[Nusantara] Hendardi : Buruknya Situasi Peradilan
Ra Penak
edipur@hotmail.com
Fri Sep 13 11:13:31 2002
Hendardi : Buruknya Situasi Peradilan:
Rezim ”Impunity” dan Korupsi
Oleh Hendardi
Proses penegakan hukum yang menjadi kewajiban (obligation) dan tanggung
jawab (responsibility) aparat penegak hukum (law enforcement official)
dan
aparat peradilan (judiciary officials) telah berada dalam siuasi yang
sangat
buruk. Aparat kepolisian, kejaksaan dan kehakiman telah kehilangan
kewibawaan dan menjadi sumber kecaman publik akibat kegagalannya
menunaikan
kewajiban dan tanggung jawab untuk menegakkan hukum di Indonesia.
Kewajiban mereka dalam menegakkan hukum telah terhalangi oleh dua
tembok
besar dan kuat, yaitu pembebasan dari proses hukum (impunity) dan
merajalelanya korupsi. Jika kita periksa, antara impunity dan korupsi,
maka
keduanya saling bertalian satu sama lain. Impunity telah membuka
peluang
yang lebar bagi terjadinya korupsi dan sebaliknya korupsi memungkinkan
impunity terus berlangsung.
Rezim ”Impunity”
Kita semua maklum bahwa kekuasaan politik Orde Baru dibangun melalui
sebuah
kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime)—tergolong salah satu
kejahatan internasional—yang menjadi musuh seluruh umat manusia (hostis
generis humanis). Kejahatan intemasional yang dimaksud adalah kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).
Kejahatan itu berlangsung melalui berbagai perbuatan-perbuatan seperti
pembunuhan (murder), perampasan hak milik, perkosaan (rape),
penangkapan dan
penahanan yang sewenang-wenang (arbitrary arrest and detention),
penyiksaan
(torture), penganiayaan (persecution), penghilangan paksa (enforced or
involuntary disappearances), pengucilan dan perampasan kebebasan, serta
perbuatan kejam (cruel treatment) lainnya. Secara sistematis telah
menjadi
praktik teror selama puluhan tahun.
Pada tragedi kemanusiaan yang terjadi seiring dengan naiknya Soeharto
ke
panggung kekuasaan diperkirakan telah terbunuh sebanyak 500.000 orang,
kendati Indonesia sama sekali tidak dalam keadaan perang. Selain itu
sekitar
1,4 juta orang dijebloskan ke dalam penjara bahkan dibuang, selama
belasan
tahun ke beberapa pulau untuk diasingkan dari keluarga dan
teman-temannya.
Tragedi ini dikenal sebagai pembantaian 1965-1966.
Bukan hanya orang-orang yang menjadi pelaku dan bertanggung jawab dalam
kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat
(gross violation of human rights) dibebaskan dari proses hukum, bahkan
ironisnya, sampai kini banyak yang masih menikmati jabatan-ja-batan
penting
dalam pemerintahan dan lembaga-lembaga negara maupun berbagai
perusahaan
negara, tapi juga yang lebih mengerikan adalah sebagian mereka yang
menjadi
korban pelanggaran hak asasi manusia justru malah diadili dan dipenjara
belasan tahun, bahkan dengan vonis dan eksekusi hukuman mati.
Kejahatan besar yang dilatarbelakangi suatu kepentingan politik telah
dilanggengkan dengan rantai-rantai yang kokoh untuk menjamin
berlangsungnya
impunity tanpa rintangan. Belum cukup dengan pelanggengan ini, Orde
Baru
juga menambahnya dengan penyesatan-penyesatan berbagai peristiwa
kejahatan
politik dimana para korban kejahatan dijungkirbalikkan menjadi pelaku
kejahatan. Karena itu, sejarah Orde Baru adalah sejarah kepahlawanan
Soeharto dan para jenderalnya.
Begitulah sepanjang sejarah politik Orde Baru, seluruh pelaku dan
orang-orang yang bertanggung jawab dalam kejahatan politik dan
pelanggaran
hak asasi manusia yang berat, tetap menikmati pembebasan dari proses
hukum.
