[Nusantara] "IBRAHIM BRAMIJN" <i.bramijn@che...l>: Kolom IBRAHIM ISA: TAKTIKKAH? . . STRATEG

INFO PRAKTIS-KOMPUTER majalahtips@hotmail.com
Wed Sep 4 09:55:36 2002


"IBRAHIM BRAMIJN" <i.bramijn@che...l>: Kolom IBRAHIM ISA: TAKTIKKAH? . . 
STRATEGIKAH? --ATAUKAH PRAGMATISME POLITIK SEMATA?
3 Sep 2002 07:20:34 +0700

Kolom IBRAHIM ISA
3 September, 2002.

---------------------------

TAKTIK-KAH? - STRATEGI-KAH?- ,  ATAUKAH . . . .PRAGMATISME POLITIK?

Dua-tiga minggu belakangan ini telah berlangsung "polemik" atau "diskusi"  
di media internet berbahasa Indonesia. Masalah yang disinggung cukup banyak, 
misalnya -- mengenai "Pansus Buloggate II",  yang "gugur dalam kandungan";  
peranan IMF terhadap Indonesia;  hasil-hasil ST MPR 2002; apa itu 
'nasionalisme', dan . . . masalah dukungan Ketua Umum PDI-P dan Presiden 
Republik Indonesia, Megawati Sukarnoputeri terhadap Sutiyoso, untuk kembali 
menjabat gubernur Jakarta,  dll. Masalah-masalah yang dibawa ke diskusi itu 
semuanya penting.  Semuanya bertalian dengan situasi kongkrit yang dihadapi 
bangsa dan negeri ini.  Berlangsungnya  diskusi seperti ini, menandakan 
bahwa kepedulian terhadap bangsa ini tetap tinggi.

<< CATATAN : --Namun,  sayang sekali,  - - - tidak jarang sementara tulisan 
melenceng menjadi begitu emosionil, sampai tidak jelas lagi, apakah 
masalah-masalah,  problim-problim yang didiskusikan, - - -  ataukah 
pribadi-pribadi yang bersangkutan yang menjadi masalah utama. Tidak sedikit 
pembaca internet, bukan saja menjadi kecewa dan bosan, tetapi juga jemu dan 
jengkel, melihat perkembangan itu.  Dikhawatir, dan disayangkan, 
jangan-jangan media internet ini,  tanpa disadari dan diinginkan oleh yang 
bersangkutan sendiri,  yang tadinya adalah sumber yang berguna untuk 
informasi dan juga sebagai wadah tempat bertukar-fikiran,  berubah menjadi 
arena pertarungan. Suatu arena dimana seolah-olah tampil  di situ "para 
gladiator" , yang turun ke medan-laga arena,  untuk saling "membeleti" dan 
"menghabisi"  pribadi masing-masing lawannya,  yang terlibat dalam diskusi . 
Akibatnya, ialah, masalahnya sendiri sudah jauh ketinggalan, terselubung  
dibalik emosi, atau sudah terlupakan. Keadaan seperti ini diharapkan jangan 
sampai berlarut-larut. Para moderator- - - umpamanya, dari CARI, WAHANA, 
HKSIS, APAKABAR, NASIONAL, DLL, diharapkan pada waktunya turun tangan, 
memberikan saran, minta perhatian  para MAILIST, agar berkepala dingin dan 
jangan membiarkan diri dikuasai  oleh emosi, agar, jangan sampai --  tanpa 
disengaja, tanpa diinginkan,  melupakan tujuan bertukar informasi dan 
bertukar fikiran. Jangan sampai lupa,  bahwa sesungguhnya diskusi dan tukar 
fikiran itu adalah antara sesama sahabat, bahkan sesama penggiat untuk 
reformasi dan demokratisasi di Indonesia. >>

Yang tampak menjadi sorotan agak terpusat, ialah  yang menyangkut tokoh 
militer-politisi gubernur Jakarta Raya, Sutiyoso.  Sutiyoso telah terpilih 
kembali menjadi gubernur Jakarta Raya, berkat dukungan PDI-P dan pribadi 
Ketua Umum PDI-P Megawati Sukarnoputri. Kwik Kian Gie, sebagai salah seorang 
Ketua PDI-P tampil menjelaskan politik PDI-P mengenai pelbagai masalah, 
termasuk tentang  politik PDI-P, kongkritnya beleid Ketua Umumnya,  Megawati 
Sukarnoputri, yang mendukung Sutiyoso.  Dukungan Ketua Umum PDI-P Megawati 
Sukarnoputri, yang juga adalah Presiden Republik Indonesia, banyak 
dipermasalahkan dan dipersoalkan.

