From a.supardi@chello.nl Fri Aug 2 05:44:11 2002 From: a.supardi@chello.nl (a.supardi) Date: Fri, 2 Aug 2002 06:44:11 +0200 Subject: [pdiperjuangan] SELAMAT BEKERJA Message-ID: <004401c239df$3edd83b0$39118418@DJ4KTB0J> This is a multi-part message in MIME format. ------=_NextPart_000_0041_01C239F0.0255B1E0 Content-Type: text/plain; charset="iso-8859-1" Content-Transfer-Encoding: quoted-printable Sdr Pengelola yang budiman, Saya pribadi menyambut baik keberadaan milis !!! Saya tambahkan bukan untuk = maksud=20 mengkultusindividukannya!!! Namun saat ini, belum ada pemimpin yang bisa (bukan menandingi) = sehaluan, sekharikmatik dan setenang serta sekonsisten seperti yang ditunjukkan oleh Mbak Mega! Mudahan-mudahan sesudah Mbak Mega dipilih kembali (ini perjuangan sangat = berat!!!) menjadi Presiden untuk masa bhakti 2004-2009, sudah bisa dipastikan Mbak Mega akan (BACA: = HARUS) DIGANTI dengan pemimpin yang sama konsisten dan tenang serta mungkin juga = sekharismatik Mbak Mega. SELAMAT KERJA KERAS DAN KONSISTEN SEPERTI YANG DITUNJUKKAN MBAK MEGA ! Salam perjuangan, A.Supardi Adiwidjaya ------=_NextPart_000_0041_01C239F0.0255B1E0 Content-Type: text/html; charset="iso-8859-1" Content-Transfer-Encoding: quoted-printable
Sdr Pengelola yang = budiman,
 
Saya pribadi menyambut baik keberadaan = milis=20 <pdiperjuangan (pro Mbak Mega!!!)>!!!
Saya tambahkan <pro Mbak Mega dengan = tanda seru=20 tiga kali> bukan untuk maksud
mengkultusindividukannya!!!
Namun saat ini, belum ada pemimpin yang = bisa (bukan=20 menandingi) sehaluan, sekharikmatik
dan setenang serta sekonsisten seperti = yang=20 ditunjukkan oleh Mbak Mega!
Mudahan-mudahan sesudah Mbak Mega = dipilih kembali=20 (ini perjuangan sangat berat!!!) menjadi Presiden
untuk masa bhakti 2004-2009, sudah bisa = dipastikan=20 Mbak Mega akan (BACA: HARUS) DIGANTI
dengan pemimpin yang sama konsisten dan = tenang=20 serta mungkin juga sekharismatik Mbak Mega.
 
SELAMAT KERJA KERAS DAN KONSISTEN = SEPERTI YANG=20 DITUNJUKKAN MBAK MEGA !
 
