[Nusantara] Dari Tragedi Legian, Bali, Apa yang Tersisa dari Indonesia?

reijkman reijkman@excite.com
Wed Nov 13 11:48:03 2002



--EXCITEBOUNDARY_000__7d5290bac3c12b86c03e525f7fb28b6e
Content-Type: text/plain; charset="us-ascii"
Content-Transfer-Encoding: 7bit

 Dari Tragedi Legian, Bali, Apa yang Tersisa dari Indonesia?  Benny Susetyo pr  DUNIA hari-hari terakhir ini berduka menyaksikan wajah kekerasan semakin kental di bumi Indonesia. Tragedi Legian Bali semakin memperkuat asumsi bahwa kekerasan menjadi satu-satunya jalan untuk memuluskan "kepentingan-kepentingan". Nyawa manusia seolah-olah tidak artinya lagi. Kedamaian telah sirna. Kita menjadi gagap dan galau menyaksikan peristiwa yang luar biasa. Teror! Begitu kita berteriak lantang. Dan, maaf! Demikian pula kita berteriak lebih lantang.  Semua pejabat publik, aparat keamanan dan para politisi lain tersentak, seolah tak percaya apa yang terjadi. Bali yang semula dikenal sebagai kawasan aman dan damai, dan bahkan dipercaya sebagai standar internasional atas kedamaian itu, mendadak luluh lantak. Konon seorang turis pernah mengaku bahwa ia tak kenal Indonesia, tetapi kenal Bali - daerah wisata damai tanpa kekerasan. Nyatanya pengakuan seorang turis itu terkoreksi tajam, ketika su!
atu malam di jantung Bali terjadi kiamat. Pertanyaannya kini: apa yang tersisa dari Indonesia kita? Tampaknya jawaban pasti sudah kita temukan, Indonesia tak menyisakan apa-apa lagi buat kita!  Di luar itu semua, kita menghadapi kenyataan sosial bahwa kebinasaan manusia sudah tak lagi menjadi pilu kita. Sedikit demi sedikit manusia Indonesia sudah kehilangan rasa sedih. Mata manusia Indonesia sudah kehilangan airnya untuk diteteskan. Tangisan korban seolah-olah tak membuat pemegang otoritas bertindak untuk mengatasinya. Di tengah- tengah derita kemanusiaan yang sangat mendalam, perdebatan masih tak kunjung berakhir.  Memang, sejuta maaf sudah dilayangkan, namun publik tidak membutuhkan sekadar kata 'maaf' tanpa makna. Publik membutuhkan ketegasan pemerintah dan aparat keamanan untuk menghentikan segala potensi kekerasan, tidak saja di Bali tetapi juga di seluruh dunia ini.  Kita tak menyadari bahwa kekerasan yang selama ini terjadi telah membunuh jutaan orang. Jutaan lainnya!
 menjadi pengungsi di negeri sendiri dengan derita dan dendam yang menyelimut. Sudah terlalu banyak korban berjatuhan pada anak negeri ini. Maka, sejak kapan kita menjadi bangsa yang membiarkan kekerasan menjadi bagian hidup ini? Benarkah sejak Ken Arok memperdayai Tunggul Ametung di Singosari berabad-abad lalu?  Payung Hukum  Duka tidak hanya di Bali yang dialami oleh hampir 200 orang meninggal dan 400 lebih lainnya luka berat dan ringan. Duka juga menyelimuti wajah Indonesia ketika meratapi pertanyaan apa yang tersisa dari Indonesia. Janganlah dikatakan bahwa ini merupakan tragedi kemanusiaan terbesar di Indonesia, sebab bisa-bisa nanti lahir tragedi yang lebih besar lagi manakala respons pemerintah tidak cerdas terhadap setiap pelaku teror. Namun untuk para korban Tragedi Legian Bali, kita tidak saja cukup berkabung meratapi tragedi itu, tetapi yang lebih penting adalah agar aparat keamanan mampu menghentikan pola kekerasan dengan menggunakan bom, senjata tajam, serta pre!