Mengapa dukungan Ketua Umum PDI-P ini begitu tajam dipersoalkan?
Sebab utama  ialah, karena Jendral Sutiyoso, sebagai mantan Panglima TNI di 
Jakarta, adalah orang yang seharusnya dituntut di pengadilan, karena tuduhan 
menggunakan kekerasan senjata terhadap massa PDI dan pendukung-pendukungnya, 
  sampai jatuh tidak sedikit korban, pada kasus  penggerebegan dan 
pendudukan Kantor PDI Mega dalam tahun 1996. Sutiyoso punya latar belakang 
sebagai tokoh militer yang melakukan  penindasan terhadap hak-hak Demokrasi. 
Selain itu selama jabatannya sebagai gubernur Jakarta (1997-2002), sejak 
masih berkuasanya Suharto, Sutiyoso bukanlah gubernur yang  memberikan 
perhatian dan kepeduliannya  pada rakyat kecil di wilayah Jakarta-Raya. 
Kebalikannya, ia paling sering berkonfrontasi dengan para Wong Cilik 
Jakarta. "Prestasinya"  hanya "dikenal" dan "dirasakan"  oleh para elite, 
sedangkan di kalangan rakyat namanya dikaitkan (bukan tanpa alasan) -- 
dengan masalah penggusuran dan pelarangan beroperasi  terhadap abang-abang 
becak.

Maka,  tidaklah aneh jika orang mempertanyakan  APAKAH DUKUNGAN MEGAWATI  
TERHADAP SUTIYOSO BISA DIBENARKAN? Tidak kebetulan bahwa diantara yang 
mengajukan pertanyaan demikian itu, a.l. adalah Prof. Arief Budiman, dosen 
pada University of Melbourne, Australia. Orang kenal, bahwa  Prof. Arief 
Budiman, orangnya memang kritis! Apakah itu terhadap Bung Karno, Suharto, 
Habibie, Gus Dur, Megawati, atau yang lain-lain.

Kiranya,  pertanyaan seperti yang diajukan  itu,  bertolak dari kenyataan 
bahwa PDI-P  yang diketuai oleh Megawati Sukarnoputri,  adalah  korban dari 
"tangan besi"  Sutiyoso, ketika sang jendral  menjabat sebagai panglima TNI 
di Jakarta Raya, --  dalam kasus penggerebekan dan pendudukan Kantor 
PDI-Mega di Jalan Diponegoro, Jakarta. Banyak fihak, yang mempertanyakan itu 
bertolak dari asumsi,  dan, atau,  harapan,  bahwa PDI-P adalah kekuatan 
yang mendukung Reformasi dan Demokratisasi, dan bahwa mereka-mereka itu juga 
adalah pemilih PDI-P pada pemilu 1999. Mengapa sekarang ini, sang korban  
yang sudah menduduki tampuk kekuasaasan pemerintahan, lalu (kok) membela 
sang algojo? Bukankah beralasan  sekali adanya kekecewaan dan  tidak bisa 
memahami politik PDI-P dewasa ini.

Mengapa? Mengapa? Mengapa?
Pertanyaan itulah yang menenuhi sebagian tidak kecil dari masyarakat.
Pertanyaan itu bukan saja timbul dari kalangan pendukung Reformasi dan 
Demokrasi, dan dari simpatisan PDI-P; -- tetapi juga dari kalangan 
intern-PDI-P sendiri, bahkan dari kader-kadernya sendiri. Jadi terang,  
masalahnya dinilai amat-amat  SERIUS. Kwik Kian Gie,  sebagai Ketua PDI-P, 
sudah berusaha memberikan penjelasan. Tetapi, inti penjelasannya itu ialah 
bahwa ia (Kwik Kian Gie) BISA MEMAHAMI beleid  PDI-P dan Ketua Umumnya 
Megawati. Sayang, "penjelasan"  Kwik Kian Gie itu, sesungguhnya bukanlah 
penjelasan, tetapi sekadar pernyataan  bahwa IA BISA MEMAHAMINYA.  Apa yang 
dipahaminya itu, juga tidak jelas.

