[Nusantara] "a.supardi" <a.supardi@chello.nl> : Akbar: Silakan Bentuk Dewan
Kehormatan
Reijkman Carrountel
reijkman@europe.com
Fri Sep 6 08:37:32 2002
"a.supardi" <a.supardi@chello.nl> : Akbar: Silakan Bentuk Dewan Kehormatan
5 Sep 2002 21:20:37 +0200
''Mungkin bagus juga tinggal di AS,'' Akbar tersenyum.
(kutipan selesai)
-----
Sehari setelah Vonis Tiga Tahun
Akbar: Silakan Bentuk Dewan Kehormatan
Sehari setelah divonis tiga tahun, Akbar Tandjung kebanjiran tamu.
Semuanya
ingin bertemu Akbar. Memberi dukungan moral. Setelah menerima tamu,
Akbar
keluar rumah. Putri bungsunya, Sekar Krisnauli, di dalam kamar. Bocah
TK itu
sedang menyelesaikan tugas mewarnai gambar Tweeni. Usai mewarnai,
Sekar,
yang mengenakan kaos putih bergambar dan celana pendek biru tua,
berteriak
memanggil-manggil papanya. Kemarin, Bali Post berada di rumah Akbar
Tandjung
di Widya Chandra, Jakpus.
''PAPA... papa....'' Tak ada suara menyahut. Lantas, dia keluar,
mencari
ayahnya di teras. ''Om, papa mana,'' katanya. Semua petugas dan ajudan
diam.
Akhirnya, Kurniawan, staf Akbar, menjawab, ''Papa sedang keluar
sebentar.''
Baby sitter datang dan merangkul Sekar. Gambar Tweeni dibawa ke dalam.
''Om,
jangan... jangan. Buatnya susah... susah jangan... jangan...'' Dia
berlari,
meminta kertas bergambar itu. Semua mata memandang haru pada bocah
polos
yang tak mengerti kalau ayahnya dinyatakan sebagai koruptor dan harus
menjalani hukuman tiga tahun penjara.
Menjelang petang, Akbar dan Nina datang. Keduanya sudah siap tampil di
televisi, siaran langsung. Mungkin, ini pilihan pahit. Apalagi dengan
predikat baru: terpidana. Tetapi, biarlah, toh masyarakat sudah tahu.
''Saya
berkewajiban memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa vonis itu
masih
belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Saya masih mengajukan banding,
sehingga saya masih harus menjalankan tugas-tugas saya, baik di DPR
maupun
di institusi partai,'' kata Akbar.
Akbar memakai batik coklat tua. Dia duduk tenang di kursi. Guratan
wajahnya
tetap tenang dan tabah. Seolah, vonis tiga tahun itu tak pernah turun.
Di
sampingnya, agak ke depan, duduk istrinya, Krisnina Maharani. Putri
bangsawan Solo itu duduk agak gusar. Wajahnya masih belum pulih.
Garis-garis
kesedihan itu masih tampak kuat. Juga pipi dan matanya yang masih
merah,
bekas tangisan yang belum hilang. Hanya sinar kecantikannya yang masih
menutupi kesedihan itu. Nina, begitu dia akrab disapa, mengenakan batik
yang
dulu pernah dipakai saat wartawan koran ini mewawancarainya secara
khusus,
saat Akbar masih di Rutan Kejaksaan Agung.
''Saat vonis dibacakan, saya sangat terkejut. Saya tidak menduga.
Sebab,
saya merasa tidak melakukan semua yang dituduhkan itu. Sejak semalam,
saya
memang kurang tidur. Saya salat tasbih (salat mohon keselamatan) di DPP
hingga dini hari. Lalu saya pulang. Sampai di rumah, saya tidur
sebentar dan
bangun sebelum subuh. Saya salat tahajud. Di persidangan, saya tak
henti-hentinya membaca doa, membaca surat Al Fatihah dan surat-surat
lain di
Alquran. Saya juga berdoa, ya Allah, saya ini sesungguhnya zalim pada
diri
saya sendiri, maka ya Allah, ampunilah saya,'' Akbar bicara dengan
datar.
Krisnina menyahut. Wajahnya pucat dan matanya berkaca-kaca. Saat vonis
diputuskan, dia mengaku kaget bukan main. ''Masya Allah, saya tidak
menyangka, hukuman ini terlalu berat bagi Bang Akbar. Saya berdoa,
semoga
Bang Akbar tetap kuat menerima cobaan yang berat ini,'' Nina menghela
napas
dalam-dalam.
Baik Akbar maupun Nina masih bisa sabar, teguh, kuat menghadapi ujian
berat
ini. Tetapi, bagi anak-anak, ujian ini tak kuasa dirasakan. ''Kalau
bertanya, siapa yang paling tak bisa menahan vonis Bang Akbar ini, anak
saya
yang ketiga, Triana Krishandini (SMP kelas II),'' tutur Nina. Anak
Akbar ada
empat. Yang sulung, Fitri Krisnawati (SMU). Adiknya, Karmia Krisanti
(SMU).
Keduanya belajar di negeri Paman Sam yang saat ini sedang berlibur di
Indonesia. Putri bungsu, Sekar Krisnauli (5), masih taman kanak-kanak.
''Yana -- panggilan Triana -- sampai bilang ke saya. Ma, dada saya
rasanya
seperti ditusuk-tusuk, sakit sekali. Bagaimana dengan perasaan Papa,''
Nina
tak kuasa menahan haru. Matanya berkaca-kaca. Wajahnya merona merah,
sedih,
susah, bersekutu dengan suasana hatinya yang gundah.
Hidup dalam setahun ini, sejak ditahan di rutan, imbuh Akbar, selalu
diselimuti tekanan. ''Saya merasa hidup saya selalu dalam
underpressure.
