[Nusantara] Syafruddin Azhar : Gerakan Modernisme Islam di Indonesia

Ra Penak edipur@hotmail.com
Fri Sep 13 11:14:57 2002


Syafruddin Azhar : Gerakan Modernisme Islam di Indonesia
Pemerhati sosial-keagamaan;
Editor IB van Hoeve Jakarta


PADA akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dunia Islam menghadapi
munculnya
gerakan modernisme. Gerakan modernisme Islam pada dasarnya berusaha
menyesuaikan ajaran Islam dengan perkembangan modern. Gerakan ini
berawal
dari Timur Tengah lalu menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam,
termasuk di
Kepulauan Nusantara.
Gejala modernisme Islam di Nusantara dapat dilihat sebagai gerakan
pembaruan
Islam. Akar pembaruan Islam di Nusantara sesungguhnya sudah dimulai
pada
abad ke-17, yang dimotori tiga ulama intelektual besar, yakni Nuruddin
ar-Raniri, Syekh Abdur Rauf Singkel, dan Muhammad Yusuf Makassar. Tokoh
ulama intelektual abad ke-19 yang membawa gerakan modernisme di
Nusantara
adalah Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.
Pemikiran pembaruan Islam di Nusantara kembali mengemuka pada era
1970-an,
yang antara lain dimotori Nurcholish Madjid, Munawir Sjadzali,
Abdurrahman
Wahid, Amien Rais, Dawam Rahardjo, Ahmad Syafi'i Ma'arif (Al-Munawar,
2001).
Mereka --sebagai intelektual modern-- berperan dalam peningkatan
kualitas
atau pencerahan kajian keislaman di Indonesia, serta menyumbangkan
pembentukan pemikiran dan gagasan pemahaman keagamaan baru.
Tokoh-tokoh pembaruan pemikiran Islam era 1970-an ini sangat berjasa
bagi
pengembangan etos ilmiah dan pendorong gerbong pembaruan pemikiran
Islam di
Indonesia. Mereka adalah sebagian dari intelektual Indonesia yang
posisinya
menjadi inner power atau kekuatan intelektual umat Islam --yang sangat
berjasa dalam menumbuhkan tradisi pemikiran 'Islam rasional' dan
Islamic
studies-- sebagai pusat unggulan di Indonesia.
Tampilnya Nurcholish Madjid (Cak Nur) di pentas pemikiran pembaruan
Islam
pada era 1970-an menandai bangkitnya tradisi intelektualisme Islam
Nusantara
di penghujung abad ke-20 oleh modern intellectual sebagai reviving
effects --Taufik Abdullah (2002) menyebutnya sebagai keinginan
'membangkitkan batang terendam'-- dari mata rantai tradisi
intelektualisme
Islam Nusantara yang terputus.
Cak Nur ketika itu sangat menonjol di antara intelektual muda. Ia
melontarkan gagasan mengenai modernisasi dan sekularisasi pemikiran
Islam,
yang kemudian terkenal dengan slogan Islam Yes, Partai Islam No. Sejak
masa
itu, kajian keislaman tidak lagi terbatas pada persoalan normatif
keagamaan,
tetapi juga pemikiran yang mengaitkan ajaran Islam dengan berbagai
persoalan
sosial kontemporer dan kemanusiaan seperti isu masyarakat madani,
demokrasi,
HAM, keadilan, gender, dan pluralisme.
Pengayaan pendekatan dalam memahami Islam sejak saat itu melahirkan
wacana
baru dalam pemikiran keislaman yang semakin luas dan beragam. Yang juga
merupakan reaksi terhadap pemikiran Barat seperti sekularisme,
radikalisme,
fundamentalisme Islam, komunisme sebagai 'musuh bersama', nasionalisme
yang
chauvinistic, dan eksploitasi manusia yang berlebihan.
Wacana baru ini ikut membuka khazanah intelektualisme, etos ilmiah,
pemerataan pendidikan, peningkatan sumber daya manusia, dan penghargaan
atas
hak-hak dasar kemanusiaan. Dalam konteks situasi bangsa Indonesia
sekarang
ini, dimensi intelektual dan kemanusiaan semacam ini menjadi sangat
penting.
Terlebih ketika Indonesia berada dalam krisis multidimensi --kumulasi
dari
krisis finansial, ekonomi, dan politik-- yang mem-blow-up dan bahkan
krisis
moral.
Para intelektual muslim Nusantara selama berabad-abad telah
menyumbangkan
pemikiran yang berarti bagi perkembangan Islam. Karya-karya mereka
telah
memberi warna yang amat berarti bagi pergumulan pemikiran keislaman.
Islam dan perubahan zaman
Umat Islam kini seolah dihadapkan pada realitas dilema yang
kompleks --antara das Sein dan das Sollen-- dengan sekian banyak
pertanyaan
beruntun dan saling berkaitan. Dinamika Islam abad ke-21 bagi kalangan
Barat
dianggap sebagai public enemy setelah runtuhnya komunisme, yang oleh
Francis
Fukuyama, penulis The End of History and the Last Man, menyebutnya
sebagai
'pungkasan sejarah' peradaban itu sendiri. Sejarah memasuki peradaban
baru
dengan pasar bebas sebagai doktrin kapitalisme yang keluar menjadi
pemenangnya. Dari sinilah kesan Islam sebagai antitesa kapitalisme
mulai
membias sebagai sebuah fenomena global.
Islam kemudian dijadikan musuh bersama, menggantikan komunisme yang
kehilangan raison d'etre-nya. Bagaimana Islam sesungguhnya? Islam
adalah
'agama perdamaian', tetapi mengapa dengan mudah dianggap sebagai agama
yang
melahirkan terorisme? Mengapa dengan mudah orang melihatnya sebagai
pasangan
antagonistik Barat dalam apa yang disebut Samuel P Huntington sebagai
clash
of civilizations?
Padahal, Islam adalah sebuah agama yang sangat heterogen yang tidak
menyepakati kehadiran sebuah lembaga pemilik otoritas atas interpretasi
doktrin. Antitoleransi dan fundamentalisme adalah salah satu bentuk
pilihan
bagi kalangan muslim, tetapi Islam tetap harus menjawab persoalan
sekularisme dan kebutuhan terhadap toleransi antaragama, seperti
terlihat
dari gejolak reformasi yang sedang menggelora di negara penganut
toleransi
seperti Iran.
Salah satu implikasi dari pendapat ini adalah keniscayaan bahwa
serangan
teror 11 September 2001 lalu, dan reaksi balik koalisi internasional
yang
dipimpin Amerika Serikat harus dilihat sebagai bagian dari benturan
antara
peradaban Islam dan Barat. Dalam konteks ini benar prognosis yang
dikemukakan oleh Karen Armstrong (2001), bahwa benturan itu akan sangat
mengerikan dan membahayakan. Implikasi lain adalah bahwa apa yang
dinilai
Barat sebagai hak asasi manusia (HAM) yang universal hanyalah produk
lanjutan dari kebudayaan Eropa, yang tidak dapat diterapkan pada
kebudayaan
lain yang tak memiliki tradisi serupa.***


_________________________________________________________________
Chat with friends online, try MSN Messenger: http://messenger.msn.com