[Nusantara] NAD, GAM, dan Politik Lokal

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Dec 19 08:36:46 2002


NAD, GAM, dan Politik Lokal 

Indra J. Piliang 

Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS,
Jakarta 

“Hampir semua cucu Homeros sedikit banyaknya adalah
buta, menurut caranya sendiri; - mereka melihat apa
yang tidak kita lihat; pandangan mereka menembus lebih
tinggi dan lebih dalam dari penglihatan kita. Tapi
mereka tidak pandai melihat jalan sederhana lurus di
depan mereka dan mereka bisa jatuh dan luka kepalanya
tersandung pada batu kerikil sekalipun, jika mereka
tidak dibantu berjalan dalam jurang prosa di mana
berada kehidupan.” (Surat Henry de Pene dalam lampiran
Multatuli, “Max Havelar”). 

Todung Mulya Lubis menggagas perlunya adanya pemilu
(pemilihan umum) lokal agar GAM (Gerakan Aceh Merdeka)
dapat menjadi partai politik (parpol) lokal untuk
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) (Koran Tempo,
12/12). Gagasan ini telah dikembangkan berbagai
kalangan analis dan akademisi politik selama dua tahun
ini. Walau berbeda dengan mainstream di DPR, usaha
agar parpol lokal terbentuk tetap terbuka. Ia menjadi
pilihan reposisi sistem politik sentralistis menjadi
desantralistis. 

Kalangan parpol menganggap gagasan ini sebagai
masalah, ketimbang solusi. Chatibul Umam Wiranu (PKB)
menyebut sejumlah konsekuensi, berhubung UU Parpol
terlanjur selesai (Pembaruan, 11/12). Dadang Hamdani
(Fraksi PDIP DPRD Jakarta), mengatakan sadar atau
tidak sadar, pemilihan kepala daerah secara langsung
dapat dikategorikan sebagai tindakan coupe d'etats
terhadap konstitusi negara (hukumonline.com, 01/04). 

Sikap serupa diambil Mendagri Hari Sabarno, karena
yang ada hanya pemilu nasional dan parpol nasional
(Kompas, 12/12). Padahal dalam rencana revisi UU No.
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, gagasan ini
diajukan mengingat pemilihan presiden/wakil presiden
secara langsung oleh rakyat dimuat dalam UUD 1945.
“Jadi, kenapa kepala daerah dipilih tidak secara
langsung," tambahnya (Media Indonesia, 12/12). Sabarno
lupa bahwa apabila gagasan ini diterima, ia akan
dilaksanakan di tingkat lokal/daerah, dalam pemilu
lokal. 

Gagasan ini bukan baru sama sekali. UU NAD (UU. No.
18/2001) dan DKI Jakarta (UU No. 34/1999), misalnya,
berbeda dengan UU No. 22/1999. Pasal 12 dan 15 UU NAD
berbunyi bahwa gubernur, walikota dan bupati NAD
dipilih secara langsung sekali dalam lima tahun. UU
DKI menyebut pembentukan Dewan Kota, Dewan Kabupaten
dan Dewan Kelurahan yang dipilih secara berjenjang,
karena DKI tak punya DPRD II. 

Dalam hukum positif Indonesia, pemilihan langsung
dilakukan terhadap anggota Badan Perwakilan Desa
(BPD), Kepala Desa/Lurah atau nama khusus lainnya
seperti Wali Nagari (sesuai UU No. 22/1999), dan Dewan
Kelurahan (Jakarta), Gubernur-Bupati-Walikota (NAD),
Majelis Rakyat Papua (Papua), DPD dan Presiden.
Pemilihan sejumlah jabatan itu dilakukan lewat pemilu
lokal, kecuali DPD dan Presiden. 

Robert A. Dahl menyebutnya sebagai dilema demokrasi
pluralis, yakni antara otonomi dan kontrol.
“Pemerintahan demokratis tidak akan bisa bertahan di
negara yang para warga negaranya tidak mempunyai suatu
unsur pemersatu tertentu, selain loyalitas
primordialisme mereka,” tulis Dahl. Minimal, menurut
Dahl, terdapat enam dilema dalam model demokrasi
pluralis: (1) Hak versus utilitas; (2) Masyarakat yang
lebih inklusif versus masyarakat yang lebih eksklusif;
(3) Persamaan antar individu versus persamaan antar
organisasi; (4) Persamaan versus perbedaan; (5)
Sentralisasi versus desentralisasi; dan (6)
Konsentrasi versus disparitas kekuasaan dan
sumber-sumber konflik. 