Salam perjuangan,
A.Supardi = Adiwidjaya
------=_NextPart_000_0041_01C239F0.0255B1E0-- From pdiperjuangan@polarhome.com Sat Aug 3 04:25:26 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (munindo) Date: Sat Aug 3 03:25:26 2002 Subject: [pdiperjuangan] PEMANDANGAN UMUM FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN 1/2 Message-ID: <3D4B2D2C.A651FC6@brd.de> PEMANDANGAN UMUM FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN PADA SIDANG TAHUNAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 Dibacakan oleh A. Teras Narang, SH. Nomor Anggota : A - 180 Yth. Saudara Presiden RI dan Wakil Presiden RI, Yth. Saudara Ketua dan segenap jajaran pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Yth. Saudara-saudara Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Yth. Para Duta Besar Negara Sahabat, serta Saudara-saudara sebangsa dan setanah air di mana pun berada, Assalamu'alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua. Merdeka! Sebagai umat beragama marilah terlebih dahulu kita memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmattNya, kita semua masih dianugerahi kesehatan dan keselamatan, sehingga kita semua bisa hadir di sini untuk melanjutkan tugas-tugas konstitusional kita sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Republik Indonesia yang kita cintai ini. Setiap kali kita bertemu dalam Sidang Majelis di ruangan yang mulia ini, ada satu pesan Sejarah yang tidak mungkin hilang dari ingatan kolektif kita sebagai bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat, yaitu sudah sampai di manakah kita berjalan dalam upaya mewujudkan cita-cita kemerdekaan kebangsaan kita? Sidang Tahunan kali ini adalah sebuah momentum yang sangat penting bagi Majelis karena, sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR No.IX/MPR/2000 juncto Ketetapan MPR No. XI/MPR/2001, pada Sidang Tahunan ini Majelis harus menyelesaikan tugasnya untuk membahas dan mensahkan perubahan UUD 1945 yang rancangan perubahannya telah disiapkan oleh Badan Pekerja MPR. Momentum tidak dapat dilepaskan dari tuntutan reformasi yang tindak lanjutnya telah diawali oleh MPR sejak tahun 1999 dalam bentuk Perubahan Pertama UUD 1945. Bagi fraksi PDI Perjuangan, reformasi tidak dapat diartikan lain kecuali untuk merealisasikan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 yang intinya adalah amanat penderitaan rakyat. Berangkat dari titik tolak itu, fraksi kami melihat bahwa di masa yang lalu praktek konstitusi terjadi banyak distorsi yang telah semakin menjauhkan kita dari amanat penderitaan rakyat itu, yang akibatnya masih kita rasakan hingga saat ini dan tidak mudah kita atasi. Dewasa ini, dirasakan perlu adanya perubahan terhadap UUD 1945, maka tujuan utamanya tidak lain adalah untuk lebih menjamin tercapainya cita-cita Proklamasi. Uraian di atas menunjukkan betapa para founding fathers kita yang secara bijak dan arif telah merumuskan cita-cita Proklamasi itu dalam Pembukaan UUD 1945. Lebih daripada itu di dalam Pembukaan UUD 1945 dirumuskan pula kekuatan pendorong yang menjadi motivasi bagi Kemerdekaaan Kebangsaan Indonesia itu. Atas dasar pertimbangan itulah Fraksi PDI Perjuangan selama ini cukup berhati-hati dalam menyikapi tuntutan akan perlunya perubahan terhadap UUD 1945 tersebut. Sikap hati-hati itu semata-mata untuk menjamin agar perubahan tersebut tidak mengarah pada pengingkaran cita-cita Proklamasi. Pemikiran konseptual yang menjadi landasan PDI Perjuangan dalam mengambil sikap terhadap agenda perubahan UUD 1945 dimulai dari pemikiran bahwa di dalam UUD 1945 terkandung unsur-unsur : (1) Ideologi konstitusi dan (2) Instrumen untuk menegakkan ideologi konstitusi tersebut. Ideologi konstitusi yang terkandung dalam UUD 1945 antara lain: (1) Dasar negara Pancasila, (2) Negara Indonesia adalah negara kesatuan, (3) Kedaulatan adalah di tangan rakyat, (4) Negara Indonesia adalah negara hukum, (5) Negara menjamin dan menghormati hak-hak asasi manusia, dan (6) Negara menciptakan kesejahteraan sosial bagi rakyatnya. Terhadap substansi ideologi konstitusi UUD 1945, PDI Perjuangan mempunyai sikap yang jelas dan tegas untuk tetap mempertahankannya secara konsekuen, dan secara tegas menolak setiap upaya yang hendak menggantinya dengan ideologi yang lain. Karena ideologi konstitusi yang terkandung dalam UUD 1945 adalah sudah bersifat final. Bagi fraksi kami, perubahan terhadap UUD 1945 justru harus meneguhkan ideologi tersebut. Sementara itu, terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam UUD 1945 yang bersifat instrumental, yaitu yang berkenaan dengan kelembagaan-kelembagaan negara, fraksi kami berpendapat dapat dilakukan perubahan terhadapnya, dengan tolok ukur yang jelas yaitu bahwa perubahan tersebut justru harus diarahkan agar ideologi konstitusi dapat diteguhkan, yang dengan demikian berarti pula cita-cita Kebangsaan Proklamasi 17 Agustus 1945 tetap menjadi landasan perjuangan bangsa. Demi tetap mempertahankan Pancasila sebagai ideologi konstitusi, yaitu sebagai dasar negara, maka di dalam UUD 1945 perlu ditegaskan bahwa Pembukaan tidak dapat dijadikan objek perubahan. Karena itu, dalam rumusan kaidah tentang perubahan undang-undang dasar perlu ditegaskan bahwa perubahan hanya dapat dilakukan terhadap ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal UUD 1945. Jadi, tidak termasuk Pembukaannya. Dasar pemikiran yang sama melandasi pula sikap PDI Perjuangan untuk tetap mempertahankan bunyi naskah asli dari Pasal 29 UUD 1945.20 Sidang Majelis Yang Terhormat, serta Saudara-saudara sebangsa dan setanah air...... Khusus tentang Pasal 29 ini perkenankanlah kami memberikan catatan penting, karena hal ini berkait dengan upaya dan proses pembentukan identitas kebangsaan kita yang dibangun di atas dasar keanekaragaman. Dalam upaya mewujudkan cita-cita untuk membentuk satu bangsa dari realitas sosiologis yang begitumajemuk, kepada kita telah diwariskan kearifan jiwa dan semangat persatuan yang begitu tulus oleh para pendiri bangsa ini, ketika beliau-beliau itu hendak merumuskan gagasan tentang hubungan negara dengan agama, yang hasilnya kemudian kita temukan dalam rumusan Pasal 29 undang-undang dasar kita. Dalam soal ini, fraksi kami berpendirian bahwa Pasal 29 itu adalah salah satu pilar utama dari bangunan kebangsaan kita, yang oleh para pendiri bangsa ini telah dirumuskan dengan begitu cermat, sehingga ia benar-benar terbukti dan teruji kekuatannya dalam menjaga dan menyangga bangunan kebangsaan kita. Karena, dengan rumusan yang ada dalam Pasal 29 itu, aspirasi seluruh komponen bangsa yang berbineka ini terakomodasikan dengan baik. Oleh sebab itulah, kami sangat yakin akan pendirian kami bahwa terhadap rumusan Pasal 29 itu tidak diperlukan perubahan apa pun, baik substantif maupun tekstual. Pendirian dan keyakinan kami itu juga mendapatkan pembuktian dan pembenarannya di masyarakat ketika dilakukan sosialisasi maupun uji sahih terhadap rancangan perubahan Undang-Undang Dasar ini di mana bagian terbesar aspirasi masyarakat mengenai soal ini menghendaki agar terhadap Pasal 29 tidak dilakukan perubahan apa pun. Itulah sebabnya, maka melalui kesempatan yang baik dan dari ruang sidang Majelis yang terhormat ini kami menghimbau seluruh komponen bangsa, khususnya segenap anggota Majelis, untuk merenungkan masalah ini sedalam-dalamnya, sehingga benar-benar hikmat kebijaksanaanlah yang memimpin nurani dan rasionalitas kita dalam mengambil keputusan mengenai soal ini, yaitu keputusan untuk tetap mempertahankan rumusan Pasal 29 itu sebagaimana adanya. Sidang Majelis Yang Terhormat, .... Tadi kami menyebutkan bahwa salah satu elemen yang termasuk dalam kategori ideologi konstitusi adalah penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang didambakan oleh seluruh rakyat Indonesia masih sangat jauh dari harapan. Maka, untuk memperkokoh ideologi konstitusi tentang negara hukum inilah fraksi PDI Perjuangan dalam sidang-sidang Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR telah mengusulkan agar dalam perubahan UUD 1945 dimasukkan lembaga Baru yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Kami bersyukur dan sekaligus berterima kasih bahwa usulan tersebut telah dapat disetujui oleh fraksi-fraksi lain dan kini sudah menjadi substansi penting Perubahan Ketiga UUD 1945. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi maka bukan saja berarti terjaminnya prinsip konstitusionalitas hukum (constitutionality of law) yang merupakan substansi penting dalam negara hukum, tetapi juga menjamin bahwa penegakan hukum akan berjalan secara sistemik dan lebih kongkret. Pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak konstitusi yang dilakukan oleh otoritas pembuat undang-undang, akan terbuka jalur hukum penyelesaiannya. Suatu hal yang di masa lalu justru lebih banyak diselesaikan dengan cara-cara non yuridisl. Krisis kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum kita yang tertinggi, yaitu Mahkamah Agung, secara kelembagaan akan dapat diperbaiki dengan adanya Komisi Yudisial. Dari kehadiran Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial inilah tercermin kerangka pikir fraksi PDI Perjuangan dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, yaitu tetap mempertahankan ideologi konstitusi, dalam hal ini negara hukum, dan secara instrumental melakukan perubahan, yaitu dengan membentuk lembaga baru untuk merealisasikan ideologikonstitusi tersebut. Sementara itu, ideologi konstitusi tentang negara kesatuan diperkuat dengan tetap mengkaidahkan dalam perubahan UUD 1945, bahwa bentuk negara adalah tetap, yaitu negara kesatuan yang berbentuk Republik. Ketentuan pada naskah asli UUD 1945, menurut hemat kami, secara normatif kurang kuat dalam memberikan jaminan terhadap kelangsungan bentuk negara kesatuan dan republik, karena tidak bisa menghindar dari kewenangan MPR untuk melakukan perubahan terhadap bentuk negara kesatuan dan republik dengan menggunakan mekanisme perubahan UUD 1945 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37. Oleh karena itulah, untuk menjaga ideologi konstitusi tentang bentuk negara kesatuan dan republik itu, fraksi PDI Perjuangan mengusulkan agar MPR tidak diberi kewenangan untuk mengubah kedua substansi fundamental itu. Kewenangan untuk melakukan perubahan terhadap bentuk negara adalah sepenuhnya merupakan hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Jadi, biarlah rakyat sendiri yang menentukan kehendaknya mengenai soal itu, dan itu pun dengan memenuhi persyaratan yang cukup berat. Karena dalam Rancangan Perubahan Pasal 37 justru tergambar bahwa akan sangat sulit untuk melakukan perubahan bentuk negara dibandingkan dengan sebelumnya. Sebab, jika menggunakan Pasal 37 naskah asli, tidak ada halangan normatif apa pun untuk mengubah bentuk negara kesatuan itu. Sedangkan, dalam Rancangan Perubahan Pasal 37, kewenangan untuk menentukan bentuk negara adalah di tangan rakyat sesuai dengan penegasan kita bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi itu adalah di tangan rakyat, sehingga kewenangan tersebut harus ditarik dari tangan MPR.20 Sidang Majelis Yang Mulia, Akan halnya elemen ideologi konstitusi tentang kedaulatan di tangan rakyat atau asas demokrasi, dijabarkan dan dikuatkan dalam Perubahan UUD 1945, antara lain, dengan melakukan demokratisasi pada lembaga perwakilan yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, yang keanggotaannya dipilih dalam Pemilihan Umum. Fraksi PDI Perjuangan tidak berkeberatan jika untuk meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi Presiden dan Wakil Presiden yang dahulu dipilih oleh MPR, pada ketentuan Perubahan UUD 1945 pemiilihannya dilakukan secara langsung oleh rakyat dan secara berpasangan. Di samping untuk meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung juga harus dipandang dalam konteks sistem pemerintahan presidensiil. Dalam hubungan ini, penting dicatat bahwa salah satu kesepakatan penting fraksi-fraksi yang ada di Majelis yang terhormat ini adalah kesepakatan untuk mempertahankan, dalam pengertian menyempurnakan, pelaksanaan Sistem Pemerintahan Presidensiil. Kita mengetahui bahwa salah satu ciri dari sistem pemerintahan presidensiil ini adalah adanya masa jabatan eksekutif yang bersifat pasti (fixed term). Dari manakah ciri ini diturunkan? Apa rasionalitas yang berada di belakangnya? Praktik di negara-negara yang menganut sistem ini menjelaskan kepada kita bahwa munculnya ciri itu adalah karena presiden dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga, pada dasarnya, dalam sistem presidensiil hanya rakyat pulalah yang berhak untuk memberhentikannya. Oleh karena rakyat tidak mungkin melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan sehari-hari secara langsung dan efektif maka kepada sang presiden diberikan suatu jangka waktu tertentu untuk menunjukkan kemampuan dan komitmennya dalam mengemban amanat rakyat yang telah memilihnya itu. Bila ia dinilai berhasil maka ia pasti akan dipilih kembali oleh rakyatnya. Sebaliknya, bila ia gagal maka sudah pasti pula rakyat tidak akan memilihnya. Namun, oleh karena adanya kecenderungan umum bahwa jika seseorang memegang kekuasaan terlalu lama ia akan terdorong untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, lebih-lebih untuk jabatan presiden yang dalam sistem presidensiil kekuasaan demikian besar, maka terhadap masa jabatan kekuasaan presiden itu pun diberi pembatasan. Lazimnya, menurut praktik, adalah paling banyak hanya untuk dua kali masa jabatan. Inilah yang telah kita tegaskan dalam undang-undang dasar kita. Masih dalam kerangka pembicaraan tentang sistem presidensiil, ada sementara pihak yang mengatakan bahwa persyaratan yang telah kita putuskan mengenai kapan sepasang calon presiden dan wakil presiden dinyatakan terpilih dan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden itu terlalu berat. Mungkin benar bahwa persyaratan itu seolah-olah berat. Namun baiklah pada kesempatan ini kita jelaskan kembali argumentasi yang ada di balik persyaratan itu. Persyaratan perolehan suara lebih dari 50% itu erat kaitannya efektivitas bekerjanya Roda pemerintahan. Kita paham bahwa tidak peduli dalam sistem parlementer maupun presidensiil, dukungan parlemen akan sangat menentukan berhasil-tidaknya realisasi program-program eksekutif. Dengan perolehan jumlah suara sebesar itu maka logikanya sebesar itu pula jumlah dukungan suara parlemen (DPR) yang dimiliki oleh pasangan presiden dan wakil presiden itu. Artinya, untuk program-program atau kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengharuskan adanya persetujuan atau dukungan parlemen (DPR), pihak pemerintah tidak akan terhambat dalam merealisasikannya, karena ia telah memiliki dukungan suara yang cukup di parlemen (DPR). Hal ini kiranya akan sulit terjadi jika persyaratan untuk dapatnya sepasang calon presiden dan wakil presiden dinyatakan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih hanya ditentukan berdasarkan suara terbanyak sederhana. Ada pula yang mempertanyakan mengapa harus disertai persyaratan persebaran di setengah jumlah provinsi dengan perolehan suara minimum 20% di setiap provinsi tadi. Dalam hubungan ini penting kiranya dijelaskan bahwa soal itu erat kaitannya dengan realitas bangsa ini. Kita menyadari bahwa bangsa ini begitu heterogen, baik dalam hal ras, etnik, agama, dan sebagainya, serta kediamannya yang tersebar di ribuan pulau, yang terbanyak ada di Pulau Jawa. Bangsa yang heterogen seperti itulah yang akan dipimpin oleh Presiden dan Wakil Presiden negeri ini. Oleh karena itu, dalam rangka memperkuat ikatan persatuan kebangsaan, adalah sangat penting untuk mengakomodasikan semaksimal mungkin aspirasi rakyat, khususnya untuk rakyat di daerah-daerah luar Jawa. Sehingga siapa pun nantinya pasangan yang terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden, mereka adalah pasangan pemimpin yang relatif mencerminkan akomodasinya akan realitas bangsa yang heterogen itu, bukan semata-mata atas dasar suara terbanyak. Uraian tadi dengan jelas menunjukkan bahwa persyaratan yang telah kita tetapkan untuk mendapatkan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih itu langsung berkaitan dengan upaya untuk memperkokoh persatuan nasional, upaya membangun rasa kebangsaan dan karakter bangsa (nation and character building). Tentu kita sadar bahwa tidak selamanya kondisi ideal yang demikian itu bisa dicapai. Oleh karena itulah pentingnya kita mengambil keputusan pada sidang ini bahwa jika persyaratan sebagaimana diuraikan tadi ternyata tidak Tercapai maka jalan keluarnya adalah dengan mengembalikan kepada rakyat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum. Selanjutnya, pasangan yang memperoleh suara terbanyak dari rakyat pada pemilihan putaran kedua itulah yang dinyatakan sebagai pasangan presiden dan wakil presiden terpilih. Yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa menurut fraksi PDI Perjuangan tidaklah bertentangan dengan ideologi konstitusi, dalam hal ini ideologi kedaulatan rakyat, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang telah dijelaskan tadi. Sebagai konsekuensi dari peningkatan kualitas demokrasi dan pengembalian kedaulatan kepada rakyat untuk memutuskan substansi-substansi yang sangat fundamental, maka memang MPR tidak lagi melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Perubahan (bukan penghapusan) yang terjadi terhadap status MPR ini menyangkut aspek instrumental dan bukan aspek ideologi dari konstitusi. Karena justru dengan perubahan ini, sebagaimana sudah kami singgung di depan, ideologi kedaulatan rakyat diejawantahkan. Dengan perumusan Pasal 1 Ayat 2 seperti yang sudah disebutkan pada uraian sebelumnya, bukan berarti eksistensi MPR menjadi lenyap. MPR masih tetap ada dan melaksanakan fungsi-fungsi konstitusional yang ditentukan oleh undang-undang dasar. Ia menjalankan fungsi-fungsinya itu menurut dan berdasarkan konstitusi. Memang, perubahan pada status MPR ini kemudian menyebabkan perubahan pada tatanan hubungan lembaga-lembaga negara dalam sistem UUD 1945, yaitu bahwa hubungan antar lembaga negara tidak lagi terstruktur secara hierarkhis melainkan tersusun secara fungsional, di mana undang-undang dasar memberikan fungsi kepada tiap lembaga negara. Adanya kekhawatiran bahwa akan timbul ketegangan antar lembaga negara dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, secara sistemik UUD 1945 setelah perubahan telah memberikan jalan keluar, yaitu dibentuknya Mahkamah Konstitusi, yang salah satu kewenangannya adalah untuk memutuskan sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar. Sidang Majelis Yang Terhormat, Menyangkut elemen ideologi konstitusi tentang penghormatan terhadap hak asasi manusia, hal ini sesungguhnya melekat pada ciri negara hukum (rule of law). Sebagai bangsa yang percaya kepada keniscayaan sejarah, maka kita juga percaya bahwa jika hendak menjadi bangsa yang besar, kita harus mampu menarik pelajaran dari sejarah. Praktik politik di masa yang lalu, nyaris selalu diwarnai oleh pelanggaran hak-hak asasi manusia, khususnya hak-hak sipil dan politik. Maka, untuk kepastian masa depan, pencantuman ketentuan tentang hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945 adalah sebuah keharusan. Hal ini bukan saja sebagai konsekuensi logis dari penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum, akan tetapi jika kita memang menginginkan kehidupan bernegara yang di dalamnya ingin dibangun kondisi bahwa setiap orang akan merasa aman dan tenteram sebagai bagian dari kesejahteraan spiritual, maka adalah sangat paradoks jika tidak ada jaminan konstitusional bahwa hak-hak asasi mereka terlindungi. Pelanggaran hak asasi manusia dapat bersifat horisontal maupun vertikal. Terhadap pelanggaran yang bersifat horisontal, maka forum untuk menyelesaikannya adalah pengadilan hak asasi manusia. Namun, pelanggaran hak asasi manusia sangat potensial untuk terjadi secara vertikal, yaitu bila dilakukan oleh pemegang fungsi-fungsi kenegaraan yang tertuang dalam produk-produk hukumnya. Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam Perubahan UUD 1945 juga harus dilihat dalam konteks ini.Karena Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu undang-undang inkonstitusional atau bertentangan dengan undang-undang dasar. Selanjutnya, perkenankan kami menyampaikan kepada Sidang Majelis yang terhormat ini, harapan kami agar kiranya kita senantiasa mempunyai kearifan untuk tidak menutup kemungkinan bagi penyelerasaan, perbaikan, bahkan penyempurnaan kembali Perubahan UUD 1945, yang rancangan perubahannya kita harapkan dapat diselesaikan pada Sidang Tahunan Majelis Tahun 2002 ini. Dengan demikian, kita dapat lebih memastikan bahwa perubahan UUD 1945 senantiasa akan taat asas pada nilai-nilai Proklamasi 17 Agustus 1945 dan penjabarannya dalam Pembukaan UUD 1945. Sidang Majelis Yang Terhormat, Sebagai konsekuensi dari perubahan yang telah kita lakukan terhadap UUD 1945, sudah tentu akan membawa dampak, baik secara struktural maupun fungsional terhadap lembaga-lembaga negara yang ada. Oleh karenanya, sejak saat perubahan itu dinyatakan berlaku maka semua lembaga negara harus menyesuaikan fungsi-fungsinya secara langsung maupun bertahap, sesuai dengan aturan yang ditentukan dalam ketentuan peralihan. Berangkat dari pemikiran itu, maka materi-materi Ketetapan MPR di luar substansi yang menyangkut materi muatan undang-undang dasar, menurut fraksi PDI Perjuangan tidak lagi memiliki status dan Kekuatan hukum seperti sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, kalau pun ada materi-materi tertentu yang dipandang penting di luar materi undang-undang dasar yang hendak disampaikan sebagai masukan kepada pemerintah maka hal itu secara hukum statusnya adalah sebatas rekomendasi. Sedangkan hal-hal yang secara substansial sesungguhnya merupakan materi muatan undang-undang dasar maka hal itu haruslah ditempatkan pembahasannya secara integral dengan pembahasan materi rancangan perubahan undang-undang dasar. Dengan kerangka pemikiran tadi, maka menurut pandangan fraksi kami rancangan keputusan MPR tentang penyelenggaraan Sidang Tahunan 2003, tidak lagi relevan. Kalaupun dilakukan Sidang Tahunan 2003, tentang penyelenggaraan sidang MPR ini Merupakan amanat dari pasal (1) Aturan Tambahan yang segera akan disepakati dan disahkan. Sehubungan dengan Rancangan Ketetapan MPR-RI tentang rekomendasi Kebijakan Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional Fraksi kami berpendapat muatan rekomendasi yang dimaksud sangat penting sebagai upaya untuk pemulihan ekonomi nasional. Rasanya telah menjadi kesadaran kita bersama dan kemudian memerlukan suatu komitmen yang lebih kuat dalam rangka pemulihan ekonomi yang dimaksud. Pertumbuhan ekonomi yanag lebih tinggi, terciptanaya kesempatan kerja yang lebih besar yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah merupakan harapan bagi Fraksi PDI Perjuangan pada khususnya dan kepentingan seluruh rakyat pada umumnya, karena begitu pentingnya upaya pemulihan ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan rakyat melalui forum yang terhormat ini fraksi kami menghimbau seluruh elite politik yang ada untuk memberikan prioritas yang tertinggi dalam pemulihan ekonomi yang dimaksud yang sangat ditunggu-tunggu hasilnya oleh rakyat. Rincian lebih lanjut terhadap materi ini akan kami sampaikan dalam Pandangan Fraksi di awal Sidang Komisi B. Mengenai Rancangan Ketetapan Pencabutan TAP VI / MPR / 1999 tentang Tatacara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia kami siap untuk melakukan pembahasannya dalam komisi yang ditunjuk. Dalam pembahasan Rancangan Ketetapan ini kami berangkat dari asas hukum Lex posteriori derogat legi priori, yang menyatakan undang-undang yang terbaru membatalkan secara otomatis undang-undang terdahulu dan asas hukum lex superiori derogat lex inferiori, yang enyatakan undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan undang-undang yang lebih rendah. Sidang Majelis Yang Terhormat, Selanjutnya, di bagian akhir pemandangan umum ini, fraksi kami ingin menyampaikan pandangan dan tanggapan atas laporan pelaksanaan Ketetapan-ketetapan MPR yang telah disampaikan oleh Presiden dan pimpinan lembaga-lembaga negara lainnya. Secara umum, fraksi kami sangat menghargai laporan-laporan tersebut, yang telah disampaikan secara lugas, transparan, dan apa adanya. Khusus mengenai laporan saudara Presiden, kami sangat menghargai kebijakan dan langkah-langkah nyata yang telah diambil pemerintah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan yang terjadi di berbagai daerah, khususnya daerah-daerah rawan konflik. Mengingat begitu besarnya akumulasi dan kompleksitas permasalahan di daerah-daerah tersebut, ditambah dengan beratnya beban yang ditanggung rakyat, sehingga pelaksanaan kebijakan yang diambil pemerintah memerlukan koordinasi dan efektivitas pelaksanaan yang lebih tinggi. Upaya-upaya yang telah dan akan diambil pemerintah di daerah-daerah konflik yang berupa pemulihan keamanan, penegakan hukum, pemulihan kehidupan sosial budaya dan ekonomi, tidak cukup hanya dengan komitmen pemerintah tetapi yang terpenting adalah dukungan tulus dari seluruh komponen bangsa ini. Untuk hal-hal mendasar yang berhubungan dengan penegakan hukum, kami sepakat dengan pernyataan Saudara Presiden yang mengemukakan bahwa penegakan hukum adalah sebuah proses yang melibatkan bukan hanya institusi-institusi yang berada di bawah pemerintah, badan-badan peradilan, dan kegiatan yang melibatkan profesi kepengacaraan yang tunduk kepada undang-undang yang mengaturnya. Karena memang persoalan penegakan hukum bukan hanya persoalan yang menyangkut aspek legal an sich namun sesungguhnya lebih banyak merupakan persoalan kultur yang telah terbentuk dan mengakar sedemikian kuat sehingga menjadi problem patologi sosial yang sangat kronis. Dan oleh karena itu maka penyelesaiannya tidak cukup hanya dengan menyelesaikan instrumen normatifnya, yaitu undang-undang, dan kerangka atau struktur hukumnya, melainkan masalahnya justru lebih banyak terletak pada persoalan kultur itu. Maka pendekatan normatif semata sangatlah tidak memadai untuk menyelesaikan persoalan itu, lebih-lebih jika dituntut harus selesai dalam waktu singkat. Sementara itu, kami sangat mendukung upaya pemerintah untuk memberikan prioritas kepada upaya pemulihan ekonomi, namun demikian langkah-langkah yang telah diambil oleh pemerintah dalam konteks peningkatan kesejahteraan rakyat belum cukup memenuhi harapan. Langkah-langkah yang telah dan akan diambil oleh pemerintah ke arah sasaran peningkatan kesejateraan yang dimaksud memerluka kebijakan ekonomi makro yang cermat, hati-hati, dan efektif untuk mengurangi beban utang luar negeri, restrukturisasi perusahaan yang berskala besar maupun menengah dan kecil. Kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah untuk memperkecil beban subsidi dalam APBN, khususnya pada harga BBM, tarif listrik, dan telepon, yang meskipun untuk jangka panjang memang diperlukan, hendaknya betul-betul dikaji secara cermat dengan memperhatikan daya beli dan tingkat kemampuan masyarakat untuk menanggung kenaikan beban dari kebijakan tersebut. Dalam hemat fraksi kami bahwa hasil nyata dari upaya pemulihan ekonomi yang dimaksud, dilihat dari perspektif kepentingan ekonomi rakyat, adalah terciptanya kesempatan kerja yang lebih luas, stabilisasi harga yang terjangkau yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memberikan harapan masa depan yang lebih baik. Dalam konteks peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dimaksud, fraksi PDI Perjuangan memberikan dukungan dan apresiasi yang tinggi terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan penghasilan para guru. Diharapkan, kebijakan ini dapat disusul oleh kebijakan yang sama untuk mereka yang bergerak di bidang pelayanan masyarakat, sudah tentu dengan memperhatikan perkembangan kemampuan keuangan pemerintah. Satu hal yang dalam pengamatan kami belum disinggung dalam laporan Saudara Presiden adalah pelaksanaan Ketetapan MPR tentang Pembaharuan Hukum Agraria, di mana kita semua tahu beberapa Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan soal ini sesungguhnya sudah dipersiapkan oleh pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun kami percaya bahwa pemerintah sungguh-sungguh memperhatikan persoalan ini karena menyangkut kehidupan seluruh rakyat. (bersambung ke bag. 2/2) From pdiperjuangan@polarhome.com Sat Aug 3 04:28:02 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (munindo) Date: Sat Aug 3 03:28:02 2002 Subject: [pdiperjuangan] PEMANDANGAN UMUM FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN 2/2 Message-ID: <3D4B2D3F.8AEB7965@brd.de> PEMANDANGAN UMUM FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN (bag. 2/2) ------------------------------------------------------------------------ Sidang Majelis Yang Terhormat dan Saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang berbahagia, Menanggapi laporan Saudara Ketua Dewan Pertimbangan Agung, dengan menyimak materinya, justru semakin menguatkan pandangan fraksi kami bahwa DPA sesungguhnya dan seharusnya merupakan bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif, karena fungsinya hanya memberikan nasihat kepada Presiden dan tidak kepada lembaga-lembaga negara yang lain. Lazimnya, sebuah lembaga negara yang berdiri sendiri dalam suatu sistem ketatanegaraan, ia akan mempunyai hubungan horisontal dan atau fungsional dengan lembaga negara lainnya. Dalam kasus DPA, hubungan semacam itu ternyata tidak ada. Oleh karena itu, di masa yang akan datang, sejalan dengan agenda Perubahan UUD kita, status dan keberadaan institusi yang memiliki fungsi-fungsi seperti fungsi-fungsi DPA saat ini sudah seharusnya secara tegas dinyatakan sebagai penasehat Presiden, sehingga karenanya ia masuk dalam rumpun lembaga kepresidenan. Adapun mengenai laporan dari Saudara Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, hendak kami katakan di sini bahwa sejalan dengan pergerakan proses reformasi yang salah satu muaranya adalah peningkatan peranan DPR di bidang fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi budgeter, kami sependapat bahwa sudah cukup banyak kemajuan dan peningkatan kinerja Dewan yang telah dicapai. Jika di dalam laporan Saudara Ketua Dewan disebutkan angka yang cukup signifikan, baik yang menyangkut pembahasan rancangan undang-undang, terutama yang bersumber dari inisiatif Dewan, maka hal itu adalah akibat logis dari Perubahan Pertama UUD 1945, dimana kekuasaan pembentukan undang-undang yang semula titik beratnya ada pada Presiden kini telah beralih ke tangan DPR, khususnya yang berkenaan dengan fungsi legislasi DPR. Namun demikian, fraksi kami masih mengharapkan peningkatan kinerja Dewan sejalan dengan tuntutan reformasi untuk membuat peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan bagi kepastian hukum. Sementara itu, dalam melaksanakan fungsi pengawasan, kita juga pantas memberikan apresiasi kepada Dewan. Kalaupun di sana sini masih terlihat ada langkah-langkah Dewan yang dapat dipandang berlebihan, sehingga dapat memberi kesan legislative heavy, maka hal itu haruslah dimaknai sebagai fenomena yang jamak terjadi dalam suasana transisi seperti yang kita alami pada saat ini. Demikian pula halnya dengan pelaksanaan fungsi Dewan dalam hal anggaran. Akan halnya laporan yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, fraksi kami dapat memahami hambatan-hambatan normatif maupun kelembagaan yang dihadapi oleh lembaga negara ini dalam melaksanakan fungsi-fungsinya. Kendatipun, pada tingkatan hukum dasar, khususnya setelah dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, pengaturan mengenai kewenangan lembaga ini sudah sangat memadai, kami paham bahwa kurangnya atau bahkan belum adanya instrumen normatif dan kelembagaan yang memungkinkan lebih operasionalnya fungsi-fungsi BPK telah mengakibatkan tidak maksimalnya pelaksanaan fungsi lembaga ini sesuai dengan kewenangan yang diberikan padanya oleh undang-undang dasar. Berkenaan dengan laporan Saudara Ketua Mahkamah Agung, kami sungguh menghargai kejujuran dan keterbukaan Saudara dalam memaparkan kendala-kendala yang dihadapi oleh Mahkamah Agung sebagai gerbang terakhir masyarakat dalam mencari keadilan. Memang benar, masalah tunggakan perkara, moralitas hakim, pengawasan terhadap para hakim, peningkatan kualitas SDM, terbatasnya prasarana merupakan persoalan-persoalan mendasar, bahkan nyaris klasik, yang menjadi kendala bagi Mahkamah Agung dalam memaksimalkan fungsi-fungsinya, namun kami wajib untuk tetap mengingatkan bahwa kendala-kendala itu hendaknya tidak dijadikan semacam conditio sine qua non oleh lembaga ini dalam melakukan fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam standar tertentu yang masuk akal, dalam melayani masyarakat serta memberikan jaminan akan keadilan. Sidang Majelis Yang Terhormat, Saudara-Saudara sebangsa dan setanah air, .. Sebelum kami mengakhiri Pemandangan Umum fraksi PDI Perjuangan, dengan kerendahan hati, kami hendak mengajak kita semua yang berada di ruangan ini untuk merenungkan satu ungkapan bijak yang mengatakan : "Berhati-hati dengan pikiran Anda, karena ia bisa menjadi kata-kata. Berhati-hatilah dengan kata-kata Anda, karena ia bisa menjadi tindakan. Berhati-hatilah dengan tindakan Anda, karena ia akan menjadi peruntungan Anda". Demikianlah Pemandangan Umum Fraksi PDI Perjuangan dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat 2002. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih. Merdeka ! Jakarta, 2 Agustus 2002 FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA From pdiperjuangan@polarhome.com Tue Aug 6 10:48:02 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (Olga nebo Sylvie Gondokusumo) Date: Tue Aug 6 09:48:02 2002 Subject: [pdiperjuangan] Fw: [Nasional] Oktober, AS Cabut Embargo Militer Message-ID: <007b01c23bec$56191440$bb6614d4@olgasylvie> ----- Original Message ----- From: "akang" To: "nasional" Sent: Saturday, August 03, 2002 12:58 AM Subject: [Nasional] Oktober, AS Cabut Embargo Militer > Sabtu, 3 Agustus 2002 > > Oktober, AS Cabut Embargo Militer > > JAKARTA- Pemerintah AS menjanjikan bantuan ekonomi, termasuk bantuan > militer, senilai 50 juta dolar kepada Pemerintah Indonesia. Selain itu, > AS mengisyaratkan akan mencabut embargo militer Oktober mendatang. > > Hal tersebut terungkap dari pembicaraan Menteri Luar Negeri AS Colin > Powell dengan Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara, Jumat > (2/8) siang. > Kedatangan Menlu AS diwarnai kericuhan, karena para pengawalnya tampak > ketakutan pada banyaknya wartawan yang meliput kunjungan tersebut. > Seperti menganggap rumah sendiri, mereka mengabaikan Paspampres dan > meminta wartawan menjauh dari Istana Negara. > > Pertemuan antara Mega dan Powell berlangsung setelah Menlu AS itu tiba > di Istana bersamaan dengan waktu salat Jumat, pukul 12.30. Mereka > langsung mengadakan pembicaraan dengan diikuti sejumlah menteri. > > Ikut dalam pembicaraan, Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, Menko > Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menlu Hassan Wirajuda, Menkeh > dan HAM Yusril Ihza Mahendra, Menhan Matori Abdul Djalil, dan Dubes AS > Ralph L Boyce yang mendampingi Powell. > > Usai bertemu Presiden, Powell mengadakan pertemuan dengan Yudhoyono di > Kantor Menko Polkam, Jalan Medan Merdeka Barat. Ikut hadir dalam > pertemuan tersebut Panglima TNI Endriartono Sutarto, Kapolri Da'i > Bachtiar, Kepala BIN AM Hendropriyono, dan Menhan. > > Seperti usai pertemuannya dengan Megawati, dalam jumpa pers selepas > bertemu Menko Polkam, Powell menjelaskan kunjungannya ke Indonesia > antara lain untuk berbagi strategi dengan Presiden dan departemen > terkait. > > ''Kami mempertimbangkan proses pembangunan ekonomi harus dilaksanakan > dan kami memberikan akses bantuan ekonomi, termasuk bantuan militer > sebesar 50 juta dolar. Bantuan itu akan diberikan secara bertahap. > Bantuan pada militer ini diberikan agar pihak militer Indonesia mampu > menghadapi terorisme,''katanya. > > Dia yakin bantuan tersebut akan mampu memerangi aksi terorisme, karena > AS menilai Indonesia adalah salah satu negara yang mau bekerja sama > dengan AS dan Indonesia juga menyadari terorisme merupakan musuh bersama > yang mengancam kehidupan masyarakat internasional. > > Masalah lain yang dibicarakan adalah berkaitan dengan pendidikan dan > pelatihan militer, termasuk soal pemberian beasiswa, agar TNI menjadi > lebih baik. Sedangkan yang paling standar adalah bagaimana TNI menjadi > institusi yang demokratis di dalam negeri ini sekaligus memulihkan > citranya. > > Sebelumnya Menlu Hassan Wirajuda mengungkapkan embargo militer AS > terhadap Indonesia akan segera dicabut. Pencabutan akan dilakukan > Kongres dan Senat Oktober mendatang. > > Menurut Menlu, Powell sebetulnya sudah beberapa kali berbicara di > Kongres soal perlunya embargo militer terhadap Indonesia dicabut. > Hasilnya ternyata cukup positif, sehingga bisa dipastikan embargo akan > dicabut pada persidangan Kongres dan Senat Oktober mendatang. > > Sementara itu, Kapolri Jenderal Pol Da'i Bachtiar membantah bantuan AS > itu untuk menekan Indonesia. ''Tidak ada itu,'' tegasnya usai mengikuti > pertemuan dengan Powell di Kantor Menko Polkam, kemarin. > > Demo LSM > > Sebelumnya, di tempat terpisah, sejumlah LSM dan kelompok masyarakat > melakukan aksi demo di depan Kantor Kedubes AS. Mereka menolak Powell > dan propaganda AS dalam memerangi terorisme. > > Demonstran mulai berdatangan pukul 14.00. Kelompok yang pertama datang > adalah massa dari Gerakan Pemuda Islam (GPI). Jumlahnya tak banyak, > sekitar 20 orang. Begitu datang, mereka langsung melakukan orasi. > > Salah seorang orator menegaskan, jika memusuhi muslim di Palestina, > Afghanistan, dan Irak, berarti AS memusuhi umat Islam di Indonesia. > Mereka menolak propaganda AS dalam menggelar perang terhadap terorisme. > > Lima menit kemudian datang juga demonstran yang lain. Mereka berasal > dari Gerakan Perempuan Indonesia, gabungan LSM-LSM perempuan. Jumlahnya > juga tak banyak, sekitar 20 orang. > > Mereka mendesak AS tidak melakukan aksi militerisme yang membabi buta. > Sejauh ini, kata mereka, sudah banyak kaum perempuan dan anak-anak yang > telah menjadi korban. > > Sejumlah instalasi milik AS di Jakarta seperti Kantor Kedutaan Besar AS > dan kediaman Duta Besar AS, mendapat penjagaan sangat ketat.Penjagaan > sangat ketat dilakukan aparat keamanan kedubes dibantu aparat kepolisian > dengan kekuatan satu SSK. > > Pengamanan yang agak ''keterlaluan'' juga terjadi di kediaman Dubes AS > Ralph L Boyce. Aparat keamanan kedubes meronda setiap menit. > > Jangan Intervensi > > Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan menyampaikan pernyataan > kepada Powell agar AS tidak melakukan intervensi dalam urusan dalam > negeri negara lain, termasuk Indonesia. > > ''Urusan kita jangan dicampuri. Jadi, kalau AS mau memerangi terorisme > di Indonesia, serahkan saja pada Pemerintah Indonesia,'' kata Ketua PBNU > Sholahuddin Wahid (Gus Solah), di Jakarta, Jumat kemarin, saat > menanggapi rencana pertemuan NU dengan Powell. > > Dalam kunjungan dua hari sejak Jumat kemarin, Powell juga dijadwalkan > bertemu dengan pimpinan NU, Muhammadiyah, dan MUI. > (A20,bu,tri,di-29,31t) > > Copyright© 1996 SUARA MERDEKA > From pdiperjuangan@polarhome.com Tue Aug 6 18:01:31 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (admin) Date: Tue Aug 6 17:01:31 2002 Subject: [pdiperjuangan] LITBANG PDI PERJUANGAN MENJAWAB ! (bag. 1/3) Message-ID: <3D4FD70E.E88E8D8E@brd.de> LITBANG PDI PERJUANGAN MENJAWAB ! (bag. 1/3): http://www.munindo.brd.de/mega_03/mega3_litbang_menjawab_1.html From pdiperjuangan@polarhome.com Tue Aug 6 18:36:31 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (admin) Date: Tue Aug 6 17:36:31 2002 Subject: [pdiperjuangan] LITBANG PDI PERJUANGAN MENJAWAB ! (bag. 2/3) Message-ID: <3D4FDA11.B570F15@brd.de> LITBANG PDI PERJUANGAN MENJAWAB ! (bag. 2/3): http://www.munindo.brd.de/mega_03/mega3_litbang_menjawab_2.htm From pdiperjuangan@polarhome.com Tue Aug 6 18:37:56 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (admin) Date: Tue Aug 6 17:37:56 2002 Subject: [pdiperjuangan] LITBANG PDI PERJUANGAN MENJAWAB ! (bag. 3/3) Message-ID: <3D4FDA2A.8FDC8D81@brd.de> LITBANG PDI PERJUANGAN MENJAWAB ! (bag. 3/3): http://www.munindo.brd.de/mega_03/mega3_litbang_menjawab_3.html From pdiperjuangan@polarhome.com Wed Aug 7 02:37:27 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (admin) Date: Wed Aug 7 01:37:27 2002 Subject: [pdiperjuangan] MASIH YANG TERBAIK:PEMANDANGAN UMUM FRAKSI PDI PERJUANGAN - Tampubolon Message-ID: <3D50587B.B6DC5A82@brd.de> Posting yang kami rubah kedalam format Text/Plain. Dengan harapan untuk selanjutnya yang bersangkutan mengikuti aturan dimilis Nasional. ---------------------------------------------- Datum: Mon, 5 Aug 2002 08:09:50 +0700 Von: "Ferry-Daniel Tampubolon" An: nasional --------------------------------------------- Hi Rekan Rekan Bangsa Indonesia, Suka atau Tidak Suka,ternyata adalah benar menurut saya PDI-P masih merupakan parpol terbaik diantara yang ada di Indonesia sekarang ini. Salah satu buktinya , adalah kekonsistenan PDI-P untuk berkata TIDAK terhadap rencana perubahan pasal 29 UUD 45 sebagai issue paling sensitive sekarang ini. Argumentasinyapun sangat kuat sbb: Karena itu, dalam rumusan kaidah tentang perubahan undang-undang dasar perlu ditegaskan bahwa perubahan hanya dapat dilakukan terhadap ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal UUD 1945. Jadi, tidak termasuk Pembukaannya. Dasar pemikiran yang sama melandasi pula sikap PDI Perjuangan untuk tetap mempertahankan bunyi naskah asli dari Pasal 29 UUD 1945.20 Sidang Majelis Yang Terhormat, serta Saudara-saudara sebangsa dan setanah air...... Khusus tentang Pasal 29 ini perkenankanlah kami memberikan catatan penting, karena hal ini berkait dengan upaya dan proses pembentukan identitas kebangsaan kita yang dibangun di atas dasar keanekaragaman. Dalam upaya mewujudkan cita-cita untuk membentuk satu bangsa dari realitas sosiologis yang begitumajemuk, kepada kita telah diwariskan kearifan jiwa dan semangat persatuan yang begitu tulus oleh para pendiri bangsa ini, ketika beliau-beliau itu hendak merumuskan gagasan tentang hubungan negara dengan agama, yang hasilnya kemudian kita temukan dalam rumusan Pasal 29 undang-undang dasar kita. Dalam soal ini, fraksi kami berpendirian bahwa Pasal 29 itu adalah salah satu pilar utama dari bangunan kebangsaan kita, yang oleh para pendiri bangsa ini telah dirumuskan dengan begitu cermat, sehingga ia benar-benar terbukti dan teruji kekuatannya dalam menjaga dan menyangga bangunan kebangsaan kita. Karena, dengan rumusan yang ada dalam Pasal 29 itu, aspirasi seluruh komponen bangsa yang berbineka ini terakomodasikan dengan baik. Oleh sebab itulah, kami sangat yakin akan pendirian kami bahwa terhadap rumusan Pasal 29 itu tidak diperlukan perubahan apa pun, baik substantif maupun tekstual. Pendirian dan keyakinan kami itu juga mendapatkan pembuktian dan pembenarannya di masyarakat ketika dilakukan sosialisasi maupun uji sahih terhadap rancangan perubahan Undang-Undang Dasar ini di mana bagian terbesar aspirasi masyarakat mengenai soal ini menghendaki agar terhadap Pasal 29 tidak dilakukan perubahan apa pun. Itulah sebabnya, maka melalui kesempatan yang baik dan dari ruang sidang Majelis yang terhormat ini kami menghimbau seluruh komponen bangsa, khususnya segenap anggota Majelis, untuk merenungkan masalah ini sedalam-dalamnya, sehingga benar-benar hikmat kebijaksanaanlah yang memimpin nurani dan rasionalitas kita dalam mengambil keputusan mengenai soal ini, yaitu keputusan untuk tetap mempertahankan rumusan Pasal 29 itu sebagaimana adanya. Sidang Majelis Yang Terhormat, .... Tadi kami menyebutkan bahwa salah satu elemen yang termasuk dalam kategori ideologi konstitusi adalah penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang didambakan oleh seluruh rakyat Indonesia masih sangat jauh dari harapan. Maka, untuk memperkokoh ideologi konstitusi tentang negara hukum inilah fraksi PDI Perjuangan dalam sidang-sidang Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR telah mengusulkan agar dalam perubahan UUD 1945 dimasukkan lembaga Baru yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Kami bersyukur dan sekaligus berterima kasih bahwa usulan tersebut telah dapat disetujui oleh fraksi-fraksi lain dan kini sudah menjadi substansi penting Perubahan Ketiga UUD 1945. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi maka bukan saja berarti terjaminnya prinsip konstitusionalitas hukum (constitutionality of law) yang merupakan substansi penting dalam negara hukum, tetapi juga menjamin bahwa penegakan hukum akan berjalan secara sistemik dan lebih kongkret. Pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak konstitusi yang dilakukan oleh otoritas pembuat undang-undang, akan terbuka jalur hukum penyelesaiannya. Suatu hal yang di masa lalu justru lebih banyak diselesaikan dengan cara-cara non yuridisl. Krisis kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum kita yang tertinggi, yaitu Mahkamah Agung, secara kelembagaan akan dapat diperbaiki dengan adanya Komisi Yudisial. Dari kehadiran Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial inilah tercermin kerangka pikir fraksi PDI Perjuangan dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, yaitu tetap mempertahankan ideologi konstitusi, dalam hal ini negara hukum, dan secara instrumental melakukan perubahan, yaitu dengan membentuk lembaga baru untuk merealisasikan ideologikonstitusi tersebut. Sementara itu, ideologi konstitusi tentang negara kesatuan diperkuat dengan tetap mengkaidahkan dalam perubahan UUD 1945, bahwa bentuk negara adalah tetap, yaitu negara kesatuan yang berbentuk Republik. Ketentuan pada naskah asli UUD 1945, menurut hemat kami, secara normatif kurang kuat dalam memberikan jaminan terhadap kelangsungan bentuk negara kesatuan dan republik, karena tidak bisa menghindar dari kewenangan MPR untuk melakukan perubahan terhadap bentuk negara kesatuan dan republik dengan menggunakan mekanisme perubahan UUD 1945 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37. Oleh karena itulah, untuk menjaga ideologi konstitusi tentang bentuk negara kesatuan dan republik itu, fraksi PDI Perjuangan mengusulkan agar MPR tidak diberi kewenangan untuk mengubah kedua substansi fundamental itu. Kewenangan untuk melakukan perubahan terhadap bentuk negara adalah sepenuhnya merupakan hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Jadi, biarlah rakyat sendiri yang menentukan kehendaknya mengenai soal itu, dan itu pun dengan memenuhi persyaratan yang cukup berat. Karena dalam Rancangan Perubahan Pasal 37 justru tergambar bahwa akan sangat sulit untuk melakukan perubahan bentuk negara dibandingkan dengan sebelumnya. Sebab, jika menggunakan Pasal 37 naskah asli, tidak ada halangan normatif apa pun untuk mengubah bentuk negara kesatuan itu. Sedangkan, dalam Rancangan Perubahan Pasal 37, kewenangan untuk menentukan bentuk negara adalah di tangan rakyat sesuai dengan penegasan kita bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi itu adalah di tangan rakyat, sehingga kewenangan tersebut harus ditarik dari tangan MPR.20 JADI, JANGAN BIMBANG DAN RAGU LAGI, KITA HARUS MENDUKUNG MEGAWATI DENGAN LEBIH BAIK LAGI, SEHINGGA KERAGUAN SEORANG IBU MEGAWATI UNTUK DAPAT BERTINDAK JAUH LEBIH TEGAS DAPAT SEMAKIN BERKURANG DARI KE HARI DIMASA YANG AKAN DATANG . MASIH BANYAK TUGAS-TUGAS BERAT LAINNYA MENANTI SENTUHAN EMAS DARI SEORANG MEGAWATI.JANGAN BIARKAN DIA SENDIRI UNTUK MENANGANI ITU SEMUA. MARI KITA BANTU DIA (LANGSUNG MAUPUN TIDAK LANGSUNG). MARI PERANGI SEGALA ISSUE BERBAU SARA YANG SEMAKIN MARAK BELAKANGAN INI.!! MAJU TERUS IBU MEGA!! KAMI SENANTIASA DIBELAKANGMU. KAMI, pasukan bodrex!! PEMANDANGAN UMUM FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN PADA SIDANG TAHUNAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 ----delete---- From pdiperjuangan@polarhome.com Wed Aug 7 10:48:01 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (joncy) Date: Wed Aug 7 09:48:01 2002 Subject: [pdiperjuangan] Menyimak Suasana Kebatinan Pada Tubuh PDIP Di MPR In-Reply-To: <3D50587B.B6DC5A82@brd.de> Message-ID: <000f01c23dd8$c0ddb220$c044053d@joncy> Politik & Pemerintahan: Menyimak Suasana Kebatinan Pada Tubuh PDIP Di MPR Oleh : Putra Ulasan Singkat -aspirasikaltim- Perpecahan dalam tubuh partai pemilik kursi terbanyak di parlemen, yang kadernya menduduki posisi RI I ini, memang sudah menjadi bukan rahasia lagi. Tetapi apakah benar demikian kenyataannya, perpecahan seperti apa yang sebenarnya terjadi dalam tubuh Partai banteng gemuk ini? Sebenarnya tidak ada perpecahan dalam tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, namun konstelasi Di MPR saat ini, dimana anggota PAH I dari FPDIP banyak di isi oleh orang baru dan muda yang mungkin tidak mengalami pergulatan ideologi dan politik yang sempat dirasakan orang tuannya yang dahulu berbaju PNI, kata seorang anggota fraksi PDIP yang enggan disebutkan namanya itu. Mengenai pertempuran idelogi kontemporer, yang saat ini mewujud dalam aksi penandatanganan penolakan amandemen yang kebablasan itu banyak "bermukim" tokoh-tokoh tua. Generasi yang lebih tua ini memang dahulunya adalah tokoh PNI dan Bidan kelahiran PDI di awal tahun 1970-an, seperti Pak Tardjo, Pak Madjid, dan Azwir Matondang, kata anggota fraksi yang enggan disebutkan namanya itu. Disamping itu terdapat juga generasi yang lebih muda yang secara historis memang Nasionalis-Soekarnoeis yang ikut penandatanganan. Mereka itu seperti, Roy BB Janis, Emir Moeis, Soedjarwo, Ismangun, Bambang pranoto, dll. Mereka-mereka ini, semuanya merasuki benar ajaran Nasionalis-Soekarno dan suasana kebatinan yang ada dalam UUD 1945. Kekuatiran utama mereka adalah jika DPD nantinya terbentuk. Para penandatangan penolakan amandemen yang kebablasan itu, berpendapat, bahwa DPD ini merupakan cikal-bakal yang potensial untuk merubah sistem ketatanegaraan Indonesia sistem bikameral untuk parlemennya, dan akan berujung pada terwujudnya negara federal. Kubu PDIP yang satu ini sangat mengetahui sejarah Kolonialis Belanda yang ingin menjadikan Indonesia menjadi negara Federal. Saat ini posisi belanda digantikan oleh Amerika melalui NGO-NGO yang bermain di Indonesia. PDI Perjuangan nantinya pasti akan satu suara untuk menyikapi amandemen ini, dan itu pasti tidak akan merubah watak, karakter, jiwa bangsa indonesia. Sementara itu Amien Aryoso, juga mengemukakan pandangannya disela-sela rapat di Komisi A MPR petang ini, Amin Aryoso mengatakan, "bahwa konstitusi adalah sebuah kontrak sosial suatu masyarakat untuk membentuk sebuah negara. Dan jika ada sistem dan struktur baru pada sitem konstitusi seperti DPD dan Komisi Konstitusi, maka harus ada persetujuan dari rakyat." Jadi kalau ada yang mau membentuk Konstitusi baru, haruslah meminta persetujuan terlebih dahulu dari rakyat, tegas Amin Aryoso. --------------------------- Yang Mudah dan Menghibur --------------------------------- Hosting menjadi mudah dan murah hanya di PlasaCom. Klik http://idc.plasa.com F1 Mania!! Ikuti F1 Game di Obelix Game Corner di http://www.plasa.com/infotel/f1.html --------------------------------------------------------------------------------------- From pdiperjuangan@polarhome.com Wed Aug 7 12:36:02 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (Olga nebo Sylvie Gondokusumo) Date: Wed Aug 7 11:36:02 2002 Subject: [pdiperjuangan] Fw: [cari] Kita Lebih Butuh Orang yang Bisa Menggerakkan Message-ID: <00bd01c23ded$8a464640$706514d4@olgasylvie> ----- Original Message ----- From: "HKSIS" To: Sent: Wednesday, August 07, 2002 1:44 AM Subject: [cari] Kita Lebih Butuh Orang yang Bisa Menggerakkan > KOMPAS > Selasa, 06 Agustus 2002, 9:17 WIB > > Kita Lebih Butuh Orang yang Bisa Menggerakkan > > > SYUKURLAH keluhan yang dilontarkan kalangan dunia usaha segera direspons oleh pemerintah. Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Memperindag) Rini MS Soewandi bersama kalangan dunia usaha bersepakat membangun "pusat krisis" yang akan menampung segala persoalan yang terjadi dan bersama-sama mencarikan jalan keluarnya. > > > Begitu banyak persoalan yang harus dihadapi kalangan usaha mulai dari soal perizinan, keamanan, perbankan, sistem hukum, hingga urusan perburuhan. Banyak perusahaan yang sudah tidak tahan dengan kondisi yang harus mereka hadapi. > > Bagi pengusaha, lebih baik uang yang mereka miliki didepositokan daripada diinvestasikan untuk sesuatu yang belum jelas hasilnya, bahkan hanya merepotkan. Hanya saja, tidak mungkin seorang pengusaha itu mau berpangku tangan. > > Hakikat dari seorang pengusaha adalah selalu berusaha dan menghadapi risiko. Selain itu, berusaha dan bekerja merupakan bagian dari aktualisasi kita sebagai makhluk sosial. > > > KEPEDULIAN dari para pengusaha untuk tetap bertahan, bahkan berupaya untuk bisa mengembangkan usahanya, menjadi bantalan untuk meredam gejolak sosial. Dengan tingkat pengangguran mencapai 8 persen pada tahun 2001, keadaan kita sangatlah riskan. Sebab, berarti adalah lebih dari delapan juta saudara kita yang menganggur. > > Jangan lupa, angka itu sangat mudah untuk berubah. Seperti halnya angka kemiskinan, sedikit saja kita ubah kriteria penganggurannya, maka jumlah itu bisa menjadi berlipat-lipat. > > Kalau kita tidak berhati-hati dan tidak meningkatkan kewaspadaan, khususnya untuk memperhatikan kecenderungan yang terjadi belakangan ini, maka tekanan pengangguran itu bisa menciptakan malapetaka. Bagaimana tidak? Sekarang ini banyak perusahaan yang menutup usahanya dan merelokasi ke negara lain. Sementara dengan berbagai alasan, banyak negara yang memulangkan tenaga kerja asing, yang bekerja di negara mereka. > > Dari Malaysia saja, kalau benar ada sekitar 480.000 orang yang dipulangkan, maka itu akan menambah tekanan pengangguran yang tidak ringan. Belum lagi mereka yang dipulangkan dari Taiwan dan negara-negara lain. > > > TANGGUNG jawab kita semua, pemerintah maupun masyarakat, untuk mencarikan jalan bagi terciptanya lapangan kerja yang baru. Ini bukan pekerjaan yang mudah, karena berkaitan dengan investasi yang tidak kecil. > > Bayangkan saja, kalau untuk membuka satu lapangan kerja baru dibutuhkan investasi sebesar 1.000 dollar AS, maka untuk menampung tenaga kerja yang baru kembali dari Malaysia saja dibutuhkan investasi baru sebesar 480 juta dollar AS atau sekitar Rp 4,3 trilyun. > > Padahal, dari laporan yang dikeluarkan Standard Chartered mengenai perekonomian Indonesia, bisa dilihat bahwa dibanding kondisi tahun 1998, pada tahun 2001 angka investasi menurun tajam. Pertumbuhan yang kita capai selama ini lebih disebabkan oleh peningkatan yang sangat signifikan pada belanja masyarakat. > > Data terbaru tentang realisasi investasi menunjukkan kecenderungan yang juga semakin menurun. Kalau tahun 2000 angka realisasi masih sekitar 1,5 persen, pada tahun 2001 angka realisasi investasi menurun lagi di bawah 1 persen. > > > KALAU kita melihat lagi menurunnya angka impor, kita pantas untuk waspada. Sebab, dengan penurunan angka itu, bukan mustahil dalam beberapa bulan mendatang akan terjadi penurunan produksi. Itu bisa berarti pula menurunnya tingkat aktivitas usaha. > > Inilah yang sepantasnya menjadi perhatian kita semua. Sebab, kalau sampai kondisi itu benar-benar terjadi, maka itu menambah tekanan baru bagi masyarakat, yakni semakin terbatasnya jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. > > > KITA harus menyadari di mana posisi kita sekarang berada. Kita belum sepenuhnya keluar dari kondisi krisis, dan salah-salah dalam melangkah, bukan mustahil kita bisa terperosok lagi ke krisis yang baru. > > Kita semua jelas tidak menghendaki terulangnya krisis seperti tahun 1997 lalu. Terlalu menyakitkan krisis itu, sehingga semua usaha keras yang kita bangun berpuluh-puluh tahun, sepertinya musnah dalam sehari. Dan, akibat dari krisis itu, hingga lebih dari lima tahun kita lalui, jalan keluarnya belum lagi kita dapatkan. > > Untuk itulah kita ingin mengajak semua komponen tidak menambahi beban yang sudah berat ini. Kita harus mencari jalan terbaik untuk keluar dari kondisi krisis ini dan mengangkat saudara-saudara kita dari kesulitan yang harus mereka hadapi. > > > SEMUA tantangan ini tidak mungkin dijawab oleh orang per orang. Hanya dengan kebersamaan kita semualah maka kita akan bisa menjawab dan mencarikan jalan keluar terbaik. > > Bagi kita, tidak penting siapa yang harus memimpin untuk melaksanakannya. Yang lebih utama, bagaimana semua sistem yang ada bisa bergerak bersama menghadapi tantangan itu. > > Kita bukan tidak sependapat dengan pandangan Ketua Umum Kadin Aburizal Bakrie bahwa untuk menghadapi krisis ini dibutuhkan seorang wakil Menteri Koordinator. Tetapi, kalau itu hanya menambah birokrasi, menambah panjang jalur, apalagi pada akhirnya sistem itu tidak bisa berjalan, ya percuma saja. Jauh lebih baik, dengan materi yang ada dibuat langkah terbaik, sehingga setiap kesulitan yang muncul bisa ditangani secara cepat dan efektif. > > Tidak ada waktu untuk berlama-lama, kita berdebat soal struktur. Yang lebih penting, bagaimana "pusat krisis" itu bisa segera bekerja dan menangani persoalan yang paling utama membutuhkan pemecahan. > > Menperindag sudah mengindentifikasi tiga industri yang perlu ditangani, yakni tekstil, elektronik, dan sepatu. Ketiga kelompok industri itu bukan hanya butuh uluran tangan untuk bisa bertahan, tetapi menampung tenaga kerja yang tidak sedikit. Itulah yang seharusnya menjadi perhatian kita bersama. > > Menggugah Perhatian, Pengadilan Korupsi di AS dan Korsel > > PROSES pengadilan kasus korupsi di Amerika Serikat (AS) maupun di Korea Selatan (Korsel) pekan lalu, sungguh menggugah perhatian kita. Pikiran kita melantur jauh ke AS dan Korsel antara lain karena sudah suntuk oleh sistem hukum kita sendiri yang begitu amburadul. > > > Pengadilan korupsi di AS dan Korsel pekan lalu memang sangat menarik. Pengadilan Federal AS hari Selasa 30 Juli, menjatuhkan vonis delapan tahun penjara kepada anggota DPR James Traficant dari Partai Demokrat, karena melanggar hukum dan etika politik. > > Traficant didakwa melakukan kejahatan korupsi dengan menerima suap, melakukan pemerasan (meski caranya sangat halus), dan menggelapkan pajak. Sebelum dimasukkan ke dalam penjara, Traficant yang menjadi anggota DPR sejak tahun 1984 dari daerah pemilihan Ohio, dipecat dengan tidak hormat dari lembaga DPR. > > > RUPANYA proses politik dan hukum dilakukan secara simultan dan paralel untuk menjerat Traficant. Hasilnya, politisi bergaya flomboyan itu dihukum secara politik berupa pemecatan dari keanggotaan DPR, sekaligus divonis secara hukum berupa penjara delapan tahun. > > Tampak sangat jelas, proses politik dan hukum tidak dimanipulasi untuk menyembunyikan kesalahan. Terdakwa sendiri juga tahu diri. Lebih penting lagi, para aparat hukum bekerja untuk keadilan. > > Meski substansi persoalan tidak persis sama, fenomena supremasi hukum terlihat jelas pula pada kasus pengadilan putra Presiden Korsel Kim Dae-jung akhir pekan lalu. Kim Hong-up hari Jumat 2 Agustus dibawa ke ruang pengadilan dengan tangan diborgol. > > Hong-up diadili setelah sebulan ditangkap dan ditahan atas tuduhan menerima suap sekitar 4,8 milyar won atau sekitar Rp 37 milyar. Dengan menjajakan pengaruh sebagai putra Presiden, Hong-up menerima suap yang sering diserahkan pengusaha dengan kamuflase berupa bingkisan hadiah. > > Praktik korupsi memang sering sulit terungkap karena caranya yang semakin canggih. Namun, kejelian aparat hukum, yang bekerja dengan dedikasi tinggi mengutamakan keadilan, membuat Hong-up tidak luput dari jeratan. Hong-up juga dituduh menghindari pajak. > > Sementara adiknya, Kim Hong-gul, diseret ke pengadilan bulan lalu atas tuduhan menerima suap 3,5 milyar won atau sekitar Rp 26 milyar. Vonis belum dijatuhkan. Proses pengadilan kakak-beradik itu akan dilanjutkan. > > KASUS korupsi yang melibatkan Hong-up dan Hong-gul merupakan pukulan berat terhadap diri dan keluarga Presiden Kim Dae-jung, yang sampai sekarang terkenal bersih dan tidak melanggar hukum. Presiden Kim berkali-kali mengaku salah mendidik anak-anaknya dan meminta maaf secara terbuka kepada seluruh rakyat Korsel. > > Sangat menarik pula, Presiden Kim tidak berusaha mempengaruhi proses pengadilan. Dalam budaya Timur yang antara lain berciri paternalistik, Presiden Kim dalam posisinya sebagai penguasa mempunyai peluang besar mempengaruhi proses pengadilan. > > Namun, itu tidak ia lakukan. Maka proses pengadilan dua anak Presiden Kim diyakini akan memperkuat sistem hukum Korsel yang semakin tidak pandang bulu. > > > SUDAH bisa dipastikan pula, skandal korupsi Hong-up dan Hong-gul akan merusak citra keluarga maupun politik Presiden Kim. Menurut konstitusi baru, jabatan Presiden dibatasi hanya satu kali saja. Maka, Presiden Kim (77 tahun) tidak ikut bertarung dalam pemilihan presiden bulan Desember mendatang. > > Meski demikian, dampak negatif atas skandal korupsi Hong-up dan Hong-gul akan merusak citra Partai Demokratik Milenium (PDM) pimpinan Kim Dae-jung. Oposisi telah mengeksploitasi isu korupsi yang melibatkan dua anak Presiden Kim untuk memenangi pemilihan presiden akhir tahun 2002 ini. > > Tanda-tanda kemerosotan PDM dan anjloknya popularitas Presiden Kim semakin kelihatan. Pekan lalu, Majelis Nasional memveto pencalonan Chang Sang (62 tahun) yang diajukan Presiden Kim untuk menjadi perdana menteri pertama perempuan negeri berpenduduk 48 juta itu. > > > KENDATI skandal korupsi Hong-up dan Hong-gul membuat gamang posisi partai berkuasa dalam menghadapi pemilihan presiden mendatang, tetapi proses pengadilan kedua putra Presiden Kim itu telah ikut memperkuat sistem hukum yang adil di Korsel. > > Arah sistem politik Korsel pun menjadi semakin jelas dan mantap. Kenyataan ini tentu terasa sangat kontras dengan sistem hukum negara kita, Indonesia. Semakin banyak orang menjadi bingung dan kehilangan arah, bagaimana kasus-kasus korupsi bisa diselesaikan secara hukum. > > Centang perenang dunia hukum membuat para pencari keadilan menjadi frustrasi. Apa sesungguhnya yang salah dengan sistem hukum kita? Darimana, kapan, dan siapa yang harus mulai melakukan pembenahan? Pertanyaan macam itu terdengar di mana-mana. Ironinya, pertanyaan serupa dilontarkan oleh para pemegang otoritas hukum. > > Sering membuat iri, bagaimana bangsa-bangsa lain semakin jauh mempertontonkan supremasi hukum dalam kehidupan bernegara. Wibawa dan efektivitas pemerintahan mereka justru dibangun dari komitmen menjaga supremasi hukum. > > > > [Non-text portions of this message have been removed] From pdiperjuangan@polarhome.com Thu Aug 8 12:24:30 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (Ferry-Daniel Tampubolon) Date: Thu Aug 8 11:24:30 2002 Subject: [pdiperjuangan] TWO THUMBS UP:Tolerating Intolerance: The Challenge of Fundamentalist Islam in Western Europe Message-ID: Tolerating Intolerance: The Challenge of Fundamentalist Islam in Western Europe I grew up in New York, the world's most multicultural city, and for some time lived only a few blocks from the imposing Islamic Center on Third Avenue between 96th and 97th Streets. But it wasn't until I moved to western Europe in 1998?living first in Amsterdam, then in Oslo?that fundamentalist Islam became a daily reality for me. The reason this took so long seems pretty clear. Owing partly to different immigration patterns, but partly also to America's genius for turning immigrants into proudly integrated citizens with realigned loyalties, Muslims in America tend to be more affluent, more assimilated, and more religiously moderate than their co-religionists in Europe. A perhaps not terribly atypical example is Walter Mourad, a secularized Lebanese-American businessman who was profiled a while back in the New York Times. Mourad has two children in a Montessori school, a wife "who says she would shoot him in the head if he suggested she cover her head with a scarf," and a love for America that drove him to respond at once when the CIA, FBI, and NSA put out the call for Arabic translators after September 11. Every American Muslim is not Walter Mourad, to be sure, but his like is considerably easier to find in the United States than in Western Europe, where Islam, generally speaking, offers a somewhat different picture. For various reasons, Western European Muslims are more likely than their American counterparts to live in tightly knit religious communities, to adhere to a narrow fundamentalist faith, and to resist integration into mainstream society. The distance between mainstream society and the Muslim subculture can be especially striking in the Netherlands and in the countries of Scandinavia, whose relatively small, ethnically homogeneous native populations had, until recent decades, little or no experience with large-scale immigration from outside Europe. The distance I speak of was certainly striking in Amsterdam, where I resided for a time in a neighborhood?the Oud West?where I grew accustomed to the sight of women in chadors pushing baby carriages past shops with signs in Arabic. A few doors from my flat, a huge Turkish flag flew over the entrance to the neighborhood center. (There was no Dutch flag.) One day I peered inside. A dozen or so men, middle-aged and older, scowled back at me. I did not go in. Curious about my new neighbors, I did some reading. I learned that upwards of 7 percent of the Netherlands' population?and nearly half of Amsterdam's?was of non-Dutch origin. The Turkish and Moroccan communities dated back to the 1970s; immigration from Surinam and the Dutch Antilles had peaked in the 1980s. Most people of non-Dutch origin were fundamentalist Muslims, and most, even after years or decades in the Netherlands, remained largely unintegrated. The attitudes of Dutch officialdom, and of the Dutch generally, hadn't helped: although in America the U.S.-born children of immigrants are American citizens, in the Netherlands the Dutch-born children of immigrants are called "second-generation immigrants." (The same is true in Germany, where even "third-generation immigrants"?and, yes, they do use that term?aren't automatically entitled to citizenship.) To an American, such a generation-by-generation perpetuation of outsider status can only make one think of the enduring social marginality of many American blacks. Yet at least we Americans have been taught by our bloody history that "separate but equal" is not a viable democratic option, but a cruel delusion. This lesson, I soon recognized, had not yet been learned in the Netherlands. Downtown Amsterdam and the Oud West felt almost like two different worlds. Moving among the native Dutch, whose public schools teach children to take for granted the full equality of men and women and to view sexual orientation as a matter of indifference, I felt safe and accepted. Yet many Muslim youngsters in the Netherlands attend private Islamic academies (many of which receive subsidies from the Dutch state as well as from the governments of one or more Islamic countries). These schools reinforce the Koran-based sexual morality learned at home?one that allows polygamy (for men), that prescribes severe penalties for female adulterers and rape victims (though not necessarily for rapists), and that (in the fundamentalist reading, anyway) demands that homosexuals be put to death. If fundamentalist Muslims in Europe do not carry out these punishments, it is not because they've advanced beyond such thinking, but because they don't have the power. Like Christian Reconstructionists, a small U.S. sect that wishes to make harsh Old Testament punishments the law of the land, fundamentalist Muslims?whose numbers are, of course, many times larger?believe firmly in the implementation of scriptural penalties. Let it not be forgotten, after all, how countries ruled by Koranic law treat their homosexual citizens. Under the Taliban, Afghanistan put at least ten homosexuals to death; on New Year's Day, 2002, our good friends in Saudi Arabia beheaded three men for sodomy. According to one report, Iran has executed several thousand men for homosexuality since 1979. Even in Egypt, with its relatively moderate and secular government, a widely publicized mass arrest of suspected homosexuals in early 2001 resulted in the torture and imprisonment of dozens of males as young as fifteen. And these figures are undoubtedly dwarfed by the annual number of "honor killings" of female family members who have strayed sexually (or who have shamed their families by being raped)?a form of murder that is so much a part of traditional Muslim culture that it goes unprosecuted even in relatively moderate Islamic countries like Jordan. In May 2002, Amnesty International reported that in Pakistan at least three honor killings occur every day, and that the perpetrators are usually not even arrested, although their identities tend to be known to family, neighbors, and even the police. It was hardly surprising, then, that in the Netherlands, a country with same-sex marriage and legally regulated prostitution, there was cultural friction between natives and the Muslim community. Yet few Dutch people discussed this friction openly. To do so, it appeared, was taboo. One night over dinner, a Dutch writer of my acquaintance?a maverick gay conservative who could usually be counted on to speak his mind unflinchingly?insisted proudly that the Netherlands, unlike the U.S., had no Religious Right. I knew very well, of course, that the Netherlands did indeed have a Religious Right; that it consisted of Islamic, not Christian, fundamentalists; and that sooner or later the Dutch would be forced to deal openly with the challenges it posed. For the time being, however, they were plainly too uncomfortable with the idea. Criticizing any kind of Islam at all, I gathered, felt too much to them like voicing racial or ethnic prejudice. While freely condemning Protestant fundamentalism?which hardly exists nowadays in that once strictly Calvinist country?they couldn't bring themselves to breathe a negative word about Islamic fundamentalism. There was no logic in this; but the Dutch were clearly still at a point where it seemed possible, and easier, simply to avoid such uncomfortable issues. What does the future hold for a Western world with a growing minority of fundamentalist Muslims? It was only after moving to Amsterdam that I found myself asking this question. It seemed to me a fair and important one. But it was, I found, a question that startlingly few writers had addressed. To be sure, there were plenty of books about Islam and the West, but I could find only a handful about Islam in the West. Most tended to take a sanguine view of the topic, more or less echoing academic Islamists like John Esposito, whose influential 1992 book The Islamic Threat? exhaustively argued that there was no such threat, period. More than one of these books, indeed, put a decidedly upbeat spin on the subject, maintaining that Muslim immigrants' "spiritual" propensities were precisely what decadent Westerners need nowadays. For example, in When Cultures Collide (1989), the Norwegian writer Peter Normann Waage, while admitting that there were indeed challenging aspects to the presence of Islamic fundamentalism in Europe, characterized fundamentalist Muslim "moral" strictures as an overall virtue and perhaps the West's best hope of salvation from rampant capitalism and secularism. (And this in a book occasioned by the Salman Rushdie case!) Adam LeBor, whose A Heart Turned East (1997) was the only non-academic English-language book I could find in Amsterdam about Muslim immigrant communities in the West, was even more fundamentalist-friendly. Routinely, LeBor contrasted what he saw as the high spiritual and moral values of Islamic fundamentalists with what he characterized as Western decadence. LeBor quoted with obvious approval a French Muslim leader on the desirability of letting "Muslims in the West introduce [Westerners to] a new approach [to both family life and life in society]?or rather a much older one?founded in spiritual values, rather than material ones." Islam, wrote LeBor, "can bring to Europe [something] immeasurable, intangible, but nonetheless vital"?namely, "God and spirituality. The missing part of the jigsaw puzzle of life in the late twentieth century." LeBor complained at length about the "challenge" that the United States offers to those Muslims wishing to live fully as Americans, but maintain and cherish their Islamic heritage. Not because of any institutionalized anti-Islamism, but because the values and mores of much of contemporary America?widespread use of recreational drugs, alcohol, promiscuity, homosexuality, teenage dating, gun ownership, values that are ubiquitous across the media?clash completely with the demands of Islamic morality. LeBor sympathetically raised the case of an Islamic fundamentalist father in the U.S. who "knows he will have to maintain a difficult juggling act to raise his children according to the values of Islam, while living in a consumer society that sells and markets sex, which for Muslims is a sanctification of marriage, as just another commodity." LeBor seemed to view fundamentalist Islam in the West as being akin to a spice that enriches an otherwise bland dish. But fundamentalist Islam doesn't work that way. It doesn't flavor?it transforms, subdues, conquers. Islam means "submission," and in its fundamentalist form it demands nothing less. Far from being content to serve merely as part of a culture's "jigsaw puzzle," it demands that the whole puzzle be shaken up, the picture entirely redrawn. A Western society that accepted such a religion as its spiritual component would soon prove itself highly inhospitable to, among much else, any of LeBor's fellow writers who might wish to dissent from his unadulterated admiration for fundamentalist Islam. Nowhere in his book, indeed, did LeBor serve up a single positive word about Western freedoms, Western individuality, Western sexual equality, or Western protections for the rights of minorities; instead there was simply an unwavering insistence on the virtue and piety of fundamentalist Muslims and the greed and decadence of their Western oppressors. Nor did Waage, Lebor, or anybody else pay much heed to the problems posed by European Muslims' views on homosexuality?views that Muslim leaders have been less and less shy about advertising. In 1999, for example, the Guardian described a student conference on "Islamophobia" at King's College, London, at which a speaker began by announcing politely, "I am a gay Muslim." That effectively ended his presentation: "For members of the majority Muslim audience, the expression was enough to ignite the most passionate opposition. Some people began to shout, while others came raging down to confront the speaker. Security was called and the conference came to a premature end." Then, in October 1999, the Shari'ah Court of the U.K. declared a fatwa against Terence McNally, who in his play Corpus Christi had depicted Jesus Christ as gay. (In Islam, Jesus is counted among the prophets.) Signing the death order, judge Sheikh Omar Bakri Muhammed emphasized the concept of honor, charging that the Church of England, by failing to take action against McNally, had "neglected the honour of the Virgin Mary and Jesus." The Daily Telegraph reported that according to the sheikh, "Islamic law states that Mr. McNally can only escape the fatwa by becoming a Muslim. . . . If he simply repents he would still be executed, but his family would be cared for by the Islamic state carrying out the sentence and he could be buried in a Muslim graveyard." A few weeks later, British Muslim leaders were busy battling the repeal of Section 28, Great Britain's notorious antigay law. Dr. Hasham El-Essawy, director of the Islamic Society for the Promotion of Religious Tolerance in the U.K., told the Telegraph that it was Muslims' obligation "to discourage homosexual behavior." El-Essawy, who according to the Telegraph is "considered an Islamic moderate," found it appropriate to quote the Koran's punishment for lesbians?"Keep the guilty women in their homes until they die, or till God provides a way out for them"?and for homosexual men: "If two of your men commit the abominable act, bother them. But, if they repent . . . then bother them no more." El-Essawy made clear his "moderation" by contrasting his view with that of some other Muslims, who, he explained, "believe that the punishment for homosexuality is death." Apparently, such views don't disturb the likes of Waage and LeBor?at least not enough to affect their conviction as to Islam's overall value to the West. Nor, one must assume, do these facts give any pause to the leaders of Britain's Labour Party, which recently introduced a bill that would make it illegal in Great Britain to criticize any religion. This would not only make possible (as Matthew Parris noted in the London Times) the prosecution of this year's Nobel laureate V. S. Naipaul for his writings about Islam, it would effectively rob gay people of the right even to challenge imams who call for their extermination. Of all the English-language books I found in Amsterdam that devoted substantial attention to Islam in the West, one stood out for its straightforwardness about the fundamentalist bent of most European Muslims today and about the unpleasant implications of their antipathy for Western values. The book was The Challenge of Fundamentalism by Bassam Tibi, a professor of international relations at Göttingen University?and a liberal Muslim. Indeed, he was the only Muslim in the pack?and the only one engaged neither in blatant whitewashing nor in wishful thinking. In 1999 I moved from Amsterdam to Oslo. I soon found that in Oslo, as in Amsterdam, the cultural gap between natives and the Muslim immigrant minority (which, in Norway, consists largely of Pakistanis) was miles wide. Here, too, the native-born children of immigrants were called "second-generation immigrants," not Norwegians. (Indeed, in Norway these days the words "immigrant" and "Muslim" are effectively synonyms.) Here, too, the authorities, presumably fearing accusations of insensitivity or cultural imperialism, tended to avoid addressing undemocratic practices within immigrant communities. Forced marriage is one of these practices. Among Muslims in Europe, it's quite common for young people to be compelled by their parents to accept spouses they don't want. Some women manage to escape these situations and seek protection in women's shelters. In 1999 the Guardian published an article by Faisal Bodi, a British Muslim who complained about these shelters, which in Great Britain are called "women's refuges." Charged Bodi, "Refuges tear apart our families. Once a girl has walked in through their door, they do their best to stop her ever returning home. That is at odds with the Islamic impulse to maintain the integrity of the family." (Bodi made certain to note?as if it definitively established the loathsome character of women's shelters?"the preponderance of homosexuality among members and staff.") Citing universal Muslim belief in "the shariah, the body of laws defining our faith"?which he described, a bit unsettlingly, as "a sharp sword capable of cutting through the generational and cultural divide"?Bodi argued that British authorities must recognize the Muslim community "as an organic whole" and thus accord it a larger role in resolving conflicts over forced marriage. Bodi's plaint was phrased with extreme delicacy, but the point was clear: when Muslim girls or women flee the tyranny of father or husband, the government should essentially hand them over to a group of Muslim men. In short, British law should effectively be subordinate to Muslim law. Group identity trumps individual rights. Nothing, of course, could be more undemocratic. Yet time and again, governments in western Europe have shown themselves to be exceedingly susceptible to such arguments by Muslim leaders. The same is true of the mainstream media, whose main concern in such matters, it often appears, is to avoid offending Muslim sensibilities. Representative of the media's standard approach to issues involving Muslim subcultures was an article about forced marriage that appeared in 2000 in the Norwegian newspaper Aftenposten. The article tamely characterized the difference between Western-style consensual matrimony and forced Muslim marriages as a "collision between the individual-oriented West and the family-oriented East." The reporter went on to express admiration for the "family-oriented" approach and even cited the low Muslim divorce rate to support the contention that the Muslim way was better?ignoring entirely the fact that wives who are forced to marry are hardly in a position to decide to divorce. Then, in September 2001 (only five days, in fact, before the destruction of the World Trade Center), the Norwegian newspaper Dagbladet reported that 65 percent of rapes of Norwegian women were performed by "non-Western" immigrants?a category that, in Norway, consists mostly of Muslims. The article quoted a professor of social anthropology at the University of Oslo (who was described as having "lived for many years in Muslim countries") as saying that "Norwegian women must take their share of responsibility for these rapes" because Muslim men found their manner of dress provocative. One reason for the high number of rapes by Muslims, explained the professor, was that in their native countries "rape is scarcely punished," since Muslims "believe that it is women who are responsible for rape." The professor's conclusion was not that Muslim men living in the West needed to adjust to Western norms, but the exact opposite: "Norwegian women must realize that we live in a multicultural society and adapt themselves to it." It is in such ways that freedoms begin to erode. Two people who plainly understood this were Shabana Rehman, a woman who grew up in Oslo's Muslim community, and Hege Storhaug. In a courageous article that appeared in the Norwegian newspaper VG in April 2000, Rehman and Storhaug accused Norway's Muslim leaders of presenting the general public with a misleading picture of what was going on inside their community?a picture that Norwegian authorities gladly accepted, the article charged, even though they knew better. Noting "the lack of freedom and the violence [that] reign in a large part of the Muslim immigrant community," Rehman and Storhaug asserted that many Muslims in Norway were engaged in "a life and death struggle to secure fundamental human rights." Pointing out that Muslim community leaders routinely "deny that [Muslim] women [in Norway] are lacking in freedom or that they are the victims of violence," the article argued that "it is impossible for Norwegian authorities to clean up these problems as long as the immigrants' representatives continue to veil the truth." Rehman and Storhaug went on to say, The Norwegian public has let itself be fooled by the [Muslim] community's dissemblers ever since the beginning of the integration debate. In one voice, they have delivered an unambiguous message: that the problem for today's immigrants, both young and old, is discrimination and racism in Norwegian society. This is a lie?a distorted picture that conceals the real obstruction to integration. That obstruction is found within the immigrant community itself: in its lack of respect for human rights and its prevailing notions of honor and shame. "We fear for Norway's future," Rehman and Storhaug wrote. "We fear distance and antagonism between ethnic groups." In time, they predicted, "Norway may become a country that lives in segregation, violence and hate. . . . So far no political leaders in our country have chosen to take this seriously." Rehman and Storhaug concluded their article with the observation that "a whole generation of minority youth is being betrayed by their own as well as by well-meaning 'anti-racist' Norwegians." Change the word "Norwegians" to "Britons"?or, for that matter, "Swedes" or "Dutchmen" or any one of a number of other national labels?and the statement would have remained true. The simple fact is that many Western Europeans, from the man on the street to the cop on the corner, from the politician in parliament to the immigration official at the border, have long considered it their obligation to turn a blind eye to the more disturbing aspects of the immigrant Muslim reality?in short, to tolerate intolerance. It's hard not to see such hands-off attitudes by Westerners as a product of leftist groupthink?of the tendency, that is, to view people as members of groups rather than as individuals, and consequently to place the values of the group above the rights of the individual. If native Europeans and fundamentalist Muslims are to coexist in the West, the Muslims must temper their fundamentalism?period. The alternative is for Europeans to sacrifice the freedom, tolerance, and respect for individual mind and conscience on which Western civilization is founded. That cannot be allowed to happen?not just for Europe's sake, but for America's as well. Situations vary, of course, from one Western European country to another. In Spain, according to a December 4 article in the New York Times, the "Islamic population has exploded" during the last ten years, during which the Muslim community of 500,000 "has become a busy logistical rear guard, apparently humming with Islamic terrorists." In France, which has the West's largest Muslim population (five million), there is a man named Soheib Bencheikh who serves as the grand mufti of Marseille and whom the International Herald Tribune calls "the clean-shaven face of progressive Islam in Europe." In a November 30 profile in that newspaper, speaking with an unequivocal clarity that one might wish more Muslim leaders in the West had exhibited after September 11, Bencheikh assailed the rigidity and backwardness of Islamic fundamentalism and insisted on the vital importance of reforming Islam?a project that, he said, would involve "a desacralization of the whole of Islam's texts, commentaries, and the theological work around the texts." The purpose: to shape an Islam that preaches tolerance, respects diversity, supports the separation of church and state, and embraces integration wholeheartedly and without hesitation. Bencheikh would seem to be precisely the kind of leader that European Islam so desperately needs. Yet the French government, instead of throwing its support behind him and other reformists, is, he charged, "choosing the most reactionary, the most politicized, and the most fanatic" of Islamic leaders for participation in that country's new Muslim Council. Why? Because they are viewed as more representative. Indeed, as the Herald Tribune's John Vinocur noted, "In Europe, where sixteen Islamist organizations with suspected terrorist ties were banned in Britain in the past year, and where Germany has identified twelve extremist Muslim Arab groups within its borders with 3,100 members, Mr. Bencheikh's views have an uncertain following." Yet as Bencheikh argued, the French government, by confirming and reinforcing the power of extremists, is in effect "legitimiz[ing] the forces we decry in the Muslim world" at a time when the only hope for genuine integration in Europe lies in a rapid and radical reformation of the Muslim faith. Then there's the case of Denmark. In Norway, when people dare to discuss the issue of Muslim integration, they sometimes speak ominously of danske tilstander: "Danish conditions." What they are referring to is a state of affairs in which there exists not only de facto segregation between native and Muslim communities but also a routine and open expression of mutual hostility and distrust. Such a situation has existed for some time now in Denmark, where recent years have seen, for example, the movement of children out of integrated public schools and into private "white" and Muslim schools. After September 11, however, the tensions between native Danes and the Muslim community became more heated than ever. In Denmark, as elsewhere, Muslims took to the streets to celebrate the terrorist attacks. A few days later, a thousand Muslims gathered in the Danish town of Nørrebro for a protest against democracy; one speaker called for "holy war" against Danish society. In the run-up to a November parliamentary election, politicians from a range of parties spoke out bluntly on the topic of Islam: one referred to Muslims' "infiltration" of western countries; another called Islam "not a proper religion" but "a terror organization"; a third offered the staggeringly undemocratic suggestion that, in order to promote integration of Muslims into Danish society, members of the immigrant community be prohibited from marrying people from their ancestral countries. After a new study showed that the persistence of current trends would make Denmark (now about 3 percent Muslim) a majority Muslim nation within sixty years, the small, reactionary Progress Party proposed ejecting "all Mohammedans" from the country. Immigration was the number-one issue in the campaign. And the election proved historic. It marked the fall from power of the Social Democrats, who since 1920 had been Denmark's largest political party, and it gave Denmark a new prime minister, Anders Fogh Rasmussen, whose campaign posters had featured the slogan "Time for a Change" over a picture of a "second-generation immigrant" who had been convicted of violence. In late November, Rasmussen promised a new policy under which immigration would be reduced and resources focused instead on a vastly improved integration program. A post-election article in Aftenposten, on November 24, vividly summed up the current state of affairs in Denmark. "Our integration has not gone well," admitted a teacher. "I had a class in which nineteen of thirty-three children couldn't say anything in Danish, even though they were all born in Denmark. . . . It's a catastrophe for Denmark, what's happening." A young Copenhagen woman who had been a gung-ho supporter of "multiculturalism" said that she now felt uncomfortable in her own country: "When someone like me thinks this way, it doesn't bode well for the society." In Norway, anyone who dares to voice legitimate concerns about the immigrant community's prejudices and self-segregation risks being branded a racist by the political and media establishment; but in Denmark, it appears, those legitimate concerns have in many cases degenerated into genuine racism. In Denmark, alas, as elsewhere in northern Europe, many natives seem hamstrung by an inability to disentangle ideology from race?and to distinguish their own frankly racist discomforts ("It is simply a little strange to live in Denmark surrounded by so many people from other countries," one woman told Aftenposten) from their entirely justifiable unease over the prejudices and the resistance to integration that accompany fundamentalist Muslim ideology. This is, of course, dangerous: honest critical thinking of the sort proffered by the likes of Shabana Rehman and Hege Storhaug is vitally important if integration is to be made to work in northern Europe. If the only permitted way of talking about the topic is to reiterate insipid clichés in support of "the multicultural society," Europe is doomed. In English we have a word for fear of foreigners: xenophobia. It is a rare word, seldom seen in print, almost never actually spoken, and probably unfamiliar to most English speakers. Most of the languages of northern Europe have words that mean the same thing. These words are frequently used in conversation and are familiar to virtually every native speaker. In Norwegian, the word in question is fremmedfrykt. And while this word is often used unfairly to label anyone who criticizes any aspect of the immigrant communities, there is in fact a real element of fremmedfrykt among northern Europeans. The notion that a foreigner?especially a dark-skinned foreigner?can become a Norwegian, a Dane, or a Dutchman, quite simply taxes the imaginations of many people in these countries. However liberal they may be, their pre-existing mental categories don't allow for it. For all the racial and ethnic hatreds that fill the pages of American history, Americans, even bigoted Americans, tend to be better at this than northern Europeans are; we are accustomed to the idea that a person from anywhere can become an American. This is, to be sure, not a virtue on our part, but simply an idea we are used to. For many northern Europeans, it is not: it just doesn't come naturally. More than half a century after the fall of Nazi Germany, the notion of ethnic purity still lives, unarticulated, often even unconscious, in the minds of people who think of themselves as good Social Democrats. For almost all northern Europeans, national identity continues to be wrapped up in, and equated with, ethnic background. For this reason, large-scale immigration?of the right kind?could be a very positive thing for northern Europe. Certainly there are some immigrants from Muslim countries, people who have nothing of the fundamentalist about them, who have proven to be excellent entrepreneurs and model individualists in a part of the world where individualism has been traditionally discouraged. (Why? Because it's viewed as a threat to social democracy.) In the Norwegian class I took last year at the state-run Rosenhof School, I made friends with students from Muslim countries who were easygoing and open-minded. Yet they were the secularized (or, perhaps, semi-secularized) exceptions among the immigrants from their part of the world; that was why they were in a class made up of people from seventeen different countries in Europe and Asia (plus me, the sole American), all of us with educated backgrounds and at least a smattering of English, rather than in one of the many sexually segregated, Muslim-only classes down the hall. In those classrooms, women sat swathed in fabric, with male relatives at their sides, providing the family escort without which they were prohibited from leaving the house. Our class was lively, irreverent, fun; as we learned Norwegian, we also learned about Norwegian folk ways, and gained insights into our own and one another's native languages and cultures. Our discussions brought into focus previously unexamined attitudes and assumptions that our native cultures had bred into us; and as we recognized in all this the common foibles and follies of the human species, we laughed?laughed in easy self-mockery, and laughed, too, in celebration of the ability and opportunity we had been given to grow beyond the limits of our own native cultures. >From the other classes we never heard the sound of laughter. "If you're not with us, you're against us," said President Bush soberly in the wake of September 11. Some European Muslims made it clear they were with us; some made it clear they were not. Faisal Bodi, the same writer who complained in the Guardian in 1999 about women's shelters, returned to the pages of that newspaper on October 17, reporting with approval that since September 11 his imam had offered up Friday prayers "imploring God to annihilate Islam's enemies, to 'rock the ground underneath their feet.'" Here in Norway, a child counselor talked on national TV about a grade-school class he had visited in order to discuss the atrocities. All the children were upset, he said, except for one little Muslim boy who was sincerely puzzled by his classmates' reactions?at his home, the boy explained, everybody was celebrating. Aftenposten reported on a Palestinian who stood with his young son outside the U.S. Embassy in Oslo and cheered the attacks?shouting "This is a great day!"