[Nusantara] Agama Ramah Vs Agama Marah

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Dec 24 03:12:08 2002


Agama Ramah Vs Agama Marah 

Oleh: Mohammad Nasih 

DI era millenium ketiga ini, agama ternyata masih
mampu bertahan dengan sangat kukuh. Bahkan beberapa
futurolog, di antaranya adalah pasangan suami-istri
John Naisbitt dan Patricia Aburden dalam buku best
seller Megatrends 2000, memprediksikan di era ini akan
terjadi kebangkitan agama-agama. 

Memang tidak mengherankan kalau agama tetap dianut
sebagian terbesar penghuni muka bumi ini, karena ia
masih dianggap sebagai sesuatu yang bisa melahirkan
sistem atau tata nilai yang akan membuat manusia
menjadi dinamis. Agama juga adalah sesuatu yang sesuai
dengan insting kemanusiaan yang tak lekang oleh waktu.
Bahkan beragama dikatakan oleh beberapa filosuf, di
antaranya Ibn Thufail sebagai bagian dari insting itu
sendiri. 

Ini diungkapkan dalam sebuah roman
filosofis-imajinatifnya, yang mengisahkan seorang
tokoh bernama Hay Bin Yaqdhan yang walaupun ia
terdampar di sebuah pulau terpencil yang tidak dihuni
manusia, tetapi karena insting fitrinya sebagai
manusia, ia akhirnya sadar bahwa ada sesuatu yang
menguasai alam raya ini. 

Ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai
spiritualitas. Dan spiritualitas adalah satu hal yang
sangat ditekankan oleh agama. Bahkan sebagian orang
menganggap agama adalah satu-satunya jalan untuk
memperoleh spiritualitas itu. Inilah, yang menyebabkan
agama tetap dianut oleh miliaran manusia. 

Agama menawarkan keselamatan, perdamaian dan jalan
untuk menuju kepada Tuhan. Tetapi pada saat yang sama
pula, agama menampakkan sisi lain yang ambigu, karena
di satu sisi ia menawarkan keselamatan, tetapi di sisi
lain, ia sering termanifestasikan dalam
konflik-konflik dalam masyarakat yang sangat
mengerikan. Dua sisi inilah yang penulis ungkapkan
dalam judul tulisan ini. 

Karl Marx pernah mengkritik agama adalah candu
masyarakat. Ini sangat kontras dengan harapan bahwa
agama akan membuat manusia (baca: masyarakat) menjadi
dinamis. Ungkapan ini membuat Marx sangat dibenci oleh
hampir semua pemeluk agama. Tetapi memang, kalau kita
mau jujur, ungkapan Marx ini tidak salah seratus
persen terutama kalau yang digunakan adalah kaca mata
sosiologis, karena secara sosiologis keadaan para
pemeluk agama pada waktu itu memang sangat
memprihatinkan. 

Kritik lebih keras lagi datang dari Sidney Hook,
seorang filsuf eksistensialis dari Amerika yang
mengatakan agama lebih berbahaya daripada candu,
karena candu hanya membuat orang jadi tertidur (fly),
tetapi agama membuat orang terlibat konflik dan bahkan
saling bunuh. Berdasarkan penelitian, hampir tak
pernah ada konflik dalam masyarakat yang agama tidak
terlibat di dalamnya. Kenyataan seperti ini kemudian
membuat sekelompok orang - terutama di Barat - menjadi
skeptis terhadap agama formal dan berusaha mencari
spiritualitas tanpanya. Salah satu jargon yang sangat
terkenal dari kelompok ini adalah Spiritually Yes;
Organized Religion No. Mereka tetap butuh dan ingin
meraih spiritualitas, tetapi tidak mau menggunakan
agama sebagai sarana memperolehnya karena agama sering
ternoda oleh pertentangan antarpemeluknya. 

Cara Memahami 

Hook juga menyoal pembelaan para pemeluk agama dalam
hal ini bukan agamanya yang salah, tetapi orangnya
yang memahami agama secara tidak benar. Karena
sesungguhnya tidak ada satu pun agama yang tidak
mengajarkan kebaikan. "Tetapi bagaimana agama bisa
disebut benar, kalau tidak bisa membuat pemeluknya
menjadi baik?" sanggahnya. 