Sebagian mereka bahkan dianugerahi bintang-bintang jasa. Ini acap
berarti
semakin ba-nyak mereka terlibat dan bertanggung jawab dalam kejahatan
politik, semakin banyak pula bintang jasa yang diperoleh.
Dengan dinikmatinya impunity, maka pada tahun-tahun berikutnya
kejahatan
politik dan pelanggaran hak asasi manusia yang berat pun berulang.
Untuk menyebut sebagian catatan hitam itu; akhir tahun 1975 terjadi
aneksasi
atas Timor Lorosae, tahun 1984 terjadi Tragedi Tanjung Priok, tahun
1989
terjadi Tragedi Talangsari. Lampung, tahun 1991 terjadi Tragedi Santa
Cruz,
Dili, tahun 1993 terjadi Tragedi Haurkoneng dan Tragedi Marsinah, serta
tahun 1996 terjadi Tragedi 27 Juli, tahun 1998 terjadi Tragedi Trisakti
dan
Tragedi Mei dan Semanggi I, tahun 1999 terjadi Tragedi bumi hangus
Timor
Lorosae dan Tragedi Semanggi II.
Dengan banyaknya tragedi kemanusiaan dan banyak pula korban yang
terbunuh,
semestinya banyak pula orang yang bertanggung jawab itu diadili. Tapi
kenyataannya, orang-orang yang paling bertanggung jawab dalam setiap
kebijakan dan operasi untuk menumpas kebebasan berkumpul, berserikat
dan
berpendapat yang telah mengakibatkan terjadinya pembunuhan, penangkapan
dan
penahanan yang sewenang-wenang, serta penyiksaan dan penghilangan
paksa,
sangat langka diproses secara hukum.
Pada dasarnya, praktik impunity bukan hanya membebaskan para pelaku
kejahatan politik dan orang-orang yang bertanggung jawab dalam
pelanggaran
hak asasi manusia yang berat, tapi juga telah membuat mereka terus
berkeliaran dan pada gilirannya mengulangi perbuatan yang sama di lain
waktu. Impunity telah mengakibatkan aparat penegak hukum dan aparat
peradilan menjadi mandul untuk menegakkan hukum yang berdasarkan
keadilan.
Para pelaku kejahatan politik dan pelanggar hak asasi manusia terus
bebas
berkeliaran. Mereka menjadi pihak-pihak yang kebal (immune) terhadap
hukum.
Selain sebagai rezim pelanggar hak asasi manusia, rezim Soeharto juga
menguasai aparat penegak hukum dan aparat peradilan. Rezim ini telah
mengakibatkan lembaga-lembaga penegakan hukum menjadi kehilangan daya
dan
kewibawaannya. Bahkan orang-orang yang dilanggar haknya justru
dijadikan
tersangka dan didakwa ke pengadilan, serta akhirnya dijebloskan ke
dalam bui
atau dieksekusi hukuman mati.
Dengan begitu, bisa dipastikan bahwa aparat penegak hukum dan sistem
peradilan di Indonesia berada di bawah regime of impunity, yakni rezim
yang
berkepentingan untuk terus-menerus menghalangi dan membungkam seluruh
upaya
bagi penegakan hukum yang independen, tidak memihak (impartial) serta
berdasarkan keadilan.
Rezim Korupsi
Penting pula ditelusuri untuk keperluan apa kejahatan yang berlatar
belakang
politik dan pelanggaran hak asasi manusia yang berat itu dilakukan
dengan
sekaligus menegakkan regime of impunity?
Kejahatan bukanlah untuk kejahatan itu sendiri. Sebagaimana juga
pelanggaran
hak asasi manusia bukanlah untuk menikmati kekuasaan politik belaka.
Para
penguasa yang berkepentingan dengan impunity bertujuan lebih dari itu.
Mereka memakluminya bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam yang
melimpah.
Dengan itu, mereka segera memupuk kekayaan pribadi dengan menguasai
kekayaan
alam yang melimpah tersebut.