Paling tidak, tidak jelas bagi sementara kalangan yang masih punya harapan, 
PDI-P benar-benar akan tetap merupakan kekuatan politik yang mengusahakan 
berlangsungnya Reformasi dan Demokratisasi di Indonesia, suatu partai yang 
berniat membela Wong Cilik. Bahwa PDI-P akan tetap merupakan kekuatan 
politik yang bisa diharapkan dan dipercaya akan sepenuh hati menggalakkan 
gerak Reformasi dan Demokratisasi.

Nah, yanag berharap dan percaya ini, jadi TERSENTAK oleh antara lain, 
politik dukungan PDI-P terhadap Sutiyoso.

Ada  sementara analisis, yang mengemukakan, bahwa beleid PDI-P mendukung 
Sutiyoso kembali jadi gubernur Jakarta, adalah suatu TAKTIK  dalam suatu 
STRATEGI yang lebih besar dan lebih penting lagi. Yaitu suatu taktik politik 
yang pada suatu saat tertentu, melakukan langkah mundur, yaitu, tidak 
mengajukan orang PDI-P sendiri,  sebagai calon  gubernur pengganti Sutiyoso. 
  Taktik mundur selangkah ini dimaksudkan, untuk nantinya bisa maju dengan 
langkah yang lebih besar dan menentukan. Karena, bukankah  STRATEGI, lebih 
penting dari TAKTIK? Bagaimanapun, bukankah TAKTIK harus mengabdi 
STRATEGI?Oleh karena itu, taktik mencalonkan  Sutiyoso kembali jadi gubernur 
Jakarta, betapapun hal itu 'sulit dimengerti', oleh masyarakat, termasuk 
sulit dimengerti oleh tidak sedikit kader-kader PDI-P sendiri, taktik itu 
adalah politik yang "tepat".  Maka taktik itu harus diterima dan dibenarkan. 
Begitu sementara fihak menganalisis.

Diperhitungkan (oleh pimpinan PDI-P, menurut analisis tadi) , dengan 
memberikan jaminan kepada Sutiyoso untuk kembali sebagai  gubernur, ia 
(Sutiyoso)  akan lebih mudah "diatur",  "diurus"  bahkan "dikendalikan(?)"  
oleh pimpinan PDI-P dalam rangka "mengamankan" dan "menstabilkan" 
Jakarta-Raya,   dan "membikin lancar pemilu 2004".

Resmi ataupun tidak resmi, Sutiyoso, kecuali militer juga adalah orang 
Golkar. Juga dikalkulasikan, bila, katakanlah,  muncul gubernur baru, 
meskipun orang itu adalah calon dari PDI-P, PDI-P akan menghadapi situasi 
dimana "gubernurnya"  itu  belum berpengalaman, belum punya relasi-relasi, 
bleum punya sistim dan struktur kekuasaan yang diperlukan untuk bisa dengan 
baik mengurus Jakarta menghadapi pemilu.  Apalagi bila diingat, pemilu 2004 
cuma tinggal dua tahun lagi.   Dan  siapa bisa menjamin, . . . .  bahwa sang 
gubernur baru itu akan  lebih patuh, lebih mudah  dikontrol dan  diawasi, 
terbanding Sutiyoso.  Mungkin juga, - - - gubernur baru dari PDI-P itu,  
tidak tahan menghadapi  rayuan "money politics". Sehingga nantinya sang 
gubernur baru bisa-bisa akan menjadi tawanan dari Golkar, yang punya dana 
tidak terbatas itu. Atau  menjadi tawanan fihak-fihak yang punya duit, yang 
ada konflik  dengan PDI-P. Lagipula, begitu ditimbang-timbang,  dengan 
mendukung Sutiyoso, paling tidak, telah tambah satu  angka plus lagi untuk 
PDI-P, vis-à-vis  anggaran-politik TNI dan Golkar, dalam skala lokal maupun 
nasional. Dengan demikian  'sekali merangkuh dayung dua-tiga pula 
terlampaui" , seperti kata pepatah. Bagi PDI-P adalah penting untuk  
mengamankan koalisi PDI-P pertama-tama dengan TNI, kemudian,  dengan Golkar. 
  Ini memang bisa dikatakan TAKTIK atau apa sajalah, tetapi hakikatnya 
adalah PRAGMATISME YANG SETULEN-TULENNYA. Seperti yang dikemukakan oleh Kwik 
Kian Gie, yang kira-kira maksudnya:  BEGITULAH CARANYA KALAU ORANG MAU 
BERPOLITIK. ITULAH YANG NAMANYA POLITIK!