man.  Jalan satu-satunya adalah menyetop jaringan kekerasan itu dan menindak semuanya di atas payung hukum. Pemegang otoritas hendaknya tidak ragu-ragu lagi menjalankan tugas dan berani bertindak atas nama kepentingan umum. Dibutuhkan ketegasan dan keberanian aparat keamanan seperti dikatakan Gur Dur. Sudah saatnya mereka yang merusak kepentingan umum ditindak atas nama hukum.  Hukum tegas dan adil itulah yang mampu memulihkan kembali citra Indonesia sebagai bangsa yang beradab. Namun jika sebaliknya yang terjadi, hukum dibuat permainan oleh segelintir elite penguasa, maka lagi-lagi pertanyaan kita adalah apa yang masih tersisa dari Indonesia kita?  Merosot  Semua orang pada 13 Oktober 2002 berteriak "teror". Dan memang benar itu perilaku teroris. Siapa pun pelakunya, mereka layak disebut teroris: bukan manusia yang berlaku manusiawi melainkan manusia yang berkepribadian hewani.  Dr Hafid Abbas (2002:3) menyatakan bahwa terorisme adalah pemakaian kekuatan atau kekerasan tida!
k sah melawan orang atau properti untuk mengintimidasi atau menekan suatu pemerintahan, masyarakat sipil, atau bagian-bagiannya, untuk memaksakan tujuan sosial dan politik. Maka senyata-nyatanya kita bisa menyebut tragedi Legian Bali sebagai bentuk terorisme, yang di dalamnya tersimpan tujuan-tujuan sosial politik, jangka pendek dan panjang, mengintimidasi warga asing, menekan pemerintahan dan seterusnya.  Di sisi lain, akibat perilaku teror itu kita menyaksikan kegalauan peradaban Indonesia kita yang semakin hari semakin merosot nilai kemanusiaannya. Otoritas pemerintah yang seharusnya berwibawa hancur dan akibatnya akan membawa bangsa ini seolah-olah tidak memiliki kemudi lagi.  Maka, ketika otoritas kekuasaan tak mampu lagi mengatasi persoalan itu, yang terjadi adalah bahwa bangsa ini akan segera oleng dan masuk ke dalam jurang kehancuran. Apa yang terjadi? Sudah lama bangsa ini tak mampu lagi mengatasi persoalan dirinya sendiri dan hanya dijadikan permainan pihak lain.  !
Harus jujur kita akui itu semua adalah salah kita bersama karena ketidakberanian dan ketidaktegasan untuk bertindak atas nama hukum. Kant dalam konsep etika kewajiban sejak lampau sudah menyatakan, baik harus dilakukan dan yang buruk harus ditinggalkan. Seharusnya dengan rumusan itu mereka memiliki otoritas, yang tidak lagi menjadi sosok penakut dalam bertindak tegas kepada siapa pun yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan.  Lingkaran kekerasan harus diputus! Kalau tidak, cepat atau lambat akan menghasilan kekerasan baru (ingat siklus kekerasan!). Kekerasan akan melahirkan anak dan cucunya, dan penghentiannya hanya bisa dilakukan dengan mengembalikan otoritas kekuasaan kepada hakikatnya. Tujuan kekuasaan yang utama adalah untuk memberikan pelayanan yang aman dan damai kepada semua masyarakat. Sudah saatnya aparat keamanan berani mengambil risiko dalam penegakan kembali otoritasnya untuk menegakkan displin kehidupan. Sebab sudah terlalu lama otoritas kekuasaan kehilangan kewib!
awaan untuk menindak para pengacau. Maka, tampak ironis bila aparat sangat tegas terhadap mahasiswa dalam aksi demo, namun sangat "baik hati" pada para pengacau yang jelas-jelas melanggar nilai kemanusiaan.  Ingatlah bahwa bila hal itu terjadi terus-menerus akibatnya begitu fatal, yakni rusaknya sektor usaha. Sektor usaha yang lumpuh pada gilirannya melenyapkan harapan pulihnya ekonomi. Bila hal itu terjadi, efek jangka panjang akan meningkat jumlah pengangguran. Jumlah pengangguran yang besar akan mengancam stabilitas keamanan, politik, budaya, pendidikan.  Maka, efek domino akan terjadi bila pemerintah dan aparatnya tak mampu lagi mengatasinya. Kembali mengemuka pertanyaan, apa yang masih tersisa dari Indonesia kita?  Audit  Semua orang beriman akan mendukung usaha-usaha menciptakan budaya damai dengan melawan tindakan kekerasan. Apa pun bentuknya, kekerasan tak bisa lagi dibiarkan terus-menerus. Untuk menyetop kekerasan dibutuhkan sikap proaktif melalui gerakan cinta dama!
