[Nusantara] Susetyo Pr. : Wong Cilik
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 4 08:24:11 2002
Wong Cilik
Oleh Benny Susetyo,Pr
ejak rezim Orde Baru (Orba), kebiasaan buruk elite bangsa ini adalah
memberikan beban kesalahan kepada rakyat kecil (wong cilik). Hal itu
dilakukan sebagai upaya untuk lari dari masalah yang dialami oleh
para elite. Kebiasaan seperti itu berlanjut sampai sekarang. Di
samping merupakan perilaku yang tak bertanggung jawab, kebiasaan
demikian juga akan menyebabkan masalah yang lebih besar lagi, yakni
makin menipisnya rasa empati dan simpati para elite, baik ekonomi
maupun politik, pada wong cilik.
Contoh yang paling jelas adalah kebijakan pemerintah yang tidak
jelas terhadap para TKI di Malayasia. Tak satu pun elite politik
kita yang berani bertanggung jawab terhadap kasus itu. Ada kesan
kuat persoalan mereka dijadikan alat politik untuk kepentingan
sesaat, tanpa sedikit pun bela rasa terhadap penderitaan para TKI
yang nyata telah berjasa menyumbangkan devisa bagi bangsa ini.
Realitasnya, mereka dicampakkan sebagai orang buangan. Segala stigma
ditempelkan dalam diri mereka, seolah-olah semua itu salah mereka.
Realitas seperti itu sungguh menyakitkan karena penderitan mereka
bukan diringankan tetapi malah diperberat dengan pernyataan elite
politik yang sok jago tapi malah membuat persoalan menjadi runcing.
Korban terus bertambah diperkirakan empat puluh orang telah
meninggal. Belum lagi ratusan orang mengalami stres karena tak tahu
lagi mau ke mana. Di balik itu semua, ada ribuan orang terancam
kelaparan. Apa hal ini tidak menjadikan keprihatinan terhadap elite
politik yang lebih sibuk mengurusi bisnisnya sendiri? Realitas
seperti memberikan gambaran buruk bahwa elite politik hanya perlu
rakyat kecil ketika berupaya mendapatkan kursi kekuasan setelah
kursi diperoleh nasib kaum kecil dicampakkan.
Jika kita cermati hubungan antara rakyat dan penguasa dalam sebuah
negara, menurut teori kontrak sosial Jean Jacques Rousseau, adalah
hubungan simbiosis yang saling membutuhkan. Namun kenyataannya yang
terjadi sekarang adalah hubungan yang salah satu pihak, yakni
penguasa, berusaha untuk menegasi, dan hanya membutuhkan rakyat
sebagai objek, bukan subjek. Ketidakseimbangan peran yang diemban
masing-masing pihak akhirnya tampak menggejala dalam berbagai
perilaku kenegaraan. Demokrasi dijalankan setengah hati. Penguasa
sibuk dengan problem dirinya sendiri, dan jarang memahami bahwa
kekuasaannya sangat bergantung pada rakyat.
Kasus kekacauan di Argentina beberapa pekan lalu seharusnya menjadi
contoh yang baik bagi kita semua. Keasyikan para pemimpinnya,
membuat mereka tak sadar bahwa bahaya krisis ekonomi sudah lama
mengancam. Maka rakyat pun mengadakan "perhitungan" dengan penguasa,
dan mengatakan bahwa mereka tak mampu membawa rakyat keluar dari
krisis. Sedangkan Indonesia, yang menurut hitungan kuantitatif
justru memiliki beban ekonomi yang lebih berat, ternyata masih sulit
menyadarkan pemimpinnya dari bahaya-bahaya seperti ini.
Kebiasaan buruk menimpakan masalah pada rakyat seharusnya sedini
mungkin dihindari. Rakyat pada akhirnya akan bisa bekerja dengan
optimal manakala ada sistem yang baik dan adil bagi mereka semua.
Sedangkan sistem (ekonomi dan politik) yang ada sekarang cenderung
hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu yang notabene sudah
mapan. Perlu diingat oleh penguasa bahwa sebenarnya apa yang mereka
lakukan selalu diperhatikan oleh rakyat semesta bangsa ini.
Seharusnya mereka menyadari bahwa seluruh hasil kerja pemerintahan
adalah diperuntukkan rakyat, terutama wong cilik.
Terminologi "wong cilik" sekarang memang sudah bias dan ambigu
karena semua politisi bekerja dengan mengatasnamakan wong cilik.
Katanya, semua dilakukan demi wong cilik, sementara fakta yang dia
lakukan adalah demi dirinya sendiri. Jika kita bicara tentang wong
cilik, maka siapa dia? Wong cilik adalah 40 juta orang yang
menganggur dan puluhan juta orang lainnya yang benar-benar terbelit
masalah ekonomi. Mereka miskin, bahkan berada di bawah garis
kemiskinan.