Tetapi, tidak mengapa. Saya sadari, dalam politik, semua bisa terjadi.
Masalah yang saya hadapi, juga banyak muatan politiknya. Saya coba
bercerita
kepada nyonya (istrinya, Nina) terhadap masalah saya. Dan, syukurlah,
di
rumah, saya mendapat ketenangan itu,'' aku Akbar, mengomentari
perlakuan
istrinya.
Nina mengimbuhi perkataan suaminya. Di rumah, dia memang ingin
menciptakan
suasana yang ringan. ''Saya tahu, tugas Bang Akbar sangat berat.
Apalagi
ditambah masalah ini. Saya mencoba untuk meringankan perasaan Bang
Akbar.
Kadang saya ingin agar Bang Akbar ikut bersenandung. Saya setelkan
radio,''
Nina bisa tersenyum, sambil melirik suaminya. ''Saya enggak tahu,
apakah
saya sudah bisa meringankan beban yang Bang Akbar rasakan,'' katanya
seperti
balik bertanya. ''Saya tenang selama di rumah,'' aku Akbar, menjawab
pertanyaan sang istri.
Selama lima bulan lebih menjalani persoalan Buloggate Rp 40 milyar
kerugian
negara, kata Nina, tidak ada yang berubah pada diri suaminya. Pada
keluarga,
Akbar tampil masih seperti yang dulu, saat kali pertama meminangnya.
''Tidak
ada yang berubah. Dia tidak emosional, tidak pemarah. Cuma, bedanya,
waktunya kini lebih sibuk. Tetapi, Bang Akbar masih bisa diajak
sharing,''
ungkap Nina, sambil sesekali melirik suaminya yang duduk tenang sambil
senyum-senyum. ''Kehidupan yang berat memang seperti menjadi alur
kehidupan
kami. Tetapi, syukurlah, Bang Akbar kadang masih nggodain anak-anak
saya,''
sambung pemilik ''The House of Solo'', buku yang diciptakannya itu.
Nina merasakan kembali masa-masa keruntuhan Golkar di awal reformasi.
Dia
menjadi objek kemarahan masyarakat. Dia ikut pula saat mobil Akbar
ditabrak,
panggung dirobohkan, iring-iringan kendaraan diserbu dan dibakar. Semua
asam-garam kehidupan ini dirasakan Nina hingga sekarang, saat vonis
hukuman
penjara itu dijatuhkan. ''Ya, saya memang hidup dalam underpressure,''
keluh
Akbar, menambahi ucapan istrinya.
Tetapi, kenyataan ini justru menjadikannya makin tabah dan percaya
diri.
Caci maki, cobaan dan ujian yang tiap kali menimpa diambil positifnya.
''Saya terus berdoa, saya minta agar saya diberi kekuatan, ketabahan,''
katanya. ''Saya masih bisa merasakan, sebelum anak saya pergi ke
sekolah,
mereka minta dicium dulu,'' Akbar mengenang.
Dukungan keluargalah yang menjadikan Akbar masih bisa bertahan seperti
ini.
''Alhamdulillah, keluarga saya terus-menerus men-support saya. Saya
merasakan, keluargalah yang menjadi tempat terakhir buat saya,'' Akbar
memandang istrinya, yang tersipu.
Memang, sudah sejak lama, keluarga Akbar, terutama anak-anaknya,
meminta
mantan Ketua PB HMI ini mundur dari panggung politik nasional. Terutama
Fitri dan Krismia, yang kini bersekolah di AS. Mereka tak tega melihat
ayahnya dicaci maki dan terus-menerus didera masalah politik. Keduanya
minta
Akbar ke AS, menemani mereka menyelesaikan studi sambil memperdalam
ilmu
atau mengajar. ''Mungkin bagus juga tinggal di AS,'' Akbar tersenyum.
Tetapi, soal mundur, Akbar masih perlu berpikir. ''Biarlah saya
selesaikan
dulu masalah ini,'' katanya. Banyak contohnya, para politisi yang
setelah
dihukum justru makin survive. ''Contohnya Pak AM Fatwa. Dia dulu
terhukum,''
katanya. Kini, Akbar tetap akan melaksanakan tugasnya, di DPR dan
Golkar.
Bagi Nina, keteguhan Akbar inilah yang justru mengundang dirinya makin
cinta. ''Bang Akbar itu bertanggung jawab. Saya makin respek. Politik
memang
dunianya. Dia teguh dan bertanggung jawab atas segala hal di dunianya
itu.
Dia konsisten. Dan saya menyadari hal itu. Saya tidak kapok menjadi
istrinya. Justru saya makin cinta,'' imbuh Nina salut, sambil
tersenyum.
Kalau toh dirinya didesak mundur, kata Akbar, itu artinya lawan
politiknya
sedang memainkan kartu politik untuk mengganti kursi yang sedang
didudukinya. ''Silakan saja. Silakan bentuk dewan kehormatan. Tetapi,
itu
kan ada mekanismenya. Ada aturannya. Mereka meminta demikian karena
mereka
ingin menduduki posisi yang sekarang ini saya duduki,'' jelas Akbar
seperti
menantang. ''Saya belum bisa menjawab permintaan itu. Proses ini belum
final. Saya berharap, di Pengadilan Tinggi, saya bebas,'' imbuhnya,
berharap. ''Sebab, saya belum bisa dinyatakan bersalah,'' ujarnya
mengakhiri
pembicaraan.
* Heru B. Arifin (BALI POST Online
--
__________________________________________________________
Sign-up for your own FREE Personalized E-mail at Mail.com
http://www.mail.com/?sr=signup