Minyak dan gas bumi, kayu dari penebangan hutan, serta barang tambang
lainnya dieksploitasi secara besar-besaran. Pertamina, para pemegang
hak
pengusahaan hutan (HPH) serta perusahaan tambang lainnya menikmati
kekayaan
hasil pengurasan kekayaan alam. Sumber keuangan rezim Orde Baru menjadi
melimpah dan APBN pun seolah tampak cukup sehat.
Tapi demi mengamankan kepentingan rezim politik itu, mereka pun
membiarkan
para pejabat birokrasi sipil dan militer menikmati korupsi dari APBN
maupun
usaha-usaha lainnya.
Wabah korupsi terus menjalar dan menjadi ”penyakit menular”, kemudian
membelenggu aparat penegak hukum dan aparat peradilan. Kita pun akrab
dengan
julukan ”mafia peradilan” yang memungkinkan pelaksanaan pengadilan
dapat
berubah menjadi ”peradilan sesat” (unfair trial).
Selain menikmati santapan korupsi dari anggaran rutin Departemen
Kehakiman
maupun anggaran rutin Kejaksaan, para hakim dan jaksa pun ikut terlibat
dalam mengobyekkan perkara.
Suap-menyuap atau sogok-menyogok menjadi panorama dan praktik umum.
Para
pelaku pelanggaran hukum atau kejahatan dapat menikmati vonis bebas
atau
keringanan hukuman yang menguntungkan dengan praktik dalam penyelesalan
perkara seperti itu.
Kendati korupsi dan sogok-menyogok adalah kejahatan atau tindak pidana,
tapi
para hakim dan jaksa maupun pengacara yang diduga kuat terlibat praktik
penyogokan, lebih sering justru menikmati pembebasan dan proses hukum.
Dengan kedudukannya sebagai aparat peradilan, mereka menikmati impunity
–
bebas dari hukum.
Pelaksanaan penegakan hukum di tangan mereka menjadi mandul. Bahkan di
antara mereka - telah menjadi tangan-tangan regime of impunity – yaitu
justru mengadili dan menghukum orang-orang yang menjadi korban
pelanggaran
hak asasi manusia.
Bisa dipastikan bahwa korupsi dalam sistem peradilan dapat diamankan
jika
impunity tetap langgeng. Malahan orang yang melaporkan kasus suap yang
melibatkan sejumlah hakim, dapat dituduh dan didakwa mencemarkan ”nama
baik”
. Kasus Endin Wahyudin membuktikan bagaimana seorang pelapor dapat
dituduh
dan didakwa, dan lebih gawat lagi bisa didakwa untuk kedua kalinya
dengan
melanggar prinsip ne bis in idem, bukan diproteksi.
Pelaksanaan penegakan hukum telah begitu buruk. Aparat kepolisian
seperti
sukar menemukan kewibawaannya sendiri sebagai penegak hukum, kendati
posisi
politiknya sudah dikukuhkan tidak lagi menjadi bagian dari TNI.
Sementara para hakim dan jaksa telah kehilangan martabat dan harga
dirinya
dengan rimbunnya praktik korupsi dan sogok-menyogok di lingkungan
mereka.
Sebagian pengacara pun justru menikmati situasi para hakim dan jaksa
yang
korup dan menjadi bagian dan lingkaran korupsi dan sogok menyogok itu.
Jika pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan telah menimbulkan
banyak
korban, maka impunity dan korupsi telah mengakibatkan proses penegakan
hukum
menjadi mandul tak berdaya.
Tampaknya dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, tidak bisa digaransi
sebagai hanya menjadi tanggung jawab aparat-aparat negara, karena
pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan, impunity dan korupsi terus
berlangsung nyaris tanpa halangan.
Untuk itulah partisipasi masyarakat dibutuhkan dalam menghentikan
pelanggaran hak asasi manusia, menghalangi kejahatan politik, serta
membalikkan keadaan agar hukum dapat berfungsi dan mereka yang jadi
korban
dapat meraih keadilan.
Penulis adalah Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia. .
_________________________________________________________________
Send and receive Hotmail on your mobile device: http://mobile.msn.com