[Nusantara] Benny Susetyo : Adakah "Kepantasan Publik" dalam Panggung Politik Kita?

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Mon Sep 23 04:48:45 2002


Benny Susetyo : Adakah "Kepantasan Publik" dalam
Panggung Politik Kita? 

SEBAGAI rakyat kecil, bisakah kita menerima seorang
pemimpin berstatus terpidana? Relakah kita diwakili
oleh seseorang yang oleh hukum dijatuhi sanksi
lantaran didakwa korupsi? Adakah perasaan bangsa kita
mampu menerima kenyataan ini sebagai sebuah takdir
kebangsaan, di mana anak cucu kelak akan mencatat
sejarah bahwa bangsa ini pernah diwakili oleh
terpidana yang dijatuhi hukuman 3(tiga) tahun? Mungkin
saja pertanyaan-pertanyaan tersebut terlontar begitu
saja dalam berbagai obrolan warung kopi di desa-desa,
grundelan sesama profesi di kota-kota, atau sekadar
rasan-rasan ibu rumah tangga. 

Tak ada yang perlu dijawab. Meski demikian, pertanyaan
tersebut amat penting diutarakan justru ketika kita
berbicara soal moralitas, hati nurani, mata hati,
kerendahan hati, dan keikhlasan hati. Jawaban dari
pertanyaan tersebut tidak terlalu penting untuk
dipublikasikan, karena setiap jiwa yang bersih tentu
akan mengetahui apa yang menjadi jawabannya. 

Yang lebih penting adalah tujuan mengutarakan
serangkaian pertanyaan tersebut, yakni sebagai bahan
untuk mengoreksi diri, bercermin atas
kesalahan-kesalahan masa lalu, serta dengan rendah
hati memandang kekuasaan sebagai amanah. 

Penyakit bangsa ini sebenarnya sudah terlalu parah.
Terutama penyakit dalam memandang kekuasaan politik
sebagai ''tuhan'' atau ''agama'', di mana pembelaan
atasnya harus dilakukan sehidup semati. ''Agama
kekuasaan'' ini membuat orang lupa diri, tidak sadar
bahwa seharusnya lebih baik ia tidak memegang kendali
kekuasaan. Barangkali saja dulu kita lupa untuk
membuatkan aturan tegas (aturan hukum) bahwa
koruptor/orang yang didakwa koruptor tidak boleh
memimpin organisasi-organisasi negara, karena
bersangkut-paut dengan harga diri publik. 

Akan tetapi, apakah kita bisa melupakan, menegasikan
atau menghindari bisikan nurani bahwa memimpin dalam
keadaan ''kotor'' sama saja dengan mengotori yang
dipimpin. Apakah perilaku politik Indonesia sudah
tidak bisa lagi menghargai nurani, mata hati? Apakah
perilaku politik Indonesia kini hanya bisa dihargai
dengan sebrankas uang, selembar cek atau deposito? 

Di mana hati nurani? Pertanyaan ini mungkin
membosankan kita dengar dari sejumlah orang yang kesal
dengan perilaku politik Indonesia. Namun, kalau tidak
dengan pertanyaan itu, bagaimana kita bisa
mengingatkan para politisi yang lupa daratan bahkan
nyaris ''lupa ingatan'' itu? 


***
JIKA mau jujur menilai sifat, Bang Akbar adalah sosok
politisi berwibawa yang memiliki emosi yang amat
stabil. Vonis pidana tiga tahun penjara baginya,
dihadapinya dengan tenang, sambil mengemukakan akan
mengupayakan jalan hukum yang lain untuk
memperjuangkan kebebasan dirinya (baca: naik banding).
Sedikit pun sulit melihat wajah Bang Akbar yang kesal,
emosional, marah, menggebu-gebu sambil menuding bahwa
pengadilan telah merekayasa dirinya atas hukuman itu. 

Dalam wawancara di sebuah stasiun televisi sesaat
setelah ia dijatuhi vonis, Bang Akbar juga tak
menampakkan kejengkelan akibat tekanan politik yang
luar biasa dari ''lawan-lawan'' politiknya. Tampak
dengan sabar ia melayani pers dan menjawabnya satu per
satu. 

Jika dihitung jenis orang dengan karakter seperti ini
di Indonesia, mungkin sangat sedikit sekali. Umumnya,
jika tekanan secara psikologis, sosial, politik, dan
ekonomi dibebankan di pundaknya, maka satu hal yang
tidak bisa tidak diperbuat adalah geram dengan wajah
yang memerah. 

Bang Akbar tidak demikian. Sangat pantas ia memimpin
Partai Golkar dengan sikap dan tindakan yang cukup
berwibawa. Mungkin ia ingin menandingi/menyaingi ragam
pemimpin kharismatik lain yang menjadi ciri khas
kepemimpinan di Indonesia, seperti Soekarno, Gus Dur,
Mega, dan sebagainya. 

Namun boleh jadi, kewibawaan Bang Akbar dalam paparan
di atas bukan sesuatu yang sedang kita perbincangkan.
Keterkaitannya yang kental dengan masa lalu dalam
rangka membangun rezim Orde Baru yang merusak tatanan
sendi masyarakat, serta keterlibatannya dalam kasus
penyelewengan dana Buloggate bagi masyarakat dilihat
sebagai 'cacat politik' yang sulit dihapus dari
memori. Akibatnya, keinginannya untuk terus memimpin
lembaga perwakilan rakyat pascavonis tiga tahun
penjara tentu saja perlu menjadi perenungan bersama. 