?until the police led him off. I wasn't shocked to read that this Palestinian (even though claiming membership in Hizballah) was not taken into custody, just removed from the Embassy area. Nor did the Norwegian authorities, I'm sure, pay a visit to the celebrating family of that puzzled schoolboy. And has the British immigration service, one wonders, examined Faisal Bodi's visa status? Or his imam's? One rather doubts it. Yet since September 11, the winds seem to have begun to shift?in some places, anyway. In the Netherlands, it wasn't just the horrors of the terrorist attacks on the U.S. that caused the blinders to fall from many people's eyes. In early 2001, the imam of Rotterdam had made antigay remarks whose viciousness stunned the Dutch. (Most Dutchmen had fooled themselves into thinking their country was past such ugliness.) On the day the World Trade Center fell, the Dutch populace learned that Moroccan immigrants in the town of Ede were rejoicing in the streets. That Friday, a TV report on Nederland 1 commemorating the victims in the U.S. was followed immediately by a Koran reading, supplied by the Dutch Muslim Broadcasting System, stating that "unbelievers were fuel for the fire." Finally, in a post-attack survey of Moroccan immigrants in the Netherlands, 21 percent openly admitted their support for an anti-American holy war. (A similar Sunday Times poll, reported in early November, revealed that 11 percent of British Muslims considered the attack on the World Trade Center justified.) None of this surprised me. What did make me sit up and take notice was a poll by De Volkskrant showing that more than 60 percent of Dutch citizens believed that Muslim immigrants who approved of anti-American terrorism should be ejected from the Netherlands. In an editorial, the newspaper's editors spelled the message out bluntly: "The Netherlands doesn't accept anti-Western fundamentalistic attitudes from Muslims. In the eyes of most Dutch people, integration means adapting to a humanistic tradition, to the separation between church and state, and distancing oneself from the norms and values of one's motherland." It was, at long last, a stunning?and welcome?affirmation of the Dutch people's basic commitment to democratic values and to true integration. And it signaled that the Dutch, perhaps the most liberal people on the planet, have finally faced a crucially important fact: that there is nothing at all liberal about allowing one's reluctance to criticize another person's religion to trump one's dedication to individual liberty, human dignity, and equal rights. Tolerance for intolerance is not tolerance at all. As the International Herald Tribune noted, the De Volkskrant poll marked "an end to the avoidance of talking openly about elements of conflict in Dutch life that have accompanied the presence of Muslim immigrants. . . . The Dutch are treading these days in an area where most of Europe does not want to go." Indeed, here in Norway there were, in the weeks after September 11, no dramatic signs of turnaround to compare with the De Volkskrant poll. Yet there were stirrings. A November 20 Dagbladet article quoted a college president as saying that "powerful people in the immigrant community are the most important obstacle to integration"; if Norway wished "to avoid the same conditions as in Denmark," he cautioned, "it doesn't help to be politically correct and to overlook the weak points." The article caused a stir. That evening, on the current affairs program "Tabloid," a longtime teacher at the Rosenhof school described the contempt for democracy and the active resistance to integration that he had observed for years among his Muslim students. (Seething with anger, the Muslim community spokesman sitting across the discussion table charged the teacher with racism.) The next day, Norwegian newspapers reported on Egil Straume, a radio evangelist and local Christian People's Party leader who, citing Muslim demands for "their own meeting houses, schools, and laws," predicted that "in ten to fifteen years we'll have civil war?like conditions between Muslims and Christians in Norway." Yet these remained isolated voices. The consensus among Norwegian officials and intellectuals was plainly in agreement with the diagnosis by the head of Norway's Anti-Racism Center, who (despite Straume's insistence that his concern was with "Islamic ideology," not race) called his remarks "mentally deranged." Even the national leadership of Straume's own party distanced itself from his comments. Indeed, a few days later it was reported that the Christian People's Party was in the process of reaching out to Muslim voters, who, a Party official noted proudly, shared many of the Party's core values in regard to "family and morals." Muslims, he said, were streaming to the Party in impressive numbers, even though, as non-Christians, they were barred from holding Party positions. Then in January came a news story that shook up all of Scandinavia. In Uppsala, Sweden, Fadime Sahindal, a young woman whose estrangement from her Muslim family and refusal to submit to forced marriage had made her a well-known media presence?and whose ethnically Swedish boyfriend had died under mysterious circumstances in 1998?was murdered by her father. Upon his arrest, he readily admitted to the crime and called his daughter a whore. The murder was hardly unique; several such "honor slayings" take place every year in Scandinavia. For Norwegians, the story's most striking aspect was the number of Norwegian Muslims who, when asked by the media for their comments, did not condemn the murder outright. More than one interviewee was of the opinion that the father had done what he had to do. "I can't say it was right and I can't say it was wrong," said an Oslo merchant. When several public figures?including a former prime minister and Oslo's police chief?turned up on the Norwegian TV program "Holmgang" to discuss the murder, it felt as if the worm was perhaps finally turning in Norway. Rarely, if ever, before in a Norwegian public forum had the problems of Muslim integration been discussed so frankly. The slippery rhetoric served up on the program by the Muslim community spokesman was, for once, strongly rejected?and the person who took the lead was (yet again) a brave young woman of Muslim background, who repeatedly interrupted the spokesman's boilerplate to demand that he stop lying and tell the truth. It was stirring to watch. Since then, the intensification of the conflict in the Mideast has muddied the waters to some extent?not only in Norway but throughout much of Western Europe, where the intellectual and media establishment have long proffered a black-and-white image of Palestinians as victims and Israelis as aggressors. Yet at the same time Mideast tensions have, if anything, heightened Western Europeans' consciousness of Islam. In February 2002 (the same month in which a British Labour MP demanded official action against a London imam and other Muslim leaders who were inciting the murder of non-believers), it was reported that anti-Jewish violence by French Muslims was skyrocketing. In April, Danish Prime Minister Rasmussen condemned a Muslim group, Hizb-ut-Tahrir, for calling for the murder of Danish Jews; later that month, a front-page headline on the Norwegian tabloid VG called attention to Hizb-ut-Tahrir's plans to "turn Norway into an Islamic state." (Only two days later came the news that yet another immigrant had perished in an apparent "honor slaying"?this time just outside the police station in Kristiansand.) The disinclination of social-democratic leaders to properly address such matters has doubtless contributed to the recent growth of conservative parties in many European countries. In the Netherlands, where gay bashings by Moroccan and Turkish youths have been on the rise, and where the government cracked down in February on the teaching of anti-Western hate in state-supported Muslim schools (one of which was raising money by selling calendars featuring a photo of the New York skyline ablaze), a Rotterdam politician named Pim Fortuyn gained widespread support by speaking frankly about the threat that fundamentalist Islam poses to Western liberties. It was a threat of which he, as an openly gay man, was acutely aware. ("In Rotterdam," he told the New York Times in March, "we have third generation Moroccans who still don't speak Dutch, oppress women and won't live by our values.") Fortuyn's brutal assassination on May 6, 2002, deprived European politics of a brave and articulate voice for change. Of course, not all politicians who dare to raise the issues of immigration, Islam, and integration are necessarily admirable. As Anne Applebaum noted in Slate in April, the lesson of the unsavory Jean-Marie Le Pen's electoral success "is that if French politicians make it unacceptable to discuss such things in the mainstream, then the discussion will take place on the far-right fringes." Indeed, it is dismaying that while many leaders on the European Left continue to do their best to avoid criticizing fundamentalist Islam?which is, after all, among the most reactionary forces on the planet?they persist in attaching the label "racist" or "right-wing extremist" to any politician, such as Fortuyn, who makes bold to raise it as an issue. The longer the Left keeps trying to stifle discussion in this manner, the higher the chances of a rise to power of genuine racists and right-wing extremists. The good news is that ordinary Western Europeans are beginning to recognize all this. They are also coming to realize some crucial truths. Fundamentalist Islam is not a race or an ethnicity; it is an ideology. Its critics are not racists, any more than critics of Nazi or Stalinist ideology are racists. And as an ideology, furthermore, Islamic fundamentalism is something that people can be drawn away from. Some of those who arrive in Europe as fundamentalist Muslims do indeed change their stripes, shedding narrow dogma and dangerous prejudices and learning to value tolerance and practice pluralism. It does not seem excessive to suggest that Western European immigration authorities (who have a superfluity of potential immigrants to choose from, and who are already in the habit of weeding out candidates on economic and other grounds) should begin to concentrate on screening for adaptability, accepting only those who seem likely to make an effort to fit in?and admitting them only tentatively, on the condition that they indeed adapt to democratic ways both outwardly and inwardly. This adaptation should be encouraged in every way possible. Muslim immigrants should not only be taught the language of their adopted country; they should be comprehensively educated in the ways of democracy. They must learn?no small order?to think for themselves, to read critically, to question. Most important, they must learn to question those things they have been taught to regard as most sacred. And they must be encouraged to see themselves as free individuals in a free land rather than as members of a straitjacketing subculture whose religion obliges them to take their marching orders from autocratic community leaders. Finally, these immigrants must be thought of?and must be encouraged to think of themselves?as full and equal members of the societies in which they live. European natives must appreciate what an accomplishment it is for people to become functioning members of societies radically different from the ones in which they were born. Those who do make the adjustment successfully deserve the utmost respect. To persist in calling them immigrants after they have been living and working in a country for years (and, even more outrageously, to use the same word to describe their European-born children and grandchildren) is not only offensive and insulting but staggeringly counterproductive. As for those who, after a period in the West, make it obvious that they are unwilling or unable to adapt, they must be sent home and replaced by deserving individuals who can adapt. This may appear extreme, but there is no reasonable alternative. For at stake in all this, ultimately, are the basic freedoms of all Westerners?not only women and homosexuals, but everyone, including Muslims and former Muslims who wish to live in a place where they can be themselves. At stake, indeed, is Western civilization. -- This e-mail may contain confidential and/or privileged information. If you are not the intended recipient (or have received this e-mail in error) please notify the sender immediately and destroy this e-mail. Any unauthorized copying, disclosure or distribution of the material in this e-mail is strictly forbidden. From pdiperjuangan@polarhome.com Fri Aug 9 14:00:12 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (Olga nebo Sylvie Gondokusumo) Date: Fri Aug 9 13:00:12 2002 Subject: [pdiperjuangan] Fw: [Nasional] TOLAK syariat Islam !!!!! Message-ID: <00ef01c23f92$851c6180$de68b13e@olgasylvie> ----- Original Message ----- From: "akang" To: Sent: Wednesday, August 07, 2002 11:46 PM Subject: [Nasional] TOLAK syariat Islam !!!!! deleted> _________________________________________________________________ > > From: manusa biasa > From: "nong" > > Teman-teman ...... > Hari ini perasaan saya sedang hancur lebur. belum juga diketok > palu dan disahkan syariat islam di MPR, saya merasa sudah mendapatkan > akibat dari kesewenang-wenangan yang mengatasnamakan Islam itu. Padahal > saya > merasa dan menjalankan Islam banget sesuai dengan keislaman yang saya > pahami > dan saya mampui. > > Untuk kali kesekian, setelah kasus sukidi dan lain-lain, Majelis Mujahidin > melakukan sensor prosedural atas kelompok yang tidak seiman dengannya > dengan > cara meminta TV-TV menghentikan tayangan iklan yang dibikin oleh komunitas > Islam Utan Kayu (KIUK). > > Ceritanya begini.... > hari ini saya mendapat surat dari SCTV dan RCTI. Mereka tiba-tiba > menghentikan tayangan iklan layanan masyarakat yang diproduksi oleh > Komunitas Islam Utan Kayu (JIL). Program iklan layanan ini merupkan salah > satu bagian dari program JIL selain sindikasi media, talk show radio dll. > Iklan ini bertujuan untuk mengkampanyekan keragaman Islam dan toleransi. > ada > dua versi sebenarnya yang kita bikin; pertama versi keragaman agama dan > anti > kekerasan, dan yang kedua versi iklan keragaman islam dan toleransi. Iklan > yang versi yang kedua ini dibikin oleh Garin dkk dengan materi yang sangat > moderat dan netral, dibanding dengan iklan yang pertama yang agak > provokatif > gambarnya. Karenanya gambar yang kita pilih dalam iklan versi kedua ini > adalah adegan kemeriahan khitanan massal bahkan lagunya pun lagu qasidahan > 'perdamain'. Nah, supaya tidak dianggap bahwa itu iklan khitan massal maka > pesannya kita tulis dalam iklan itu title "ISLAM WARNA WARNI, TAK CUMA > SATU, > BANYAK RAGAM, SALING MENGHARGAI." > > Nah iklan yang kedua inilah yang disomasi oleh Majelis Mujahidin. Mereka > beranggapan bahwa iklan ini menyebarkan opini yang sesat tentang Islam. > Saya > minta tanggapan dari teman-teman mengenai kasus ini. Dampak somasi ini > sangat besar untuk kita dan untuk media. Media menjadi ketakutan karena > disomasi itu. SCTV saja langsung nelpon ke saya dan bilang akan > menghentikan > penayangan iklan saat itu juga. Padahal masa penyangannya berakhir minggu > depan. Begitu juga RCTI yang untungnya kata RCTI masa penayangannya sudah > habis. Tapi setelah itu, mungkin RCTI akan sangat sulit menayangkan iklan > yang bernuansa agama dan pluralisme seperti ini. Ya...siapa sih yang tidak > takut bila diancam akan mendapat hisab dari Allah? Apalagi Allah-nya mereka > punya.. > > salam, > nong > -------- > > Berikut saya lampirkan isi surat somasi itu : > > DEPARTEMEN DATA DAN INFORMASI MAJELIS MUJAHIDIN > alamat : Jatinegara Timur III No. 26 Jakarta Timur 13350 telp/fax: > 021-8517718 > > Nomer : 29/DATIN-MM/VIII/02 > Perihal : SOMASI > > Kepada YTH, > Direktur Utama SCTV (dan juga RCTI) > di Jakarta > > Dengan Hormat, > Kami telah memperhatikan sebuah tayangan iklan layanan masyarakat yang > dipersembahkan oleh Komunitas Islam Utan Kaayu yang berisi penyesatan opini > berupa : Islam Warna Earni. Karena tayangan tersebut bertentangan dengan > Al-Qur'an surat Al-Anbiya/21:92 yang artinya : "Sesungguhnya (agama tauhid) > ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka > sembahlah Aku". Dapat juga dilihat QS, 23: 52-54. > > Oleh karena itu, kami menuntut kepada Bapak untuk menghentikan penyangan > iklan tersebut paling lambat 3 x 24 jam. > > Tayangan iklan tersebut akan melahirkan opini yang salah tentang Islam, > seolah-olah Islam itu bermacam-macam. Sehingga akan muncul opini pluralisme > agama yang meyakini bahwa semua agama itu baik dan benar. Padahal di dalam > Al-Qur'n disebutkan : "Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah > hanyalah Islam. Tiada yang berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab > kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian > diantara > mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya > Allah sangat cepat hisab-Nya," (QS.3:19) > > Jadi, yang benar adalah bahwa Islam itu agama tauhid, agama yang satu, > bukan > warna-warni. Yang warna warni adalah Umat islam, karena perbedaan suku > bangsa, kulit, kebudayaan dan sebagainya. Namun orang yang paling mulia di > sisi Allah adalah siapa yang paling Taqwa diantara mereka. (QS. 49:13) > > Demikianlah somasi kami, semoga Bapak takut kepada hisab Allah SWT. Bila > Bapak tidak memenuhi somasi ini, maka terpaksa kami akan adukan perkara ini > ke Polda Metro Jaya sebagai tindak pidana pelecehan terhadap agama (Pasal > 156a KUHP). Atas perhatiannya diucapkan terima kasih. > > Hormat Kami, > Jakarta, 4 Agustus 2002 > > Drs. Fauzan Al-Anshari, MM > Ketua > ------------------------------------------------------------- > Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/ > Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national > Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html > Nasional-A: http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-a > Nasional-f:http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-f > ------------------Mailing List Nasional---------------------- > From pdiperjuangan@polarhome.com Fri Aug 9 20:48:02 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (admin) Date: Fri Aug 9 19:48:02 2002 Subject: [pdiperjuangan] J.Winters menjawab Litbang PDIP/Kwik Kian Gie Message-ID: <3D53FEEA.9EAA7FC8@brd.de> Note: This letter, together with supporting documents, was faxed to Kwik Kian Gie and Litbang PDI Perjuangan on 9 August 2002. --------------------------------------------------------------------------------------------------------- [Northwestern University letterhead] 9 Augustus 2002 Pak Kwik yang baik, Salam hangat dari Chicago. Saya baru menerima dokumen lewat email yang berjudul "Litbang PDI Perjuangan Menjawab." Menurut dokumen ini Pak Kwik sendiri menjadi juru bicara dalam konferensi pers yang menyampaikan pandangan Litbang tersebut. Saya rasa isinya baik dan wajar, kecuali bagian yang menyebut nama dan pandangan saya. Maaf, tapi beberapa observasi Litbang sama sekali tidak tepat. Dengan surat ini saya menyampaikan beberapa penjelasan supaya tidak ada salah faham. Silahkan membagi surat ini kepada anggota Litbang lainnya dan juga kepada DPP PDIP dan kepada Mbak Mega sendiri. Dalam konferensi pers dari Litbang/Kwik ada beberapa pernyataan sebagai berikut: LITBANG / KWIK: Mengenai julukan "Megawati Suhartoputri," Litbang katakan: "Yang memasyarakatkan Jeffrey Winters, tetapi Jeffrey Winters mengatakan bahwa yang menciptakan julukan itu bukan dia. Dia membaca di koran, lalu dia menggunakan julukan itu di mana-mana. Itu pengakuannya Jeffrey Winters." JEFFREY: Dari nadanya, sepertinya Litbang/Kwik kurang percaya bahwa saya bukan pencipta julukan itu, dan kurang percaya bahwa julukan itu sudah lama beredar. Dari pernyataan di atas saya merasa Litbang/Kwik berpendapat adalah tidak wajar kalau seorang pengamat menyatakan di forum terbuka munculnya suatu julukan untuk seorang presiden. Mungkin perlu saya mengingatkan Litbang tentang perkembangan julukan ini. Saya lampirkan beberapa bukti mengenai sejarah lahirnya julukan tersebut. Di bawah ini saya kutip beberapa bagian yang relevan. Mulai akhir 2001 saya sudah terima laporan, dari beberapa sumber di Indonesia, bahwa julukan itu pertama kali dibuat oleh Sri Bintang Pamungkas dalam suatu forum atau demo. Karena tidak ada catatan tertulis, saya tidak tahu persis apakah laporan itu akurat atau tidak. Secara tertulis dan tercatat, kita bisa melacak perkembangan julukan ini sebagai berikut: Website-nya Wimar Witoelar: Pada tanggal 15 Desember 2001 kita lihat di website-nya Wimar ada interview yang berjudul "2001: Journey without a Destiny," di mana Wimar mengatakan: "If Megawati allows the country to slip back into the old culture then she would be known not as Megawati Sukarnoputri but maybe as Megawati Suhartoputri." (Lihat di web: http://articles.ibonweb.com/webarticle.asp?num=1094 ) Sinar Pagi: Pada tanggal 4 Januari 2002 Sinar Pagi menerbitkan artikel dengan judul "Presiden Dijuluki Megawati Soehartoputri" tentang sejumlah aktivis senior termasuk Arbi Sanit, Faisal Basri, Johnson Panjaitan, Wardah Hafiz, Henny [Walhi], Budiman Sujatmiko, dan Dillon yang menggelar aksi damai di Bundaran HI untuk melawan abolisi untuk Suharto. Kata artikel tersebut, "Jika [abolisi] diberikan maka presiden dijuluki Megawati Soehartoputri." Ada juga spanduk di demo ini yang isinya sama. Suara Merdeka: Pada tanggal 8 Januari 2002 diterbitkan artikel di Suara Merdeka yang manyampaikan tanggapan Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno terhadap munculnya julukan ini. Pak Soetardjo mengatakan bahwa penggantian nama lewat julukan tidak pantas, lalu secara guyon dan sambil tertawa dia tambah: "Mbak Tutut bisa-bisa protes akan hal itu. Kalau nama Presiden diubah menjadi Megawati Taufik Kiemas sih tidak apa-apa. Tapi kalau Megawati Soehartoputri, nanti Mbak Tutut bisa protes." (Lihat di web: http://www.suaramerdeka.com/harian/0201/08/nas14.htm ) Koran Nasional di Belanda: Pada tanggal 16 Januari 2002 di salah satu koran nasional di Belanda, julukan ini muncul lagi dan dikutip di internet begini: "...jadi tampaknya Megawati Soekarnoputri (dochter van Soekarno) diganti saja namanya menjadi Megawati Soehartoputri." (Lihat di web: http://groups.yahoo.com/group/deGromiest/message/469 ) Wall Street Journal: Pada tanggal 6 Februari 2002 diterbitkan artikel oleh Sadanand Dhume di WSJ yang berjudul "Some Question if Megawati's Style Can Get Indonesia Out of Trouble." Artikelnya mengutip Wimar sebagai berikut: "'She's more like Megawati Suharto-putri,' jokes Wimar Witoelar." (Lihat di web: http://www.destination-indonesia.net/News-Analysis/News2002/News020206wsj00043.htm ) Kolom Haryo Sasongko: Pada tanggal 5 Maret 2002 ada kolom yang beredar luas di internet yang berjudul "Pembusukan Nasional dan Kebangkitan Kembali Orde Baru" oleh Haryo Sasongko. Salah satu kesimpulan dari penulis ini adalah "Karena itu, orang boleh saja marah dengan plesetan nama Megawati Soekarnoputri menjadi Megawati Soehartoputri. Namun dengan mempelajari sepak tejang politiknya, plesetan itu mungkin memang mengandung kebenaran." (Lihat di web: http://mail2.factsoft.de/pipermail/national/2002-March/003180.html ) Bisa disebut banyak contoh lagi, tapi saya rasa yang di atas itu sudah cukup membuktikan bahwa julukan ini memang sudah lama beredar dan pantas menjadi bahan diskusi dan analisa dari seorang pengamat yang mengikuti perkembangan politik di Indonesia. Sebagai seorang peneliti, saya memang memperhatikan perkembangan julukan negatif seperti ini. This is my job as an analyst. Saya juga cukup kaget pada bulan Juli lalu karena begitu saya tiba di Jakarta saya dengar julukan itu tiga kali dalam tiga hari -- dari pengemudi taxi, dalam percakapan dua orang di meja sebelah di coffee shop, dan dari pelayan di warung bistik di Jakarta Selatan. Waktu saya hadir sebagai satu dari sembilan panelis (termasuk Gus Dur) di Jakarta Media Center beberapa hari kemudian, kami tidak sempat bicara panjang lebar karena waktu yang disediakan hanya lima menit per orang. Jadi saya memilih untuk menyampaikan sepuluh pertanyaan saja, diantaranya adalah: Mengapa kita makin sering mendengar julukan "Megawati Suhartoputri?" Mengapa julukan ini muncul dan beredar? Dan gejala itu mencerminkan apa di kalangan elit maupun di kalangan rakyat? Lalu saya tambah: julukan ini pasti sangat pahit dan menyakitkan untuk Megawati sendiri. Dari pendengar ada yang tanya, apakah saya tidak takut akan ditangkap karena saya mendiskusikan munculnya julukan ini? Saya menjawab, sama sekali tidak, karena Mega bukan orang seperti itu. Pers langsung menulis bahwa saya menciptakan julukan baru untuk Presiden Megawati, padahal itu sama sekali tidak akurat. Lalu berita itu menjadi bola salju karena media TV dan radio mengutip hal yang sama dari media cetak, dan begitu juga sebaliknya, sehingga faktanya sendiri hilang dan yang beredar adalah berita yang tidak akurat. Litbang PDIP (dan Pak Kwik sendiri) pasti tahu bahwa saya tidak bisa mengontrol pers dan yang mereka mau tulis itu tidak bisa dilihat sebagai kesalahan saya. Tetapi ini tidak berarti saya pasif dan membiarkan proses snowballing itu. Saya langsung menulis surat (email) klarifikasi ke Tempo dan Kompas (dilampirkan), dan saya juga mengadakan wawancara dengan Forum Keadilan yang coba meluruskan salah-kutip yang sudah menyebar luas itu. Saya rasa ini sikap yang bertanggung jawab sebagai seorang akademisi. LITBANG / KWIK: Secara eksplisit Litbang/Kwik mengkaitkan julukan itu dengan ide bahwa Mega jadi seorang diktator, seakan-akan saya pernah katakan hal itu: "Pertama saya ingin bertanya, kalau Mega seorang diktator, apakah Jeffrey Winters sekarang bisa bebas seperti ini? Bukankah dia lalu diusir atau ditangkap? Anda bisa membayangkan nggak seandainya zaman Soeharto dulu, apakah Jeffrey Winters berani mengatakan "Tutut Soekarno Putri"? Pasti dia langsung ditangkap atau dituntut di pengadilan. Bahwa Jeffrey Winters bisa ngeritik sampai seperti itu sebagai orang asing, bahwa dia bisa mengatakan Soeharto Putri segala macam dan sama sekali tidak diganggu sedikitpun kebebasannya, bukankah itu bertolak belakang dengan omongan yang mengatakan bahwa Megawati sudah diktator?" JEFFREY: Saya sangat keberatan dengan komentar ini. Sudah cukup unprofessional kalau banyak pers tidak bisa (atau tidak mau) mengutip dengan cermat. Tapi jika Litbang/Kwik mencampur nama saya dengan pandangan bahwa Mega jadi diktator, itu sangat tidak pantas. For the record, saya tidak pernah mengatakan bahwa Mega menjadi diktator. Lebih jauh lagi, saya tidak pernah kaitkan julukan Suhartoputri dengan perkembangan dictatorship. Dan lebih-lebih lagi, saya rasa yang pakai julukan ini, baik di demo maupun di kolom atau komentarnya, sama sekali tidak mengambarkan Megawati sebagai seorang diktator (mana ada yang bilang begitu?). Menurut analisa saya (berdasarkan bukti yang tertulis, dan diskusi dengan orang yang pakai nama itu), julukan ini mencerminkan pandangan (akurat atau tidak) bahwa Megawati terlalu toleran terhadap status quo/Orba, dan cenderung terlalu "working within the system" daripada "working to change the system." Jadi ngomong diktator segala itu agak berlebihan dan over-reacting. Dalam wawancara pada tanggal 18 Juli dengan Forum Keadilan (edisi cetak 28 Juli 2002) saya ditanya, "Megawati bisa menerima posisi Anda seperti itu [yaitu, bicara di forum terbuka tentang munculnya julukan]?" Jeffrey menjawab: "Iya dong. Megawati sudah tahu dari dulu bahwa kita tidak boleh campur aduk antara profesi dan hubungan pribadi. Dan saya kagum kepada Megawati karena bisa menerima itu." Mana bisa saya menjawab begini kalau saya pikir Mega bersifat diktator? "Litbang Menjawab" adalah konferensi pers yang resmi sebagai response PDIP terhadap kritikan publik yang beredar satu tahun setelah Ibu Mega menjadi presiden. Oleh karena itu saya menulis surat ini (dan lampirkan bukti-bukti) sebagai koreksi untuk yang sudah disampaikan dalam konferensi pers Litbang/Kwik. Pak Kwik, saya akan berterima kasih sekali kalau Litbang atau Pak Kwik sendiri bisa menulis PRESS RELEASE yang isinya: a) mengakui bahwa bukan Jeffrey yang menciptakan julukan "Megawati Suhartoputri" b) mengatakan bahwa memang wajar kalau seorang pengamat-akademisi mendiskusikan hal seperti munculnya julukan yang diberikan kepada seorang presiden c) menjelaskan bahwa Litbang/Pak Kwik tidak bermaksud menyatakan bahwa Jeffrey pernah mengatakan (or even implied) bahwa Megawati bersifat diktator Tolong dikirim fotokopi dari press release tersebut ke email saya: winters@northwestern.edu Thank you for your careful attention to this matter. Hormat saya, Jeffrey A. Winters -„ From pdiperjuangan@polarhome.com Fri Aug 9 20:50:43 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (admin) Date: Fri Aug 9 19:50:43 2002 Subject: [pdiperjuangan] J.Winters menjawab Litbang PDIP/Kwik Kian Gie Message-ID: <3D53FF85.10F465B9@brd.de> Note: This letter, together with supporting documents, was faxed to Kwik Kian Gie and Litbang PDI Perjuangan on 9 August 2002. ----------------------------------------------------------------------------------------------- [Northwestern University letterhead] 9 Augustus 2002 Pak Kwik yang baik, Salam hangat dari Chicago. Saya baru menerima dokumen lewat email yang berjudul "Litbang PDI Perjuangan Menjawab." Menurut dokumen ini Pak Kwik sendiri menjadi juru bicara dalam konferensi pers yang menyampaikan pandangan Litbang tersebut. Saya rasa isinya baik dan wajar, kecuali bagian yang menyebut nama dan pandangan saya. Maaf, tapi beberapa observasi Litbang sama sekali tidak tepat. Dengan surat ini saya menyampaikan beberapa penjelasan supaya tidak ada salah faham. Silahkan membagi surat ini kepada anggota Litbang lainnya dan juga kepada DPP PDIP dan kepada Mbak Mega sendiri. Dalam konferensi pers dari Litbang/Kwik ada beberapa pernyataan sebagai berikut: LITBANG / KWIK: Mengenai julukan "Megawati Suhartoputri," Litbang katakan: "Yang memasyarakatkan Jeffrey Winters, tetapi Jeffrey Winters mengatakan bahwa yang menciptakan julukan itu bukan dia. Dia membaca di koran, lalu dia menggunakan julukan itu di mana-mana. Itu pengakuannya Jeffrey Winters." JEFFREY: Dari nadanya, sepertinya Litbang/Kwik kurang percaya bahwa saya bukan pencipta julukan itu, dan kurang percaya bahwa julukan itu sudah lama beredar. Dari pernyataan di atas saya merasa Litbang/Kwik berpendapat adalah tidak wajar kalau seorang pengamat menyatakan di forum terbuka munculnya suatu julukan untuk seorang presiden. Mungkin perlu saya mengingatkan Litbang tentang perkembangan julukan ini. Saya lampirkan beberapa bukti mengenai sejarah lahirnya julukan tersebut. Di bawah ini saya kutip beberapa bagian yang relevan. Mulai akhir 2001 saya sudah terima laporan, dari beberapa sumber di Indonesia, bahwa julukan itu pertama kali dibuat oleh Sri Bintang Pamungkas dalam suatu forum atau demo. Karena tidak ada catatan tertulis, saya tidak tahu persis apakah laporan itu akurat atau tidak. Secara tertulis dan tercatat, kita bisa melacak perkembangan julukan ini sebagai berikut: Website-nya Wimar Witoelar: Pada tanggal 15 Desember 2001 kita lihat di website-nya Wimar ada interview yang berjudul "2001: Journey without a Destiny," di mana Wimar mengatakan: "If Megawati allows the country to slip back into the old culture then she would be known not as Megawati Sukarnoputri but maybe as Megawati Suhartoputri." (Lihat di web: http://articles.ibonweb.com/webarticle.asp?num=1094 ) Sinar Pagi: Pada tanggal 4 Januari 2002 Sinar Pagi menerbitkan artikel dengan judul "Presiden Dijuluki Megawati Soehartoputri" tentang sejumlah aktivis senior termasuk Arbi Sanit, Faisal Basri, Johnson Panjaitan, Wardah Hafiz, Henny [Walhi], Budiman Sujatmiko, dan Dillon yang menggelar aksi damai di Bundaran HI untuk melawan abolisi untuk Suharto. Kata artikel tersebut, "Jika [abolisi] diberikan maka presiden dijuluki Megawati Soehartoputri." Ada juga spanduk di demo ini yang isinya sama. Suara Merdeka: Pada tanggal 8 Januari 2002 diterbitkan artikel di Suara Merdeka yang manyampaikan tanggapan Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno terhadap munculnya julukan ini. Pak Soetardjo mengatakan bahwa penggantian nama lewat julukan tidak pantas, lalu secara guyon dan sambil tertawa dia tambah: "Mbak Tutut bisa-bisa protes akan hal itu. Kalau nama Presiden diubah menjadi Megawati Taufik Kiemas sih tidak apa-apa. Tapi kalau Megawati Soehartoputri, nanti Mbak Tutut bisa protes." (Lihat di web: http://www.suaramerdeka.com/harian/0201/08/nas14.htm ) Koran Nasional di Belanda: Pada tanggal 16 Januari 2002 di salah satu koran nasional di Belanda, julukan ini muncul lagi dan dikutip di internet begini: "...jadi tampaknya Megawati Soekarnoputri (dochter van Soekarno) diganti saja namanya menjadi Megawati Soehartoputri." (Lihat di web: http://groups.yahoo.com/group/deGromiest/message/469 ) Wall Street Journal: Pada tanggal 6 Februari 2002 diterbitkan artikel oleh Sadanand Dhume di WSJ yang berjudul "Some Question if Megawati's Style Can Get Indonesia Out of Trouble." Artikelnya mengutip Wimar sebagai berikut: "'She's more like Megawati Suharto-putri,' jokes Wimar Witoelar." (Lihat di web: http://www.destination-indonesia.net/News-Analysis/News2002/News020206wsj00043.htm ) Kolom Haryo Sasongko: Pada tanggal 5 Maret 2002 ada kolom yang beredar luas di internet yang berjudul "Pembusukan Nasional dan Kebangkitan Kembali Orde Baru" oleh Haryo Sasongko. Salah satu kesimpulan dari penulis ini adalah "Karena itu, orang boleh saja marah dengan plesetan nama Megawati Soekarnoputri menjadi Megawati Soehartoputri. Namun dengan mempelajari sepak tejang politiknya, plesetan itu mungkin memang mengandung kebenaran." (Lihat di web: http://mail2.factsoft.de/pipermail/national/2002-March/003180.html ) Bisa disebut banyak contoh lagi, tapi saya rasa yang di atas itu sudah cukup membuktikan bahwa julukan ini memang sudah lama beredar dan pantas menjadi bahan diskusi dan analisa dari seorang pengamat yang mengikuti perkembangan politik di Indonesia. Sebagai seorang peneliti, saya memang memperhatikan perkembangan julukan negatif seperti ini. This is my job as an analyst. Saya juga cukup kaget pada bulan Juli lalu karena begitu saya tiba di Jakarta saya dengar julukan itu tiga kali dalam tiga hari -- dari pengemudi taxi, dalam percakapan dua orang di meja sebelah di coffee shop, dan dari pelayan di warung bistik di Jakarta Selatan. Waktu saya hadir sebagai satu dari sembilan panelis (termasuk Gus Dur) di Jakarta Media Center beberapa hari kemudian, kami tidak sempat bicara panjang lebar karena waktu yang disediakan hanya lima menit per orang. Jadi saya memilih untuk menyampaikan sepuluh pertanyaan saja, diantaranya adalah: Mengapa kita makin sering mendengar julukan "Megawati Suhartoputri?" Mengapa julukan ini muncul dan beredar? Dan gejala itu mencerminkan apa di kalangan elit maupun di kalangan rakyat? Lalu saya tambah: julukan ini pasti sangat pahit dan menyakitkan untuk Megawati sendiri. Dari pendengar ada yang tanya, apakah saya tidak takut akan ditangkap karena saya mendiskusikan munculnya julukan ini? Saya menjawab, sama sekali tidak, karena Mega bukan orang seperti itu. Pers langsung menulis bahwa saya menciptakan julukan baru untuk Presiden Megawati, padahal itu sama sekali tidak akurat. Lalu berita itu menjadi bola salju karena media TV dan radio mengutip hal yang sama dari media cetak, dan begitu juga sebaliknya, sehingga faktanya sendiri hilang dan yang beredar adalah berita yang tidak akurat. Litbang PDIP (dan Pak Kwik sendiri) pasti tahu bahwa saya tidak bisa mengontrol pers dan yang mereka mau tulis itu tidak bisa dilihat sebagai kesalahan saya. Tetapi ini tidak berarti saya pasif dan membiarkan proses snowballing itu. Saya langsung menulis surat (email) klarifikasi ke Tempo dan Kompas (dilampirkan), dan saya juga mengadakan wawancara dengan Forum Keadilan yang coba meluruskan salah-kutip yang sudah menyebar luas itu. Saya rasa ini sikap yang bertanggung jawab sebagai seorang akademisi. LITBANG / KWIK: Secara eksplisit Litbang/Kwik mengkaitkan julukan itu dengan ide bahwa Mega jadi seorang diktator, seakan-akan saya pernah katakan hal itu: "Pertama saya ingin bertanya, kalau Mega seorang diktator, apakah Jeffrey Winters sekarang bisa bebas seperti ini? Bukankah dia lalu diusir atau ditangkap? Anda bisa membayangkan nggak seandainya zaman Soeharto dulu, apakah Jeffrey Winters berani mengatakan "Tutut Soekarno Putri"? Pasti dia langsung ditangkap atau dituntut di pengadilan. Bahwa Jeffrey Winters bisa ngeritik sampai seperti itu sebagai orang asing, bahwa dia bisa mengatakan Soeharto Putri segala macam dan sama sekali tidak diganggu sedikitpun kebebasannya, bukankah itu bertolak belakang dengan omongan yang mengatakan bahwa Megawati sudah diktator?" JEFFREY: Saya sangat keberatan dengan komentar ini. Sudah cukup unprofessional kalau banyak pers tidak bisa (atau tidak mau) mengutip dengan cermat. Tapi jika Litbang/Kwik mencampur nama saya dengan pandangan bahwa Mega jadi diktator, itu sangat tidak pantas. For the record, saya tidak pernah mengatakan bahwa Mega menjadi diktator. Lebih jauh lagi, saya tidak pernah kaitkan julukan Suhartoputri dengan perkembangan dictatorship. Dan lebih-lebih lagi, saya rasa yang pakai julukan ini, baik di demo maupun di kolom atau komentarnya, sama sekali tidak mengambarkan Megawati sebagai seorang diktator (mana ada yang bilang begitu?). Menurut analisa saya (berdasarkan bukti yang tertulis, dan diskusi dengan orang yang pakai nama itu), julukan ini mencerminkan pandangan (akurat atau tidak) bahwa Megawati terlalu toleran terhadap status quo/Orba, dan cenderung terlalu "working within the system" daripada "working to change the system." Jadi ngomong diktator segala itu agak berlebihan dan over-reacting. Dalam wawancara pada tanggal 18 Juli dengan Forum Keadilan (edisi cetak 28 Juli 2002) saya ditanya, "Megawati bisa menerima posisi Anda seperti itu [yaitu, bicara di forum terbuka tentang munculnya julukan]?" Jeffrey menjawab: "Iya dong. Megawati sudah tahu dari dulu bahwa kita tidak boleh campur aduk antara profesi dan hubungan pribadi. Dan saya kagum kepada Megawati karena bisa menerima itu." Mana bisa saya menjawab begini kalau saya pikir Mega bersifat diktator? "Litbang Menjawab" adalah konferensi pers yang resmi sebagai response PDIP terhadap kritikan publik yang beredar satu tahun setelah Ibu Mega menjadi presiden. Oleh karena itu saya menulis surat ini (dan lampirkan bukti-bukti) sebagai koreksi untuk yang sudah disampaikan dalam konferensi pers Litbang/Kwik. Pak Kwik, saya akan berterima kasih sekali kalau Litbang atau Pak Kwik sendiri bisa menulis PRESS RELEASE yang isinya: a) mengakui bahwa bukan Jeffrey yang menciptakan julukan "Megawati Suhartoputri" b) mengatakan bahwa memang wajar kalau seorang pengamat-akademisi mendiskusikan hal seperti munculnya julukan yang diberikan kepada seorang presiden c) menjelaskan bahwa Litbang/Pak Kwik tidak bermaksud menyatakan bahwa Jeffrey pernah mengatakan (or even implied) bahwa Megawati bersifat diktator Tolong dikirim fotokopi dari press release tersebut ke email saya: winters@northwestern.edu Thank you for your careful attention to this matter. Hormat saya, Jeffrey A. Winters -„ From pdiperjuangan@polarhome.com Sat Aug 10 01:00:11 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (Olga nebo Sylvie Gondokusumo) Date: Sat Aug 10 00:00:11 2002 Subject: [pdiperjuangan] Fw: [Nasional] Integral politik Message-ID: <00a301c23fef$d152e6c0$b86614d4@olgasylvie> ----- Original Message ----- From: "Hudojo" <25@tiscali.de> To: "National" Sent: Thursday, August 08, 2002 1:00 AM Subject: [Nasional] Integral politik > ------------------------------------------------------------------ > Mailing List "NASIONAL" > Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap > eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. > ------------------------------------------------------------------ > Piagam Jakarta Bisa Ancam Disintegrasi, oleh karena itu kita harus menempuh > jalan > Integral politik. Integral politik berarti kita harus bisa memadukan antara > Pandangan yang liberal dan pandangan yang konservatif. > Dinegeri kita pandangan liberal pada umumnya di wakili oleh partai-partai > politik > nasional yang sekularis, sedangkan pandangan yang konservatif pada umumnya > diwakili > oleh partai-partai agama. Pandangan liberal pada pokoknya percaya bahwa > adanya > kemelaratan rakyat itu disebabkan oleh karena adanya sebab luar misalnya > adanya > penindasan manusia oleh manusia. Sedangkan pandangan konservatif percaya > bahwa > adanya kemelaratn itu disebabkan karena sebab intern (sebab dalam),misalnya > adanya > kemalasan manusia dan kekurangan beribadah pada Tuhan. Ini tercermin dalam > tuntutan piagam Jakarta. > > Saudara-saudara Netter yang budiman. > Untuk menanggapi sikap Partai politik PPP dan PBB yang ingin memasukkan > Piyagam Jakarta dalam UUD yang sekarang ini sedang mereka perjuangkan > dalam sidang Tahunan MPR 2002, yang pernah direspons oleh ketua MPR Amin > Rais, > seperti yang pernah dimuat dalam harian Suara Merdeka tanggal > 05 Septembar 2001. Maka tanggapan saya dalam masalah ini saya beri tema : > Integral Politik > dalam membahas masalah AGAMA, ISLAM, DAN NEGARA. > > Di Indonesia, agama mempunyai pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan orang > banyak, > terutama agama Islam yang meliputi sebagian besar penduduk Indonesia. > Oleh karena itu masalah tentang agama di Indonesia penting untuk mendapatkan > tempat ulasan khusus yang dapat dikaitkan dengan batas pengertian umumnya, > sejarah dan penampilannya, terutama yang sehubungan dengan masalah politik > dan negara. > Yang saya maksud disini adalah bagaimana agama pada umumnya yang bersifat > mempertahankan dan menjunjung tinggi nilai-nilai positif dari kehidupan > manusia tidak dipergunakan untuk > merintangi pembinaan persatuan antar pelbagai golongan di > dalam usaha untuk memperbaiki tinggkat hidup rakyat, menegakkan demokrasi > serta > membela dan mempertahankan integritas nasional. > Jika kita menelusuri perjalanan sejarah dan kehidupan umat manusia, maka > disitu > kita akan menjumpai bahwa agama itu terdapat dalam setiap perkembangan > masyarakat. > Mempelajari tentang agama berarti kita dapat mengindikasikan adanya gambaran > penting tentang keinginan manusia untuk memperoleh nilai positif dalam > hidupnya, > sehingga ia bisa mendapatkan tempat yang baik di akhirat. > Jika kita tinjau dari sini memang benar kiranya kalau seseorang percaya > serta > memeluk sesuatu agama, maka menusia itu akan mempunyai pegangan, bahwa hidup > itu bukanlah sesuatu hal yang kebetulan adanya dan sia-sia belaka. > Jadi disini terjalinlah adanya suatu kaitan antara manusia dengan agama > yaitu > yang terutama adalah kaitannya dengan moral. > Menyinggung tentang masalah moral, dalam hal ini pernah ada perdebatan yang > bertema : > " Apakah keberadaan moral itu mutlak berkaitan dengan agama ataukah bisa > tanpa agama ? " > Sejak abad ke 17 dimana manusia telah mengembangkan ilmu pengetahuan > alamnya, maka perkembangan ini > juga mempengarui dikalangan para filsafawan dalam menanggapi > tentang masalah-masalah keduniawian. Banyak diantara mereka yang tidak mau > lagi > mengikuti dogma-dogma religius. Mereka ini hanya mendasarkan diri pada > prinsip-prinsip nonteologis. > Dalam hal ini misalnya Francis Bacon dan René Dekartes. > Mereka berkeyakianan bahwa manusia itu mempunyai kekuatan pikiran yang > bersandar pada eksistensi > dirinya sendiri, misalnya Isac Newton, ia telah menggunakan teori impirisch > induktive dari Francis Bicon > dan teori rasional deduktive dari René Decartes, > sehingga dengan demikian Newton pada zaman itu telah berhasil membuat suatu > metodologi > baru dalam ilmu pengetahuan alam. Sehingga dengan demikian, maka sejak abat > ke 18 > pandangan mekanisme dari Decartes telah diperkuat dengan perumusan-perumusan > ilmu > pasti oleh Newton, maka terjadilah apa yang disebut dengan "mekanisme > Newton", yang mendominasi semua > ilmu pengetahuan, misalnya imu fisika, biologi, phsykologi, kedokteran, > ekonomi dan ilmu sosial yang lainnya. > Achli-achli ilmu pengetahuan pada abat ke 18 telah mengakui adanya > sukses-sukses besar dari Newton dan percaya > bahwa Universum itu adalah benar-benar merupakan suatu mesin yang sangat > besar sekali, yang bergerak > menurut hukum-hukum gerak mekanik seperti yang telah ditentukan oleh Newton, > jadi dalam hal ini, para achli > ilmu penetahuan itu percaya bahwa universum itu dikendalikan atas > hukum-hukum alam yang tidak berada ditangan Tuhan. > Pola pikir seperti yang dipergunakan oleh para cendekiawan dalam ilmu > pengetahuan seperti tersebut diatas inilah > yang kemudian dikenal sebagai sekularisme. > Jadi, pola pikir sekularisme ini berbeda dengan ateisme , sebab polapikir > skularisme > itu tidak memusuhi agama, tetapi ia hanya memisahkan diri dari keagamaan > dalam > masalah-masalah keilmuan, sehingga dalam hal ini manusia telah mencapai > kemajuan-kemajuan yang besar sekali dalam mengenal dunianya . > Sejajar dengan polapikir dari para cendekiawan dalam ilmu pengetahuan alam, > maka didalam praktek kenegaraan dan agama, misalnya setelah kekuasaan > politik di Turki > tidak lagi berada ditangan Empirium Ottoman, di Turki dibawah pimpinan Kemal > Attatruk > agama dipisahkan dari negara. Tindakan itu adalah merupakan salah satu > bentuk > dari sekularisme. Dengan demikian berarti pemerintah Kemal Attatruk > bertoleransi terhadap agama, dan dilain pihak kelaliman Empirium Ottoman > yang menyalah gunakan agama dapat diachiri. Sejarah telah membuktikan bahwa > adanya bentuk sekularisme di Turki yang penduduknya kebanyakan beragama > Islam > tidak merasa adanya ancaman dan tekanan dalam menjalankan ibadah agama > Islam yang mereka anut dan percayai. > Berbeda dengan penampilannya Snouck Hurgronje yang telah memisahkan antara > agama Islam > dari politik dengan tujuan supaya rakyat Aceh (pada waktu penjajahan > Belanda) > hanya menekuni agama saja tanpa memikirkan masalah politik, sehingga tidak > melawan > penjajah Belanda. Dalam hal ini agama telah disalah gunakan untuk > meminabobukkan rakyat. > Saya berpendapat sebaiknya model ini (model Snouck Hurgronje) jangan kita > jadikan model di Indonesia > karena model tersebut akan membawa rakyat lupa terhadap tugas-tugas > keduniawiannya > yaitu tugas untuk membangun negara Republik Indonesia menuju kearah > persatuan > yang demokratis, yang juga berarti tugas untuk melaksanakan tuntutan > reformasi total. > Sejak awal abat ke 20 dengan bangkitnya gerakan nasiomal di Indonesia, > sudah terjadi perdebatan-perdebatan > yang hangat diantara pemimpin-pemimpin gerakan yang > mengibarkan panji-panji agama Islam dan pemimpin-pemimpin gerakan yang > berorientasi sekular. > Pemimpin-pemimpin itu pada umumnya dikategorikan kedalam golongan > intelektual. Adapun keadaan seperti itu > tidak terlepas dari adanya pengaruh-pengaruh internasional. Misalnya kaum > intelektual Muslim kebanyakan > ketika itu dipengaruhi oleh reformisme Islam di Timur Tengah, yang berasal > dari Mesir sampai abad ke 19. > Sedangkan pada saat yang > sama sebagian intelektual yang lainnya (nasionalis) dipengaruhi oleh ide-ide > sosialis yang berasal dari negeri > Belanda yang berorientasi sekular. > Hal ini tercermin dalam perbedaan pendapat yang timbul antara bung Karno > sebagai seorang nasionalis sekular > dengan Muhammat Natsir dipihak agana Islam. > Natsir menentang keras konsep kenegaraan bung Karno yang sekularis dengan > alasan bahwa proteksi terhadap Islam di sebuah negara "netral" > sebagaimana yang dijamin oleh bung Karno itu tidak berarti apa-apa, > karena di bawah kekuasaan penjajahpun proteksi semacam itu sudah diberikan. > Pernyataan Natsir bahwa dalam masa penjajahan Belanda Islam dilindungi oleh > pemerintah kolonial Belanda > adalah tidak benar. Memang ada Islam yang > dilindungi oleh Belanda tapi itu adalah Islam model Snouck Hurgronje, > yang dimanfaatkan supaya orang tidak melawan penjajah Belanda. > Sebagai contoh misalnya : Natsir sendiri yang menjabat sebagai Perdana > Menteri sesudah perjanjian KMB > ditanda tanganni, pada permulaan tahun 1951 pemerintahnya > mengeluarkan undang-undang Darurat Larangan Mogok, sehari sebelum berlakunya > pemogokan umum buruh minyak perusahaan besar Belanda > (BPM) yang sudah diumumkan dan diketahui oleh pemerintah Natsir. > Tindakan pemerintah Natsir itu berarti telah menguntungkan modal besar > Belanda > dan bertentangan dengan kepentingan kaum buruh untuk perbaikan nasib. > Dalam masalah ini orang jadi bertanya-tanya terhadap ucapan Natsir yang > mengatakan > "Islam yang seharusnya melindungi negara dan bukan sebaliknya" > Panji-panji Islam yang pernah dikibarkan tingi-tinggi > tidak dimanfaatkan untuk melindungi negara dan rakyat Indonesia dari > rong-rongan modal monopoli asing. > Dalam hal ini justru bung Karno lah yang lebih konsisten dalam melindungi > Negara dan agama. Hal ini tercermin dalam ide tentang Pancasila yang > mencerminkan > proteksi terhadap negara RI sesudah Proklamasi Kemerdekaan demikian juga > terhadap Islam dan terhadap semua agama. Perdebatan antara > Natsir dan bung Karno itu sudah lama kita lewati bahkan terjadinya sebelum > adanya RI. > Masa kini adalah bukannya masa untuk membangkit-bangkitkan lagi adanya > persoalan yang sudah selesai > yaitu tentang bentuk dan dasar negara RI, dan tentang ditolaknya piagam > Jakarta. Sekarang masalah penting > yang sedang dihadapi oleh rakyat Indonesia adalah masalah tentang > berdominasinya kekuatan Suharto beserta > kroni-kroninya yang berada dibelakang > layar dan masih mampu untuk memainkan peranan yang tidak kecil dibidang > politik, > ekonomi dan militer. Demikian juga adanya kekuatan-kekuatan yang berselubung > reformasi. > Jadi tugas mendesak yang harus kita hadapi