[Nusantara] Harry Roesli: Bang Akbar: "Ah Sudahlah!"
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Sep 24 09:12:01 2002
Harry Roesli: Bang Akbar: "Ah Sudahlah!"
DUA minggu lamanya saya menunggui kedua orangtua saya
yang sedang sakit di RS St Carolus, Jakarta. Selama
itulah saya melihat jenazah keluar-masuk rumah sakit
tersebut. Ini membuktikan tidak ada yang pasti di
kehidupan ini, kecuali mati atau koit atau "is dead"!
Memang mati itu sebuah kepastian, itulah sebabnya
ajaran-ajaran agama banyak yang mengajak umat untuk
bersiap diri menghadapi yang pasti tadi. Dan yang
pasti, Bang Akbar, kalau nanti saatnya tiba dan
didatangi malaikat pencabut nyawa, tidak mungkin dia
berkilah, "Eit malaikat! Nanti dulu! Belum ada
keputusan hukum yang tetap!" Juga apa pun alasan
Sutiyoso, "Lho saya ini gubernur yang dipilih secara
demokratis (versi DPRD), tidak bisa ente mencabut
nyawa saya begitu saja!" Toh, kalau sudah waktunya,
mau demokratis, demopetis, demomringis bahkan
demonyong lu! tetap (kalau sudah ajalnya) akan
demo-matis alias "is dead" tadi.
Jadi apalah artinya kursi Ketua DPR! Apalah artinya
kursi gubernur! Apalah artinya kursi kepresidenan!
Bahkan seorang marinir berpangkat sersan dengan tubuh
tegap dan wajah keras, yang duduk di kursi semen di
hadapan saya di taman tengah RS St Carolus, akhirnya
menangis dan lunglai! Kenapa? Karena di sebelah dia,
duduk seseorang (yang sok tahu) dan menyapa, "Istri
Anda kena kanker? Kanker apa?"
"Saya tidak tahu," jawab si marinir
"Wah gawat! Apalagi kalau kankernya sudah sampai taraf
stadion tiga (maksudnya stadium tiga)!"
"Saya tidak tahu," si marinir bertambah lunglai.
"Kalau sudah gawat begitu, harus segera di demoterapi
(maksudnya di kemoterapi)!"
"Saya tidak tahu," air mata mulai meleleh di pipi si
marinir.
"Coba Anda tanya ke dokter, apakah kankernya itu
kanker parmesan (maksudnya pankreas)."
"Saya tidak tahu."
"Kalau begitu istri Anda harus segera ditranfusi
darah! Tetapi, tidak boleh sembarangan! Darah yang
ditransfusikan harus di fisioterapi dulu (entah apa
maksudnya ini)!"
"Saya tidak tahu."
Memang siapa pun Anda, kalau dihadapkan pada masalah
yang Anda tidak tahu, otomatis Anda jawab, "Saya tidak
tahu."
Logikanya, ketidaktahuan inilah yang menyebabkan kita
sok tahu. Jadi, mungkin, karena Bang Akbar tidak tahu
bahwa rakyat ingin dia mundur, menyebabkan dia tidak
mundur. Ketidaktahuan Bang Yos bahwa rakyat ingin dia
berhenti, menyebabkan dia malah terus! Ketidaktahuan
anggota parlemen bahwa mereka itu wakil rakyat,
menyebabkan mereka enggan menyerahkan daftar kekayaan!
Ketidaktahuan Menteri Agama bahwa situs tidak boleh
dibongkar, menyebabkan dia malahan di-"bongkar"
masyarakat Sunda. Ketidaktahuan calon gubernur bahwa
menyogok anggota DPRD itu kriminal, menyebabkan dia
bilang, "Cuman makan-makan, kok!"