i.  Damai itu indah bila masing-masing tidak egois dan menang sendiri. Sudah saatnya, misalnya, perbedaan di antara masing-masing angkatan bersenjata dikubur dan kalau perlu dilupakan.  Sudah saatnya mereka bergandengan tangan untuk memerangi kekerasan dengan menggunakan cara beradab, bertindak tegas terhadap siapa pun yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan.  Dalam kasus Legian Bali, seperti diutarakan Kontras, sudah saatnya dilakukan tindakan tegas -termasuk audit- terhadap perusahaan yang terlibat dalam penyalahgunaan pemberian izin produksi atas produksi bahan peledak. Semua perusahaan tersebut tercatat jelas di kepolisian, bahkan mereka senantiasa berhubungan sejak awal perizinan, pengawalan hingga pendistribusian. Bila kepolisian dan militer ternyata tidak mampu mengontrol peredaran bahan peledak dan terjadi teror peledakan di mana-mana, tentu akan mengundang berbagai kecurigaan.  Dan akhirnya, apa yang tersisa dari Indonesia kita? Jawaban atas pertanyaan ini kembali la!
gi pada pemerintah dam aparat kemananan, masihkah mereka akan memberikan jawaban yang memuaskan atau tidak.  Penulis adalah budayawan dan rohaniwan, tinggal di Malang.  

_______________________________________________
Join Excite! - http://www.excite.com
The most personalized portal on the Web!

--EXCITEBOUNDARY_000__7d5290bac3c12b86c03e525f7fb28b6e
Content-Type: text/html; charset="us-ascii"
Content-Transfer-Encoding: 7bit

 <table cellpadding=10 cellspacing=0 border=0 width=100% bgcolor=white><tr height=200><td width=100%><font size=2 color=black>Dari Tragedi Legian, Bali, Apa yang Tersisa dari Indonesia?  <BR>Benny Susetyo pr <br> <br>DUNIA hari-hari terakhir ini berduka menyaksikan wajah kekerasan semakin kental di bumi Indonesia. Tragedi Legian Bali semakin memperkuat asumsi bahwa kekerasan menjadi satu-satunya jalan untuk memuluskan "kepentingan-kepentingan". Nyawa manusia seolah-olah tidak artinya lagi. Kedamaian telah sirna. Kita menjadi gagap dan galau menyaksikan peristiwa yang luar biasa. Teror! Begitu kita berteriak lantang. Dan, maaf! Demikian pula kita berteriak lebih lantang. <br> <br>Semua pejabat publik, aparat keamanan dan para politisi lain tersentak, seolah tak percaya apa yang terjadi. Bali yang semula dikenal sebagai kawasan aman dan damai, dan bahkan dipercaya sebagai standar internasional atas kedamaian itu, mendadak luluh lantak. Konon seorang turis pernah mengaku bahwa !
ia tak kenal Indonesia, tetapi kenal Bali - daerah wisata damai tanpa kekerasan. Nyatanya pengakuan seorang turis itu terkoreksi tajam, ketika suatu malam di jantung Bali terjadi kiamat. Pertanyaannya kini: apa yang tersisa dari Indonesia kita? Tampaknya jawaban pasti sudah kita temukan, Indonesia tak menyisakan apa-apa lagi buat kita! <br> <br>Di luar itu semua, kita menghadapi kenyataan sosial bahwa kebinasaan manusia sudah tak lagi menjadi pilu kita. Sedikit demi sedikit manusia Indonesia sudah kehilangan rasa sedih. Mata manusia Indonesia sudah kehilangan airnya untuk diteteskan. Tangisan korban seolah-olah tak membuat pemegang otoritas bertindak untuk mengatasinya. Di tengah- tengah derita kemanusiaan yang sangat mendalam, perdebatan masih tak kunjung berakhir. <br> <br>Memang, sejuta maaf sudah dilayangkan, namun publik tidak membutuhkan sekadar kata 'maaf' tanpa makna. Publik membutuhkan ketegasan pemerintah dan aparat keamanan untuk menghentikan segala potensi kekera!