adalah tugas memperkuat dan > memperluas persatuan nasional demokratis dan mengenbangkan kehidupan > demokratis. > Adanya sengketa-sengketa dan prasangka-prasangka yang hanya akan merusak > terbentuknya persatuan nasional demokratis harus kita hindari. > Toleransi yang lebih besar antara berbagai golongan yang berbeda > pendapat sangat diperlukan. Chususnya seperti dalam keadaan sekarang ini > dimana masyarakat Indonesia yang mencakup bemacam-macam golongan dalam > menyikapi > masalah keduniawian, > yaitu misalnya ada yang mau menempuh jalan berdasarkan pandangan agama > dengan memasukkannya piagam Jakrta dalam UUD dan ada yang sekular. > Dalam hal ini jika ada pihak yang berpendirian, bahwa hanya pandangannya > sendiri sajalah yang benar dan yang lain salah, maka pandangan semacam ini > bisa dimasukkan dalam kategori monoteisme dan sekaligus fundamentalisme > yang non demokratis. Pendirian semacam itu tidak > akan dapat membantu bagi tercapainya persatuan nasional, malah sebaliknya > akan menyebabkan terjadinya disintegrasi bangsa. > Uraian seperti tersebut diatas janganlah diartikan anti Islam atau anti > agama > pada umumnya, sebab pandangan ini adalah pandangan tentang negara dan demi > persatuan nasional dengan tanpa berprasangka karena adanya perbedaan agama > maupun etnik dan keyakinan politik. > Masalah yang sekarang ini dihadapi oleh bangsa Indonesia kecuali masalah > tentang persatuan nasional adalah masalah krisis ekonomi yang sudah sangat > parah. > Selama masalah ini tidak terselesaikan, maka hal itu juga akan menjadi > rintangan > bagi rakyat untuk melakukan ibadah agamanya, sebab disini manusia akan > terus disibukkan oleh usaha-usaha memenuhi kebutuhan hidupnya (keduniawian). > Tanpa adanya kehidupan yang normal, maka manusia akan menghadapi hambatan > dan > halangan tertentu untuk dapat secara baik melaksanakan tugas-tugas agamanya. > Misalnya jika keadaan perekonomian di Indonesia terus memburuk, maka sukar > bagi > rakyat biasa (yang beragama Islam) untuk bisa menabung uang supaya dapat > menunaikan tugas rukun Islam yang ke 5 yaitu pergi ketanah suci untuk naik > Haji, > yang saya kira masalah ini adalah harapan bagi seluruh umat Islam di > Indonesia. > Untuk keberhasilan dalam mengatasi masalah krisis ekonomi, maka masalah > persatuan > nasional akan memegang peranan yang sangat penting, sebab disini saya > pandang > bahwa masalah ekonomi adalah hanya merupakan salah satu syarat untuk menuju > kesuatu masyarakat yang adil dan makmur baik dibidang > materiil maupun spirituil. > Oleh karena itulah sikap yang toleran dalam mengelola masalah politik > secara integral > dan selaras dengan pandangan ekologi yang selalu memperhatikan adanya > keseimbangan > dan menolak adanya gejala-gejala yang akan merusak adanya keseimbangan, > dibidang > teknik misalnya menolak adanya reaktor atom dan dibidang politik chususnya > dinegara kita > dewasa ini adalah tepat jika kita menolak untuk dimasukkannya piagam Jakarta > kedalam UUD > karena piagam Jakarta akan merusak adanya keseimbangan masyarakat yang multi > demensi dengan > beraneka ragam agama dan kepercayaan. Menolak Piagam jakarta bukan berarti > anti Agama Islam, karena > disini bangsa Indonesia ingin memelihara adanya keseimbangan demi > mempertahankan tetap > tegak berdirinya NKRI. > Salam perjuangan. > Hudojo. > > ------------------------------------------------------------- > Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/ > Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national > Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html > Nasional-A: http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-a > Nasional-f:http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-f > ------------------Mailing List Nasional---------------------- > From pdiperjuangan@polarhome.com Sun Aug 11 03:00:03 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (akang) Date: Sun Aug 11 02:00:03 2002 Subject: [pdiperjuangan] Waspada, Manuver Ekstrim Kanan! Message-ID: <3D55A0E4.8A3B149F@yahoo.com> From: A.Li Date: Fri Aug 9, 2002 6:16 pm Subject: Waspada, Manuver Ekstrim Kanan! Waspada, Manuver Ekstrim Kanan! Tumbangnya rezim Orba tidaklah berarti bahwa rezim Orba sudah habis. Seiring dengan wacana reformasi yang telah didengungkan sejak jatuhnya rezim Orba hingga sekarang tidaklah lantas memberikan hasil yang positif bagi rakyat banyak. Wacana reformasi kini cuma menjadi retorika semata dan lagu lama yang setiap hari dinyanyikan namun tidaklah jelas arah dan tujuan yang dicapainya. Reformasi kini telah menemui jalan buntu. Para reformis kini mulai jenuh dengan kata reformasi. Keadaan Indonesia tidaklah menjadi lebih baik bahkan dari hari ke hari negara kita yang tercinta seolah mengalami musibah yang tidak ada habis-habisnya. Mulai dari angka pengangguran yang tinggi, larinya para investor asing, hutang yang kian menumpuk, hingga aksi terorisme yang sedang marak terjadi. Namun ada suatu fenomena unik yang lahir seiring dengan jatuhnya rezim Orba. Fenomena unik ini adalah peristiwa munculnya kekuatan ekstremis agama yang kian hari mulai berani menunjukkan taringnya. Kekuatan ekstremis agama mungkin lebih dikenal oleh publik sebagai kekuatan ekstrim kanan, gerakan fundamentalis, atau kelompok garis keras. Kekuatan ekstrim kanan yang dulunya berusaha ditekan dan ditumpas habis oleh rezim Orba kini telah menjelma menjadi kekuatan yang menakutkan, yang memunculkan trauma akan peristiwa kelam dalam sejarah seperti pemberontakan DI/TII yang bertekad menjadikan Indonesia sebagai negara Darul Islam. Bahaya laten sebenarnya yang ditudingkan terhadap wajah komunis oleh rezim Orba rupanya salah sasaran, kini kita melihat bahwa sebenarnya bahaya laten yang dihadapi oleh bangsa kita adalah bahaya laten fundamentalis. Dahulu ditekan kini malah dirangkul, begitulah kira-kira ungkapan yang cocok untuk gerakan fundamentalis di Indonesia. Semasa Orba, gerakan fundamentalis diberi cap sebagai gerakan ekstrem kanan yang harus terus diwaspadai. Kelompok fundamentalis memang berhasil diredam oleh rezim Orde Baru pada tahun 80-an mulai dari kasus Tanjungpriok, peledakan BCA maupun peledakan Borobudur, dan kemudian dirangkul dengan mesra pada masa-masa akhir kekuasaan Orde Baru. Kekuatan Neo-Orba sebagai pengganti Orba yang telah tumbang kini menggunakan ekstrim kanan sebagai senjata pamungkasnya. Ini terlihat jelas jika kita mengamati bahwa akhir-akhir ini ketika kekuatan Golkar sebagai warisan Orba mulai "diserang", gerakan ekstrim kanan serta merta terus "bergerak" seolah hendak mengalihkan publik dan pers dengan aksi-aksi mereka yang menghebohkan, mulai dari aksi sweeping warga asing, aksi boikot produk AS, aksi pemboman Gereja, dan segudang aksi teror lainnya yang berupaya menggoyang pemerintahan Megawati dengan harapan Megawati akan jatuh seperti Gus Dur. Indikasi bahwa kekuatan Neo-Orba menggunakan ekstrim kanan sebagai "perisainya" semakin kental mengacu pada peristiwa pemukulan terhadap wartawan yang dilakukan oleh sekelompok pemuda dari GPK (Gerakan Pemuda Ka'bah) ketika Akbar Tanjung "diserbu" oleh para wartawan sehubungan dengan kasus Buloggate II yang sempat membuat publik gempar. Hal ini semakin membuktikan bahwa kekuatan Orba dengan ekstrim kanan adalah suatu "simbiosis mutualisme" yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Fundamentalisme Islam di Indonesia memiliki ciri khas yang sangat jauh berbeda dengan fundamentalisme Islam di negara lain seperti di Pakistan, Mesir, Turki dan negara-negara mayoritas Islam lainnya, antara lain dekatnya hubungan mereka dengan kalangan pemerintahan maupun militer. Faktor inilah yang menjadi sebab utama bahwa adalah sangat sulit untuk memberantas kelompok ekstrim kanan. Di Mesir, beberapa waktu yang lalu pemerintah secara tegas menindak keras kedelapanpuluh orang anggota kelompok garis keras Jamaah Al Jihad dengan menyeret mereka ke Mahkamah Militer. Tindakan keras dari pemerintah Mesir ini mungkin sangat sulit dilakukan oleh pemerintah kita misalnya terhadap FPI (Front Pembela Islam) dan laskar jihad yang memang berstatus sebagai "motor" kekuatan ekstrim kanan di Indonesia, karena alasan dekatnya kekuatan ekstrim kanan dengan beberapa pihak tertentu dari militer. Alasan ini menjadi jelas jika mengacu bahwa memang sebenarnya FPI hanyalah adalah ormas agama binaan militer yang semasa Panglima TNI dijabat oleh Jenderal Wiranto. Jadi di Indonesia, gerakan ekstrim kanan memang sudah menjadi kendaraan politik dan militer yang "sah" dengan maksud mempertahankan hegemoni dari rezim Orba. Pemerintah Indonesiapun mengalami kesulitan jika harus mencontoh apa yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia dalam upayanya menghadapi gerakan ekstrim kanan. Di Malaysia, gerakan ini ditekan habis oleh pemerintahan Mahatir Mohamad dengan alasan bahwa kemunculan gerakan ini akan membahayakan stabilitas nasional. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad sendiri dengan berani mengatakan adanya kelompok militan yang berniat mendirikan negara agama di Malaysia setelah menjatuhkan pemerintah Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Pemerintah Malaysia menyebut kelompok ini berniat menyingkirkan Mahathir dan mendirikan negara Islam di Malaysia. Pemerintah Malaysia juga menuduh kelompok ini mempunyai hubungan dengan kelompok Al-Qaeda milik Osama bin Laden, yang dituduh terlibat kasus penyerangan di New York dan Washington pada 11 September. Apa yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia dapat saja dilakukan di negeri Malaysia dengan melakukan "karantina" terhadap ekstrim kanan namun belum tentu akan semudah itu jika dilakukan di Indonesia. Di Indonesia, walaupun jumlah mereka kecil, namun kelompok ini sempat menancapkan kukunya di dalam tubuh pemerintah Indonesia bahkan di tengah-tengah masyarakat. Merekapun memiliki akses dana yang cukup kuat untuk mengorganisir kelompok mereka. Salah satu bukti yakni kemunculan secara tiba-tiba Yayasan Raudhatul Jannah, yayasan yang akhir-akhir ini secara santer terdengar karena terlibat dalam kasus penyelewengan dana non bujeter Bulog. Disinyalir yayasan ini sebenarnya cuma kedok dari suatu gerakan yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (DI/TII). Yayasan ini bermarkas di Pondok Pesantren Mahad Al-Zaytun di Indramayu. Salah satu hambatan yang ditemui oleh pemerintahan kita dalam rangka memberantas habis kelompok ekstrim kanan adalah karena mudahnya isyu agama diletupkan oleh gerakan fundamentalis. Jika mereka hendak diberantas, maka dengan mudahnya mereka akan menudingsiapa saja yang memusuhi mereka adalah sama saja dengan memusuhi Islam. Dan saya begitu yakin bahwa tidak ada seorangpun di Indonesia yang ingin disebut sebagai orang yang anti-Islam. Mereka dengan cerdik bersembunyi di belakang wajah Islam dan menggunakan Islam sebagai kuda tunggangan guna memuluskan kepentingan politik dari kelompok mereka. Kelompok ekstrim kanan akan berkoar bahwa gerakan anti-fundamentalis yang memusuhi mereka akan dibelokkan maknanya oleh mereka menjadi gerakan anti-Islam, padahal upaya menumpas kelompok fundamentalis tidak sama dengan menumpas umat Islam. Para fundamentalis cuma "serpihan kecil" dari umat Islam, karena pada faktanya mayoritas umat Muslim di Indonesia adalah Muslim yang moderat dan toleran. NU sendiri sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia adalah ormas agama yang mayoritas pengikutnya berasal dari kelompok Islam yang moderat, demokratis, dan anti kekerasan yang senantiasa berupaya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Ini berbeda sekali dengan ormas agama seperti laskar jihad, FPI, GPI, beserta elemen-elemen fundamentalis lainnya yang suka melakukan kekerasan dalam mewujudkan ambisi politik dari kelompoknya sehingga tidak perlu heran bahwa aksi-aksi mereka sering menjurus ke arah aksi terorisme. Fundamentalisme pada mulanya adalah "serpihan kecil" dari komunitas umat Kristen. Gerakan ini adalah gerakan radikal dan militan yang menjaring para penganut Kristen Protestan dan berkembang di Amerika Serikat di akhir abad 19. Inti gerakan ini adalah mengembalikan ajaran Kristen kepada asal-muasalnya atau dapat disebut juga sebagai suatu gerakan reaksioner dalam rangka menentang modernisasi dan sekulerisasi di AS. Sama halnya dengan Islam, fundamentalisme dalam Kristen tidaklah mewakili umat Kristen secara keseluruhan. Mereka cuma akan menjadi kelompok kecil yang selamanya dikucilkan oleh masyarakat banyak karena eksklusivisme yang ditonjolkan mereka, yang menampakkan sikap yang selalu anti sosial dan sangat arogan di mata masyarakat. Fundamentalisme dengan wajah agama manapun apakah itu dengan wajah Islam, Kristen, Katolik, Yahudi, Hindu, Budha, dan lainnya sama-sama memiliki ciri yang identik. Mereka sama-sama menggunakan kekerasan dan aksi menghalalkan segala cara dalam rangka menjalankan "misi suci" yang mereka emban. Atau dengan kata lain aksi dari kelompok fundamentalis adalah dengan terorisme. Fundamentalisme Kristen melahirkan Gerakan Patriotik Kristen yang pernah melahirkan seorang Timothy McVeigh yang menjadi dalang aksi pemboman gedung federal di Oklahoma. Gerakan rasis dan sektarian dari kelompok Ku Klux Klan adalah merupakan produk dari fundamentalisme Kristen yang secara jelas telah menyelewengkan ajaran Kristen dan menebarkan teror rasis terhadap kelompok ras kulit hitam di AS. Fundamentalisme Katolik melahirkan kelompok IRA sebagai kelompok separatis di Irlandia yang sering menebarkan teror pemboman terhadap gedung-gedung sipil dan pemerintah, juga melahirkan kelompok front pembebasan Basque di Spanyol yang melegalkan pemboman dan pembunuhan. Fundamentalisme dari agama Hindu menebarkan ancaman melalui gerakan Macan Tamil di India yang sering melakukan aksi bom bunuh diri. Pendek kata, wajah fundamentalisme seperti mata uang yang memiliki dua sisi, di satu sisi mereka memiliki maksud yang seolah-olah kelihatan baik karena hendak memurnikan ajaran agama mereka, namun di sisi lain wajah fundamentalisme adalah kekerasan, pembunuhan, pemboman, dan segudang aksi teror lainnya guna memuluskan perjuangan mereka. Tentu saja sisi baik dari gerakan fundamentalis adalah semu semata, karena pada kenyataannya gerakan fundamentalis tidak pernah memberikan satupun keuntungan bagi masyarakat banyak selain aksi terorismenya yang meresahkan dan menakutkan. Fundamentalisme dalam Islam kini mengalami penyempitan makna yakni sebagai simbol gerakan perlawanan thd kekuatan Barat dan agama Nasrani, bukan lagi simbol gerakan anti kemajuan dan anti perubahan sebagaimana terjadi pada mulanya. Ada tiga kelompok atau aliran utama fundamentalis Islam di Indonesia, yang pertama adalah kelompok Tarbiyah yang berorientasi pada aliran Ikhwanul Muslimin Mesir, yang kedua adalah kelompok Wahaby yang juga menamakan dirinya Salafy dan merupakan sebuah gerakan Islam beraliran ultra ortodoks dan radikal yang kemudian juga melahirkan kelompok laskar jihad, dan yang ketiga adalah kelompok Hizbut Tahrir yang juga radikal dan senantiasa berupaya untuk mendirikan negara Islam dan juga mengharamkan konsep demokrasi. Pada prakteknya, ketiga kelompok tersebut sering bertikai dalam merebut simpati dari para pengikutnya. Walaupun demikian, ketiganya memiliki agenda yang sama yakni menginginkan terbentuknya negara Islam dengan sistim khilafah yang tentu menurut versi mereka masing-masing termasuk cara mencapai tujuannya. Agenda mereka yang bertekad menjadikan negara Indonesia menjadi negara agama adalah merupakan suatu langkah bodoh, langkah mundur, dan langkah yang salah kaprah. Pada kenyataanya, menjadi negara agama akan menghasilkan lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Jika mau bukti, cobalah kita lihat Iran. Revolusi Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Khomeini yang dilakukan pada tahun 1979 toh tidak bisa membawa Iran menjadi negara yang maju dan modern. Revolusi Islam justru malah menyebabkan kemunduran dalam bidang ekonomi dan sosial. Dan lagi karena revolusi ini, Iran menjadi negara yang terisolasi karena sikapnya yang begitu anti terhadap barat dan anti kemajuan. Ketegangan-ketegangan sosial yang sangat ekstrim sering terjadi akibat aturan-aturan Islam kolot yang begitu ketat diterapkan. Kita juga dapat melihat kegagalan Taliban dalam mengatur negaranya. Afghanistan yang dikelola Taliban cuma menghasilkan sebuah produk negara gagal di mana HAM dilecehkan, hak-hak wanita dirampas, hukuman yang tidak manusiawi, dan pemberangusan terhadap konsep demokrasi. Di bawah Taliban, Afghanistan tidak berhasi membangun negerinya menjadi negara yang makmur, bahkan sebaliknya Afghanistan cuma dikenal dunia karena negeri ini menghasilkan 75% dari produk opium di dunia, dikenal karena negeri ini merupakan "eksportir" pengungsi terbesar di dunia, dan dikenal karena negeri ini berkoalisi dengan jaringan teroris Al Qaeda di bawah pimpinan Mullah Omar dan Osama bin Laden. Pertanyaan yang harus dilontarkan adalah mengapa manusia tidak pernah belajar dari sejarah? Sejarah tidak pernah berbohong dan telah nyata-nyata membuktikan bahwa negara sekuler jauh lebih baik daripada konsep negara agama yang sudah usang, yang cuma cocok diterapkan di "zaman batu". From pdiperjuangan@polarhome.com Sun Aug 11 13:48:01 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (Olga nebo Sylvie Gondokusumo) Date: Sun Aug 11 12:48:01 2002 Subject: [pdiperjuangan] Fw: [Nasional] Indonesia is faring better than it sounds Message-ID: <000001c24123$5a9266c0$b56614d4@olgasylvie> ----- Original Message ----- From: "Holy Uncle" To: Sent: Saturday, August 10, 2002 1:58 PM Subject: [Nasional] Indonesia is faring better than it sounds > ----------------------------------------------------------------------- > Hampir semua masukan menggambarkan gambar negatif dan pesimistik, malahan > pengamat asing melihat sinar harapan. Dimana kesalahan bangsa kita ini ? > > > http://www.straitstimes.asia1.com.sg/analysis/story/0,1870,136515-1028930340 ,00.html? > > Indonesia is faring better than it sounds > By STANLEY A. WEISS > > > JAKARTA - Headlines say 'Investors flee lawless Indonesia', 'Corruption > riddles Indonesia courts' and 'Christians massacred'. But, as the saying > goes, anyone who claims to understand what is going on in Indonesia is not > fully informed. > > Indonesia has yet to recover fully from the 1997-1998 economic crisis. > Exports are down. Investment is lagging. Few state-owned businesses have > been privatised. Foreign and domestic debt are sky-high. More than half the > population lives on less than US$2 (S$3.45) a day. > > Familiar faces of former president Suharto's New Order regime remain, as > does public anger with KKN - corruption, collusion and nepotism. The recent > murder trial and conviction of Mr Suharto's son Tommy is still the exception > in a culture of virtual impunity for those who can afford to buy their > freedom from crooked judges. > > Yet, as United States Ambassador Ralph Boyce quips, 'Indonesia is better > than it sounds'. Subsidies on fuel and electricity are being phased out. > Inflation and interest rates are down. The rupiah is up. Relations with the > International Monetary Fund are better. Economic growth might reach 5 per > cent next year. > > Since regional autonomy was implemented last year, the economy is even > booming in a few provinces. Whereas Jakarta once received all the tax > revenues from Riau, for example, local authorities now receive 15 per cent > of oil, 30 per cent of gas and 80 per cent of timber revenues. > > POSITIVE SIGNS PRESENT > > > THE West need not fear that the world's most populous Muslim nation will > trade its tradition of religious tolerance for an Islamic theocracy. There > is virtually no chance that Parliament will support the imposition of > Islamic law. > > Any day now, Parliament is expected to amend the Constitution to allow for > Indonesia's first direct presidential vote in 2004. The secular nationalist > President, Ms Megawati Sukarnoputri, is favoured to win re-election. > > The military and the police are now expected to relinquish their coveted > Parliament seats in 2004, five years earlier than planned. Coordinating > Minister for People's Welfare Jusuf Kalla says 'political and social > stability has been restored'. > > Nor should the world worry about a balkanised Indonesia. Separatist revolts > in Aceh (population: four million) and Papua (two million), and religious > violence in the Moluccas (two million) do not define this nation of 228 > million. > > These conflicts may be rooted in politics and religion but, to understand > why they persist, one must follow the money. In Aceh and Papua, today's > fighting is less about independence than about who pockets oil, gas and > timber revenues. Laskar Jihad, which wages jihad against Christians in the > Malukus, is a Frankenstein monster born of the police's use of local thugs > in Java to extort shopkeepers. > > Indonesia is not unlike other places that have made the slow and painful > transition from dictatorship to democracy. Four years and one failed coup > after the collapse of the Soviet Union in 1991, Russian voters hungry for > law and order handed the Parliament back to the Communist Party. > > Four years after South Koreans ousted their military dictatorship in 1987, > public outrage over inflation, crime and political scandals sparked big > anti-government protests and a violent police crackdown. > > If the world wants to help this diverse, vibrant nation realise its > potential, it should understand not what the West would have it become > overnight, but what it is today - a country reborn after decades of > dictatorship and struggling to live up to the one headline that matters: > 'World's third-largest democracy'. > > > The writer is founder and chairman of Business Executives for National > Security, and former chairman of American Premier, a mining and chemicals > company. He contributed this comment to the International Herald Tribune. > > _________________________________________________________________ > MSN Photos is the easiest way to share and print your photos: > http://photos.msn.com/support/worldwide.aspx > > ------------------------------------------------------------- > Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/ > Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national > Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html > Nasional-A: http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-a > Nasional-f:http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-f > ------------------Mailing List Nasional---------------------- > From pdiperjuangan@polarhome.com Sun Aug 11 13:50:42 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (Olga nebo Sylvie Gondokusumo) Date: Sun Aug 11 12:50:42 2002 Subject: [pdiperjuangan] Fw: [Nasional] Waspada, Manuver Ekstrim Kanan! Message-ID: <000b01c24123$77488f60$b56614d4@olgasylvie> ----- Original Message ----- From: "akang" To: "nasional" From: Andreas Limongan > Date: Fri Aug 9, 2002 6:16 pm > Subject: Waspada, Manuver Ekstrim Kanan! > > WASPADA, MANUVER EKSTRIM KANAN! ------------------------------------------------------------------------- ---------------------------- z > > Tumbangnya rezim Orba tidaklah berarti bahwa rezim Orba sudah habis. > Seiring dengan wacana reformasi yang telah didengungkan sejak jatuhnya > rezim Orba hingga sekarang tidaklah lantas memberikan hasil yang positif > bagi rakyat banyak. Wacana reformasi kini cuma menjadi retorika semata dan > lagu lama yang setiap hari dinyanyikan namun tidaklah jelas arah dan tujuan > yang dicapainya. Reformasi kini telah menemui jalan buntu. > Para reformis kini mulai jenuh dengan kata reformasi. > Keadaan Indonesia tidaklah menjadi lebih baik bahkan dari hari ke hari > negara kita yang tercinta seolah mengalami musibah yang tidak ada > habis-habisnya. Mulai dari angka pengangguran yang tinggi, larinya para > investor asing, hutang yang kian menumpuk, hingga aksi terorisme yang > sedang marak terjadi. > > Namun ada suatu fenomena unik yang lahir seiring dengan jatuhnya rezim > Orba. Fenomena unik ini adalah peristiwa munculnya kekuatan ekstremis agama > yang kian hari mulai berani menunjukkan taringnya. Kekuatan ekstremis agama > mungkin lebih dikenal oleh publik sebagai kekuatan ekstrim kanan, gerakan > fundamentalis, atau kelompok garis keras. Kekuatan ekstrim kanan yang > dulunya berusaha ditekan dan ditumpas habis oleh rezim Orba kini telah > menjelma menjadi kekuatan yang menakutkan, yang memunculkan trauma akan > peristiwa kelam dalam sejarah seperti pemberontakan DI/TII yang bertekad > menjadikan Indonesia sebagai negara Darul Islam. Bahaya laten sebenarnya > yang ditudingkan terhadap wajah komunis oleh rezim Orba rupanya salah > sasaran, kini kita melihat bahwa sebenarnya bahaya laten yang dihadapi oleh > bangsa kita adalah bahaya laten fundamentalis. > > Dahulu ditekan kini malah dirangkul, begitulah kira-kira ungkapan yang > cocok untuk gerakan fundamentalis di Indonesia. Semasa Orba, gerakan > fundamentalis diberi cap sebagai gerakan ekstrem kanan yang harus terus > diwaspadai. Kelompok fundamentalis memang berhasil diredam oleh rezim Orde > Baru pada tahun 80-an mulai dari kasus Tanjungpriok, peledakan BCA maupun > peledakan Borobudur, dan kemudian dirangkul dengan mesra pada masa-masa > akhir kekuasaan Orde Baru. Kekuatan Neo-Orba sebagai pengganti Orba yang > telah tumbang kini menggunakan ekstrim kanan sebagai senjata > pamungkasnya. Ini terlihat jelas jika kita mengamati bahwa akhir-akhir ini > ketika kekuatan Golkar sebagai warisan Orba mulai "diserang", gerakan > ekstrim kanan serta merta terus "bergerak" seolah hendak mengalihkan publik > dan pers dengan aksi-aksi mereka yang menghebohkan, mulai dari aksi > sweeping warga asing, aksi boikot produk AS, aksi pemboman Gereja, dan > segudang aksi teror lainnya yang berupaya menggoyang pemerintahan Megawati > dengan harapan Megawati akan jatuh seperti Gus Dur. Indikasi bahwa kekuatan > Neo-Orba menggunakan ekstrim kanan sebagai "perisainya" semakin kental > mengacu pada peristiwa pemukulan terhadap wartawan yang dilakukan oleh > sekelompok pemuda dari GPK (Gerakan Pemuda Ka'bah) ketika Akbar Tanjung > "diserbu" oleh para wartawan sehubungan dengan kasus Buloggate II yang > sempat membuat publik gempar. Hal ini semakin membuktikan bahwa kekuatan > Orba dengan ekstrim kanan adalah suatu "simbiosis mutualisme" yang saling > menguntungkan kedua belah pihak. > > Fundamentalisme Islam di Indonesia memiliki ciri khas yang sangat jauh > berbeda dengan fundamentalisme Islam di negara lain seperti di Pakistan, > Mesir, Turki dan negara-negara mayoritas Islam lainnya, antara lain > dekatnya hubungan mereka dengan kalangan pemerintahan maupun militer. > Faktor inilah yang menjadi sebab utama bahwa adalah sangat sulit untuk > memberantas kelompok ekstrim kanan. Di Mesir, beberapa waktu yang lalu > pemerintah secara tegas menindak keras kedelapanpuluh orang anggota > kelompok garis keras Jamaah Al Jihad dengan menyeret mereka ke Mahkamah > Militer. Tindakan keras dari pemerintah Mesir ini mungkin sangat sulit > dilakukan oleh pemerintah kita misalnya terhadap FPI (Front Pembela Islam) > dan laskar jihad yang memang berstatus sebagai "motor" kekuatan ekstrim > kanan di Indonesia, karena alasan dekatnya kekuatan ekstrim kanan dengan > beberapa pihak tertentu dari militer. Alasan ini menjadi jelas jika mengacu > bahwa memang sebenarnya FPI hanyalah adalah ormas agama binaan militer yang > semasa Panglima TNI dijabat oleh Jenderal Wiranto. Jadi di Indonesia, > gerakan ekstrim kanan memang sudah menjadi kendaraan politik dan militer > yang "sah" dengan maksud mempertahankan hegemoni dari rezim Orba. > > Pemerintah Indonesiapun mengalami kesulitan jika harus mencontoh apa yang > dilakukan oleh pemerintah Malaysia dalam upayanya menghadapi gerakan > ekstrim kanan. Di Malaysia, gerakan ini ditekan habis oleh pemerintahan > Mahatir Mohamad dengan alasan bahwa kemunculan gerakan ini akan > membahayakan stabilitas nasional. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad > sendiri dengan berani mengatakan adanya kelompok militan yang berniat > mendirikan negara agama di Malaysia setelah menjatuhkan pemerintah > Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Pemerintah Malaysia menyebut kelompok > ini berniat menyingkirkan Mahathir dan mendirikan negara Islam di Malaysia. > Pemerintah Malaysia juga menuduh kelompok ini mempunyai hubungan dengan > kelompok Al-Qaeda milik Osama bin Laden, yang dituduh terlibat kasus > penyerangan di New York dan Washington pada 11 September. Apa yang > dilakukan oleh pemerintah Malaysia dapat saja dilakukan di negeri Malaysia > dengan melakukan "karantina" terhadap ekstrim kanan namun belum tentu akan > semudah itu jika dilakukan di Indonesia. Di Indonesia, walaupun jumlah > mereka kecil, namun kelompok ini sempat menancapkan kukunya di dalam tubuh > pemerintah Indonesia bahkan di tengah-tengah masyarakat. Merekapun memiliki > akses dana yang cukup kuat untuk mengorganisir kelompok mereka. Salah satu > bukti yakni kemunculan secara tiba-tiba Yayasan Raudhatul Jannah, yayasan > yang akhir-akhir ini secara santer terdengar karena terlibat dalam kasus > penyelewengan dana non bujeter Bulog. > Disinyalir yayasan ini sebenarnya cuma kedok dari suatu gerakan yang ingin > mendirikan Negara Islam Indonesia (DI/TII). Yayasan ini bermarkas di Pondok > Pesantren Mahad Al-Zaytun di Indramayu. > > Salah satu hambatan yang ditemui oleh pemerintahan kita dalam rangka > memberantas habis kelompok ekstrim kanan adalah karena mudahnya isyu agama > diletupkan oleh gerakan fundamentalis. Jika mereka hendak diberantas, maka > dengan mudahnya mereka akan menudingsiapa saja yang memusuhi mereka adalah > sama saja dengan memusuhi Islam. Dan saya begitu yakin bahwa tidak ada > seorangpun di Indonesia yang ingin disebut sebagai orang yang anti-Islam. > Mereka dengan cerdik bersembunyi di belakang wajah Islam dan menggunakan > Islam sebagai kuda tunggangan guna memuluskan kepentingan politik dari > kelompok mereka. Kelompok ekstrim kanan akan berkoar bahwa gerakan > anti-fundamentalis yang memusuhi mereka akan dibelokkan maknanya oleh > mereka menjadi gerakan anti-Islam, padahal upaya menumpas kelompok > fundamentalis tidak sama dengan menumpas umat Islam. > > Para fundamentalis cuma "serpihan kecil" dari umat Islam, karena pada > faktanya mayoritas umat Muslim di Indonesia adalah Muslim yang moderat dan > toleran. NU sendiri sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan di > dunia adalah ormas agama yang mayoritas pengikutnya berasal dari kelompok > Islam yang moderat, demokratis, dan anti kekerasan yang senantiasa berupaya > menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. > Ini berbeda sekali dengan ormas agama seperti laskar jihad, FPI, GPI, > beserta elemen-elemen fundamentalis lainnya yang suka melakukan kekerasan > dalam mewujudkan ambisi politik dari kelompoknya sehingga tidak perlu heran > bahwa aksi-aksi mereka sering menjurus ke arah aksi terorisme. > > Fundamentalisme pada mulanya adalah "serpihan kecil" dari komunitas umat > Kristen. Gerakan ini adalah gerakan radikal dan militan yang menjaring para > penganut Kristen Protestan dan berkembang di Amerika Serikat di akhir abad > 19. Inti gerakan ini adalah mengembalikan ajaran Kristen kepada > asal-muasalnya atau dapat disebut juga > sebagai suatu gerakan reaksioner dalam rangka menentang modernisasi dan > sekulerisasi di AS. Sama halnya dengan Islam, fundamentalisme dalam > Kristen tidaklah mewakili umat Kristen secara keseluruhan. Mereka cuma akan > menjadi kelompok kecil yang selamanya dikucilkan oleh masyarakat banyak > karena eksklusivisme yang ditonjolkan mereka, yang menampakkan sikap yang > selalu anti sosial dan sangat arogan di mata masyarakat. > > Fundamentalisme dengan wajah agama manapun apakah itu dengan wajah Islam, > Kristen, Katolik, Yahudi, Hindu, Budha, dan lainnya sama-sama memiliki ciri > yang identik. Mereka sama-sama menggunakan kekerasan dan aksi menghalalkan > segala cara dalam rangka menjalankan "misi suci" yang mereka emban. Atau > dengan kata lain aksi dari kelompok fundamentalis adalah dengan terorisme. > Fundamentalisme Kristen melahirkan Gerakan Patriotik Kristen yang pernah > melahirkan seorang Timothy McVeigh yang menjadi dalang aksi pemboman gedung > federal di Oklahoma. Gerakan rasis dan sektarian dari kelompok Ku Klux Klan > adalah merupakan produk dari fundamentalisme Kristen yang secara jelas > telah menyelewengkan ajaran Kristen dan menebarkan teror rasis terhadap > kelompok ras kulit hitam di AS. > Fundamentalisme Katolik melahirkan kelompok IRA sebagai kelompok separatis > di Irlandia yang sering menebarkan teror pemboman terhadap gedung-gedung > sipil dan pemerintah, juga melahirkan kelompok front pembebasan Basque di > Spanyol yang melegalkan pemboman dan pembunuhan. Fundamentalisme dari agama > Hindu menebarkan ancaman melalui gerakan Macan Tamil di India yang sering > melakukan aksi bom bunuh diri. > Pendek kata, wajah fundamentalisme seperti mata uang yang memiliki dua > sisi, di satu sisi mereka memiliki maksud yang seolah-olah kelihatan baik > karena hendak memurnikan ajaran agama mereka, namun di sisi lain wajah > fundamentalisme adalah kekerasan, pembunuhan, pemboman, dan segudang aksi > teror lainnya guna memuluskan perjuangan mereka. Tentu saja sisi baik dari > gerakan fundamentalis adalah semu semata, karena pada kenyataannya gerakan > fundamentalis tidak pernah memberikan satupun keuntungan bagi masyarakat > banyak selain aksi terorismenya yang meresahkan dan menakutkan. > > Fundamentalisme dalam Islam kini mengalami penyempitan makna yakni sebagai > simbol gerakan perlawanan thd kekuatan Barat dan agama Nasrani, bukan lagi > simbol gerakan anti kemajuan dan anti perubahan sebagaimana terjadi pada > mulanya. Ada tiga kelompok atau aliran utama fundamentalis Islam di > Indonesia, yang pertama adalah kelompok Tarbiyah yang berorientasi pada > aliran Ikhwanul Muslimin Mesir, yang kedua adalah kelompok Wahaby yang juga > menamakan dirinya Salafy dan merupakan sebuah gerakan Islam beraliran ultra > ortodoks dan radikal yang kemudian juga melahirkan kelompok laskar jihad, > dan yang ketiga adalah kelompok Hizbut Tahrir yang juga radikal dan > senantiasa berupaya untuk mendirikan negara Islam dan juga mengharamkan > konsep demokrasi. Pada prakteknya, ketiga kelompok tersebut sering bertikai > dalam merebut simpati dari para pengikutnya. Walaupun demikian, ketiganya > memiliki agenda yang sama yakni menginginkan terbentuknya negara Islam > dengan sistim khilafah yang tentu menurut versi mereka masing-masing > termasuk cara mencapai tujuannya. Agenda mereka yang bertekad menjadikan > negara Indonesia menjadi negara agama adalah merupakan suatu langkah bodoh, > langkah mundur, dan langkah yang salah kaprah. Pada kenyataanya, menjadi > negara agama akan menghasilkan lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Jika > mau bukti, cobalah kita lihat Iran. Revolusi Islam yang dipimpin oleh > Ayatollah Khomeini yang dilakukan pada tahun 1979 toh tidak bisa membawa > Iran menjadi negara yang maju dan modern. Revolusi Islam justru malah > menyebabkan kemunduran dalam bidang ekonomi dan sosial. Dan lagi karena > revolusi ini, Iran menjadi negara yang terisolasi karena sikapnya yang > begitu anti terhadap barat dan anti kemajuan. > > Ketegangan-ketegangan sosial yang sangat ekstrim sering terjadi akibat > aturan-aturan Islam kolot yang begitu ketat diterapkan. Kita juga dapat > melihat kegagalan Taliban dalam mengatur negaranya. > > Afghanistan yang dikelola Taliban cuma menghasilkan sebuah produk negara > gagal di mana HAM dilecehkan, hak-hak wanita dirampas, hukuman yang tidak > manusiawi, dan pemberangusan terhadap konsep demokrasi. Di bawah Taliban, > Afghanistan tidak berhasi membangun negerinya menjadi negara yang makmur, > bahkan sebaliknya Afghanistan cuma dikenal dunia karena negeri ini > menghasilkan 75% dari produk opium di dunia, dikenal karena negeri ini > merupakan "eksportir" pengungsi terbesar di dunia, dan dikenal karena > negeri ini berkoalisi dengan jaringan teroris Al Qaeda di bawah pimpinan > Mullah Omar dan Osama bin Laden. Pertanyaan yang harus dilontarkan adalah > mengapa manusia tidak pernah belajar dari sejarah? Sejarah tidak pernah > berbohong dan telah nyata-nyata membuktikan bahwa negara sekuler jauh lebih > baik daripada konsep negara agama yang sudah usang, yang cuma cocok > diterapkan di "zaman batu". > > ------------------------------------------------------------- > Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/ > Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national > Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html > Nasional-A: http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-a > Nasional-f:http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-f > ------------------Mailing List Nasional---------------------- > From pdiperjuangan@polarhome.com Sun Aug 11 13:52:04 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (Olga nebo Sylvie Gondokusumo) Date: Sun Aug 11 12:52:04 2002 Subject: [pdiperjuangan] Fw: [Nasional] America lauds RI's struggle for reform Message-ID: <000c01c24123$7aa83520$b56614d4@olgasylvie> ----- Original Message ----- From: "Holy Uncle" To: Sent: Saturday, August 10, 2002 7:34 AM Subject: [Nasional] America lauds RI's struggle for reform > http://www.thejakartapost.com/detaileditorial.asp?fileid=20020810.F03&irec=2 > > America lauds RI's struggle for reform > Ralph L. Boyce, U.S. Ambassador to Indonesia, Jakarta > > I note our successes and our set backs to emphasize that the rule of law is > a process, not an end-point. Bold steps by Indonesia to make its government > more representative, more transparent, and closer to the people, and strong > actions to eradicate corruption will help resolve inter group conflicts. > > And it can best achieve this by enshrining the rule of law in its legal and > judicial institutions. The resulting security and predictability will > attract the foreign investment necessary to restore high levels of economic > growth, improving the lives of all Indonesians. > President Megawati Soekarnoputri's government has demonstrated its > commitment to improving the rule of law. The United States will do all it > can to support that effort. In the last year the Indonesian government has > done more to root out corruption, try those responsible for past crimes, and > make the justice system work than at any other time in Indonesia's history. > > To bring court cases against the son of a former president, speaker of > parliament, former head of the State Logistics Agency, president of the > central bank, dozens of wealthy businessmen, former provincial governors, > militia members, and several high ranking military officers is an > impressive, unprecedented drive for accountability in Indonesian history. > This drive for accountability must be maintained to ensure that > transparency, respect for human rights, and the rule of law take root and > flourish. > > The Indonesians have also worked diligently to tackle the causes of > separatist violence. The special autonomy law for Papua addresses the > problems in that resource rich province and is a model of responsive > legislation, crafted in close consultation with the public. > > The Special Autonomy law for Aceh represents an excellent basis for > resolving the conflict there as well. We strongly support the dialog process > between the Indonesian government and the Free Aceh Movement to bring peace > to Aceh and improve the lives of the Acehnese people. Again, promoting the > rule of law and respect for human rights are essential to achieving that > goal. > > President Megawati's government's comprehensive efforts to forge peace in > Maluku and Central Sulawesi through the Malino Accords again demonstrate > Indonesia's commitment to reform, justice and accountability. I hope the > Indonesian government will intensify its efforts to make the promise of > those Accords a reality. > > Such a drive would be impressive if it took place in isolation but, > remarkably, the people and government of Indonesia are carrying out a > sweeping transformation of the state at the same time with the most far > reaching program of decentralization ever carried out, anywhere. Thousands > of government workers have moved from the center to the local level and a > vast range of powers and responsibilities have moved with them. > > These efforts, coupled with the constitutional reform process that is taking > place in the Peoples' Consultative Assembly right now, holds the promise of > totally transforming Indonesian democracy in a remarkably short period of > time. President Soeharto's fall in 1998 to direct presidential elections in > 2004 will signal the completion of this first bold phase of reform in just a > few years. > > Last week, President Megawati, Coordinating Minister for Economic Affairs > Dorodjatun Kuntjoro Jakti and Coordinating Minister for Political and > Security Affairs Susilo Bambang Yudhoyono all stressed their commitment to > reform, rule of law and accountability in their meetings with Secretary of > State Colin Powell. The Secretary urged this great nation to redouble its > efforts in that regard and to fight corruption and strengthen the rule of > law and respect for human rights. > > In this, he was exactly right. Indonesia's strength and its wealth is its > diversity. Yet, managing that diversity remains its greatest challenge. > Democracy and the rule of law have proven themselves the world over as the > most effective way to promote pluralism, ensuring that no group or person is > left behind. They can, and will, do the same here in Indonesia. > > The U.S. is expanding our partnership with Indonesia to achieve those ends. > We already provide millions of dollars in training to the Indonesian police > and will provide some US$47 million more during the next four years. > > Through the U.S. Agency for International Development, we are providing > wide-ranging assistance to improve Indonesia's justice system. We support > efforts to resolve and prevent conflict in Aceh, Papua, Sulawesi, and Maluku > with food, shelter, materials, carpentry kits, community reconciliation > programs, economic assistance, education, and in some cases resettlement > assistance. > > We fund assistance to local governments to improve services through better > planning and budgeting and expanding community participation. The hope is a > stronger, more accountable government that is able to make the most out of > decentralization. We also provide support Indonesian organizations and > training to help Indonesia lawmakers, both at the center and in the regions, > to achieve their legislative goals. > > The enormous changes that Indonesia has already carried out and the profound > transformations still going on will reinforce Indonesia's ability to > compete-and win-in today's fast moving global market place. Indonesia has > been a pioneer of international commerce. It's diversity and commitment to > reform will open the doors to a great future. Indonesians demand much of > themselves and of their leaders, the road ahead will not be easy but I know > that they will stay on the path of justice that leads to prosperity. > > This paper was presented during the Castle Asia Conference on Pluralism, > Intergroup Conflict, and National Economic Recovery in Jakarta on Aug. 7. > > > > _________________________________________________________________ > Send and receive Hotmail on your mobile device: http://mobile.msn.com > > ------------------------------------------------------------- > Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/ > Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national > Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html > Nasional-A: http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-a > Nasional-f:http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-f > ------------------Mailing List Nasional---------------------- > From pdiperjuangan@polarhome.com Mon Aug 12 18:36:01 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (Olga nebo Sylvie Gondokusumo) Date: Mon Aug 12 17:36:01 2002 Subject: [pdiperjuangan] Fw: [Nasional] Prof Selo Soemardjan : Kampus UI Tdk Boleh Dipolitiskan. Potret UI dan UGM Message-ID: <005301c240f6$931d5220$8568b13e@olgasylvie> ----- Original Message ----- From: "Roni wijaya" To: Sent: Friday, August 09, 2002 2:38 PM Subject: [Nasional] Prof Selo Soemardjan : Kampus UI Tdk Boleh Dipolitiskan. Potret UI dan UGM > ------------------------------------------------------------------ > ------------------------------------------------------------------ > Prof Selo Soemardjan bilang, " universitas sebagai > tempat masyarakat akademis tidak boleh di bawah > pengaruh kekuasaan kelompok atau partai politik > tertentu. Ini tanggapan beliau berkaitan dengan > pemilihan rektor UI. > Proses pemilihan rektor UI yang hampir final > menetapkan ranking pertama adalah Prof. Jimly > Asshiddiqie. Aktivis The Habibi Center, barangkali ini > yang disebut kelompok oleh Pak Selo. Tetapi sepak > terjang Jimly lebih layak sebagai politikus, meskipun > dia membela diri bahwa sebagai ahli tatanegara dia > memang tidak bisa tutup mulut tentang kostitusi dll. > Pak Selo mungkin tidak lupa, ketika Jimly jadi Staf > ahlinya Wardiman Djojonegoro. Kementrian ini lebih > layak sebagai markas Golkar dan ICMI pada waktu itu. > Terlebih lagi Wardiman ditugasi Golkar, sebagai > Koordinator Pemenangan Pemilu Wilayah DKI Jakarta. > Tugasnya melakukan Sensus Politik ke setiap jengkal > Wilayah DKI, tentunya dengan mengerahkan para > birokratnya ditiap Kelurahan untuk main intrik > politik. > Apa Prof Jimly diam saja waktu itu ?, bahkan bersama > Prof hukum lainnya yang sekarang masih berkibar di > Kementrian lain adalah Tim - Tim ahli pemenangan > Golkar. > Periode Kementrian pimpinan Wardiman, birokrat > terkotak bukan didasarkan partai karena semua Golkar. > Tetapi didasarkan pada agama, selanjutnya ketika > agamanya sama, untuk penetapan pejabat dikotak lagi > menjadi "apakah aktivis ormasnya Wardiman dan Habibi" > jika bukan, tentunya outgroup. Apakah Prof Jimly pada > waktu itu diam saja dalam model yang sangat > sektarian?. > Pak Jimly juga ngomong, "orang kampanye pakai visi > dan misi, saya pakai puisi, orang kampanye pakai > pesawat terbang dan umbul - umbul, saya tidak punya, > bahkan spanduk - spanduk ini dari mahasiswa, saya > tidak menyiapkan secara khusus. Mahasiswa yang > menyiapkan spanduk, tentunya bukan dari FAM UI yang > biasa bermarkas di FKUI, tetapi mahasiswa kelompok > lain yang markasnya di Salemba juga. > Bisa saja Prof Jimly muncul sebagai ranking satu, > justru bukan dari hiruk pikuk penampilan, tetapi ada > kekuatan besar yang masih mencengkeram dan berpengaruh > kuat sebagai warisan kultur "pengkotakan". Prof Jimly, > akan berupaya mendampingi Rektor Universitas Gadjah > Mada, Prof. Sofian Effendi (masih ingat beliau ribut > dengan Amin Rais soal lapor melapor ke Habibi). Jika > dua Universitas besar di Indonesia dibawah > pengendalian kekuatan kelompok.Dan bersiap - siaplah > Universitas lain untuk dikuasai "kelompok warisan > kotak - kotak" Semoga UI dan UGM tidak akan terjadi > Era Pengkotakan. > > Roni Wijaya > > > __________________________________________________ > Do You Yahoo!? > HotJobs - Search Thousands of New Jobs > http://www.hotjobs.com > ------------------------------------------------------------- > Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/ > Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national > Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html > Nasional-A: http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-a > Nasional-f:http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-f > ------------------Mailing List Nasional---------------------- > From pdiperjuangan@polarhome.com Sat Aug 17 09:24:01 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (Olga nebo Sylvie Gondokusumo) Date: Sat Aug 17 08:24:01 2002 Subject: [pdiperjuangan] 17 Agustus 2002 Message-ID: <006e01c245b5$61913aa0$d968b13e@olgasylvie> Toto je zprava ve formatu MIME obsahujmcm vmce hastm. ------=_NextPart_000_0069_01C245C5.FBFB00C0 Content-Type: text/plain; charset="iso-8859-2" Content-Transfer-Encoding: quoted-printable DIRGAHAYU NEGERI, BANGSA DAN=20 NEGARA I N D O N E S I A ! 17 Agustus 2002 Bismo DG, Praha, Rep. Ceko ------=_NextPart_000_0069_01C245C5.FBFB00C0 Content-Type: text/html; charset="iso-8859-2" Content-Transfer-Encoding: quoted-printable
 