Dan ketidaktahuanlah yang menyebabkan saya menulis
artikel ini. Saya benar-benar tidak tahu lagi mana
pemimpin dan mana yang pemimpi! Saya benar-benar tidak
tahu lagi mana pejabat dan mana penjahat! Saya
benar-benar tidak tahu lagi mana Senayan dan mana
Ragunan! Saya benar-benar tidak tahu lagi mana
koperasi dan mana korupsi! Bahkan, ketika tadi pagi
saya bercermin, saya benar-benar tidak tahu lagi
apakah ini benar-benar wajah saya atau wajah Brad
Pitt! (Maaf! Ini serius!)
***
BICARA Brad Pitt, harus juga kita bicara F4. F4 adalah
bintang-bintang Taiwan yang manis-manis seperti gula
pembagian dari pabrik Jatiroto. Mereka benar-benar
merasuk ke kehidupan remaja kita. Bahkan, bukan saja
remaja yang menggandrungi F4, tapi banyak pejabat
tinggi negara kita yang juga gandrung pada F4, atau
F-F-F-F, atau Fulus-Fulus-Fulus-Fulus.
Kenapa harus empat kali fulus-nya? Karena dari sekian
ribu koruptor di Indonesia, baru empat orang yang
"kena"! Yaitu Tommy, Bob Hasan, Akbar Tanjung! (lho,
itukan cuma tiga! ... Ah sudahlah, anggap saja
empat!). Selama Republik ini berdiri, ada empat
presiden yang memimpin, yaitu Soekarno, Soeharto,
Habibie, Gus Dur, dan Megawati (lho, itu kan lima! ...
Ah sudahlah, anggap saja empat, karena salah satu dari
mereka sama sekali tidak memimpin!) Yang meninggal
karena gonjang-ganjing reformasi, ada empat orang
mahasiswa Trisakti (lho, yang meninggal di Semanggi I
dan Semanggi II bagaimana? ... Ah sudahlah!). Dan
Kasus Buloggate pun ada empat, yaitu Buloggate I dan
Buloggate II (lho, itukan cuma dua! ... Ah sudahlah,
harusnya sudah empat kok!)
***
KATA-kata "Ah sudahlah" pada alinea di atas adalah hal
yang biasa di kehidupan kita sekarang. Contohnya, pada
abad milenium ini masih ada mati listrik di kota
Jakarta, tetapi kita menjawab, "Ah sudahlah!"
Akbar Tanjung yang menghambat dibacakannya mosi tidak
percaya kepada dia, sepertinya, sebentar lagi akan
kita jawab, "Ah sudahlah!"
Orang-orang yang hilang dan tidak ditemukan lagi,
ternyata sekarang ditimpali jawaban, "Ah sudahlah!"
Kasus dana PPP yang ada di PT QSAR? Lagi-lagi akan
terjawab dengan, "Ah sudahlah!"
Lalu ke mana subsidi bensin untuk rakyat? "Ah
sudahlah!"
Kok, anggaran buat pendidikan rendah sekali? "Ah
sudahlah!"
Kok, negara tetangga sudah sembuh, kita masih sakit
terus? "Ah sudahlah!"
Ibu Mega mengeluh, katanya pemerintah jangan dikritik
terus, nanti tidak bisa bekerja! "Ah sudahlah!"
Jadi pemerintah minta dipuji? "Ah sudahlah!"
Katanya, baru-baru ini ada yang kawin lagi ya? "Ah
sudahlah!"
Pak Harmoko ke mana, ya? "Ah sudahlah!"
Amandemen? "Ah sudahlah !"
Presiden dipilih langsung? Maksudnya Presiden yang
sekarang, langsung jadi Presiden lagi pada tahun 2004!
Persis seperti rambu lalu lintas, belok kiri langsung!
"Ah sudahlah!"
Sekali lagi, Pak Harmoko ke mana ya? "Ah sudahlah!"
Kasus 27 Juli? Wah, itu sih, jawabannya harus memakai
huruf besar, "AH SUDAHLAH!"
Permisi! ... Ah sudahlah!
Ah sudahlah! ... Ya memang sudah, kok!
Sudah, ah !!!!! *
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com