Sebagai pemeluk agama yang baik, hendaknya kita tidak
perlu emosional menanggapi kritik-kritik tersebut,
walau yang lebih pedas sekali. Justru ini merupakan
tantangan bagi para penganut agama untuk melakukan
introspeksi dan evaluasi terhadap pemahaman keagamaan
yang selama ini berkembang dominan dan menjadi citra
agama itu sendiri. Agama seringkali kental dengan
nuansa - dan bahkan identik dengan - ekstremisme. 

Hal ini muncul karena hampir semua agama mempunyai
teks-teks normatif yang memberikan klaim kebenaran dan
klaim keselamatan. Sebagai contoh, dalam agama Kristen
terdapat: extra eclesiam nulla salus, di luar gereja
tidak ada keselamatan. Dalam Islam ada: Inna al-diina
'ind Allah al-Islam (Ali Imran: 19), sesungguhnya
agama di sisi Tuhan adalah (I)slam, dan beberapa ayat
yang hampir sama pengertiannya dengan ini. Demikian
juga dalam agama-agama yang lain, terdapat
ungkapan-ungkapan yang senada dengan ini untuk
masing-masing. Di samping teks normatif agama, ada
juga simbol-simbol keagamaan yang berbeda antara satu
agama dan agama lainnya. 

Pemahaman literal terhadap teks-teks dan melihat hanya
dari sebatas kulit luar simbol-simbol keagamaan
semacam ini, akan memunculkan pandangan bahwa hanya
agama yang dipeluknya sajalah yang benar dan bisa
menjamin keselamatan. Sedangkan agama yang lain tidak
benar dan karena itu tidak bisa menjamin keselamatan
sama sekali. Bahkan ada pandangan orang-orang yang
memeluk agama yang tidak sama dengan agama yang
dipeluknya, karena tidak benar itu, boleh diperangi.
"Halal darahnya", begitu istilah yang paling sering
muncul. 

Inilah yang menjadi bibit konflik dan juga teror dalam
masyarakat yang menodai rentangan sejarah perjalanan
agama-agama. Bahkan tidak jarang terjadi konflik
antarsekte sebuah agama. Bibit-bibit konflik ini
biasanya cepat menjadi besar, terutama sekali kalau
ada faktor-faktor lain yang mencampuri, semisal
ekonomi dan politik. 

Inilah yang menyebabkan konflik di Maluku dan Ambon
dan beberapa daerah yang lain berkepanjangan
sedemikian rupa dan menyebabkan korban jiwa dan materi
yang sulit dihitung. 

Perdamaian 

Pemahaman-pemahaman semacam itu, sebaiknya dieliminasi
untuk hilangkan "wajah marah" agama dan menggantinya
dengan "wajah ramah"nya. Ini dalam rangka
mengembalikan citra agama sebagai rahmat bagi alam
semesta (rahmatan lil alamin). 

Untuk menuju ke sana, perlu dilakukan reinterpretasi
terhadap teks-teks yang memunculkan klaim kebenaran
dan klaim keselamatan di atas. 

Ini sangat penting dan mendesak untuk segera dilakukan
untuk menciptakan kondisi dunia yang damai. Kita
seharusnya sudah merasa bosan dengan segala macam
konflik - dan teror - yang menyebabkan penderitaan
luar biasa pada umat manusia. 

Dalam rangka reinterpretasi itu, perlu dilakukan
dialog antaragama, agar antara satu dengan yang
lainnya dapat memahami apa sebenarnya arti substantif
dari teks-teks yang sering digunakan sebagai
legitimasi penghalalan konfrontasi dan teror. Jadi
singkatnya, yang urgen dilakukan adalah dialog, bukan
konfrontasi. 

Dengan dialog, antara satu dengan yang lainnya akan
bisa saling mengerti, terutama dalam memahami
simbol-simbol yang kalau dipandang kulit luarnya akan
melahirkan pengertian berbeda, padahal sebenarnya
mempunyai nilai atau pesan substantif yang sama. 

Dialog, adalah sarana yang paling tepat, untuk
mengembalikan agama pada tujuan semula. Betapa indah
kalau dunia ini dihuni dengan penuh kedamaian dan
kecintaan antara satu dengan yang lain. 

Pengeliminiran konflik antarberagama, akan berbanding
lurus dengan tingkat intensitas dialog antaragama yang
dilakukan. (33) 

- Mohammad Nasih, Aktivis Jaringan Islam Liberal
(JIL), dan Direktur Freedom College Semarang. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com