 
 
 
DIRGAHAYU NEGERI, BANGSA DAN =
 
 
NEGARA  I N D O N E S I = A =20 !
 
 
 
17 Agustus = 2002
 
 
 
 
 
 
 
Bismo DG, Praha, Rep.=20 Ceko
------=_NextPart_000_0069_01C245C5.FBFB00C0-- From pdiperjuangan@polarhome.com Sat Aug 17 12:36:02 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (munindo) Date: Sat Aug 17 11:36:02 2002 Subject: [pdiperjuangan] Republik Indonesia Message-ID: <3D5E17B3.7DBE0522@brd.de> Dies ist eine mehrteilige Nachricht im MIME-Format. --------------3761D24EB58D64DF2AF8B25C Content-Type: text/plain; charset=us-ascii Content-Transfer-Encoding: 7bit --------------3761D24EB58D64DF2AF8B25C Content-Type: text/html; charset=us-ascii; name="hut_ri.htm" Content-Transfer-Encoding: 7bit Content-Disposition: inline; filename="hut_ri.htm" Content-Base: "http://www.munindo.brd.de/milis/hut_ri .htm" Content-Location: "http://www.munindo.brd.de/milis/hut_ri .htm" Milis Nasional  

17.08.1945-17.08.2002
--------------3761D24EB58D64DF2AF8B25C-- From pdiperjuangan@polarhome.com Sun Aug 18 20:49:34 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (munindo) Date: Sun Aug 18 19:49:34 2002 Subject: [pdiperjuangan] Info Banjir di Jerman Message-ID: <3D5FDAEE.360AA5E6@brd.de> Rekan Rekan Yth., Untuk memberikan Infomasi ttg. Banjir Di Jerman, dapat diklik Foto-foto yang tersedia. Salam Perjuangan e. unang http://www.spiegel.de/img/0,1020,204920,00.jpg http://www.spiegel.de/img/0,1020,204894,00.jpg http://www.spiegel.de/img/0,1020,204896,00.jpg http://www.spiegel.de/img/0,1020,204888,00.jpg http://www.spiegel.de/img/0,1020,204974,00.jpg http://www.spiegel.de/img/0,1020,204926,00.jpg http://www.spiegel.de/img/0,1020,204900,00.jpg http://www.spiegel.de/img/0,1020,204898,00.jpg http://www.spiegel.de/img/0,1020,204892,00.jpg http://www.spiegel.de/img/0,1020,204890,00.jpg From pdiperjuangan@polarhome.com Mon Aug 19 22:24:03 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (admin) Date: Mon Aug 19 21:24:03 2002 Subject: [pdiperjuangan] "draft dokumen IBSAP bag. 1/8 Message-ID: <3D61448A.B6FA93D1@brd.de> "draft dokumen IBSAP bag. 1/8 Saat ini sedang ada penulisan mengenai Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan. Dokumen ini penting bagi usaha melestarikan sambil memanfaatkan keanekaragaman hayati Indonesia karena itu adalah satu-satunya kekayaan kita. Untuk penyusunan itu, tim penulis memerlukan masukan dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia yang peduli pada kelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Karena itu saya (Harry Surjadi-outreach specialist) meminta bantuan untuk menyebarkan draft dokumen ini kepada anggota milis Anda, sehingga bisa dibaca dan kemudian diberikan komentar. Pilihan: ----------------------------------------------------------------------- Komentar bisa dikirim ke lead writer ke hiradg@bit.net.id atau fax ke 021-3910745. ---------------------------------------------------------------------- Komentar dapat dikirimkan kemilis Nasional atau fax: 021-3910 745 --------------------------------------------------------------------- Atas bantuannya saya ucapkan terima kasih. Salam, Harry Surjadi ------------------------------------------------------------- TENTATIVE DOKUMEN IBSAP Proyek IBSAP akan menghasilkan satu dokumen utama yaitu Action Plan, dengan tiga lampiran, sebagai berikut: 1. Dokumen Utama. Judul Tentatif: JANGAN BIARKAN ANAK AYAM MATI DI LUMBUNG PADI RENCANA STRATEGIS DAN AKSI KEANEKARGAMAN HAYATI INDONESIA (ReSAKHI) 2003-2014 (dua masa lima tahun ditambah satu tahun persiapan) ataukah mengikuti visi 2020? Dokumen ini sekitar 75 halaman, diharapkan dalam bahasa yang mudah dimengeri policy makers dan umum. Kerangka dokumen terlampir. 2. DOKUMEN LAMPIRAN 1. Judul Tentatif: KEANEKARAGAMAN HAYATI SEBAGAI ASET PEMBANGUNAN Potensi, masalah dan Kerangka Aksi bagi kehutanan, kelautan, pertanian, pesisir/kelautan 3. DOKUMEN LAMPIRAN 2. Judul Tentatif: MEMBANGUN KONSENSUS REGIONAL BAGI KEANEKARAGAMAN HAYATI. Laporan Lokakarya Regional Jawa-Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua 4. DOKUMEN LAMPIRAN 3. JUDUL TENTATIF: JEJARING KEANEKARAGAMAN HAYATI : Direktori kontak. Dokumen ini berisi nama, alamat dan bidang minat semua orang yang terlibat dalam IBSAP, yaitu peserta diskusi TS, peserta regional workshop, peserta diskusi PIU, pengelola proyek, narasumber, staf Bappenas, SC/TC, TS, R.C dan beberapa pihak lain yang dirasakan perlu. Dokumen ini akan menjadi amat berharga untuk siapa saja yang ingin mendapatkan informasi tentang mereka yang terlibat dalam keanekaragaman hayati. KERANGKA DOKUMEN ACTION PLAN KATA PENGANTAR - BAPPENAS, PRESIDEN? I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG menguraikan kondisi yang melatarbelakangi penyusunan strategi dan rencana aksi pengelolaan keanekaragaman hayati nasional (IBSAP) 2002., termasuk kedudukannya terhadap strategi dan rencana aksi nasional sebelumnya (BAPI 1993). 1.2. TUJUAN Dengan jelas memaparkan tujuan dan fungsi dokumen IBSAP 2002 sebagai sebuah strategi dan rencana aksi nasional, posisinya terhadap kegiatan yang telah dan akan dilakukan para pihak (stakeholders), 1.3. PENDEKATAN DAN PROSES Uraian tentang pendekatan dan proses yang ditempuh untuk menyusun Rencana Aksi dan pasca penyusunannya. · 1.4. Organisasi Laporan paparan tentang pengorganisasian seluruh dokumen CATATAN: Bab ini akan ditulis terakhir dengan dukungan dokumentasi PIU mengenai proses di dalam TS, RC dan LC. II. OVERVIEW : KEANEKARAGAMAN HAYATI DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN 2.1. PEMAHAMAN TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI Uraian tentang pengertian dasar mengenai keanekaragaman hayati. Uraian ini harus dengan jelas menggambarkan semua tingkatan keragaman dan memberikan contoh riil atas tiap tingkatan tersebut sehingga bisa dengan mudah dipahami. 2.2. Manfaat Keanekaragaman hayati Menguraikan nilai penting keanekaragaman hayati dan keberadaannya secara lestari bagi kehidupan manusia, khususnya rakyat Indonesia. Uraian ini harus bisa menunjukkan ketergantungan manusia terhadap keanekaragaman hayati untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya, nilai-nilai (intrinsik maupun ektrinsik, ekologis maupun ekonomis) yang disimpan oleh keanekaragaman hayati dan bisa dimanfaatkan oleh manusia, Uraian ini harus bisa mendeskripsikan pihak-pihak yang mendapatkan benefit dari keanekaragaman hayati, ragam benefit yang mereka dapatkan serta benefit yang mereka berikan terhadap kelestarian keanekaragaman hayati. Uraian tentang keanekaragaman hayati sebagai aset pembangunan berkelanjutan. CATATAN: Ditulis berdasarkan literatur, gagasan yang masuk dari angket dan informasi mengenai valuasi dari TS. Ada dua boks yang temanya akan ditentukan bersama berdasarkan laproan TS/RC. III. KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA : MASALAH dan PENGELOLAAN 3.1. Tinjauan pasca 1993. Secara singkat bagian ini menyajikan kondisi terkini (current status) keanekaragaman hayati Indonesia pasca 1993. Uraian ini akan menggambarkan kinerja pengelolaan keanekaragaman hayati yang telah dicapai para pihak semenjak dirumuskannya BAPI 1993, peran BAPI 1993, serta kecenderungan-kecenderungan yang berkembang dalam konservasi keanekaragaman hayati oleh para pihak (fokus aktivitas, besaran pendanaan, kerangka kelembagaan serta kerangka kebijakan) 3.2. Masalah yang dihadapi Berdasarkan fakta-fakta tersebut, bab ini akan menguraikan masalah-masalah riil yang mengancam kelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Uraian ini harus dengan jelas memetakan ancaman yang dihadapi oleh unit-unit spesifik keanekaragaman hayati (sesuai kajian tematik yang telah ditetapkan), mengidentifikasikan kesenjangan-kesenjangan struktural (kelembagaan, pengetahuan-informasi, teknologi, kebijakan) yang mendasari masalah-masalah tersebut serta memprediksikan masalah-masalah potensial yang akan timbul dari kecenderungan-kecenderungan yang tengah berkembang. CATATAN: Ditulis berdasarkan laporan TS dan RC. Ada tiga boks, satu mengenai masalah, satu cerita keberhasilan, satu cerita kegagalan. IV. VISI, MISI dan TUJUAN PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA Menguraikan visi pengelolaan keanekaragaman hayati nasional yang akan diwujudkan melalui implementasi IBSAP 2002. Visi ini kemudian dijabarkan dalam beberapa misi yang selanjutnya akan didetilkan lagi menjadi beragam tujuan yang bisa diukur serta menggambarkan target yang ingin dicapai. CATATAN: Ditulis dari hasil konsultasi di berbagai tingkatan, termasuk angket. V. STRATEGI NASIONAL BAGI KEANEKARAGAMAN HAYATI YANG LESTARI · Menguraikan strategi yang digariskan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan di tingkat nasional tersebut. Setiap strategi yang dipaparkan harus mempunyai penekanan-penekanan khusus yang bisa memadai pencapaian tujuan secara komprehensif serta kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh pengelolaan keanekaragaman hayati dalam bioregion yang beragam di Indonesia. CATATAN: Ditulis berdasarkan hasil konsultasi. VI. RENCANA AKSI PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Bab ini menguraikan program-program aksi yang harus ditempuh dan aktivitas-aktivitas riil yang bisa diturunkan dari strategi nasional beserta fokus-fokusnya bagi pencapaian sasaran dan tujuan konsevasi keanekaragaman hayati nasional. Rencana dan program-program aksi yang diturunkan ini tidak hanya mendeskruipsikan aktivitas, tetapi juga para pihak (pemerintah maupun major groups) yang bertanggung jawab dan atau mempunyai kapabilitas untuk melakukan aktivitas tersebut. Deskripsi tersebut harus dengan jelas menunjukkan "siapa seharusnya melakukan apa di tingkat mana dengan biaya berapa" CATATAN: Ditulis berdasarkan laporan TS/RC dan masukan pada draft dokumen VII. DUKUNGAN BAGI IMPLEMENTASI Bab ini memberikan informasi tentang supporting system (lembaga, individu, network) di tingkat nasional, regional, lokal maupun internasional, yang bisa mendukung pelaksanaan program aksi yang telah dirumuskan. Selain itu, bab ini juga menguraikan mekanisme monitoring dan evaluasi yang bisa dilakukan oleh para pihak untuk menilai pertanggunggugatan implementasi rencana aksi dalam IBSAP CATATAN: Berdasarkan angket dan informasi TS/RC/LC VIII. MENITI HARAPAN BARU BAGI KEBERLANJUTAN Mendeskripsikan syarat perlu (termasuk asumsi-asumsi) bagi implementasi IBSAP agar bisa mencapai sasaran dan tujuannya CATATAN: Ditulis berdasarkan hasil konsultasi. LAMPIRAN Sesuai kebutuhan Bersambung kebag. 2/8 From pdiperjuangan@polarhome.com Mon Aug 19 22:25:34 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (admin) Date: Mon Aug 19 21:25:34 2002 Subject: [pdiperjuangan] "draft dokumen IBSAP bag. 2/8 Message-ID: <3D61449B.8B63043D@brd.de> BAB IV. VISI, MISI, DAN TUJUAN NASIONAL PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA 4.1. VISI Visi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Indonesia adalah: (alt 1) "Terwujudnya kelestarian dan kemanfaatan keanekaragaman hayati bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam keseimbangan ekosistem nasional yang semakin baik, berkelanjutan, berkeadilan, dan berkeadaban." (alt 2) "Lestarinya keanekaragaman hayati dalam keseimbangan ekosistem nasional yang semakin baik, merata, berkeadilan, berkeadaban, dan berkelanjutan bagi kesejahteraan manusia dan masyarakat Indonesia." (alt 3) "Masyarakat Indonesia semakin maju dan sejahtera dalam keseimbangan, keberlanjutan dan kelestarian keanekaragaman hayati pada 2020" (alt 4) "Meningkatnya kesejahteraan manusia dan masyarakat Indonesia melalui kelestarian keanekaragaman hayati dalam keseimbangan ekosistem nasional 25 % lebih baik pada 2020" (alt 5) "Meningkatnya kelestari dan keberlanjutan Keanekaragaman Hayati Untuk Kesejahteraan Seluruh Rakyat Indonesia pada 2020" (alt 6) Terciptanya kelestarian keanekargaman hayati demi kesejahteraan generasi masa kini dan mendatang (alt 7) Terciptanya kelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara adil dan berkelanjutan melalui pengelolaan berbasis ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia. 4.2. MISI Untuk mewujudkan Visi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Indonesia tersebut di atas, misi yang harus dijalankan oleh seluruh komponen masyarakat bangsa Indonesia hingga 2020 adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan kelestarian dan menekan laju kerusakan ekosistem untuk keseimbangan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan masyarakat Indonesia yang merata dan berkeadilan. 2. Membangun dan meningkatkan kapasitas manusia dan masyarakat Indonesia dalam pemanfaatan, pelestarian, dan pengelolaan keanekaragaman hayati secara mandiri, bertanggungjawab dan bertanggung gugat, berkeadilan, berkeadaban, berkeseimbangan, dan berkelanjutan. 3. Mengembangkan kapasitas kearifan tradisonal bagi upaya pelestarian keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem nasional secara berkelanjutan. 4. Membangun dan mengembangkan keberdayaan perangkat hukum, kebijakan, dan kelembagaan lokal, regional, dan nasional dalam rangka pengelolaan kelestarian keanekaragaman hayati secara berkeadilan, berkeadaban, berkeseimbangan, dan berkelanjutan. 5. Membangun dan memberdayakan kapasitas jejaring keterpaduan sektor publik, swasta, dan masyarakat dalam pengelolaan kelestarian keanekaragaman hayati secara sinergis, bertanggung gugat, berkeadilan, berkeadaban, berkeseimbangan, dan berkelanjutan. 4.3. TUJUAN Untuk mewujudkan visi dan misi pengelolaan keanekaragaman hayati secara nasional, regional, maupun lokal ditetapkan beberapa tujuan sebagai berikut: 1. Keberlanjutan Keanekaragaman Hayati Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Mewujudkan keanekaragaman hayati nasional Indonesia yang semakin lestari, seimbang, dan berkelanjutan guna mendukung terwujudnya peningkatan kesejahteraan manusia dan masyarakat Indonesia yang secara merata, berkeseimbangan, berkeadilan, dan berkeadaban; 2. Konservasi Keanekaragaman Hayati. Memperlambat/mengurangi laju kerusakan/degradasi dan kepunahan keanekaragaman hayati nasional, regional maupun lokal, melalui tindakan pencegahan yang didukung oleh penegakkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang efektif dan tidak memihak, pemanfaatan pengetahuan, teknologi dan inovasi yang ramah lingkungan dan berbasis lokal, pemanfaatan sumber daya hayati secara terukur dan berkeseimbangan. 3. Rehabilitasi Keanekaragaman Hayati Mengupayakan pemulihan (rehabilitasi) keanekaragaman hayati yang rusak demi keberlanjutan kesejahteraan hidup dan penghidupan masyarakat Indonesia di masa depan secara merata, berkeseimbangan, berkeadilan, dan berkeadaban. 4. Meningkatnya Kefektifan Kinerja dan Sinergi Pranata Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Mewujudkan pranata hukum, kebijakan, dan kelembagaan nasional, regional, lokal, maupun tradisional yang berfungsi efektif dan efisien dalam pengelolaan keanekaragaman hayati secara sinergis, bertanggung jawab, dan bertanggung gugat, dalam keselarasan dengan pranata internasional maupun global; 5. Meningkatnya Kesadaran, Keberdayaan, dan Kapasitas Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Meningkatkan kesadaran, keberdayaan, dan kapasitas manusia dan masyarakat Indonesia dalam pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkeseimbangan, berkeadilan, berkeadaban, dan berkelanjutan; 6. Pengakuan dan Pemanfaatan Kearifan Tradisional dan Pengetahuan Lokal Meningkatnya pemanfaatan kearifan tradisional dan pengetahuan lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara lestari, berkeseimbangan, dan berkelanjutan dengan mekanisme pembagian keuntungan yang adil, terutama bagi masyarakat adat dan lokal; 7. Meningkatnya Jejaring Kerja Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Mewujudkan jejaring kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat baik lokal, regional, nasional, maupun internasional dalam kesetaraan yang harmonis dan sinergis bagi pengelolaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara lestari, berkeseimbangan, bertanggung jawab dan bertanggung gugat, berkeadilan, dan berkelanjutan. Jalinan Visi, Misi, dan Tujuan Umum Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Nasional Indonesia tersebut untuk memudahkan mengingatnya dapat diberi nama dengan ungkapan: "Eka Cita (Satu Visi) Panca Gawe (Lima Misi) Sapta Karsa (Tujuh Tujuan) Nata Bumi Nusantara (Menata Bumi Nusantara)" 4.3. TUJUAN KHUSUS DAN SASARAN-SASARAN PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Tujuan khusus pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia untuk kurun waktu 2003 - 2020 dibagi dalam dua tahap, yaitu: Tujuan Khusus Jangka Menengah tahun 2003 - 2010; dan Tujuan Khusus Jangka Panjang Tahun 2011 - 2020. Masing-masing rumusan tujuan khusus tersebut selanjutnya akan dijabarkan ke dalam sasaran-sasaran pengelolaan keanekaragaman hayati yang lebih spesifik dan terukur berdasarkan kurun waktu yang telah ditentukan. Baik rumusan tujuan khusus maupun sasaran-sasaran pengelolaan keanekaragaman hayati untuk kedua periode tersebut akan dituangkan dalam setiap langkah aksi pada Bab VI. BAB V. STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI (AKAN DIREKONSTRUKSI SESUAI HASIL KONSULTASI) Untuk mewujudkan Visi dan Misi serta Tujuan Nasional pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia dalam kurun waktu tahun 2003 - 2020, perlu disusun strategi-strategi yang mampu menjamin pencapaiannya. Berdasarkan permasalahan dan ancaman yang dihadapi masyarakat bangsa Indonesia atas keanekaragaman hayati yang menjadi kekayaan ekologi ekosistem nasional, regional, maupun lokal; beberapa strategi prioritas dapat dirumuskan sebagaimana telah terungkapkan materinya dalam bahan laporan hasil kosnsultasi tim Tematik spesialis, Koordinator Regional, diskusi terfokus di tingkat nasional dan lokakarya nasional serta melalui serangkaian proses konsultasi partisipatif dan multi disiplin dengan sebanyak mungkin (walaupun belum menyeluruh) unsur stakeholders nasional, regional maupun lokal. CATATAN: Strategi akan dirumuskan berdasarkan kesepakatan kerangka berpikir berikut, konsultasi dan setelah butir-butir action plan teridentifikasi KERANGKA PIKIR RENCANA STRATEGIS DAN RENCANA AKSI PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA Pendekatan dalam rencana strategis dan rencana aksi didasarkan kepada perwilayahan (Bioregion) selain kepada ekosistem (hutan, kelautan/pesisir, lahan basah, pertanian) di Indonesia. Visi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati yang paling realistis sebenarnya adalah untuk jangka waktu sampai tahun 2010. Tetapi mengingat Visi Masa Depan Indonesia berdasarkan Tap MPR Nomor VII/MPR/2001 adalah sampai dengan tahun 2020, maka sebaiknya Visi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati juga mengikuti pola yang sama. Jika jangka waktu rencana strategis tersebut akan meliputi jangka waktu hingga 2020, maka perlu dibagi dalam dua kurun waktu yaitu tahun 2003-2010 (Scenario A) dan 2011-2020 (Scenario B). Untuk itu, maka rumusan Tujuan dan Sasaran Rencana Strategis dan Rencana Aksi perlu dirumuskan dalam dua versi, yaitu Jangka Panjang (2011-2020) dan Jangka Menengah (2003-2010). Pembagian kategori kondisi ekosistem juga didasarkan kepada pandangan yang menyarankan agar rencana strategis dan rencana aksi diarahkan kepada upaya-upaya pemecahan masalah yang dihadapi baik dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Untuk itu disarankan seandainya pendekatan perencanaan ini akan didasarkan pada permasalahan dan ancaman (Problems and Threats) yang dihadapi dalam masing-masing Bio-ekosistem, maka perlu ada konsensus mengenai Tingkat kondisi habitat. Sehubungan dengan itu, direkomendasikan 4 (empat) kondisi habitat keanekaragaman hayati (Biological Habitat) di Indonesia yaitu: Habitat Alamiah (Natural), Habitat Dilindungi/Konservasi (Conserved), Habitat Tak Seimbang (Imbalanced), dan Habitat Rusak (Damaged). Masing-masing kategori habitat memiliki kriteria tingkat interaksi dan intervensi dengan manusia dan potensi serta tingkat kerusakan atau kehancuran dan kehilangan keanekaragaman hayati yang dialami. Hal itu sesuai dengan pendapat bahwa ada kawasan atau habitat alamiah yang sebenarnya kita tidak perlu khawatirkan karena levels of destruction/loss nya rendah, sehingga hanya diperlukan upaya minimum, misalnya untuk kawasan di puncak pegunungan yang sulit dirambah manusia. Tetapi pada ekstrim yang lain ada habitat buatan manusia yang kondisinya sudah sedemikian rusak jika dibandingkan dengan kondisi alami sebelumnya, sehingga untuk mempertahankan keseimbangan dan keberlanjutannya perlu dilakukan usaha ekstra, meski sangat sulit untuk mengembalikan kondisi kenekaragaman hayati yang sempat rusak atau hilang. Untuk mengoperasionalkan kerangka pikir tersebut di atas ke dalam rencana strategis dan rencana aksi, maka digunakan dua model format yaitu: Format 1 : Matriks Masalah dan Ancaman Terhadap Keanekaragaman Hayati Indonesia Jangka Menengah dan Jangka Panjang berdasarkan Bioregion dan ekosistem Matriks ini menggambarkan Potensi Ancaman terhadap ekosistem, spesies, maupun genus beranekaragam hayati, yang dapat berdampak kerusakan bahkan kepunahannya di bumi Indonesia, jika permasalahan yang muncul dalam pengelolaan maupun pemanfaatan sumberdaya hayati sebagai akibat proses manipulasi dan eksploitasi yang berlebihan dan tidak ramah lingkungan terjadi secara terus menerus dengan intensitas yang tinggi disetiap sektor keanekaragaman hayati. Format ini harus di isi dengan data dan informasi yang menggambarkan bagaimana kondisi dan permasalahan yang muncul atau dirasakan secara signifikan di berbagai sektor keanekaragaman hayati sesuai dengan kategori tingkat kerusakannya di suatu wilayah keanekaragaman hayati tertentu di Indonesia. CATATAN: FORMAT INI AKAN SULIT DIGUNAKAN, KARENA DARI LAPORAN TEMATIK SPESIALIS MAUPUN REGION, TINGKAT KONDISI KERUSAKAN BELUM TERGAMBAR DENGAN JELAS, KEMUNGKINAN AKIBAT TIDAK MEMADAINYA DATA. HAL INI PERLU DIBAHAS LEBIH LANJUT. Format 2 : Matrik Isu Strategis, Tujuan, Sasaran, Program/Strategi Prioritas, Proyek/Kegiatan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati (dibagi dalam dua periode: Tahun 2003 - 2010 dan Tahun 2011 - 2020 dengan menggunakan model format yang sama). Format ini harus diisi dengan isu-isu strategis apa yang harus diatasi atau diwujudkan dalam rangka pemecahan masalah keanekaragaman hayati Indonesia dalam jangka menengah dan panjang. Setiap kolom yang tersedia harus diisi dengan rumusan tujuan, sasaran, program atau strategi prioritas, serta proyek/kegiatan yang akan diselenggarakan dalam kurun waktu yang telah ditetapkan dan oleh siapa. Pengisian kolom-kolom dalam Format 2 ini harus sepenuhnya didasarkan pada pokok permasalahan yang telah terungkapkan dalam Format 1. Pengisian kedua format tersebut dapat dilakukan secara bersama-sama antara team TS dan RC atau diisi oleh masing-masing terlebih dahulu dan nanti oleh Writer Team dikompilasikan. Bahan yang bersifat naratif sebagaimana telah dihasilkan oleh Team ST dan RC jelas dapat dimasukkan ke dalam kolom-kolom atau baris-baris kosong dalam matriks tersebut sesuai dengan konteks dan kategori permasalahan habitat keanekaragaman hayati yang dihadapi. Selain kedua format yang bersifat "combined" tersebut, untuk memudahkan proses dapat digunakan lembar kerja perencanaan yang didasarkan kepada masing-masing Wilayah dan Sektor Keanekaragaman Hayati dalam setiap periode rencana tertentu. Lembar kerja rencana aksi tersebut secara mudah dapat ditransfer ke dalam format laporan yang bersifat naratif. USUL FORMAT 1 : MATRIKS KONDISI, MASALAH, DAN ANCAMAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA TAHUN 2003 - 2020 BIO REGION ANCAMAN(TENTATIVE, sesuai dengan hasil evaluasi/scanning lingkungan) BIO-SECTOR KATEGORI KONDISI DAN MASALAH BIO-SECTOR I(natural) II(conserved) III(imbalanced) IV(damaged) WILAYAH …………… KERUSAKAN/ KEHANCURAN EKOSISTEM Hutan Kondisi:……… Kondisi:………. Kondisi:………. Kondisi:…….. Masalah: ………. Masalah: ………. Masalah: …………. Masalah: ………… Pertanian Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: Lahan Basah Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: Laut Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: Pesisir Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: PENCEMARAN/ KERUSAKAN BIOLOGIS (LEVEL SPESIES) Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: Pertanian Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: Lahan Basah Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: Laut Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: Pesisir Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: INFORMASI DAN KAPASITAS Hutan Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: Pertanian Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: Lahan Basah Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: Laut Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: Pesisir Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: KELEMAHAN HUKUM DAN KELEMBAGAAN Hutan Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: Pertanian Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: Lahan Basah Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: Laut Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: Pesisir Kondisi: Kondisi: Kondisi: Kondisi: Masalah: Masalah: Masalah: Masalah: KETERANGAN: JIKA KEEMPAT KATEGORI KONDISI HABITAT SULIT DIJABARKAN KARENA TIDAK ADA DATA, MAKA TIDAK PERLU DIKATEGORIKAN, CUKUP DEFINISI MASALAH SAJA. HAL INI TERGANTUNG KESEPAKATAN. USULAN FORMAT 2: ISU STRATEGIS, TUJUAN, SASARAN, PROGRAM, PROYEK/KEGIATAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA TAHUN 2003-2010 (Untuk Periode 2011 -2020 di buat terpisah dengan format yang sama) BIO REGION ISU STRATEGIS Ekosistem II(conserved) III(imbalanced) IV(damaged) WILAYAH …………… ISU STRATEGIS NO. 1……….. Hutan Tujuan:…… Tujuan:…… Tujuan:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. Pertanian Tujuan:…… Tujuan:…… Tujuan:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. Lahan Basah Tujuan:…… Tujuan:…… Tujuan:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. Laut Tujuan:…… Tujuan:…… Tujuan:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. Pesisir Tujuan:…… Tujuan:…… Tujuan:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. ISU STRATEGIS NO. 2……….. Hutan Tujuan:…… Tujuan:…… Tujuan:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. Pertanian Tujuan:…… Tujuan:…… Tujuan:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. Lahan Basah Tujuan:…… Tujuan:…… Tujuan:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. Laut Tujuan:…… Tujuan:…… Tujuan:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Sasaran:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Program/ Strategi Prioritas:…… Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. Proyek/Kegiatan:……. Lahan Basah Tujuan:…… Tujuan:…… Tujuan:…… CATATAN: FORMAT DUA AKAN MENGIKUTI KEPUTUSAN TENTANG FORMAT 1 Bersambung kebag. 3/8 ISU STRATEGIS KATEGORI HABITAT TUJUAN SASARAN PROGRAM PRIORITAS PROYEK/ KEGIATAN ALOKASI DANA (Rp Juta) WAKTU PELAKU Isu Strategis No 1……………….. Hutan (lahan basah ) pertanian Pesisir/kelautan Isu Strategis No 2……………….. I(Natural) II(Conserved) III(Imbalanced) IV(Damaged) Isu Strategis No 3……………….. I(Natural) II(Conserved) III(Imbalanced) IV(Damaged) Isu Strategis No 4……………….. I(Natural) II(Conserved) III(Imbalanced) IV(Damaged) Isu Strategis No 5……………….. I(Natural) II(Conserved) III(Imbalanced) IV(Damaged) Isu Strategis No 6……………….. I(Natural) II(Conserved) III(Imbalanced) IV(Damaged) From pdiperjuangan@polarhome.com Mon Aug 19 22:26:56 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (admin) Date: Mon Aug 19 21:26:56 2002 Subject: [pdiperjuangan] "draft dokumen IBSAP bag. 3/8 Message-ID: <3D6144AD.C2F3B3E2@brd.de> "draft dokumen IBSAP bag. 3/8 II. TINJAUAN: KEANEKARAGAMAN HAYATI SEBAGAI ASET PRODUKTIF PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN 2.1. Memahami Keanekaragaman Hayati "Keanekaragaman hayati" merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kekayaan jenis kehidupan di bumi. Istilah ini menggambarkan keanekaan kehidupan di suatu daerah tertentu yang dibentuk oleh mahluk hidup yang ada serta interaksi di antara mereka dan interaksi mereka dengan lingkungannya. Dan memang, bentuk kehidupan di muka bumi sangatlah beragam, mulai dari mahluk sederhana seperti jamur dan bakteri hingga mahluk yang mampu berpikir seperti manusia; mulai dari satu tegakan pohon di pekarangan rumah hingga suatu sistem jejaring kehidupan yang rumit dari ribuan tegakan pohon dan tumbuhan dalam hutan belantara di Kalimantan. Keanekaragaman hayati terdapat dalam berbagai tingkat kehidupan yang acap kali dibedakan menjadi keanekaragaman ekosistem, spesies dan gen. a. Keanekaragaman ekosistem : menggambarkan variasi bentuk dan jenis bentang alam, daratan maupun perairan, di mana tumbuhan, hewan dan organisme hidup lain saling berinteraksi dan membentuk keterkaitan dengan lingkungan fisiknya untuk bisa bertahan hidup. Daratan dan lautan adalah dua ekosistem yang berbeda yang akan membentuk pola kehidupan yang berbeda, Keanekaragaman ekosistem daratan mencakup padang es dan padang lumut di puncak-puncak pegunungan Papua, hutan hujan tropik di Sumatera dan Kalimantan, hingga hamparan padang rumput dan semak belukar di Nusa Tenggara serta Demikian pula di lautan, ada beragam ekosistem mulai dari bentangan terumbu karang yang menawan di Bunaken hingga ekosistem padang lamun di Selat Sunda dan laut di sekeliling Pulau Belitung. b. Keanekaragaman spesies: adalah keanekaan jenis organisme yang menempati suatu ekosistem, di darat maupun di lautan. Masing-masing organisme mempunyai ciri yang tidak dapat disamakan satu dengan yang lain. Misalnya dalam suatu hamparan terumbu karang, dapat ditemui sekitar … spesies mahluk hidup dari ikan hingga … Di Papua, misalnya, ditemui enam spesies penyu yaitu penyu hijau, penyu sisik, penyu lekang, penyu pipih, penyu belimbing dan penyu tempayan yang masing-masing memiliki ciri-ciri fisik yang berbeda (Conservation International, 1999). Indonesia adalah salah satu negara dengan kekayaan spesies tertinggi di dunia. Sebagai contoh, Indonesia diduga memiliki tidak kurang dari lima ratus spesies mamalia, 8500 spesies ikan dan 1500 spesies burung yang berbeda satu dengan yang lain. (Bappenas, 1993) c. Keanekaragaman genetik : Gen adalah faktor pembawa sifat yang dimiliki oleh setiap mahluk hidup serta dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Individu mahluk hidup, bahkan dalam satu spesies, membawa gen yang berbeda dengan anggota spesies lainnya. Inilah yang menyebabkan perbedaan tampilan fisik dalam spesies manusia (homo sapiens). Ada yang berambut lurus dan berkulit kuning, ada yang berambut ikal dan berkulit coklat gelap. Demikian pula, ada … varietas padi dengan berbagai bentuk dan rasa, misalnya padi rojolele mempunyai ciri berbeda dengan padi dari Cianjur. Hal inilah yang disebut sebagai keanekaragaman genetik. Ketiga tingkat keanekaragaman hayati tersebut saling terkait satu dengan lainnya. Daerah yang kaya ekosistemnya, biasanya juga memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi dan variasi genetik dalam spesies yang tinggi pula. Keanekaragaman hayati tersebut tersebar tidak merata di bumi, ada wilayah yang menyimpan kanekaragaman yang tinggi ada pula yang hanya memiliki sedikit keanekaan. Negara-negara di daerah tropik, seperti Indonesia, memiliki keanekaragaman yang tinggi dibandingkan negara yang terletak jauh dari garis khatulistiwa. Keanekaragaman ini menurun seiring dengan semakin jauhnya suatu tempat dari garis khatulistiwa, menurunnya curah hujan atau semakin tingginya tempat tersebut. Pulau-pulau atau daerah yang kecil biasanya memiliki jumlah keanekaragaman hayati yang lebih rendah dibandingkan daerah yang lebih luas dari tipe ekosistem yang sejenis meskipun memiliki lebih banyak hewan dan tumbuhan yang unik dan tidak dijumpai di daerah lain (endemis). Pengaruh manusia juga cenderung mengurangi kenakaragaman, utamanya jika dilakukan secara intensif dalam jangka panjang. Wilayah yang kaya keanekaragaman hayati bisa menjadi miskin secara hayati akibat beragam tindakan manusia, seperti pembukaan hutan yang luas, perburuan, maupun pemanfaatan yang berlebihan dan merusak terhadap spesies dan ekosistem tertentu. Keanekaragaman hayati dengan demikian juga cenderung lebih kaya di tempat yang lebih sedikit dijamah manusia. Uraian lebih rinci tentang keanekaragaman pada lahan basah, hutan, pesisir/laut dan agroekosistem (pertanian) disajikan pada Lampiran I, yang merupakan dokumen terpisah. 2.2. Arti Penting Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati mempunyai nilai penting bagi manusia. Populasi miskin di dunia mengandalkan produk dan proses hayati untuk memenuhi 85-90% kebutuhan hidupnya. Sekitar setengah dari obat yang paling banyak diresepkan di dunia berasal dari tumbuhan atau senyawa sintetis dari kimiawi tumbuhan. Dan, sekitar 40% dari ekonomi dunia mengandalkan proses dan produk hayati, dengan kata lain keanekaragaman hayati (Crucible Group, 2000). Manfaat keanekargaman hayati dapat digolongkan menjadi tiga yaitu berdasarkan nilai konsumtif, nilai produktif dan nilai ekologis/lingkungan. a. Nilai konsumtif Keanekaragaman hayati di sekeliling manusia memberikan manusia sumber daya untuk mencukupi kebutuhan dasar hidupnya, baik itu pangan, sandang maupun papan. Masyarakat Indonesia mengkonsumsi tidak kurang dari 100 spesies tumbuhan biji-bijian dan ubi-ubian sebagai sumber pasok karbohidrat. Tidak kurang dari 100 spesies kacang-kacangan, 450 spesies buah-buahan serta 250 spesies sayur-sayuran dan jamur juga digunakan dalam menu makanan masyarakat kita. Berbagai spesies liar dari hutan, seperti pasak bumi, tabat barito, akar kuning maupun bunga raflesia, serta berbagai spesies budi daya, seperti jahe, kunyit, kencur, kumis kucing dan kapulaga, juga digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh masyarakat lokal. Beberapa spesies, seperti kayu angin dan tapak dara, bahkan telah digunakan sebagai bahan obat modern. Lebih dari 100 spesies kayu, 56 spesies bambu dan 150 spesies rotan juga telah digunakan masyarakat untuk membangun rumah dan membuat peralatan rumah tangga mereka. (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997) Keanekaragaman hayati menyediakn manusia pilihan yang lebih luas untuk bertahan hidup. Suku Dayak Kenyah di Kalimantan Timur, sebagai contoh, mempunyai pilihan sumber pangan yang luas karena mereka memelihara tidak kurang dari 95 spesies tanaman di dalam lembo dan menanam 25 varitas padi di ladang-ladang mereka. Demikian pula suku asli di Papua yang mengembangkan empat belas varitas ubi maupun masyarakat pedesaan di Maninjau yang menanam tiga puluh jenis buah-buahan di lahan mereka (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997). Pilihan menyebabkan manusia lebih mampu beradaptasi dan menghadapi perubahan. Keanekaragaman hayati juga memungkinkan manusia untuk mengembangkan pilihannya. Sebagai contoh, variasi genetik yang ada pada spesies liar bisa dimanfaatkan manusia untuk memperbaiki kualitas genetik pada spesies yang telah dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Keanekaragaman hayati tersebut bahkan sering menjadi identitas kultural manusia dan kelompok masyarakat yang memanfaatkannya serta menjadi bagain integral dari sistem kebudayaan masyarakat tersebut. Sebagai contoh, padi bulu di Nusa Tenggara Barat harus dihadirkan dalam setiap upacara masyarakat suku Sasak. Jadi, walaupun masyarakat mungkin mengkonsumsi beras varitas lain, tetapi mereka tetap menanam padi bulu khusus untuk upacara. b. Nilai Produktif Keanekaragaman hayati juga memiliki nilai kegunaan produktif yaitu nilai pasar yang didapat dari perdagangan keanekaragaman hayati di pasar lokal, nasional maupun internasional. Berbagai spesies tanaman budidaya, khususnya tanaman perkebunan seperti karet dan kopi, menjadi komoditas ekspor yang penting di pasar dunia. Demikian pula berbagai hasil hutan, baik produk olahan kayu maupun spesies non kayu. Hingga 1990, produk industri kayu dan pengolahan hasil hutan merupakan komoditas ekspor non migas terpenting sedangkan pada 1999 dan 2000 nilai ekspor produk hutan (termasuk pulp dan kertas) masih mencapai 16 dan 17 persen dari total nilai ekspor non migas Indonesia (Resosudarmo, 2000). Indonesia juga mendapatkan penerimaan devisa sebesar US$ 45 juta dari ekspor rumput laut pada tahun 1998 dan US$ 2 milyar dari ekspor komoditas perikanan pada tahun 2000. Nilai produktif juga bisa didapatkan melalui perdagangan jasa, misalnya melalui ekoturisme. Abad ke 21 seringkali disebut sebagai abad biologi atau abad hayati. Pada masa ini, industri yang menguntungkan adalah "industri ilmu kehidupan" yaitu farmasi, kesehatan, pangan, pertanian dan kosmetik. Kesemua industri ini mengandalkan keragaman hayati sebagai bahan baku, beserta pengetahuan dan teknologi hayati yang menyertainya. c. Nilai pilihan Nilai pilihan terkait dengan potensi keanekaragaman hayati dalam memberikan keuntungan pada masyarakat di masa datang (Primack et al, 1998). Seringkali keanekaragaman hayati menyimpan nilai manfaat yang belum disadari atau belum dapat dimanfaatkan oleh manusia pada saat kini namun seiring dengan perubahan permintaan, pola konsumsi dan asupan teknologi nilai tersebut menjadi penting di masa depan. Potensi tanaman-tanaman liar sebagai sumber obat-obatan merupakan salah satu bentuk nilai pilihan tersebut. Banyak perusahaan farmasi maupun lembaga kesehatan pemerintah secara intensif berupaya menemukan zat-zat sumber obat baru untuk memerangi penyakit, seperti AIDS dan kanker, dari keanekaragaman hayati di habitat aslinya. Fakta menunjukkan bahwa dua puluh jenis obat-obatan yang paling sering dipakai di Amerika Serikat senilai US$ 6 milyar per tahun mengandung bahan-bahan kimia yang ditemukan di alam (Primack et al, 1998). Kebanyakan spesies di dunia saat ini belum memiliki nilai ekonomi atau hanya memberikan nilai produktif yang terbatas. Jika salah satu spesies dengan nilai pilihan yang besar tersebut punah sebelum diidentifikasikan maka hal itu mungkin merupakan kehilangan besar bagi kesejahteraan manusia. Jika keanekaragaman hayati diumpamakan sebagai suatu buku pegangan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia maka hilangnya satu spesies adalah seperti merobek satu halaman dari buku itu (Primack et al, 1998). Jika kita membutuhkan informasi untuk mengatasi permasalahan kita dari halaman yang robek tersebut barulah kita sadar bahwa kita telah kehilangan informasi itu selamanya. d. Nilai eksistensi Nilai eksistensi merupakan nilai yang dimiliki oleh keanekaragaman hayati karena keberadaannya (Ehrenfeld, 1991). Nilai eksistensi ini terkait dengan nilai estetis yang ditimbulkannya pada manusia serta tidak berkaitan dengan manfaat ekonomi riil dan potensialnya. Para pecinta alam maupun wisatawan, misalnya, akan bersedia untuk mengeluarkan sejumlah biaya untuk mengunjungi taman-taman nasional untuk melihat satwa di habitat aslinya meskipun mereka tidak mendapatkan manfaat ekonomi dari aktivitas tersebut maupun dari adanya satwa-satwa bahkan dari adanya taman nasional itu. Manfaat yang mereka terima dari melihat gajah di Taman Nasional Way Kambas, Lampung jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tambahan kesejahteraan yang mereka peroleh dengan melihatnya di kebun binatang Ragunan. Manfaat yang didapatkan dari nilai eksistensi keanekaragaman hayati bersifat abstrak walaupun meningkatkan kesejahteraan manusia. Inilah yang menyebabkan, khususnya di negara-negara maju, dana bagi konservasi alam dan keanekaragaman hayati yang dikumpulkan dari masyarakat yang menikmati nilai eksistensi ini sangatlah besar. e. Nilai lingkungan Keanekaragaman hayati juga memberikan jasa ekologis atau jasa lingkungan bagi manusia. Ekosistem hutan melindungi keseimbangan siklus hidrologi dan tata air sehingga menghindarkan manusia dari bahaya banjir maupun kekeringan. Hutan juga menjaga kesuburan tanah melalui pasok unsur hara dari serasah hutan, mencegah erosi dan mengendalikan iklim mikro. Ekosistem terumbu karang dan padang lamun melindungi pantai dari abrasi. Demikian pula hutan mangrove yang menyediakan tempat pengasuhan benih bagi berbagai spesies ikan dan udang. Keanekaragaman hayati dengan demikian mempunyai arti yang penting tidak hanya bagi kehidupan manusia namun juga bagi kelangsungan seluruh sistem kehidupan. Selain manfaat konsumtif, produktif maupun lingkungan yang diperoleh manusia keanekaragaman hayati juga merupakan satu kesatuan dimana komponen yang ada saling berkaitan dan tergantung. Sebagai contoh, rantai makanan tersusun atas ratusan ribu spesies yang saling memanfaatkan. Demikian pula jasa lingkungan yang disediakan ekosistem juga dibutuhkan dan dinikmati oleh beragam spesies yang lain Keanekaragaman genetik dibutuhkan oleh setiap spesies untuk menjaga kemampuan mereka dalam berkembang biak, ketahanan terhadap penyakit serta kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan. Spesies membutuhkan cadangan genetik yang beragam untuk terus bertahan hidup dalam lingkungan yang selalu berubah. Keanekaragaman spesies menyebabkan mereka mampu membentuk rantai makanan di antara tumbuhan dan hewan yang menjamin kelangsungan pasok pangan spesies-spesies tersebut. Berbagai spesies juga mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan di dalam rantai tersebut, seperti serangga yang mengambil madu namun sekaligus membantu penyerbukan tumbuhan atau kelelawar yang memakan buah durian namun sekaligus membantu penyebaran bijinya. Di sisi lain, keanekaragaman ekosistem menyediakan tempat bagi berlangsungnya rantai makanan tersebut serta ruang bagi spesies untuk bertahan hidup dan mengembangkan kehidupannya. Ekosistem yang berfungsi dengan baik bisa menyediakan dan menghasilkan jasa-jasa lingkungan lain yang juga bermanfaat bagi spesies yang hidup di dalamnya, seperti dalam perlindungan kualitas air dan tanah serta penciptaan iklim lokal. 