Bagaimanapun jangan dilupakan, bahwa yang memerintah Indonesia dewasa ini, 
adalah suatu koalisi antara PDI-P, Golkar, TNI, PPP, PAN, PBB dan lain-lain. 
Porosnya ialah PDI-P, Golkar dan TNI. Kita harus realis, koalisi semacam ini 
sungguh sulit untuk diharapkan akan mampu, ataupun punya 'political will'  
untuk  mendorong maju Reformasi dan Demokratisasi, apalagi membimbingnya, 
tak peduli taktik yang bagaimanapun yang akan ditrapkan.

Mengikuti perkembangan politik Indonesia, khususnya sejak berhasil 
dilangsungkannya pemilihan umum 7 Juni 1999 y.l. , yang syukur sudah 
berjalan secara "LUBER" - Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia -  bisa kiranya 
dicatat tahap-tahap  perkembangan, sbb:

-- Sebagai kelanjutan dari pemilu 1999, telah lahir pemerintahan Abdurrahman 
Wahid-Megawati Sukarnoputeri, sesuai pula dengan ketentuan-ketentuan di 
dalam UUD-45. Telah berdiri pemerintahan presidensiil. Suatu pemerintahan 
Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputeri, yang berporoskan PDI-P dengan 
PKB, sesungguhnya adalah suatu pemerintahan yang bisa berbuat positif untuk 
kepentingan keberlansungan Reformasi dan Demokratisasi, meskipun itu bukan 
suatu pemerintahan yang seharusnya menurut hasil pemilu.

- - Melihat, bahwa PDI-P keluar dari pemilu sebagai partai terbesar, maka 
seyogianya, "logikanya", kursi peresiden akan jatuh pada  Megawati 
Sukarnoputeri. Seharusnya Megawati yang menjadi presiden RI ke-4.

Namun, jalannya cerita adalah lain samasekali.

Mengapa? - - Sebabnya banyak.  Yang bisa dicatat sebagai alasan-alasan 
penting mengapa Mega tidak bisa menjadi presiden ketika itu, pertama-tama 
bisa disebutkan --  disebabkan oleh  tentangan atau perlawanan habis-habisan 
yang dibangun dan dikembangkan  oleh Golkar-TNI- dan Poros Tengah dengan 
Ketua Umum PAN, Amien Rais --  Koalisi Golkar-TNI- dan Poros Tengah. Aliansi 
  itulah yang menggagalkan terpilihnya Megawati sebagai presiden.  
Macam-macam argumentasi, alasan atau dalih yang dikemukakan, mengapa aliansi 
anti-Mega  berkeras menentang dan mengganjel Mega. Sekali tempo, digunakan 
alasan agama, ---  digembar-gemborkan bahwa menurut agama,  perempuan tidak 
dihenarkan untuk menjadi pemimpin negara;  kali lain,  dibilang bahwa Mega 
adalah ibu rumah tangga yang biasa-biasa saja, sama dengan ibu rumah tangga 
lainnya.  Dilontarkan asumsi bahwa sebagai  perempuan Mega  pasti tidak 
punya kemampuan untuk jadi presiden. Pribadinyapun diogrok-ogrok. Terjadilah 
usaha "character assassination" terhadap Mega dengan cara mencemoohkan 
kehidupan pribadi dan pendidikannya.

Bisa dipastikan bahwa semua lawan Mega masih ingat bahwa Mega adalah 
orangnya yang berani berhadap-hadapan menantang Suharto, bahkan pada suatu 
ketika menyatakan bahwa ia sanggup menggantikan Suharto, memikul jabatan 
sebagai presiden, bila rakyat menghendakinya.

Tidak sulit untuk  melihat bahwa, Golkar yang lewat pemilu telah berhasil 
menggondol  kedudukan dalam DPR  sebagai partai terbesar nomor 2, amat takut 
pada PDI-P dan oleh karena itu dengan keras menolak Megawati menjadi 
presiden. Bukankah adalah  Golkar, sebagai parpol penyangga kekuasaan Orba,  
yang langsung terlibat dengan persekusi ORBA terhadap Megawati dengan sayap 
PDI yang dipimpinnya. Ketika itu PDI pimpinan Megawati, adalah satu-satunya 
parpol yang berani terang-terangan melawan pengontrolan Suharto terhadap PDI 
yang ia pimpin. Golkar menentang Megawati menjadi presiden, karena Golkar 
sendiri ingin berkuasa penuh lagi, dan - ini penting:  Golkar amat khawatir, 
bila PDI-P dengan Megawati sebagai pemimpinnua, akan melakukan politik 
"balas denam"  terhadap Golkar. Begitu juga TNI, PPP, dll khawatir bahwa 
bila Mega jadi presiden, mereka akan mengalami "pembalasan" dari PDI-P. 
Selain itu.  mereka-mereka itu juga mengidap kekhawatiran, bahwa dengan 
Megawati sebagai presiden, gerak Reformasi dan Demokratisasi akan  
menggebu-gebu kembali, seperti saat sekitar gerakan menggulingkan Suharto 
pada tahun 1998. Dan kita tahu betul bagaimana takutnya Golkar, TNI dan para 
pendukung Orba itu takut setengah mati pada Reformasi dan Demokratisasi, 
meskiopun di mulut mereka meniakkan Reformasi dan Demokratisasi.