Coba saja jika para penguasa mau "turun gunung", dan pergilah ke
desa-desa terpencil, di pojok-pojok kota, di bawah kolong jembatan.
Mereka benar-benar ada, dan benar-benar miskin. Wong cilik itu bukan
mereka yang secara ekonomi sudah mapan. Wong cilik adalah mereka
yang kesehariannya sangat sulit untuk mendapatkan sesuap nasi,
bahkan mereka harus bertaruh nyawa.
Yang terjadi sekarang ini, mereka kurang diperhatikan, kecuali hanya
sebatas pemberian program-program pengentasan kemiskinan yang
berlangsung secara formal. Mereka tidak secara serius didampingi.
Bukan untuk melemahkan program pengentasan kemiskinan yang sudah
berjalan dengan baik, namun ternyata banyak sekali program itu yang
sifatnya hanya sementara, dan untuk memenuhi target waktu tertentu
saja. Pengentasan kemiskinan model itu hanya akan me-nyiram sepercik
air sebentar saja, dan selanjutnya mereka tetap miskin.
Pada sisi lain, secara politis, hubungan rakyat dan penguasa yang
seperti itu akan mengarahkan kita kepada hubungan kawulo-gusti.
Gusti adalah penguasa, dan kawulo adalah wong cilik.
Ini adalah hubungan feodalistik. Bahkan lebih dari itu, ini
merupakan hubungan yang hampir sama dengan masa perbudakan masa
lampau. Sebab wong cilik tetap menjadi objek kekuasaan, hanya
diperhatikan kala tertentu saja jika penguasa berkeinginan.
Hubungan kawulo-gusti sebenarnya hanya berlaku bagi manusia dan
Tuhannya saja, yakni bagaimana manusia meyakini keberadaan-Nya dan
berusaha mewujudkan cita-cita-Nya di muka bumi ini. Akan tetapi,
manusia-manusia serakah telah mengubah bentuk hubungan itu menjadi
kawulo-gusti: dia kawulo dan aku gusti. Itu berarti, mereka telah
bertindak, bahkan melebihi apa yang Tuhan berikan. Hubungan seperti
itu tentunya tidak dimaui sistem demokrasi. Dalam demokrasi tak ada
feodalisme, tak ada kawulo-gusti, tak ada hubungan: kalian adalah
rakyat, dan saya penguasa, maka saya bisa bertindak apa pun pada
kalian. Ini tentu saja telah menodai nilai-nilai etis dari demokrasi
itu sendiri.
Jika kita benar-benar mau menuju sistem demokrasi yang sejati, maka
kebiasaan-kebiasaan buruk untuk menyalahkan rakyat yang dilakukan
oleh penguasa, hendaknya dihindari. Dalam demokrasi tak ada kawulo
dan gusti. Semua adalah rakyat. Penguasa juga rakyat, karena ia
diberi mandat oleh rakyat untuk berkuasa. Tujuannya untuk memberi
kesejahteraan, keamanan, kedamaian dan keadilan bagi rakyat yang
sebenarnya.
u
Kita perlu mengingat bahwa selama ini yang menjadi korban adalah
rakyat kecil. Banyak kebijakan pemerintah yang bersinggungan
langsung dengan aktivitas rakyat, yang secara tidak langsung
merugikannya. Mungkin saja perhitungan para policy maker dengan
menaikkan harga BBM, listrik, telepon adalah wajar dan rasional.
Tapi menurut ukuran wong cilik tetap tidak wajar, dan sangat
menyakitkan.
Kita bisa membayangkan bagaimana mereka kecewa. Namun mereka tetap
bisa mengerti bahwa pemerintah dihadapkan dengan sejumlah kesulitan,
dilema dan tekanan-tekanan. Wong cilik bisa bersabar, dan
memperjuangkan dirinya sendiri-sendiri untuk melawan krisis yang
melilit. Akan tetapi mengapa, para penguasa itu masih tega
membebankan banyak persoalan pada mereka?
Akhirnya, untuk merefleksikan kondisi itu, kita mungkin berharap
agar pemerintah bertindak bijaksana. Sedikit saja mereka berbuat
aniaya pada wong cilik, niscaya keruntuhan mereka tak bisa dibendung
lagi. Kemarahan wong cilik, akan sangat luar biasa. Tak ada lagi
yang perlu mereka bela, selamtakan dan dukung, kecuali diri mereka
masing-masing.
Situasi chaos yang mengerikan inilah yang hendaknya kita hindari.
Dalam hal ini, kita perlu bersikap mawas diri, melakukan evaluasi
dan refleksi. Juga, kita perlu mendorong penguasa agar mereka
berbuat adil dan jujur, sebab seperti cerita Kong-hu Chu, harimau
yang paling buas sekalipun masih kalah buas dengan penguasa yang tak
adil.
Penulis adalah budayawan dan pemerhati sosial, tinggal di Malang