2.3. Keanekaragaman Hayati sebagai Aset Produktif Banyak negara memaksimalkan penggunaan nilai produktif keanekaragaman hayati untuk menopang laju pertumbuhan ekonomi mereka. Negara-negara berkembang seperti Kamerun dan Brazil maupun negara maju seperti Finlandia dan Norwegia mengeksploitasi hasil hutannya sebagai komoditas ekspor utama. Filipina mendapatkan US$ 700 juta dari ekspor rumput laut mereka sedangkan Malaysia menguasai 49,7 persen produksi minyak kelapa sawit dunia pada tahun 1997. Pemerintah Indonesia semasa Orde Baru juga menggunakan sumberdaya hayati sebagai landasan pembangunan. Devisa non migas dari ekspor kayu bulat dan komoditas sektor pertanian digunakan untuk mendukung eksploitasi minyak dan gas bumi sepanjang masa rehabilitasi ekonomi (1966 -1970) dan masa pertumbuhan ekonomi cepat (1971-1980) sehingga rerata pertumbuhan tahunan Produk Domestik Bruto pada masa itu bisa mencapai 7,7 % (Hill dalam Barber, 1996). Saat Indonesia mengalami kesulitan ekonomi akibat melemahnya harga minyak mentah dunia pada pertengahan tahun 1980-an, devisa dari ekspor produk pengolahan kayu secara bertahap mampu mendukung pertumbuhan ekonomi nasional sampai pada awal tahun 1990-an ketika kedudukannya sebagai penyumbang utama devisa non migas digantikan oleh ekspor produk tekstil (Resosudarmo, 2000). Peran penting sektor ekonomi berbasis keanekaragaman hayati ini kembali muncul ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi sejak tahun 1997. Pada periode awal krisis, saat sektor-sektor perekonomian lain mengalami penyusutan pertumbuhan antara -3,4 hingga -30,8 persen, sektor pertanian tetap tumbuh sebesar 5,3 persen dan menghindarkan perekonomian nasional dari kontraksi pertumbuhan yang lebih parah (BPS dalam Johnson, 1998). Semua sub sektor, khususnya tanaman pangan, perkebunan dan perikanan, tumbuh stabil sehingga selama krisis peran sektor pertanian dalam PDB meningkat. Tahun 1999, saat banyak sektor ekonomi belum bisa pulih ke tingkat sebelum krisis, kontribusi sektor pertanian justru naik menjadi 19,54 persen dari masa sebelum krisis yang hanya mencapai 16,67 persen (BPS, 2002). Kontribusi basis sumberdaya hayati dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi inilah yang menjadikan keanekaragaman hayati sebagai salah satu aset produktif pembangunan. Adalah suatu fakta bahwa manusia memanfaatkan keanekaragaman hayati sebagai modal pembangunan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas dan berkesinambungan. Sebagai aset, keanekaragaman hayati merupakan bagian dari modal alam (natural capital) yang terbaharui (renewable) yang berarti mempunyai kemampuan untuk pulih setelah dimanfaatkan jika tingkat pemanfaatannya tidak melampaui kemampuan pemulihannya. Selain modal alam, manusia membutuhkan jenis modal lain untuk melaksanakan pembangunan baik itu di tingkat nasional maupun lokal. Modal lain yang dibutuhkan adalah modal manusia (human capital), modal buatan manusia (human made capital), seperti infra struktur, dan modal sosial (social capital) yang mencakup budaya, sistem nilai dan kelembagaan. Modal tersebut saling melengkapi namun tidak bisa saling menggantikan. Kemampuan keanekaragaman hayati untuk mendukung ketersediaan dan kualitas modal pembangunan yang lain secara memadailah yang justru membuat keanekaragaman hayati menjadi aset produktif yang penting, melebihi nilai penting yang didapatkan dari eksploitasi nilai produktifnya. Sebagai contoh, nilai lingkungan yang diberikan suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) membuat daerah di hilir aliran sungai tersebut subur dan produktif bagi pertanian serta mendorong pembangunan infrastruktur di daerah tersebut bagi pusat produksi dan pemukiman yang pada akhirnya membuat perekonomian wilayah tersebut tumbuh lebih cepat. Demikian pula, tutupan hutan yang terjaga baik di kawasan Gunung Gede, Halimun, Pangrango dan Salak di Jawa Barat akan menjamin ketersediaan pasokan air minum bagi masyarakat serta kelangsungan berbagai aktifitas ekonomi produktif, baik pertanian maupun industri pengolahan, di daerah Jabotabek, Sukabumi dan Banten. Di tingkat lokal, ekonomi rakyat berbasis kekayaan keanekaragaman hayati terbukti memberikan kesejahteraan yang lebih tinggi kepada komunitas dibandingkan dengan pengembangan ekomoni skala besar yang miskin keanekaragaman hayati. Kajian yang dilakukan terhadap pengelolaan hutan adat berbasis bengkar (hutan), ladang dan simpukng (lahan bercocok tanam) serta uwe (kebun rotan) pada masyarakat Dayak di desa Besiq, Benung dan Tepulang Kalimantan Timur menunjukkan bahwa pengelolaan hutan tersebut memberikan manfaat ekonomi yang lebih tinggi pada masyarakat desa dibandingkan pembangunan kebun kelapa sawit yang bersifat monokultur (NRM/EPIQ Program dan SHK Kalimantan Timur, 2000). Pengelolaan hutan adat paling tidak secara rerata menghasilkan manfaat tahunan senilai US$ 200-700 per hektarnya melalui tidak kurang dari 14 aktivitas pengelolaan bengkar, uwe, simpukng dan ternak. Berbeda dengan hasil produksi kebun kelapa sawit, sistem hutan adat ini lebih tahan terhadap guncangan harga pasar, tidak membutuhkan waktu yang lama maupun investasi modal yang besar sebelum memberikan manfaat pada masyarakat lokal serta mampu menjaga kelestarian hutan. Kekayaan keanekaragaman hayati juga bisa memperkuat basis modal sosial yang dibutuhkan masyarakat untuk mempertahankan dan membangun hidupnya. Penggunaan berbagai komponen keanekaragaman hayati oleh masyarakat tradisional memperkaya kebudayaan masyarakat, seperti pengetahuan pengobatan, sistem bercocok tanam yang berkelanjutan serta berbagai ritual adat. Interaksi yang terbangun antara masyarakat lokal dan keanekaragaman hayati di sekelilingnya mendorong masyarakat mengembangkan aturan , norma dan berbagai bentuk kelembagaan-kelembagaan lokal yang membuat mereka mampu mempertahankan daya dukung lingkungan serta membuat mereka bisa beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di sekeliling mereka. Masyarakat Kasepuhan, misalnya, mengembangkan pola budidaya padi dan pembukaan lahan pertanian yang disesuaikan dengan tipologi hutan berbasis norma dan kepercayaan adat sehingga mereka mampu menjaga kelestarian hutan mereka. Peran keanekaragaman hayati sebagai modal produktif tersebut harus bisa terus dijaga dalam jangka panjang karena perannya tidak tergantikan dan sebab pembangunan beserta manfaatnya tidak hanya dibutuhkan oleh generasi kini namun juga oleh generasi mendatang. Kapasitas produktif keanekaragaman hayati, sebagai aset pembangunan dan bagian dari modal alam, oleh karenanya harus dijaga melalui pemanfaatan yang lestari. Pemanfaatan lestari dilakukan dengan tidak melampaui kemampuan keanekaragaman hayati untuk memulihkan dirinya serta disertai tindakan-tindakan untuk memulihkan basis sumber daya keanekaragaman hayati yang telah dimanfaatkan. Pemanfaatan lestari dengan demikian merupakan dasar bagi suatu pembangunan berkelanjutan yaitu suatu bentuk pembangunan dimana manusia tidak hanya menghimpun dan menggunakan cadangan modal produktif yang ada namun juga memulihkan kualitas dan ketersediaannya secara terus menerus. Bersambung kebag. 4/8 From pdiperjuangan@polarhome.com Tue Aug 20 07:36:01 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (admin) Date: Tue Aug 20 06:36:01 2002 Subject: [pdiperjuangan] "draft dokumen IBSAP bag. 4/8 Message-ID: <3D61C566.E6C9ACFA@brd.de> "draft dokumen IBSAP bag. 4/8 BAB III. KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA: POTENSI DAN PERMASALAHANNYA 3.1. Posisi Indonesia dalam Peta Keanekaragaman Hayati Dunia Sebagai sebuah negara kepulauan yang terletak di garis khatulistiwa, Indonesia menduduki posisi yang penting dalam peta kekayaan keanekaragaman hayati dunia tidak hanya karena kelimpahan keanekaragaman hayatinya namun juga karena keunikan atau endemismenya. Iklim tropik yang stabil di kawasan kepulauan Indonesia menyebabkan Indonesia termasuk dalam tiga besar dari sepuluh negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati terbesar (mega diversity countries), bersama dengan Brazil dan Zaire (Primack et al, 1998). Indonesia juga merupakan negara kepulauan yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera serta Kalimantan) dan benua Australia (Pulau Papua) dan sebaran wilayah peralihan Wallacea (Pulau Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara) sehingga keanekaragaman hayati yang tersebar di pulau-pulau Indonesia juga memiliki tingkat kekhasan yang tinggi. Tabel 1 menggambarkan posisi penting Indonesia dalam peta keanekaragaman hayati dunia tersebut. Tabel 1. Peringkat kekayaan keanekaragaman hayati spesies antar negara di dunia Urutan Binatang menyusui Burung Amphibi Reptil Tumbuhan berbunga 1 Indonesia Kolombia Brazil Meksiko Brazil 2 Meksiko Peru Kolombia Australia Kolombia 3 Brazil Brazil Ekuador Indonesia Cina 4 Zaire Indonesia Meksiko Brazil Meksiko 5 Cina Ekuador Indonesia India Australia 6 Peru Venezuela Cina Kolombia Afrika Utara 7 Kolombia Bolivia Peru Ekuador Indonesia 8 India India Zaire Peru Venezuela 9 Uganda Malaysia Amerika Serikat Malaysia Peru 10 Tanzania Cina VenezuelaAustria ThailanPapua Nugini Bekas Uni soviet Sumber: Conservation International dalam Primack et al (1998) Tingginya kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia ini juga dipengaruhi oleh luas wilayahnya yang mampu mewadahi tidak kurang dari 47 tipe ekosistem yang berbeda (Bappenas, 1993). Luas wilayah lautan Indonesia mencakup areal seluas 31 juta km2. Di dalamnya tersimpan terumbu karang seluas 50.000-85.000 km2, atau berkisar antara 12-15% total luas terumbu karang dunia, dengan tidak kurang dari 452 spesies karang pembentuk terumbu. Garis pantai pantainya membentang sepanjang sekitar 81.000 km dengan tutupan hutan mangrove seluas 5,2 juta hektar pada tahun 1982 yang pernah mencapai 76% luas hutan mangrove Asia Tenggara dan 27% mangrove dunia. Hutan Indonesia juga mempunyai posisi yang strategis. Kawasan hutan yang pernah mencapai lebih dari 140 juta hektar pada tahun 1950-an (Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch , 2001) hingga pertengahan dekade 1990-an masih memiliki empat persen sisa frontier forest (luasan hutan alam yang besar, lengkap secara ekologis dan relatif tidak terganggu dimana proses-proses ekologis dan suksesi alami bisa terus berlangsung dengan baik) dunia atau hampir dua kali lipat luasan yang dimiliki Zaire (Bryant, Nielsen dan Tangley, 1997). Kawasan hutan Indonesia, bersama dengan India, Malaysia, Myanmar dan Filipina di Asia, juga merupakan salah satu dari 20 kawasan hutan tropik yang menjadi prioritas penanaganan Bank Dunia pada tahun 1991 (World Bank, 2000) Selain itu, Indonesia sebagai bagian terbesar dari kawasan Indo Malaya merupakan salah satu dari 12 pusat distribusi sumberdaya genetik tanaman atau yang lebih dikenal sebagai Vavilov Centre. Indonesia juga merupakan pusat keanekaragaman tanaman budidaya yang asal usulnya bukan dari Indonesia, seperti pisang, sagu, teh, tebu serta berbagai spesies tanaman komersial lain beserta varitas-varitasnya (World Bank, 2001) . 3.2. Lemahnya Pengelolaan dan Laju Kerusakan Keanekaragaman Hayati Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk melindungi kekayaan keanekaragaman hayati tersebut melalui penciptaan kerangka kelembagaan sektoral di tingkat pusat. Semasa Orde Baru, Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan diberi tanggung jawab untuk melakukan perlindungan dan konservasi eksositem alami di kawasan-kawasan konservasi. Departemen ini mendukung peran Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang diberi tanggung jawab untuk menyusun strategi pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia dan pengintegrasiannya dalam pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh sektor-sektor lain, seperti Departemen Pertanian, Departemen Pertambangan, Departemen Transmigrasi, Departemen Pekerjaan Umum, maupun dalam perencanaan pembangunan regional yang disusun oleh Bappenas dan Bappeda (Bappenas, 1993). Berbagai upaya positif telah dilakukan untuk melestariakan keanekaragaman hayati nasional. Departemen Kehutanan melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan tahun 1984 telah menyisihkan hutan seluas 18.725.215 hektar sebagai kawasan konservasi (Dirjen Pengusahaan Hutan, 1997). Jejaring dari 366 kawasan konservasi yang mencakup 24 taman nasional serta kawasan konservasi laut dan perairan juga telah dibangun dan dikelola (Departeman Kehutanan dan FAO dalam Bappenas, 1993). Pemerintah Indonesia juga telah berperan aktif dalam skema-skema konservasi global, seperti Konvensi Ramsar, untuk perlindungan lahan basah maupun CITES untuk memantau keberadaan dan kecenderungan populasi spesies-spesies yang diperdagangkan (Bappenas, 1993). Hanya saja upaya pengelolaan lestari keanekaragaman hayati yang lebih terpusat pada penerapan konservasi in situ dan penciptaan kawasan konservasi ini tidaklah mampu menahan laju kerusakan keanekaragaman hayati. Secara rerata, pada tahaun 1986 hanya 55,8 persen dari luas ekosistem asli yang masih tersisa di Indonesia, dimana luas ekosistem asli yang tersisa di Sumatera, Jawa Bali dan Nusa Tenggara berada di bawah rerata nasional. Bahkan di Jawa Bali luasan asli yang tersisa hanya mencapai 9 persen (MacKinnon and MacKinnon dalam Bappenas, 1993) Laju deforestasi hutan Indonesia diperkirakan berkisar antara 600.000-1.315.000 hektar/tahunnya pada dekade 1980-an (Sunderlin dan Resosudarmo, 1997). Kerusakan di kawasan pesisir dan laut juga dapat dilihat dari luas hutan mangrove yang menurun drastis dari 5,2 juta hektar pada tahun 1982, menjadi 3,2 hektar pada tahun 1987 dan menciut lagi menjadi 2,4 juta hektar pada tahun 1993 akibat maraknya konversi bagi kegiatan budidaya. Ekosistem terumbu karang juga terancam oleh pencemaran dan sedimentasi, penambangan karang, serta praktek penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar terumbu karang Indonesia telah berada dalam kondisi rusak (Bappenas, 1993). Inventarisasi yang dilakukan oleh badan-badan internasional, seperti IUCN, menunjukkan 126 spesies burung, 63 spesies binatang menyusui, 21 spesies reptil dan 65 spesies binatang lainnya berada di ambang kepunahan pada tahun 1988 (Bappenas, 1993). Berbagai masalah struktural dalam pengelolaan sumberdaya alam mendorong berbagai bentuk kerusakan habitat dan pemanfaatan berlebih yang mengancam kelestarian keanekaragaman hayati Indonesia serta mementahkan upaya-upaya pengelolaan lestari yang telah coba diterapkan. Pangkal dari semua ini adalah tidak terakomodasikannya kepentingan pengelolaan lestari keanekaragaman hayati dalam paradigma pembangunan serta kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya alam yang berlangsung. Pemerintah memandang sumberdaya alam sebagai sumberdaya yang berharga untuk dilikuidasi dalam rangka perolehan devisa, percepatan pertumbuhan ekonomi serta diversifikasi basis perekonomian (Deuvergne dalam Sunderlin dan Resosudarmo, 1997) Inilah yang menyebabkan erosi keanekaragaman hayati meningkat seiring dengan melajunya pertumbuhan ekonomi. Paradigma ini kemudian mendorong pemerintah untuk melakukan sentralisasi pelaksanaan pembangunan dan penguasaan sumberdaya pembangunan, termasuk sumberdaya alam (Barber, 1996). Sentralisme ini, seperti yang dirumuskan oleh para pihak (stakeholders) pada Konferensi Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam tahun 2000, membawakan karakter struktural lain dalam pengelolaan sumberdaya alam yang menegasikan kepentingan pengelolaan lestari keanekaragaman hayati, yaitu: 1. Dominasi hak menguasai negara dalam pengelolaan sumberdaya alam. Dominasi ini diperlukan untuk mendorong pengusahaan komersial skala besar dan memudahkan proses likuidasi sumberdaya alam (Noer Fauzi, 1999). Dominasi ini dilakukan dengan memarginalkan, bahkan acap mengeliminir, hak kelola rakyat terhadap sumberdaya alam. Proses pengelolaan sumberdaya alam kemudian menjadi tertutup dan tidak transparan karena mengeluarkan masyarakat dari arus pengambilan keputusan (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997) . 2. Pendekatan parsial yang bertumpu pada pertumbuhan sektoral. Orientasi pada pertumbuhan sektor menyulitkan integrasi perencanaan karena tiap sektor akan bersaing untuk tumbuh lebih cepat. Sektor cenderung untuk mengabaikan kebijakan atau regulasi dari kewenangan di luar perencanaan sektornya yang bisa menghambat fungsi sektor tersebut untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Inilah yang menyebabkan koordinasi lintas sektoral dalam pengelolaan sumberdaya alam menjadi sulit (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2002) terlebih ketika lembaga yang diberi tanggung jawab untuk melakukannya, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, dipandang memiliki kekuatan yang tidak setara 3. Tidak efisiennya pengelolaan sumberdaya alam. Inefisiensi ini didorong oleh tumpang tindihnya hak dan kewenangan atas sumberdaya alam serta inkonsistensi antar produk hukum dan peraturan perundangan yang menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi dalam pengelolaan serta memicu perilaku pencarian rente jangka pendek akibat ketidakpastian yang tinggi. 4. Penggunaan kekuatan ekstra yudisial (militer) untuk menangani konflik. Sentralisme, diabaikannya hak kelola dan partisipasi rakyat, serta parsialnya pendekatan sektoral dalam pengelolaan sumberdaya alam menyebabkan ketidakadilan dan maraknya konflik. Konflik yang terjadi umumnya meliputi ketidakadilan akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam, terhadap proses pengambilan keputusan tentang pemanfaatan sumberdaya serta terhadap manfaat dari penggunaan sumberdaya tersebut (LATIN, 2001). Hanya saja, alih-alih menggunakan cara yang demokratis, pemerintah hampir selalu menggunakan pendekatan keamanan yang berlebih (excessive security approach) melalui kekuatan militer dalam menangani konflik yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Keterlibatan militer, sebagai sebuah lembaga ekstra yudisial, yang meluas dalam penguasaan dan pengusahaan sumberdaya alam (military financing) kemudian menyulitkan upaya-upaya yang ditempuh untuk mendemokratisasikan pengelolaan sumberdaya alam Semua deskripsi tersebut menunjukkan bahwa strategi pembangunan ekonomi serta strategi pemanfaatan sumberdaya dan pengelolaan sumberdaya alam yang diterapkan pada masa itu telah memberikan insentif bagi eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya alam dan membawakan dampak negatif bagi kelestarian keanekaragaman hayati Indonesia 3.3. Upaya Mengarusutamakan Pengelolaan Lestari Keanekaragaman Hayati Makin menguatnya kedudukan paradigma "pembangunan berkelanjutan" dalam wacana global bagi pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan sejak pertengahan tahun 1980-an memaksa pemerintah untuk meninjau kembali proses pembangunan dan dampaknya yang telah berlangsung selama ini. Pemarintah Indonesia menyadari bahwa kecenderungan yang terjadi dalam proses pembangunan nasional sangatlah bertentangan dengan paradigma baru yang tengah berkembang dan menyadari pula bahwa hal itu bisa menyulitkan posisi Indonesia dalam dunia internasional. Pemerintah kemudian berusaha mengintegrasikan dirinya dalam arus global tersebut dengan mulai mencoba mengarusutamakan (mainstreaming) pendekatan pengelolaan sumberdaya alam lestari dalam pelaksanaan pembangunan. Langkah awal yang ditempuh Pemerintah Indonesia adalah dengan menandatangani Konvensi PBB tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati (CBD). Pemerintah Indonesia adalah negara kedelapan, di antara 157 negara, yang menandatangani CBD pada 5 Juni 1992 selama berlangsungnya KTT Bumi. di Rio de Janeiro, Brazil. CBD adalah konvensi internasional yang ditujukan untuk mewujudkan konservasi keanekaragaman hayati, penggunaan berkelanjutan dari komponen-komponennya serta pembagian keuntungan yang adil dan merata dari penggunaan sumberdaya genetik tersebut, termasuk melalui akses yang memadai terhadap sumberdaya genetik dan serta transfer teknologi dan sumberdaya finansial. Konvensi ini mewajibkan pemerintah untuk menyusun strategi, rencana atau program bagi konservasi dan penggunaan berkelanjutan keanekaragaman hayati atau menyesuaikan strategi, rencana dan program yang telah ada bagi kebutuhan tersebut. Konvensi juga mewajibkan pemerintah untuk sejauh mungkin mengintegrasikan kebutuhan konservasi dan penggunaan berkelanjutan keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program dan kebijakan sektoral dan lintas sektoral yang relevan. Langkah ini kemudian ditindaklanjuti dengan meratifikasi CBD melalui UU No.5/1994 pada tanggal 1 Agustus 1994. Melalui UU ini, Indonesia mengakui nilai penting keanekaragaman hayati, mengakui perlunya dijamin keberadaan dan keberlanjutan keanekaragaman hayati bagi kehidupan serta kerugian yang akan dialami jika kelestarian tersebut tidak dapat dijamin dan juga peran penting masyarakat tradisional dan perempuan dalam konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati. Ratifikasi konvensi tersebut dinilai akan memberikan manfaat kepada Indonesia berupa: (1) pengakuan dari masyarakat internasional terhadap kepedulian Indonesia dalam masalah lingkungan hidup dunia, termasuk keanekaragaman hayati, (2) penguasaan dan pengendalian atas akses terhadap alih teknologi, berdasarkan asas perlakuan dan pembagian keuntungan yang adil, yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan nasional, (3) peningkatan kemampuan pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang diperlukan untuk memanfaatkan secara lestari dan meningkatkan nilai tambah keanekaragaman hayati Indonesia, (4) peningkatan pengetahuan yang berkenaan dengan keanekaragaman hayati Indonesia, (5) jaminan bahwa pemerintah mampu menggalang kerjasama di bidang teknik ilmiah baik antar sektor pemerintah maupun dengan sektor swasta, di dalam maupun di luar negeri, serta memadukan sejauh mungkin kebutuhan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program dan kebijakan baik sektoral maupun lintas sektoral, (6) pengembangan dan penanganan bioteknologi sehingga Indonesia tidak dijadikan ajang ujicoba pelepasan organisme hasil rekayasa genetik oleh negara lain, (7) pengembangan sumber dana untuk penelitian dan pengembangan keanekaragaman hayati serta (8) pengembangan kerjasama internasional yang meliputi penetapan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati baik secara in situ maupun ex situ, pengembangan pola insentif, pertukaran informasi, pengembangan pendidikan, pelatihan dan peningkatan peran serta masyarakat. Ratifikasi ini sekaligus juga memperkokoh kedudukan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati untuk Indonesia yang telah disusun tahun 1993 serta perangkat perundangan sebelumnya yang ditujukan untuk mewadahi upaya konservasi keanekaragaman hayati, khususnya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati untuk Indonesia (Biodiversity Action Plan for Indonesia 1993 /BAPI 1993) merupakan langkah strategis yang diambil Pemerintah Indonesia sebelum diratifikasinya CBD oleh DPR melalui UU No. 5/ 1994. Rencana aksi ini dimaksudkan untuk berfungsi sebagai sebuah panduan bagi penetapan prioritas dan investasi konservasi keanekaragaman hayati sepanjang Repelita V dan VI (hingga tahun 1999) maupun untuk jangka waktu yang lebih panjang (Bappenas, 1993). BAPI 1993 mempunyai sasaran (goal) untuk mengkonservasikan sebanyak mungkin keanekaragaman hayati yang menjadi tumpuan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Tujuan utama (main objectives) dari rencana aksi ini adalah untuk: 1. memperlambat hilangnya tutupan hutan primer, lahan basah, terumbu karang. Dan habitat daratan maupun lautan lainnya yang sangat penting bagi keberadaan keanekaragaman hayati 2. mengembangkan ketersediaan data dan informasi tentang kekayaan keanekaragaman hayati nasional serta membuatnya dapat dimanfaatkan oleh para pembuat kebijakan maupun masyarakat luas 3. mempercepat pemanfaatan sumberdaya hayati secara lestari dan lebih ramah lingkungan dibandingkan praktek yang telah berlangsung selama ini Rencana aksi ini menempatkan pelaksanaan konservasi in situ, di dalam maupun di luar kawasan lindung, serta pelaksanaan konservasi ex situ sebagai prioritasnya. Berdasarkan prioritas tersebut BAPI 1993 menempatkan empat tindakan sebagai komponen utama (main components) rencana aksi, yaitu: 1. Konservasi in situ di taman nasional dan kawasan lindung daratan 2. Konservasi in situ di luar kawasan lindung, mencakup kawasan hutan, lahan basah dan kawasan budidaya pertanian 3. Konservasi sumberdaya pesisir dan lautan 4. Konservasi ex situ melalui bank gen dan bank benih, perlindungan varitas dan program penangkaran Rencana aksi ini juga menegaskan bahwa pelaksanaan komponen-komponen utama tersebut hanya dapat terwujud jika didukung oleh : (1) perluasan partisipasi masyarakat dalam konservasi keanekaragaman hayati, (2) identifikasi kebutuhan riset dan pelatihan yang akurat, (3) pengelolaan dan penggunaan basis informasi, (4) pelaksanaan program pendidikan, pelatihan dan peningkatan kesadartahuan masyarakat serta (5) reformasi dan penguatan kelembagaan bagi pelaksanaan rencana aksi. Reformasi dan penguatan kelembagaan tersebut meliputi: (1) peningkatan kapasitas kelembagaan pengelola keanekaragaman hayati, (2) penciptaan mekanisme koordinasi, (3) penyesuaian alokasi kewenangan dan sumberdaya pengelolaan, (4) peningkatan kapasitas kelembagaan lokal, serta (5) penerapan valuasi yang akurat terhadap sumberdaya. Dibutuhkannya reformasi kelembagaan tersebut menunjukkan pengakuan terhadap adanya masalah-masalah struktural yang selama ini melingkupi pengelolaan keanekaragaman hayati dalam proses pembangunan serta menunjukkan bahwa tata pemerintahan yang baik dalam pengelolaan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati (good environmental governance), yang selama ini belum mampu diwujudkan, sangat dibutuhkan untuk pengelolaan lestari keanekaragaman hayati nasional 3.4. Sepuluh Tahun Kemudian: Enceng Gondok Menggulma Sepuluh tahun telah berlalu sejak langkah-langkah awal untuk mengarusutamakan pengelolaan lestari keanekaragaman hayati dalam proses pembangunan mulai diupayakan. Banyak perubahan yang telah terjadi dalam jangka waktu tersebut. Di dalam negeri, rezim Orde Baru yang kuat telah tumbang dan digantikan oleh rezim-rezim yang relatif lebih lemah serta bersifat transisional. Krisis yang hebat telah mengguncang perekonomian Indonesia serta memicu berlangsungnya demokratisasi sistem politik serta reformasi tata pemerintahan menuju desentralisasi yang berlangsung pesat dalam skala yang masif / big bang decentralization (World Bank, 2001a). Di tataran internasional, arus globalisasi dan rezim perdagangan bebas makin kuat mencengkeram negara-negara berkembang termasuk Indonesia melalaui tatanan WTO. Krisis ekonomi yang menerpa negara-negara Asia pada akhir tahun 1990-an juga menguatkan kedudukan lembaga-lembaga keuangan multilateral, seperti Bank Dunia dan IMF, dalam menentukan agenda pembangunan dan kebijakan nasional negara-negara yang terkena krisis. Perubahan-perubahan maupun kecenderungan yang berlangsung secara domestik maupun dalam tataran global telah mempengaruhi pencapaian upaya pengelolaan lestari keanekaragaman hayati nasional. Pada tahun 2000, Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) melakukan serangkaian lokakarya untuk memperoleh bayangan atau citra kondisi keanekaragaman hayati di masa depan berdasarkan pilihan-pilihan yang dilakukan oleh para pelakunya, baik itu kalangan pemerintah, swasta maupun kelompok masyarakat sipil. Proses tersebut kemudian menghasilkan empat alternatif skenario yang mungkin terjadi dalam pengelolaan keanekaragaman hayati nasional antara tahun 2000-2010. Keempat skenario itu adalah: 1. Mutiara yang hilang, jika peran pemerintah dan kebijakan pembangunan maupun perilaku masyarakat tidak mendukung kelestarian keanekaragaman hayati 2. Enceng gondok menggulma, jika peran pemerintah dan kebijakan pembangunan tidak mendukung namun perilaku masyarakat mendukung kelestarian keanekaragaman hayati 3. Tikus mati di lumbung, jika peran pemerintah dan kebijakan pembangunan mendukung namun perilaku masyarakat tidak mendukung kelestarian keanekaragaman hayati 4. Kasuari menebar benih, jika peran pemerintah dan kebijakan pembangunan maupun perilaku masyarakat mendukung kelestarian keanekaragaman hayati Skenario "kasuari menebar benih" merupakan kondisi paling ideal yang bisa dicapai dalam pengelolaan keanekaragaman hayati nasional sedangkan skenario "mutiara yang hilang" merupakan kondisi terburuk yang mungkin terjadi. Kemungkinan-kemungkinan tersebut ditentukan oleh interaksi dari perilaku masyarakat dan peran pemerintah dalam mengendalikan situasi kritis yang dibawakan oleh ketidakpastian kritis yang meliputi : (1) kebijakan pemerintah yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup, (2) desentralisasi pemerintahan yang tidak disertai kepastian hubungan antara otoritas kepemimpinan daerah dengan sumberdaya daerah, (3) regionalisasi dan globalisasi perdagangan yang menguntungkan negara maju serta memaksa negara berkembang meningkatkan eksploitasi sumberdaya alamnya, (4) peneyelesaian krisis yang tidak sejalan dengan upaya pelestarian keanekaragaman hayati, (5) manfaat keanekaragaman hayati dan pemeliharaan lingkungan hidup tidak dinikmati oleh penduduk lokal maupun masyarakat luas. Kondisi yang tengah berlangsung, sepuluh tahun setelah Pemerintah Indonesia menandatangani CBD, masihlah jauh dari masa dimana sang kasuari mulai bisa menebar benih. Kondisi keanekaragaman hayati nasional terus memburuk karena kerusakan yang terjadi justru meningkat dengan pesat. Laju deforestasi, misalnya, meningkat tajam. Bank Dunia menengarai bahwa antara 1985-1997 hampir 20 juta hektar hutan rusak dan laju kerusakan tahunan mencapai 1,6 juta hektar hutan (World Bank, 2001b) . Berdasar laju ini dapat diestimasikan bahwa Pulau Sumatera akan kehilangan hampir semua luasan hutan dataran rendahnya setelah tahun 2005 sedangkan Kalimantan diramalkan akan mengalami hal yang sama pada tahun 2010. Hanya saja, banyak yang menilai bahwa kondisi yang berlangsung sebenarnya jauh lebih buruk dibanding estimasi Bank Dunia karena laju deforestasi diperkirakan telah meningkat menjadi hampir 1,8 juta hektar/tahun (Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch, 2001). World Resources Institute memperkirakan bahwa 54 persen dari sisa frotier forest yang dimiliki Indonesia berada dalam status terancam. Indonesia sendiri telah kehilangan 72 persen dari luas total frontier forest-nya sehingga digolongkan ke dalam kelompok negara yang tidak punya banyak waktu (not much time) untuk memperbaiki pengelolaan frontier forest-nya dimana luas frontier forest akan terus berkurang jika tidak ada perubahan kebijakan dan pola pengelolaan (Bryant, Nielsen dan Tangley, 1997). Ini tidak bisa dilepaskan dari makin maraknya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tiap tahaun di Indonesia. Kebakaran tahun 1997-1998 telah menghanguskan kawasan dengan luas tidak kurang dari 9.756.000 hektar di lima pulau utama Indonesia. Kebakaran ini paling tidak telah merusak kawasan hutan dataran rendah seluas 3,1 juta hektar dan hutan rawa gambut seluas 1,45 juta hektar, khususnya di Kalimantan dan Sumatera (Bappenas dalam Barber dan Schweithelm, 2000). Kebakaran ini bisa dikatakan lebih buruk dibandingkan dengan kebakaran besar yang terjadi di kalimantan timur pada tahaun 1982-1983 yang menghanguskan kawasan hutan seluas 2,7 juta hektar. Kawasan pesisir dan lautan juga masih dalam tekanan yang berat. Terumbu karang, misalnya, masih berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan.. Penelitian yang dilakukan melalui proyek COREMAP tahun 2000 menunjukkan bahwa hanya 6,10 persen terumbu karang Indonesia yang bisa dikategorikan memuaskan atau sangat baik sedangkan 39,76 persen ada dalam kondisi buruk atau telah mengalami kerusakan yang parah. Walaupun proporsi dari terumbu karang yang rusak parah tersebut menurun jika dibandingkan dengan data yang didapat dari penelitian sebelumnya (42,59 persen pada tahun 1995), namun proporsi terumbu karang yang ada dalam kondisi memuaskan juga turun dari angka sebelumnya yang mencapai 6,48 persen pada tahun 1995. Interaksi yang terjadi antara kebijakan pemerintah dan perilaku masyarakat dengan demikian tidak mampu mengelola ketidakpastian kritis dengan baik serta gagal menghindarkan kondisi keanekaragaman hayati dari situasi kritis. Besarnya tuntutan daerah untuk melepaskan diri dari intervensi pemerintah pusat tidak didukung oleh kapasitas daerah yang memadai dalam mengelola sumberdayanya. Pemerintah juga sangat lamban dalam menyelesaikan berbagai prasyarat pengelolaan sumberdaya alam secara lestari serta tidak amampu memberikan kepastian usaha dan menyelesaikan konflik sedangkan manfaat dari pengelolaan sumberdaya alam tidak dapat dinikmati oleh masyarakat. Ini semua lebih mengarah pada skenario "enceng gondok menggulma" yang dicirikan oleh reformasi setengah hati dan maraknya konflik terbuka. Pijakan bagi terbentuknya suatu tata pemerintahan yang baik dalam pengelolaan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati (good environmental governance), seperti yang disyaratkan oleh BAPI 1993 bagi pencapaian sasaran dan tujuan pengelolaan lestari keanekaragaman hayati, belum dapat diwujudkan. Tata pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkatan dan mencakup proses, mekanisme, dan lembaga-lembaga dalam masyarakat. Tata pemerintahan yang baik adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani dan sektor swasta yang mempunyai ciri-ciri (1) inklusif (mengikutsertakan semua) (2) transparan dan bertanggung jawab (3) efektif dan adil (4) menjamin supremasi hukum (5) menjamin penetapan prioritas berdasar konsesus (6) mengakomodasikan kepentingan kelompok yang paling lemah dalam pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumberdaya pembangunan. Tata pemerintahan ini bersifat cepat tanggap, efektif dan efisien, setara serta bertanggung jawab dan bertanggung gugat. Desentralisasi yang tengah berlangsung belum mampu menunjukkan karakter tata pemerintahan tersebut. Desentralisasi merupakan tonggak utama dari reformasi tata pemerintahan di Indonesia paska Orde Baru sebagai antitese dari sentralisme yang mendominasi proses pembangunan selama ini. Penyerahan sebagian besar kewenangan pengambilan keputusan, pengelolaan keuangan dan pengurusan pemerintahan ke tingkat kabupaten dan kota serta penghapusan hubungan hirarkis propinsi dengan pemerintahan kabupaten/kota sebenarnya bisa membuka peluang bagi peningkatan luaran sumberdaya (penggunaan sumberdaya lebih efisien dan lestari) dan perbaikan tata pemerintahan (tercapainya konsensus, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan serta pertangunggugatan yang lebih besar dalam pengurusan pemerintahan) jika disertai dengan penyesuaian kelembagaan yang substansial (World Bank, 2001b). Jika tidak dibarengi hal itu, unit-unit otonom lokal yang baru terberdayakan dengan kapasitas teknis yang terbatas tersebut justru bisa memperburuk kerusakan sumber hayati yang terjadi. Terlebih ketika keanekaragaman hayati ditempatkan sebagai sumber tambahan pendapatan dan penerimaan daerah (World Bank, 2001b). Kecenderungan terakhir inilah yang marak dalam pengelolaan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati pada masa desentralisasi. Alih-alih mempercepat penyelesaian konflik, pengelolaan yang berlangsung justru membuka konflik-konflik baru baik yang bersifat vertikal maupun horizontal (Fakultas Kehutanan IPB, 2002). Desentralisasi ternyata juga belum bisa meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan sumberdaya dan bahkan justru menciptakan ekonomi biaya tinggi karena meningkatnya beban biaya transaksi yang diterapkan pada sumberdaya melalui berbagai pungutan dan retribusi (Fakultas Kehutanan IPB, 2002). Tabel 2 menunjukkan inefisiensi serta permasalahan dalam pengusahaan hutan di enam propinsi setelah desentralisasi Tabel 2. Permasalahan Pengusahaan Hutan di Daerah (Okt 2001) Permasalahan Propinsi Riau Jateng Kalsel Kaltim Sulteng Papua Ket. Pungutan Ekstra1) X : ringanXX : berat 1. Propinsi X - - X X X 2. Kabupaten X X - X X XX 3. Kecamatan - - - - X - 4. Masyarakat Lokal X - X X X XX Tumpang Tindih Lahan (HPH-IPHH) X - - X - - Duplikasi Pengurusan X XX X X - - Tambahan Pos Retribusi HH X X X X X X Sumber : Depperindag-Sucofindo dalam Fakultas Kehutanan IPB (2002) 1). Terdapat dasar hukum (perda) Buramnya potret kondisi dan pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia saat ini tidak bisa dilepaskan dari tidak diwujudkannya sistem pendukung bagi pengelolaan lestari keanekaragaman hayati dalam BAPI 1993. Sepuluh tahun sejak kelestarian keanekaragaman hayati mulai mendapatkan tempat dalam kebijakan pembangunan, sistem yang memungkinkan terwujudnya tata pemerintahan yang baik dalam pengelolaan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati (good environmental governance) belum dapat diwujudkan bahkan ketika gelombang pasang transisi demokrasi dan reformasi politik tengah melanda Indonesia. Fakta inilah yang kemudian menjadi tantangan bagi IBSAP untuk merevitalisasi pengarusutamaan pengelolaan lestari keanekaragaman hayati dalam kebijakan pembangunan dengan tatanan politik, pemerintahan dan kelembagaan yang berbeda. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah memberikan arah bagi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang dibutuhkan Indonesia. Ketetapan MPR tersebut menekankan pentingnya penyelesaian dan antisipasi konflik pengelolaan sumberdaya alam, sinkronisasi kebijakan antar sektor, pemulihan ekosistem yang rusak akibat eksploitasi, identifikasi dan inventarisasi kuantitas dan kualitas sumberdaya, perluasan akses informasi pada masyarakat dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial dalam penggunaan teknologi, serta optimalisasi pemanfaatan sumberdaya melalui penciptaan nilai tambah bagi masyarakat. Suatu tantangan bagi IBSAP untuk merumuskan langkah yang dibutuhkan dalam menerjemahkan arah kebijakan tersebut, khususnya untuk mendayagunakan desentralisasi bagi penciptaan landasan terwujudnya tata pemerintahan yang baik dalam pengelolaan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati nasional. Bersambung kebag. 5/8 From pdiperjuangan@polarhome.com Tue Aug 20 23:36:34 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (akang) Date: Tue Aug 20 22:36:34 2002 Subject: [pdiperjuangan] Pembongkaran situs Prasasti Batutulis, Bogor Message-ID: <3D6283AD.3B7D7B15@yahoo.com> Rekan-rekan Milis Nasional Yth., Rupanya perang Media dalam rangka mempersiapkan Pemilu 2004 sudah dimulai, dengan mudahnya seorang menteri menjual nama President, menjual nama Ketua PDIPerjuangan, menjual nama Megawati. Salam akang Liputan6.com, Jakarta: Pembongkaran situs Prasasti Batutulis, Bogor, Jawa Barat, mengundang polemik di masyarakat. Presiden Megawati Sukarnoputri membantah pernah memberi izin kepada Menteri Agama Said Agil Husein Al Munawar untuk membongkar Prasasti Batutulis. Bantahan itu disampaikan melalui Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung, seusai Rapat Pimpinan PDI-P yang dipimpin Megawati di Lentengagung, Jakarta Selatan, Selasa (20/8) siang. Pramono menegaskan, Megawati betul-betul tidak pernah mengizinkan atau memberikan kesempatan kepada siapa pun, untuk menggali prasasti tadi. Apalagi, penggalian itu dikait-kaitkan untuk membayar utang luar negeri Indonesia. "Ini betul-betul irasional. Dalam konteks ini, beliau (Megawati) meminta saya untuk menjelaskan kepada masyarakat bahwa Presiden betul-betul tidak mengetahui dan juga tidak mengizinkan cara-cara atau tindakan-tindakan seperti itu," jelas Pramono. Menurut Pramono, Megawati juga sudah lama tinggal di lingkungan Batutulis. Bila memang berniat menggali, tentunya akan dilakukan dari dulu, ketika keluarga Sukarno dalam kondisi susah. "Beliau menyatakan Batutulis sudah seperti rumah sendiri," kata Pramono, mengutip perkataan Megawati. Dari Medan, Sumatra Utara, dilaporkan Menag meminta maaf kepada masyarakat Indonesia atas penggalian situs sejarah Batutulis. Namun, Said tetap yakin tentang kebenaran peninggalan harta karun di peninggalan Kerajaan Padjadjaran tersebut. "Itu sesuai petunjuk para ustad dan bukan dari paranormal seperti dituduhkan sejumlah kalangan," kata Said. Penggalian situs itu juga bersih dari muatan politis maupun maksud lainnya. Saat ini, menurut dia, penanganan harta karun telah diambil alih Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata I Gde Ardhika. Pada kesempatan ini Said menegaskan, pihaknya tak berniat sedikit pun merusak nilai sejarah. Namun, justru ingin mendalami keberadaan informasi tentang harta karun tersebut. "Saya tidak melakukan perusakan. Sebagai manusia, kalau dianggap kurang koordinasi, saya minta maaf," kata Said. Menag menambahkan, masalah ini telah disampaikan secara langsung kepada Presiden Megawati. Berkaitan dengan penggalian situs tersebut, Majelis Ulama Indonesia secara khusus menggelar rapat pimpinan di Sekretariat MUI di kawasan Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, tadi siang. Hasilnya, MUI meminta pemerintah segera menghentikan aktivitas penggalian harta karun di kawasan Batutulis. MUI juga meminta masyarakat menghentikan polemik tentang harta karun tersebut untuk menghindari kesalahan informasi. Rapat dihadiri sejumlah ketua MUI seperti Umar Shihab, Zakiah Drajat, Huzaimah, dan Hamidan. Sekretaris MUI Dien Syamsuddin mengatakan, polemik penggalian itu dikhawatirkan akan memicu berbagai penafsiran yang akan merembes ke berbagai persoalan lain, seperti polemik soal rasional dan irasional. Dien menyebutkan, Ketua Umum MUI Kiai Haji Sahal Mahfuds telah menyampaikan tabbayun atau klarifikasi kepada pemerintah melalui Menag Said tentang masalah tersebut. Namun, Dien tak merinci isi tabbayun tadi [baca: Tindakan Menag Menggali Batutulis Dianggap Syirik]. Di tempat terpisah, Menneg Kebudayaan dan Pariwisata I Gde Ardhika mengakui, proses penggalian Prasasti Batutulis diambil alih Kantor Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Tujuannya, untuk lebih memudahkan koordinasi. Selain itu, kebijakan ini juga tak lain untuk mempertahankan dan menata ulang situs tersebut. Gde Ardhika mengatakan, penataan ulang dianggap penting untuk mencari data yang lebih lengkap mengenai catatan sejarah Prasasti Batutulis [baca: Tim Khusus Penggalian di Batutulis Segera Dibentuk]. Kepala Polri Jenderal Polisi Da`i Bachtiar juga membenarkan penggalian situs telah diambil alih Kantor Menneg Kebudayaan dan Pariwisata. Sementara, Polri akan mempelajari laporan Kepolisian Daerah Jabar mengenai pelanggaran hukum penggalian tersebut. Kapolri mengatakan, tak tertutup kemungkinan Menag akan dipanggil untuk dimintai keterangan. Sementara itu, berbagai elemen masyarakat Sunda serta legiun veteran di Jabar, mengecam tindakan penggalian Situs Batutulis Bogor yang dipimpin Menag. Mereka menilai, tindakan itu melukai hati masyarakat Sunda dan melanggar undang-undang cagar budaya. Elemen masyarakat Jabar yang mengecam itu di antaranya Komite Peduli Jabar, Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jabar, seniman, budayawan, pakar hukum, serta tokoh masyarakat Sunda lainnya. Mereka secara khusus membahas penggalian itu di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan, Bandung, Jabar. Pertemuan tersebut menyimpulkan sejumlah poin tuntutan warga Jabar. Di antaranya, mendesak pemerintah menghentikan penggalian dan Said Agil sebagai Menag harus meminta maaf kepada masyarakat Jabar. Sebab, langkah Menag dianggap melukai umat Islam pada umumnya dan warga Jabar khususnya karena situs tersebut adalah aset dan kebanggaan warga Jabar. Mereka juga meminta klarifikasi seputar langkah yang diambil Menag. Menag juga dinilai telah melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 Pasal 26 dan 10 tentang Cagar Budaya yang menyebutkan peninggalan sejarah harus dirawat dan dilestarikan.(DEN/Tim Liputan 6 SCTV) From pdiperjuangan@polarhome.com Thu Aug 22 07:12:04 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (Olga nebo Sylvie Gondokusumo) Date: Thu Aug 22 06:12:04 2002 Subject: [pdiperjuangan] Class struggle: Pakars vs Kusirs Message-ID: <005701c24990$29406700$bc6214d4@olgasylvie> Sungguhlah menyenangkan ketika dalam kegalauan selama menanggulangi akibat banjir di Eropa Tengah kini ujug-ujug dunia maya made-in RI sempat mencuatkan sebuah penemuan ilmu kemasyarakatan yang brand new: munculnya klas pakar yang sedang memeras keringat, tentu sambil menikmati capuchino atau mungkin bir Aussie disejumlah café serta pub, untuk mencerahkan mayoritas penduduk, yang kebanyakan berpendidikan dasar dan menengah, namun koq ya terus menerus bermental dan berkapasitas kusir. Mentally retarded? Kita lebih baik "lari" dari Marx, karena klas disini dimaksudkan sekedar sebagai kelompokan, jadi bukan dengan kriteria pemilikan serta penggunaan alat produksi. Tunggu dulu, Bung! Bukankah para pakar yg ber PhD-PhD itu menguasai knowhow, iptek juga dalam bidang humanoria. Dan ini juga sangat adidaya untuk penguasaan secara menyeluruh pada klas cap kusir yang terkadang SD pun tidak rampung? Nah, ketika sang Begawan sampai muak, mual dan amit-amit semoga tidak sampai muntah, walau tidak bermaksud vulgar, mulai dengan pencerahan bhw sebuah litbang koq sampai berani bersilang pendapat dengan seorang PAKAR dari negeri diatas angin, yang cukup panjang musim-musim dinginnya (winters), maka bergulirlah penemuan tentang l´exploitation des kusirs par des pakars itu. Padahal ´kan PhD-PhD itu terutama diprodusir di negeri-negeri Anglo-Saxon, yang sangat kebetulan, hanya betul-betul kebetulan lho, juga main suppliers bagi militer kita. WOW, militer! Militarisme? Militer? (Supply and demand of soft-knowhow and military hardware, WAH!) Mikirin tentang pertentangan klas yang aktual itu, maka mungkin ada yang ingat dengan Herbert Marcus dengan ulasannya di tahun 60an tentang MANIPULASI. Disegala bidang. Nah, ini yg terkini: the manipulators dan the manipulated. Klas-klas lagi! Yang sanggup memanipulasi mayoritas penduduk (atau rakyat, supaya kedengaran "progresif") tentu saja mereka yg punya DANA, untuk dapat membeli know-how, ter-masuk "know-howers" untuk dimanfaatkan bagi penguasaan the ruled, and unruly majority oleh the ruling few. Ketakberdayaan klas kusir itu semakin lama semakin eksplisit sekaitan dengan globalisasi mondial karena klas pakar semakin canggih menguasai serta menggunakan KATA, yang menurut Václav Havel, intelektual yang sudah 9 tahun nangkring di kursi presiden Rep. Ceko itu, sanggup diubah menjadi kekuatan yang maha nggegirisi, baik dalam pengertian positif, maupun negatif, terserah sudut pandangnya. Kendati begitu, tak ada yang lain yang dapat kita serukan kepada klas kusir yang malang itu, selain parafrase teriakan usang: KAUM KUSIR SEDUNIA, BERSATULAH !!! ANDA SEMUA HANYA DAPAT KEHILANGAN MENTAL KUSIR ANDA SEMATA !!! Semoga setelah membaca ini para pakar dan kusir tidak usah sakit hati berulam jantung. Wassalam, Bismo DG From pdiperjuangan@polarhome.com Mon Aug 26 01:00:57 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (pdiperjuangan@polarhome.com) Date: Mon Aug 26 00:00:57 2002 Subject: [pdiperjuangan] The Nasional-a 2002-August Archive by Date Message-ID: <3D6951BB.F95F9928@brd.de> Dies ist eine mehrteilige Nachricht im MIME-Format. --------------8CA1BFEDBE5A2BA981633471 Content-Type: text/plain; charset=us-ascii Content-Transfer-Encoding: 7bit http://redhat.polarhome.com/pipermail/nasional-a/2002-August/date.html --------------8CA1BFEDBE5A2BA981633471 Content-Type: text/html; charset=us-ascii; name="date.html" Content-Transfer-Encoding: 7bit Content-Disposition: inline; filename="date.html" Content-Base: "http://redhat.polarhome.com/pipermail/ nasional-a/2002-August/date.html" Content-Location: "http://redhat.polarhome.com/pipermail/ nasional-a/2002-August/date.html" The Nasional-a 2002-August Archive by Date