Dilema-dilema itu juga dihadapi Indonesia. Kalau tak
disalurkan, ia bisa jadi magma perpecahan di
masyarakat akibat sistem politik tidak mampu
menampungnya. Ibarat lava yang mengalir dari ledakan
gunung berapi, apabila tidak ada kanal-kanal kokoh,
akan membawa kerusakan skala luas. Sengaja atau tidak,
pemerintah bersama DPR telah menunjukkan kanal-kanal
politik itu, antara lain dengan menerapkan syari’at
Islam di NAD bagi kaum muslimin. Begitu pula sejumlah
kekhasan dalam UU Papua (No. 21/2001). 

Bukan terobosan politik baru kalau di NAD dibolehkan
adanya pemilu lokal dan parpol lokal. Caranya melalui:
Pertama, merevisi UU Parpol yang kini menunggu
tanda-tangan Presiden Megawati atau memasukkannya
dalam pasal-pasal UU Pemilu yang kini sedang dibahas.
Agar tak ditemukan lagi kendala perbenturan antar
paket UU politik itu, seyogyanya penandatanganan UU
Parpol yang sudah disepakati itu dilakukan setelah
selesainya UU tentang Pemilu, pemilihan presiden, dan
susunan dan kedudukan kelembagaan politik lainnya. 

Kedua, merevisi UU No. 18/2001, khususnya
syarat-syarat pemilihan badan eksekutif dan badan
legislatif di NAD. Karena kedudukan sesama UU sejajar
dan tidak saling mengalahkan, memasukkan pasal-pasal
tentang pemilu lokal dan parpol lokal adalah tindakan
konstitusional yang sah selama tidak bertentangan
dengan UUD. 

Jalur lain nyaris mustahil, yaitu GAM menggabungkan
diri dengan parpol nasional yang sudah terbentuk,
terutama yang mendapatkan kursi di NAD. Hal ini tentu
merugikan bargaining position pihak GAM yang sudah
bersedia menandatangani kesepakatan penghentian
permusuhan dengan pemerintah RI. Apalagi naskah
Cessation of Hostilities itu menyebut bahwa dalam
rangka memberi kesempatan rakyat Aceh guna menentukan
nasibnya sendiri secara bebas dan demokratis,
Pemerintah Indonesia dan GAM sepakat untuk memulai
suatu proses yang menuju pada Pemilu pada 2004, dan
disusul dengan pembentukan pemerintahan hasil pemilu
yang demokratis di Aceh, sesuai dengan hasil kaji
ulang atas UU NAD. Namun menurut juru bicara GAM,
Syofyan Dawood, GAM tidak akan menjadi parpol, karena
parpol tidak berhak memegang senjata (detik.com,
12/12). Nyatanya Cessation of Hostilities itu masih
penuh interpretasi dan perlu penjabaran teknis. 

Ketiga, parpol lokal dibentuk rakyat Aceh yang tak
ingin bergabung dengan kekuatan politik status quo.
Selama ini DPR kurang kritis atas pelanggaran HAM di
NAD yang dilakukan GAM atau TNI/Polri. Dalam bahasa
Dr. Edward Aspinal, parlemen Indonesia dikenal sebagai
“a bastion of nationalist sentiment” (Canberra Times,
11/12), sesuatu yang kadang menjadi sandungan bagi
sejumlah upaya negosiasi dengan kepentingan lokal. 

Cara-cara lain sesungguhnya tersedia, termuat dalam
berbagai literatur juga pengalaman bangsa dan negara
lain. Sampai kini, Perdana Menteri Kanada selalu
berasal dari Provinsi Quebec yang hendak memisahkan
diri. Demi rekonsiliasi dengan masa lalu yang buram,
upaya meninjau ulang UU bukanlah pekerjaan mustahil.
Tinggal komitmen parpol yang kini berkuasa untuk
menampung aspirasi ini sebagai usaha menebus
kekeliruan politik masa lalu. Jangan sampai
pemboikotan pemilu 1999 oleh GAM terulang pada Pemilu
2004 hingga melemahkan legitimasi lembaga demokrasi. 

Upaya untuk mundur setapak, demi lompatan besar
rekonsiliasi nasional agaknya menjadi pilihan yang
paling rasional dengan menangkap peluang emas dan
momentum sejarah guna mengikat benang-benang komunitas
terbayang yang putus oleh perang. Seperti kutipan
dalam awal tulisan ini, masalah pemilu lokal dan
parpol lokal hanyalah kerikil kecil untuk kedamaian di
NAD. Apabila elite politik terus berpikiran
muluk-muluk tentang kesatuan nasional, kerikil ini
bisa jadi sandungan yang menjatuhkan. Jakarta @ 2002. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com