san, tidak saja di Bali tetapi juga di seluruh dunia ini. <br> <br>Kita tak menyadari bahwa kekerasan yang selama ini terjadi telah membunuh jutaan orang. Jutaan lainnya menjadi pengungsi di negeri sendiri dengan derita dan dendam yang menyelimut. Sudah terlalu banyak korban berjatuhan pada anak negeri ini. Maka, sejak kapan kita menjadi bangsa yang membiarkan kekerasan menjadi bagian hidup ini? Benarkah sejak Ken Arok memperdayai Tunggul Ametung di Singosari berabad-abad lalu? <br> <br>Payung Hukum <br> <br>Duka tidak hanya di Bali yang dialami oleh hampir 200 orang meninggal dan 400 lebih lainnya luka berat dan ringan. Duka juga menyelimuti wajah Indonesia ketika meratapi pertanyaan apa yang tersisa dari Indonesia. Janganlah dikatakan bahwa ini merupakan tragedi kemanusiaan terbesar di Indonesia, sebab bisa-bisa nanti lahir tragedi yang lebih besar lagi manakala respons pemerintah tidak cerdas terhadap setiap pelaku teror. Namun untuk para korban Tragedi Legian Bali, kita !
tidak saja cukup berkabung meratapi tragedi itu, tetapi yang lebih penting adalah agar aparat keamanan mampu menghentikan pola kekerasan dengan menggunakan bom, senjata tajam, serta preman. <br> <br>Jalan satu-satunya adalah menyetop jaringan kekerasan itu dan menindak semuanya di atas payung hukum. Pemegang otoritas hendaknya tidak ragu-ragu lagi menjalankan tugas dan berani bertindak atas nama kepentingan umum. Dibutuhkan ketegasan dan keberanian aparat keamanan seperti dikatakan Gur Dur. Sudah saatnya mereka yang merusak kepentingan umum ditindak atas nama hukum. <br> <br>Hukum tegas dan adil itulah yang mampu memulihkan kembali citra Indonesia sebagai bangsa yang beradab. Namun jika sebaliknya yang terjadi, hukum dibuat permainan oleh segelintir elite penguasa, maka lagi-lagi pertanyaan kita adalah apa yang masih tersisa dari Indonesia kita? <br> <br>Merosot <br> <br>Semua orang pada 13 Oktober 2002 berteriak "teror". Dan memang benar itu perilaku teroris. Siapa pun pela!
kunya, mereka layak disebut teroris: bukan manusia yang berlaku manusiawi melainkan manusia yang berkepribadian hewani. <br> <br>Dr Hafid Abbas (2002:3) menyatakan bahwa terorisme adalah pemakaian kekuatan atau kekerasan tidak sah melawan orang atau properti untuk mengintimidasi atau menekan suatu pemerintahan, masyarakat sipil, atau bagian-bagiannya, untuk memaksakan tujuan sosial dan politik. Maka senyata-nyatanya kita bisa menyebut tragedi Legian Bali sebagai bentuk terorisme, yang di dalamnya tersimpan tujuan-tujuan sosial politik, jangka pendek dan panjang, mengintimidasi warga asing, menekan pemerintahan dan seterusnya. <br> <br>Di sisi lain, akibat perilaku teror itu kita menyaksikan kegalauan peradaban Indonesia kita yang semakin hari semakin merosot nilai kemanusiaannya. Otoritas pemerintah yang seharusnya berwibawa hancur dan akibatnya akan membawa bangsa ini seolah-olah tidak memiliki kemudi lagi. <br> <br>Maka, ketika otoritas kekuasaan tak mampu lagi mengatasi p!