Seperti halnya pertanyaan-pertanyaan di atas, bisakah
kita menerima pemimpin seorang terpidana? 



***
SANGAT mungkin masyarakat sekarang melihat bahwa
realitas kehidupan saat ini dipenuhi dengan kepalsuan
belaka. Hukum penuh kepalsuan karena hukum bisa dibeli
tergantung siapa yang memiliki duit dan kekuasan.
Hukum darwinisme sosial telah berlaku dalam panggung
politik: "Siapa kuat dia menang, dan yang lemah
minggir saja." 

Cinta yang tulus telah hilang dari sanubari bangsa
ini. Yang ada hanya kecenderungan untuk memuaskan diri
dalam dunia kekuasaan dan kepopuleran. Demi semua itu
orang memperhambakan dirinya untuk mengejar nafsu
kuasa, ketamakan, kerakusan dengan segala akal
kelicikan. 

Juga, sangat tidak salah jika masyarakat melihat bahwa
sanubari bangsa ini sudah kehilangan harga diri
sejati. Harga diri hanya bisa dinilai dengan yang
material. Akibatnya, orientasi hidup bukan untuk
memperjuangkan kebenaran. Ini realitas bangsa yang
sulit kita bantah. 

Maka, dengan segala penghormatan atas jati diri Bang
Akbar, dengan segala kewibawaan dan kerendahan hati
yang dimilikinya, perlu kita 
ingatkan bahwa bangsa ini resah secara moral kalau
beliau tetap bertahan pada kekuasaan (sebelum status
hukumnya benar-benar jelas). 

Mengapa? Sebab dengan cara bertahan seperti itu, maka
Bang Akbar akan terkena vonis yang lebih menyedihkan.
Ia dinilai telah menghilang-hanguskan kepantasan
publik yang memang lama hilang dalam memori bangsa
ini. Ia akan divonis menghilangkan harga diri bangsa
yang terdalam. Moralitas publik sudah dipandang
sebelah mata saja ... 

Hilangnya kepantasan publik akan membuat orang tega
menipu sesama. Di samping itu, kepantasan publik juga
tak ada nilainya sama sekali. Mungkin ini sama saja
dengan membohongi diri sendiri hanya semata-mata untuk
menjaga harga diri. Jika semua demi egoisme diri, maka
orang tak lagi malu menipu publik dengan kebohongan.
Pusaran kebohongan itulah yang akan selalu menyelimuti
masa depan kita sebagai bangsa. 

Realitas yang mencoreng wajah keadilan kita adalah
karena hukum masih dimainkan oleh instrumen politik.
Siapa yang memenangkan pertarungan politik dia akan
menguasai hukum. Dan, hukum bisa dipermainkan karena
keputusannya tak memiliki dampak terhadap moralitas
seseorang. Darwinisme politik berlaku dan menyerang
dengan ganas dunia hukum dan moralitas! 

Sebaiknya Bang Akbar dengan rendah hati menyatakan
akan menuntaskan status hukumnya dulu sebelum ia
memimpin kembali institusi rakyat. Sebab, jika yang
terjadi adalah seperti itu sangat dimungkinkan terjadi
delegitimasi lembaga rakyat. 

Perlu kita ingatkan bahwa sesungguhnya kekayaan,
kekuasaan, kepopuleran, dan kesuksesan tak ada artinya
sama sekali bila orang tak memiliki martabat
kemanusiaannya. Jika nyawa berarti orang memiliki
harga diri, martabat kemanusiaan dan cinta kepada
sesama, maka jika orang sudah tak memiliki semua itu,
bukankah sama saja dengan dikatakan kehilangan nyawa? 

Harga diri bukan tergantung gelar, kepandaian,
kepangkatan, dan kekuasaan seseorang, akan tetapi
harga diri adalah bila orang mau mengikuti jalan
lurus, di mana orientasinya memekarkan nilai keadilan,
kejujuran, kebahagiaan, dan kesejatian. Ini akan
melahirkan sikap berani bertanggung jawab. Tidak
seperti saat ini, di mana elite politik semua lari
dari tanggung jawab terhadap persoalan TKI , Poso,
Ambon, dan lain-lain. 

Ini mungkin terjadi kalau ada kepatuhan terhadap suara
hati, yakni dengan berani mempertanggungjawabkan
terhadap makna kekuasaan. Kalau Bang Akbar benar-benar
mengabdi rakyat, maka sudah sepantasnya bila beliau
menyadari sejujur-jujurnya apa yang sedang terjadi.
Sebab hanya orang yang masih memiliki suara hati yang
mampu memberikan jawabannya. 

Dan, di mana Bang Akbar meletakkan suara hati ketika
memutuskan tetap bertahan? 

Bila suara hati diletakkan dalam kerangka kekuasaan,
maka suara hati akan dimatikan. Tetapi bila suara hati
dicerminkan dalam kesejatian diri-jiwa, maka Bang
Akbar akan bisa memutuskannya dengan sangat tepat! 

BENNY SUSETYO PR Pengamat sosial politik 
 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com