Manuver demi manuver,  yang keluar tampak dipelopori oleh Amien Rais, yang 
juga adalah penentang keras Mega jadi presiden, berhasil mendapatkan calon 
alternatif sebagai presiden RI yang ke-4: ABDURRAHMAN WAHID, Ketua Umum PB 
NU. Bersamasama,  mereka-mereka itu berhasil pula meyakinkan Mega dan PDI-P 
untuk menyetujui menjadi Wapres saja, meskipun dilihat dari jumlah kursi 
dalam MPR, PDI-P yang diketuainya berada jauh diatas PKB yang kelahirannya 
dibidani oleh Abdurrahman Wahid. Kompromi ini dilakukan demi "mengatasi 
krisis" dalam pemilihan presiden dan wapres. Begitulah menurut yang empunya 
analisis.

Hanya lebih sedikit setahun kombinasi Gus Dur-Mega bisa bertahan sebagai 
presiden dan wakil presiden. Sayang, karena,  di lihat dari  latar belakang 
politik kedua tokoh maupun parpolnya, koalisi kedua partai ini, PDI-P dan 
PKB,  adalah kombinasi yang terbaik saat itu untuk membuat roda Reformasi 
dan Demokratisasi bisa jalan terus.

Yang berikut ini adalah mungkinlah merupakan kunci untuk memahami mengapa 
PDI-P yang dipimpin oleh Megawati sampai begitu jauh dalam berpolitik 
sampai-sampai menyokong Surtiyoso kembali menjadi gubernur Jakarta Raya. 
Begini analisis saya:

Pada suatu ketika, para partisipan koalisi sudah begitu tidak cocoknya 
dengan politik dan cara memimpin pemerintahan dan negara oleh Gus Dur, 
mereka - para partisipan koalisi pemerintahan Gus Dur-Mega, mengadakan 
pertemuan tanpa Gus Dur, dan memutuskan untuk menggulingkan Gus Dur dan 
menggantikannya dengan Megawati sebagai presiden yang ke-5.  Mengenai 
sebab-musabab mengapa mereka-mereka itu tidak cocol lagi dengan Gus Dur, 
bisa dianalisis lagi belakang hari, bila berkenan untuk itu. Walhasil, Gus 
Dur jatuh dan Megawati naik. Nah, koalisi baru yang menjatuhkan Gus Dur dan 
menaikkan Mega, inilah yang sekarang sedang memerintah. Pemerintah ini  
sudah berniat untuk bertahan terus sampai pemilu 2004. Untuk itu dari waktu 
harus  mengadakan kompromi demi kompromi. Jalan lain tak ada.

Jadi, bila suatu koalisi, pada suatu ketika,  sudah sebegitu jauh sampai 
menjatuhkan  partner koalisinya  sendiri, yaitu Gus Dur, melalui berbagai 
manuver politik, maka apa  perlu mempertanyakan lagi, mengapa PDI-P 
mendukung sang militer Sutiyoso. Bukankah Sutiyoso, adalah partner baru dari 
koalisi yang berkuasa dewasa ini? Kalau tokh ada yang masih mau 
dipertanyakan, maka kiranya pertanyaan berikut ini adalah  lebih  interesan 
untuk dicari jawabnya:

APAKAH BISA DIBENARKAN SUATU KEKUATAN POLITIK YANG MENGANGGAP DIRINYA 
SEBAGAI KEKUATAN REFORMASI DAN DEMOKRASI, BERKOALISI BERSAMA KEKUATAN 
STATUSQUO, PENINGGALAN ORBA, AMBIL BAGIAN DALAM MENJATUHKAN PRESIDEN 
ABDURRAHMAN WAHID?

* * * * *


_________________________________________________________________
Chat with friends online, try MSN Messenger: http://messenger.msn.com