ersoalan itu, yang terjadi adalah bahwa bangsa ini akan segera oleng dan masuk ke dalam jurang kehancuran. Apa yang terjadi? Sudah lama bangsa ini tak mampu lagi mengatasi persoalan dirinya sendiri dan hanya dijadikan permainan pihak lain. <br> <br>Harus jujur kita akui itu semua adalah salah kita bersama karena ketidakberanian dan ketidaktegasan untuk bertindak atas nama hukum. Kant dalam konsep etika kewajiban sejak lampau sudah menyatakan, baik harus dilakukan dan yang buruk harus ditinggalkan. Seharusnya dengan rumusan itu mereka memiliki otoritas, yang tidak lagi menjadi sosok penakut dalam bertindak tegas kepada siapa pun yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan. <br> <br>Lingkaran kekerasan harus diputus! Kalau tidak, cepat atau lambat akan menghasilan kekerasan baru (ingat siklus kekerasan!). Kekerasan akan melahirkan anak dan cucunya, dan penghentiannya hanya bisa dilakukan dengan mengembalikan otoritas kekuasaan kepada hakikatnya. Tujuan kekuasaan yang utama adalah u!
ntuk memberikan pelayanan yang aman dan damai kepada semua masyarakat. Sudah saatnya aparat keamanan berani mengambil risiko dalam penegakan kembali otoritasnya untuk menegakkan displin kehidupan. Sebab sudah terlalu lama otoritas kekuasaan kehilangan kewibawaan untuk menindak para pengacau. Maka, tampak ironis bila aparat sangat tegas terhadap mahasiswa dalam aksi demo, namun sangat "baik hati" pada para pengacau yang jelas-jelas melanggar nilai kemanusiaan. <br> <br>Ingatlah bahwa bila hal itu terjadi terus-menerus akibatnya begitu fatal, yakni rusaknya sektor usaha. Sektor usaha yang lumpuh pada gilirannya melenyapkan harapan pulihnya ekonomi. Bila hal itu terjadi, efek jangka panjang akan meningkat jumlah pengangguran. Jumlah pengangguran yang besar akan mengancam stabilitas keamanan, politik, budaya, pendidikan. <br> <br>Maka, efek domino akan terjadi bila pemerintah dan aparatnya tak mampu lagi mengatasinya. Kembali mengemuka pertanyaan, apa yang masih tersisa dari Ind!
onesia kita? <br> <br>Audit <br> <br>Semua orang beriman akan mendukung usaha-usaha menciptakan budaya damai dengan melawan tindakan kekerasan. Apa pun bentuknya, kekerasan tak bisa lagi dibiarkan terus-menerus. Untuk menyetop kekerasan dibutuhkan sikap proaktif melalui gerakan cinta damai. <br> <br>Damai itu indah bila masing-masing tidak egois dan menang sendiri. Sudah saatnya, misalnya, perbedaan di antara masing-masing angkatan bersenjata dikubur dan kalau perlu dilupakan. <br> <br>Sudah saatnya mereka bergandengan tangan untuk memerangi kekerasan dengan menggunakan cara beradab, bertindak tegas terhadap siapa pun yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan. <br> <br>Dalam kasus Legian Bali, seperti diutarakan Kontras, sudah saatnya dilakukan tindakan tegas -termasuk audit- terhadap perusahaan yang terlibat dalam penyalahgunaan pemberian izin produksi atas produksi bahan peledak. Semua perusahaan tersebut tercatat jelas di kepolisian, bahkan mereka senantiasa berhubungan seja!
k awal perizinan, pengawalan hingga pendistribusian. Bila kepolisian dan militer ternyata tidak mampu mengontrol peredaran bahan peledak dan terjadi teror peledakan di mana-mana, tentu akan mengundang berbagai kecurigaan. <br> <br>Dan akhirnya, apa yang tersisa dari Indonesia kita? Jawaban atas pertanyaan ini kembali lagi pada pemerintah dam aparat kemananan, masihkah mereka akan memberikan jawaban yang memuaskan atau tidak. <br> <br>Penulis adalah budayawan dan rohaniwan, tinggal di Malang. <BR> <BR><BR><BR><BR><BR><br></font></td></tr></table><p><hr><font size=2 face=geneva><b>Join Excite! - <a href=http://www.excite.com target=_blank>http://www.excite.com</a></b><br>The most personalized portal on the Web!</font>

--EXCITEBOUNDARY_000__7d5290bac3c12b86c03e525f7fb28b6e--