil, kaum politisi di parlemen (DPR) perlu
membuat instrumen legal yang mengatur bisnis militer. 

Kenapa? Pasalnya, merujuk pengalaman di sejumlah
negara, aktivitas bisnis militer masih dapat
ditoleransi asalkan dilakukan dalam kondisi
"transisional". 

Kondisi transisional adalah kondisi di mana
keterlibatan militer dalam tugas non-tradisional
(non-tempur) dibutuhkan bangsa ini, karena diduga
kalau militer tidak turun, mudharatnya jauh lebih
besar bagi kehidupan bangsa dan negara. Persoalannya
adalah apakah sekarang ini tergolong kondisi
"transisional" atau tidak. Sementara, demokrasi
menghendaki misi non-tempur harus dikurangi pada
tingkat yang minimal, kalau perlu ditiadakan sama
sekali. 

Seperti dikemukakan pengamat militer AS, Louis W
Goodman (1995), militer diperbolehkan mengurus bisnis
asal tidak menerabas tiga pantangan. Pertama,
keterlibatan militer (dalam bisnis) menghalangi
kelompok lain untuk mengambil peran dalam persoalan
tersebut, sehingga menghambat organisasi sipil untuk
mengembangkan kemampuan kritisnya dan menghambat
perluasan peran sipil dalam masyarakat. 

Kedua, pihak militer mendapat privilese tambahan
sehubungan peran non-tempur (bisnis) tersebut,
sehingga membuat enggan mereka untuk melepaskannya. 

Ketiga, angkatan bersenjata terlibat terlampau jeluk
(deep) dalam misi non-tempur itu, sehingga mengabaikan
misi utamanya, yakni pertahanan. 

Sejauh ini, merujuk track record militer dalam bisnis,
khususnya di era Orde Baru, tiga 'grendel' itu tidak
dihiraukan TNI. Bahkan ada kesan kuat, muncul
resistensi dari kalangan militer, terutama yang
menikmati manisnya bermain bisnis dengan di-back up
kekuasaan (power) warisan Orde Baru. 

Seperti diketahui, semasa Orde Baru intensitas
keterlibatan militer dalam bisnis disokong oleh
kekuasaan. Maklumlah, seperti dikonfirmasi oleh Studi
Cholisin (2002), pola hubungan antara politik dan
ekonomi di Indonesia saat itu cenderung mengarah pada
politisisme: Siapa yang punya power (politik), dia
akan mudah memperoleh akses ekonomi. 

Setelah empat tahun reformasi, ada kesan kuat bisnis
militer terus melaju. Dalam pada itu, sejumlah
kesulitan mengemuka dalam proses pemisahan militer
dari bisnis. Kondisi yang sudah kusut-masai itu tentu
saja membutuhkan kearifan untuk memecahkannya. 

Argumentasi di kalangan militer diwakili Panglima TNI
bahwa institusinya terpaksa menjalankan aktivitas
bisnis pada satu sisi mungkin dapat dibenarkan. Hanya
saja, apakah hal itu sudah disertai sebuah konsensus
antara pihak sipil dan militer. Apabila seluruh biaya
operasional militer mesti disediakan pihak sipil
(pemerintah), seperti yang dituntut militer, apakah
itu sesuai dengan kondisi keuangan pemerintah.
Demikian pula, kalau masalah penyediaan biaya
operasional bersifat patungan, berapa persentase dana
yang mesti dianggarkan pihak sipil sehingga militer
tak perlu berbisnis lagi. 

Sebelum membangun konsensus dengan kalangan sipil,
tidakkah olengnya "kapal bisnis" Angkatan Darat serta
"sekoci bisnis" Angkatan Laut seperti diungkap ICW dan
Tempo diatas mengingatkan kalangan militer bahwa
mereka sebaiknya angkat kaki dari dunia yang memang
tak dikuasai mereka itu? Bagaimana mungkin, meminjam
kalimat KSAL, "Orang yang sekolah nembak disuruh
ngurusi bisnis"? *** 

(Penulis adalah pengkaji sosial-politik Center of
Bureaucracy Studies - CBS, Jakarta). 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com