2002-August Archives by Date

Starting: Sat Aug 3 00:00:02 2002
Ending: Sat Aug 24 00:01:50 2002
Messages: 21

Last message date: Sat Aug 24 00:01:50 2002
Archived on: Fri Aug 23 23:01:50 2002


This archive was generated by Pipermail 0.05 (Mailman edition). --------------8CA1BFEDBE5A2BA981633471-- From pdiperjuangan@polarhome.com Wed Aug 28 02:00:33 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (akang) Date: Wed Aug 28 01:00:33 2002 Subject: [pdiperjuangan] [Nasional] Mau ke mana Arief Budiman? Message-ID: <3D6BFF47.40D24D76@yahoo.com> ----------------------------------------------------------------------- Mailing List "NASIONAL" Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. ----------------------------------------------------------------------- http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-m ----------------------------------------------------------------------- Tanggapan kritis dari jaringan surat elektronik Mau ke mana Arief Budiman? Catatan: A Supardi Adiwidjaya *) Penulis memperdalam catatan mengenai tanggapan kritis atas pendapat Arief Budiman ini, dus saya pribadi, menyadari bahwa menurut para pendukungnya, nama Arief Budiman adalah sebuah nama besar dan beken, serta katanya, dia telah banyak jasanya untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini, saya tidak bisa memberikan bantahan apapun. Dari riwayat hidupnya, dia tidak pernah absen dalam serangkaian demonstrasi tahun 1965/1966, dus termasuk orang yang punya andil bagi tegaknya Orde Baru. Namun, kemudian kelihatannya berbalik, sebab pada tahun 1970 dia terlibat dalam demonstrasi anti korupsi dan setahun kemudian (1971), bersama kawan-kawan ia memboikot Pemilu dengan melancarkan gerakan Golput. Keikutsertaannya menentang proyek Taman Mini Indonesia Indah memberi dia satu bulan dalam tahanan Kopkamtib. Menurut pengakuannya, ia tinggal di luar negeri dua periode. Periode pertama, di Perancis (1972-1973), dilanjutkan kemudian di AS (1973-1981). Periode kedua, di Australia (1997 - sekarang). Menurut koran Tempo, Arief Budiman seperti tak pernah berhenti bersikap kritis terhadap pemerintah. Sosiolog yang kini mengajar di Universitas Melbourne, Australia, ini, sudah sejak masa Soekarno menjadi pengkritis kebijakan. Semasa Soeharto, kabarnya ia mendapat perhatian khusus dari para intelijen karena khawatir pada sepak terjangnya mengkritisi pemerintahan Orde Baru. Demikian pula pada waktu pemerintahan diwariskan pada B.J. Habibie, yang disebutnya sebagai perpanjangan Orde Baru. Saat pemerintahan berganti dan dipimpin koleganya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Arief tak juga berhenti bicara. Pernah, sekali waktu, namanya jadi buah bibir media massa karena kritiknya pada Gus Dur untuk tidak lebih banyak membuat musuh sebagai upaya untuk bisa bertahan. "Gus Dur harus berkoalisi," katanya ketika itu. (Lihat, Tempo, edisi 16 Agustus 2002). Memuakkan Berita terbaru tentang mantan dosen di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, lanjut koran Tempo (16/08/2002) adalah ketika ia menyatakan kritik pedasnya terhadap kepemimpinan Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan yang dianggapnya sebagai partai yang rusak dan kacau. Ia pun dihujani kritik, bahkan makian. Dalam diskusi terbatas di sebuah jaringan surat elektronik, lanjut Tempo, beberapa simpatisan partai berlambang banteng bulat itu bahkan menyebut alumnus Harvard University ini sebagai tidak nasionalis karena terlalu banyak bicara dan mengkritik sambil memilih berada di luar negeri. Apa yang disinyalir koran Tempo tersebut di atas, perlu kiranya diungkap lebih jelas, karena catatan ini memang bermaksud mengungkapkan pendapat kritis atas (baik substansi maupun cara pengutaraan di dalam) beberapa surat, yang dilontarkan oleh Arief Budiman ke publik lewat, antara lain milis . Beberapa netter dari milis ini memberikan tanggapan. Ada yang kontra, ada yang menyambut baik pikiran yang dilontarkan oleh Arief Budiman tersebut. Penulis catatan ini termasuk salah seorang (netter milis ), yang dengan tegas menyatakan ketidak setujuannya atas beberapa pikiran, baik cara pengutaraannya yang terasa sombong dan arogan, maupun substansi permasalahan yang dilontarkan Arief Budiman. Namun, agar tanggapan kritis ini tidak dirasakan terlalu subyektif, maka penulis di sini lebih menonjolkan pengungkapan pendapat kritis dari beberapa netter di milis , yang menurut penilaian penulis perlu disimak. Pertama, saya ingin menyinggung soal kata makian, yang disinyalir koran Tempo (lihat: edisi 16 Agustus 2002). Pernyataan tersebut di atas perlu saya komentari dan saya nilai jelas berat sebelah. Kata memuakkan dari sang professor Arief Budiman (yang dilontarkannya ke publik dalam rangka mengkritisi Kwik Kian Gie) disebut sebagai "kritik pedas". Namun, penggunaan kata yang sama, yakni memuakkan yang dilontarkan kembali oleh salah seorang netter milis atau jaringan surat elektronik (yang nota bene adalah penulis catatan ini), untuk menanggapi isi surat sang professor itu dinilainya sebagai makian yang menjurus pada "penyerangan pribadi". Kedua, dalam menanggapi penyataan Litbang PDI Perjuangan yang disampaikan oleh Kwik Kian Gie dalam sebuah konperensi pers, Arief Budiman menulis: "Saya memang orang yang memulai memakai kata "memuakkan" setelah membaca pernyataan Kwik Kian Gie/Litbang PDI-P. Lengkapnya kalimat saya adalah: "Ini pembelaan Kwik terhadap Megawati. Menurut saya sih cukup memuakkan. Bagaimana pendapat anda? Arief". Selanjutnya Arief mengatakan: "Saya merasa, saya menggunakan kata "memuakkan" tersebut secara cukup sopan, tidak terlalu vulgar." Dia tidak memberikan alasan tentang pelontara kata "memuakkan" dimaksud, karena menurut pengakuannya, ingin memancing tanggapan (surat Arief Budiman tertanggal 19.08.2002). Menanggapi pernyataan Arief Budiman tersebut, salah seorang netter milis Toton Soeharto menulis: "Sebaiknya cara-cara seperti ini ditinggalkan saja, karena didalam kehidupan dunia politik, bisa saja diartikan 'sebagai provokasi ibarat melempar batu ke kepala orang dan pergi begitu saja' ". Sejarah perjuangan rakyat Indonesia, lanjut Toton Soeharto, sudah cukup "penuh dilukai oleh cara-cara seperti ini", yang kadang-kadang provokasinya menjalar menjadi pertumpahan darah yang mengerikan. Lihat saja kejadian G30S, bukankah di dalamnya penuh dengan "memancing pendapat orang (untuk kemudian disikatnya), provokasi, fitnah, desas desus, ghosip, tuduhan, dengki, irihati dan lain sebagainya", yang telah mengambil "korban jiwa jutaan manusia dan korban physik, psychis dan eksistensial dari puluhan juta manusia". Menurut Toton Soeharto, rupanya "memancing tanggapan tersebut" , masih disusulnya dengan surat kedua tertanggal 13.8.2002, yang ditulisnya terburu-buru, karena katanya tidak punya waktu, sebagai berikut: Sebenarnya saya mau menulis panjang, tapi waktunya tidak cukup karena saya sibuk sekali. Sekarangpun saya tidak bisa menjawab secara panjang, tapi saya merasa bertanggung jawab untuk membuat beberapa butir sikap yang menjadi sebab saya anggap statement tersebut "agak memuakkan." Kemudian ditambahkan lagi dengan suratnya tertanggal 16.8.2002: (Sayangnya KKG tidak menyinggung desas-desus yang kuat yang mengatakan mungkin ada kerjasama bisnis antara Sutiyoso dan Taufik Kiemas, suami Ibu Presiden.) Bertolak dari kedua kutipan tersebut, lanjut Toton Soeharto, apakah ini bisa diartikan, bahwa bagi sdr. Arief Budiman semua ini hanyalah bagaikan "soal sampingan di celah-celah pekerjaannya yang sangat sibuk"? Sadarkah, bahwa "pilihan kata-kata dan kalimatnya" dan pengambilan "sumber informasinya yang hanya berlevel desas desus", sesungguhnya berada "dibawah level normal standard" dan telah pula "melukai banyak orang, baik yang diserangnya maupun pembaca-pembaca lainnya". "Apakah kurang dipahaminya, bahwa permasalahannya adalah 'sangat serius dan berkharakter nasional' dan bukan 'permasalahan yang cukup ditanggapinya secara sampingan', karena di dalamnya terlibat Litbang PDI-P (Partai yang dipilih oleh puluhan juta rakyat Indonesia), Drs. Kwik Kian Gie, baik sebagai orang dalam Litbang maupun, mau tidak mau adalah juga Menteri dan Kepala Bappenas Pemerintahan Republik Indonesia dan last but not least, didalamnya tersangkut juga Ibu Megawati Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia?", tegas Toton Soeharto. Dengan sigapnya, secara maraton, Arief Budiman melancarkan kritik bombastisnya, terutama ditujukan kepada orang yang disebutnya pejabat publik, yakni Presiden Megawati Soekarnoputri. Dalam konteks ini, perlu saya sitir kembali secara lengkap apa yang dikemukakan oleh Arief Budiman di dalam suratnya (tertanggal 19 Agustus 2002) butir ke-7, sebagai berikut: "Kalau soal Sutiyoso dan Mega, saya cukup mau berdiskusi. Mereka 'kan pejabat publik, karena itu mereka perlu terus menerus dinilai. Apa yang mereka lakukan punya dampak kepada publik. Kalau soal Mega sebagai pribadi, itu bukan urusan saya, dan saya tidak tertarik mengurusinya. Soal Sutiyoso, saya baru saja mendapat informasi yang mengatakan: "Bung Arief, ini sekedar info, apakah anda sudah mendapatkan atau belum alasan Mega mendukung Sutiyoso, karena jaminan soal ijin membuat kasino di Pulau Seribu, dan beberapa pengamanan aset-aset bisnis Taufik yang baru dalam rangka baik pemilu mendatang, maupun "uang pensiun" keluarga Taufik Kiemas yang lain." (kutipan dari surat yang saya terima) Saya tidak langsung percaya, tapi ini penting kita perhatikan. Sekali lagi bukan karena saya punya sentimen dengan Sutiyoso atau Taufik Kiemas secara pribadi. Tapi dia 'kan pejabat publik. TK adalah suami presiden kita dan bahkan dipersangkakan bahwa hubungan bisnis inilah yang menjelaskan dukungan Mega terhadap Sutiyoso. Nah, kalau soal ini mungkin ini merupakan urusan kita semua. Kita semua punya kepentingan untuk menyelidiki berita ini". (kutipan selesai) Dalam menanggapi "kritik" Arief Budiman tersebut di atas, Fuadi Samalo (seorang netter jaringan surat elektronik) menulis: "Coba bayangkan apa yang Anda pernah lakukan? Anda berkunjung ke Indonesia, ikut jingkrak-jingkrak di tengah-tengah orang yang berdemonstrasi, terus pergi ke rumah Mega di Kebagusan. Oleh Satpam ditolak menemui Mega karena Mega ada di kamar tidur. Terus Anda marah-marah, memaki-maki Mega sebagai pemimpin brengsek, karena negara dalam keadaan sulit kok Mega tidur di siang hari bolong dan tidak mau menerima Anda dan kawan-kawan. Lho sejak kapan Mega menjadi kawan dan bahkan pemimpin Anda ? Mega ketika itu hanya seorang Ketua Umum PDI-P yang selalu Anda hina sebagai partainya orang-orang bodoh dan dungu." Sehubungan dengan isu yang dilontarkan oleh Arief Budiman di atas, perlu saya berikan catatan bahwa hal yang "baru merupakan info" perlu dikaji atau diselidiki kebenarannya dengan baik, sehingga bukan sekedar rumor. Masalahnya, di media cetak dan elektronik, dus lebih-lebih di "dunia maya" internet, cukup sering mencuat: info sejenis dan rumor sudah dianggap sebagai "bukti nyata". Dan apa yang diuraikan oleh Arief Budiman tersebut bisa dinilai, bahwa begitulah caranya (yang memang canggih) dia melontarkan isu ke publik yang tujuan utamanya mendiskreditir Presiden Megawati Soekarnoputri yang nota bene adalah Ketua Umum DPP PDI Perjuangan. Itulah sebabnya saya anjurkan kepada semuanya silahkan memberikan kritik yang proporsional. Tentang "kritik yang proporsional" pun terdapat berbagai pendapat ataupun interpretasi (oleh) masing-masing orang. Saya pribadi berpendapat, PDI Perjuangan di bawah pimpinan Megawati (lepas dari segala kelemahan-kelemahannya) saya golongkan sebagai kekuatan proreformasi. Oleh karena itu, "kritik" yang dilontarkan kepada kekuatan tersebut seyogyanya didasari oleh titik pijak (yang menurut sdr. Prihandono dikemukakan/ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tetraloginya) "bertindaklah adil sejak dari pikiran". Dari apa yang diuraikan oleh Arief Budiman di atas, bisa dinilai bahwa dia tidak "bertindak adil sejak dari pikiran" terhadap Presiden Megawati. Dalam konteks ini, bagi mereka yang kritis (atas pernyataan Arief Budiman tersebut) menimbulkan pertanyaan: Mengapa? Ada apa di balik kritik bombastis yang dilontarkan Arief Budiman ke publik? Mau ke mana Arief Budiman? Ada apa di balik komoditas ide federal yang dijajakan Arief Budiman? Setelah melayangkan surat yang ke publik lewat jaringan internet, lewat telepon Arief Budiman memberikan wawancara kepada wartawan Koran Tempo (edisi 16 Agustus 2002), yang diberi judul "Nasionalisme Rentan Terhadap Manipulasi". Dalam interview tersebut, lagi-lagi Arief Budiman mengarahkan "ujung tombak" "kritik"nya kepada Presiden Megawati Soekarnoputri. Hal itu sah-sah saja dalam kehidupan demokrasi. Namun, terus terang, sekali lagi penulis catatan ini tidak bisa menyembunyikan suatu kecurigaan dan mempertanyakan: Ada apa di balik pelontaran kritik yang begitu sistematis dan bombastis, terutama terhadap Presiden Megawati Soekaroputri itu, meskipun dengan alasan bahwa beliau seorang pejabat publik yang perlu terus menerus dinilai? Tentu tidak mudah mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang mengandung kecurigaan tersebut. Namun ada suatu ide yang diperdagangkan oleh Arief Budiman, yang sedikit banyak bisa menjadi bahan untuk mencari benang merah yang menghubungkan kritik-kritik bombastisnya dengan maksud di baliknya. Dalam wawancaranya dengan Tempo (16/08/2002), Arief Budiman menyatakan: "Megawati, dalam hal otonomi daerah dan negara federasi, itu menunjukkan memang kapasitas intelektual dia terbatas sekali. Sehingga dia hanya mewariskan bahwa negara Indonesia itu Bung Karno dan negara kesatuan. Lalu dia tidak bisa terjemahkan secara sophisticated sehingga dia menganggap otonomi daerah akan memperkecil volume atau kualitas negara kesatuan. Kalau menurut saya itu saja dasarnya. Saya kira Megawati tidak punya dasar yang lebih canggih daripada itu. Bagi dia hanya ada negara kesatuan, tidak boleh ada otonomi daerah, apalagi negara federal. Kalau dengar negara federal dianggap sudah berkhianat. Dan disinilah kesesuaiannya dengan kepentingan TNI. Kalau militer kan alasannya mereka sudah banyak berkorban dengan prajurit yang tewas mempertahankan negara kesatuan. Lalu kenapa dipecah-pecah lagi. Dulu memang mereka menolak negara federal pada zaman Republik Indonesia Serikat (RIS). Tetapi itu dulu kan yang dipakai oleh Belanda untuk pemecah belah. Nah, sekarang yang buat kita sendiri. Belandanya juga tidak ada lagi. Dalam hal ini militer dan Megawati setara lah. Dua-duanya punya mitos-mitos yang tidak bisa ditawar tanpa penjelasan yang baik". Menanggapi pernyataan Arief Budiman (yakni, "Megawati, dalam hal otonomi daerah dan negara federasi, itu menunjukkan memang kapasitas intelektual dia terbatas sekali"), saya merasa perlu memberikan pendapat: Betapa sombong dan arogannya orang yang menjadi Guru Besar di Universitas Melbourne ini! Secara langsung atau tidak langsung dia menyombongkan dirinya sebagai orang memiliki kapasitas intelektual yang "tidak terbatas sekali". Sungguh sangat tendensius dan merupakan suatu kesombongan yang luar biasa! Membaca pernyataan saya di atas, kemungkinan besar, Arief Budiman akan kembali melontarkan pendapat, yang pernah dilontarkannya dalam suratnya: "Tapi yang jelas bahwa surat itu (baca: pendapat saya tersebut di atas) sudah tidak lagi mempersoalkan materi dari persoalan yang saya angkat. Jadi memang tidak akan saya layani". Sehubungan dengan ini, pertanyaan saya, apakah penilaiannya terhadap Megawati sebagai "orang yang memiliki kapatasitas intelektual yang terbatas sekali" (meskipun "hanya" dikaitkan dengan penjelasan "dalam hal otonomi daerah dan federasi") tidak perlu ditanggapi? Mempelajari isi beberapa surat dan wawancaranya di Tempo (16/08/2002) timbul kesan yang cukup kuat dalam pikiran saya, yang menyebabkan saya pribadi melihat dan menuduh sosok orang kondang bernama Arief Budiman, kelihatannya sebagai sosok "seorang serba muka". Menurut pengamatan saya, kritik-kritik tajam yang terasa bak hujatan yang begitu kasar dan bombasits, yang saat ini sedang giat-giatnya diarahkan terutama kepada Presiden Megawati Soekarnoputri, besar kemungkinannya, pertama hanyalah untuk membelokkan atau mengalihkan perhatian orang akan maksud tersembunyinya yang sedang diperjuangkannya untuk jangka panjang; kedua, Megawati (yang jelas konsekuen pendiriannya untuk tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke) adalah merupakan lawan politik yang perlu dilawan dan dikalahkan, dengan cara mendiskreditir Megawati, antara lain, dengan melakukan segala cara untuk bisa mengadu domba jajaran PDI Perjuangan yang tidak puas atas kebijakan yang diambil oleh DPP PDI Perjuangan (yang nota bene Megawati sebagai Ketua Umum), misalnya dalam hal dukungan Megawati atas pencalonan Sutiyoso sebagai gubernur DKI Jakarta. Saya mensinyalir ada ide atau gagasan (yang dilontarkan oleh Arief Budiman) yang mempunyai jangkauan tujuan yang jauh ke depan, yakni memperjuangkan ide tentang pembentukan negara federasi Indonesia, (yang tahap pertamanya, tergantung situasi dan kondisinya) bisa masih termasuk negara-negara bagian: Aceh (NAD), Republik Papua Barat, dan Republik Maluku Selatan. Atau jika situasi dan kondisinya dianggap matang, maka "ketiga negara bagian tersebut" bisa langsung memisahkan diri dari apa yang disebut "Negara Federasi Republik Indonesia" ("NFRI") atau "Republik Indonesia Serikat" ("RIS") Dalam kaitan ide negara federal, baik kiranya di sini saya kemukakan tanggapan dari sdri Lenny, juga seorang netter jaringan surat elektronik atas surat Arief Budiman, yang dilontarkannya ke jaringan surat elektronik tersebut. Menurut Lenny, Arief Budiman sepertinya telah meramalkan bahwa Indonesia akan "bercerai-berai". Berdasarkan ucapan-ucapan yang dilontarkan Arief Budiman kepada publik, bahwa setelah Timor Timur memisahkan diri dari RI, sepertinya dia meyakini hal itu akan disusul dengan Aceh, Kalimantan, Irian Jaya. Sehubungan dengan itu, Lenny menulis: "Saya yakin bapak mempunyai alasan yang kuat untuk 'mengharapkan' semua ini terjadi. Namun sebagai seorang yang merasa cinta 'tanah air' sebaiknya bapak melupakan 'ramalan' dan angan-angan bapak ini dan mulai memikirkan bagaimana memperbaiki keadaan ekonomi di Indonesia. Karena kalau hanya pandai berpolitik saja tidak cukup di negera kita ini di mana penduduknya sebagian besar tidak berpendidikan setinggi dan semujur Bapak". Dan sungguh menarik apa yang ditulis oleh sdri Lenny tersebut sebagai berikut: "Saya pribadi dapat memahami 'hutang budi' Pak Arief yang sudah mendapatkan 'bantuan' dari Universitas Melbourne. Dan hal ini layak-layak saja sesuai dengan kata "teman-teman" Bapak "Mana sih ada anjing yang tak ('berhutang budi') membela tuannya". Namun yang saya sesalkan adalah dalam beberapa kesempatan diskusi 'Internasional' mengenai keadaan politik di Indonesia, ulasan (topik yang dipilih) Pak Arief yang guru besar ini memberikan kesan sepertinya Pak Arief ini hanya penonton di luar gelanggang yang maunya hanya mengeritik. Yang lebih mengecewakan lagi adalah bahwa kritikannya itu sifatnya tidak konstruktif sama sekali". Saya sengaja menghindari pemakaian kata "memuakkan", lanjut sdri Lenny, karena rasanya kata tersebut kurang pantas untuk 'disandingkan' dengan atribut pak Arief yang guru besar itu. Dan juga kata 'memuakkan' memberikan kesan sepertinya ada dendam kesumbat dalam diri saya terhadap orang yang sedang saya kritik. Sebagai orang timur saya ingin selalu menghargai adat ketimuran. "Sekarang kembali kepada topik yang dipilih oleh Pak Arief di salah satu seminar mengenai Indonesia beberapa tahun yang lalu di Universitas Melbourne: "Indonesia is in crisis. Has the end of the tunnel been seen yet?" Kesan saya atas topik ini adalah sepertinya Pak Arief ini hanya penonton (komentator) atau seorang juri yang ingin menilai dengan sinis 'if Indonesia can put an end to this crisis' dan komentar atau kritikan-kritikan Pak Arief sungguh destruktif saya rasakan. Sebagai seorang Indonesia yang kebetulan hadir dalam seminar tersebut, saya mengharapkan sang guru besar untuk mengajak kita semua berpikiran konstruktif agar dapat menelorkan gagasan yang berguna untuk negara tercinta ini", demikian tulis Lenny. MENGENAI wacana atau ide federasi, yang dilontarkan Arief Budiman ke publik, jika terus diperjuangkannya di lapangan nyata di tanah air Indonesia, ujung-ujungnya akan merupakan usaha untuk memecah belah bangsa dan negara Indonesia. (Saya tidak mempersoalkan lepasnya Timor Timur dari RI, karena Timtim ini bukan wilayah bekas jajahan Belanda. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah wilayah bekas jajahan Belanda - yang disebut Hindia Belanda). Dalam catatan ini saya sengaja tidak mendiskusikan hakekat negara federal. Tentu saja, membicarakan dan mendiskusikan diskursus masalah bentuk negara federal sebagai wacana sah-sah saja. Tetapi menurut pendapat saya, memperjuangkan perealisasian bagi terbentuknya negara federal atau negara serikat dalam situasi dan kondisi keterpurukan dalam segala bidang kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini sungguh berbahaya! Secara singkat perlu saya ingatkan, bahwa pemaksaan bagi terbentuknya negara federal di wilayah Nusantara, pertama akan menambah persoalan pelik yang harus diselesaikan; dan kedua, jika perjuangan untuk terbentuknya negara federal dimaksud dilaksanakan di lapangan, maka pertumpahan darah manusia yang pro dan kontra negara federal tidak bisa dihindarkan! Dus, paling tidak masalah pembentukan negara federal itu seyogyanya dibicarakan dan diperbincangkan dalam situasi dan kondisi di mana masyarakat Indonesia sudah keluar dari krisis multidimensi sekarang ini. Dalam kaitan ini, perlu kiranya direnungkan apa yang dikemukakan oleh Dr. Meutia Hatta: "Negara kesatuan perlu dipertahankan. Negara federal bukan merupakan solusi, meskipun merupakan alternatif dari berbagai pilihan. Negara federal bahkan mungkin bisa menumbuhkan persoalan-persoalan baru yang kita tidak perkirakan dan mengancam persatuan nasional. Persoalannya bukan pada pilihan negara kesatuan atau negara federal, tetapi pada pelaksanaan otonomi secara murni, konsekuen, dan bertanggungjawab". (lihat: Media Indonesia, edisi 22 Oktober 1998). Sudah banyak tulisan yang mengungkapkan hakekat bentuk negara kesatuan ataupun negara federal. Lihat misalnya tulisan-tulisan: Dr. Meutiah Hatta - "Negara Kesatuan vs Negara Federal" (Media Indonesia, 8 Oktober 1998); Mursal Esten - Negara Federal: Sebuah Solusi?" (Republika, 8 Oktober 1998); PJ Suwarno - "Negara Kesatuan dan Negara Serikat (Republika 22 September 1998); Prof Dr Jimly Asshiddique - "Federalisme dan negara Kesatuan" (Media Indonesia, edisi 30 September dan 1 oktober 1998); Miftah Thoha - "Otonomi Daerah Seluas-luasnya" (Republika, 21 September 1998); "Kesatuan versus Federasi" - Tajuk Rencana (Media Indonesia, 29 September 1998), dan sebagainya. Penulis cacatatan ini juga pernah melontarkan tulisan berjudul "Ada Apa di Balik Ide Federal" (lihat harian Merdeka, edisi Senin, 14 Desember 1998). Meskipun begitu, dari uraian di atas dan dari pengamatan saya pribadi tentang isi berbagai tulisan mengenai negara federal, dari pengalaman kehidupan pribadi selama lebih dari seperempat abad di salah satu negara yang melaksanakan sistem federal (waktu itu Uni Soviet), dari pengamatan mengenai sistem federasi di Jerman dan di Jugoslavia (dulu, sebelum pecah), maka dengan suatu keyakinan mendalam dan teguh saya berpendapat: Apabila ide federasi berhasil dimenangkan oleh para penjajanya (termasuk Arief Budiman), maka perlahan-lahan dan bahkan boleh diprediksikan dalam waktu relatif singkat, berbagai sukubangsa di Nusantara yang masing-masing berhasil membentuk negara bagian dari apa yang disebut "Republik Indonesia Serikat" akan segera menyatakan dirinya masing-masing sebagai bangsa. Dengan demikian, mudah dibayangkan, bahwa masing-masing negara-negara bagian dapat dengan mudah memisahkan diri (keluar) dari negara uni federasi atau apa yang disebut "Republik Indonesia Serikat"/RIS itu. Dus, negara-negara bagian Aceh, Papua Barat, Maluku Selatan akan segera memisahkan diri dengan mudah tanpa halangan apapun dari "RIS". Kemudian akan diikuti oleh Kaltim, Riau, Bali, Pasundan dan lain-lainnya lagi. Kalau sudah begini, bangsa yang namanya Indonesia akan hanya sebagai kenangan sejarah. Sebab nama Indonesia itu dikekalkan memang sebagai sebuah nama untuk mempersatukan seluruh sukubangsa - BHINEKA TUNGGAL IKA - para penghuni Nusantara. Di belakang ide federal yang dijajakan oleh Arief Budiman, rasa-rasanya kuat sekali adanya kepentingan asing, yang berada di belakang Arief Budiman. Dalam konteks ini, reformasi ala professor Universitas Melbourne (Australia) Arief Budiman naga-naganya bisa diprediksikan, yakni keinginan mereformasi tatanan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia menuju: tahap pertama - pembentukan apa yang dinamakan negara serikat/federal; kemudian terjadilah proses hilangnya nama Indonesia dari permukaan bumi Nusantara. Apakah ide negara federal yang saat ini sedang dijajakan oleh antara lain Prof Arief Budiman adalah bukan kedok untuk ujung-ujungnya menghancurkan bangsa Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia? Kita tunggu saja langkah-langkah konkret apa yang dilakukan oleh Arief Budiman dalam rangka merealisasikan ide tentang pembentukan negara federal. *) Penulis adalah Pengamat Masalah Politik, tinggal di Negeri Belanda. (Berita Merdeka, Selasa, 27 Agustus 2002) ------------------------------------------------------------- Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/ Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html Nasional-a: http://redhat.polarhome.com/pipermail/nasional-a/ Nasional-f:http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-f ------------------Mailing List Nasional---------------------- From pdiperjuangan@polarhome.com Thu Aug 29 01:53:31 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (Olga nebo Sylvie Gondokusumo) Date: Thu Aug 29 00:53:31 2002 Subject: [pdiperjuangan] MEGA dan SUTIYOSO Message-ID: <00c101c24edc$53fdaa60$b26114d4@olgasylvie> Supaya Bpk Prof. Arief Budiman tak jemu menunggu maka inilah jawaban atas pertanyaan strategis beliau, ASAP (as soon as possible): Apakah alasan2 bagi dukungan Presiden MSP untuk Sutiyoso? Tanya Bpk AB. Jawaban saya: ALASAN2 POLITIK! Nah sebagai pengamat politik profesional, sembari "moonlighting" sebagai professional rebel, maka sebetulnya Bapak Profesor lah yang seharusnya memberikan PENCERAHAN kepada kami grassroots yang tanpa PhD. Sebetulnya Pak prof. memang sangat lihai. Karena dari sekitar 10 point konferensi persnya Kwik KG maka AB sigap memilih topik Sutiyoso, yang cukup sensitive dikalangan massa, untuk dijadikan kartu ace. Nilai tambah pemakaian kartu ini ialah harapan AB dan para anggauta FANCLUBnya, yang sbg cheerleaders menjerit-jerit "bodoh" dll kearah mereka yg koq berani-beraninya bersilang pendapat dengan sang nabi penebar wacana buruk tentang NKRI, bahwa amunisi ini dikira akan mempunyai potensi ledakan untuk memecahbelah massa dan jajaran PDIP dbp Mega. Nah! Dalam sikon terkini dimana PDIP menjadi parpol terbesar di DPR dan MPR, serta juga memimpin Kabinet GR, maka kalau ia dapat abruladul maka negeri, bangsa serta negara juga akan makin ambruladul lagi. Dan bagaimana nanti kiranya peranan yang akan dimainkan Aussie, negeri dingo dan koala dengan sejarah colour line rasis yang telah meng approve orba untuk invasi ke Timtim itu? Untuk menjawab ini tentulah kita akan memerlukan sejumlah PhDs lagi, syukur-syukur kalau yang alumni atau malah sedang jadi dosen di Aussie. Todepoin saja! Kepada Bung HEDAR yang mengaku sbg orang kampung saya pesan supaya jangan minder! Kendati kita di RI masih sedang berada pada tingkat t "Pampers Democracy" namun grassroots pun syah syah saja mengkritik para setengah dewa (demi-gods, or semi-evils?) apakah itu yang di University of Melbourne atawa di sebuah padepokan.......... Demikianlah, saya tunggu pencerahannya, tetapi yang scientific lho. Wassalam, Bismo DG From pdiperjuangan@polarhome.com Thu Aug 29 01:54:59 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (Olga nebo Sylvie Gondokusumo) Date: Thu Aug 29 00:54:59 2002 Subject: [pdiperjuangan] Fw: [cari] Fw: Kwik: MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL Message-ID: <00d401c24edd$92e4c3c0$b26114d4@olgasylvie> ----- Original Message ----- From: "Olga nebo Sylvie Gondokusumo" To: Sent: Wednesday, August 28, 2002 11:47 PM Subject: Re: [cari] Fw: Kwik: MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL > Bapak ATJONG yang terhormat, > > Saya sangat kagum akan kehebatan pak Kwik dlm mengupas sejarah ekonomi > Indonesia modern (1945-2002). Dan saya sangat setuju > dengan semangat serta temperamen KKG dlm pidatonya itu, yang berupa > kombinasi analisis jitu dengan penggemblengan massa untuk > mennggugah patriotisme. Karena menang setelah 32 thn bumi hangus oleh > orba itu maka rasa patrotisme kita hampir NOL. > > Tentu saja terserah masing-masing untuk menilai siapa saja, termasuk BK > maupun Soeharto. Namun kini telah banyak sekali bahan dalam > rangka pelurusan sejarah NKRI yang menyingkap segala kebobrokan orba selama > itu. Inilah buah kebebasan demokratis yg kini ada. > BK dan pemerintahannya tentu saja tidak sempurna. Tetapi bacalah telaah yg > kini banyak sekali beredar tentang bagaimana BK dan > pemerintahannya di rongrong, dijegal, ekonomi nasional dihancurkan oleh > NEKOLIM dan KOMPRADORnya menjelang 1965-66. > > Pak ATJONG agak meleset dlm menyimak pidatonya KKG itu, krn beliau lebih > mentarget Mafia Ekonomi Orde Baru (MEOB) dan bukannya > konglomerasi "as such". KKG tentu tahu ada konglomerat yang bersih, dlm arti > berbisnis dlm aturan hukum dan mungkin business ethics > yang lazim. Namun ada juga konglomerat yg di RI diberi adjective PO > (hitam?), dengan segudang prakteknya yg hitam atawa samar-samar. > > Saya mengangap KKG sbg seorang patriot Indonesia dengan P besar, jujur, dan > berani meninggalkan kursi empuknya dimenara gading > pengamat ekonomi, untuk terjun ke lembaga eksekutif guna mengangkat negeri > dan bangsa kita dari keterpurukan yang sangat memalukan dan menyengsara- > kan puluhan juta rakyat Indonesia. Dlm bidang ekonomi tentu saja ini akibat > arsitektur economic policy orba yang > diletakan fondasinya oleh Wijoyo and his Melody Boys. > > KKG yg sampai sakit-sakit dirawat di Singapore sungguh tidak pada tempatnya > untuk dihina oleh Prof. Dr. Arief Budiman, the professional > rebel without a cause, dari Melbourne University. Memang banyak pengamat > yang semakin negeri kita runyam, semakin mereka dapat > berbincang dan menulis-nulis, tentu sesuai dengan pepatah "Ayampun tidak > mengais ditempat sampah secara cuma-cuma". > Nanti kalau negeri kita sudah adil dan makmur, nah mereka hanya akan dapat > berkoaran didepan beberapa mahasiswa political sciences. > > Saya harap Pak Atjong tak usah khawatir. KKG dilihat dari filosofi > perjoangannya pasti akan mengayomi semua lapisan masyarakat, > tentu saja mereka yang menghormati hukum dan aturan permainan, syukur kalau > juga punya bizethics. > > Saya pribadi berpendapat bahwa setelah ada perundangan yang rapi serta law > enforcement yang canggih, dan ada business ethics > yang memadai, maka saya akan mulai tereak-tereak bahwa "the state is the > worst manager on earth" (gudang KKN namun sepi efficiency!). > > B.RGDS. Bismo DG > > > > ----- Original Message ----- > From: "HKSIS" > To: > Sent: Wednesday, August 28, 2002 4:22 PM > Subject: [cari] Fw: Kwik: MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL > > > > Pak Kwik yth: > > Saya sangat kagum akan kehebatan pak Kwik dlm mengupas sejarah ekonomi > Indonesia modern (1945-2002). Namun, sangat saya sayangkan pak Kwik masih > belum bisa mengurangi > penyakit subjektifisme dalam metode berfikir. Penyakit ini > termanifestasikan dalam menganggap > dirinya serba benar, orang lain serba salah. Sukarno serba benar dan > Suharto serba salah. Dirinya > nasionalis tulen, orang lain a nasional, komprador dlsb. > > Pidato pak Kwik yg panjang lebar itu bukan saja tidak pantas diucapkan > oleh seorang menteri > kabinet, juga tidak pantas diucapkan oleh seorang sipil yg sudah dikenal > sebagai pakar ekonomi > kaliber nasional. Sebab akan menyesatkan banyak pengaggum pak Kwik. > > Saya berpendapat, semakin tinggi kedudukan kita dalam masyarakat, > semakin ber-hati2 dalam > pidato maupun menulis artikel. Segala sesuatu harus difikirkan matang2 > sebelum disemburkan > keluar. Terutama dalam menilai tokoh sejarah seperti Sukarno dan Suharto, > harus adil, meng- > untungkan dan tahu batas. > > Adil berarti objektif, tidak berat sebelah. jangan dibimbing oleh teori > SERBA BENAR atau SERBA SALAH, atau menutupi segi negatif dari kelompoknya, > menutupi segi positif dari kelom- > pok lawannya. > > Menguntungkan berarti berguna untuk memulihkan perekonomian Indonesia yg > sudah amburadul itu. berarti menguntungkan untuk mempersatukan seluruh > kekuatan nasional > untuk keperluan itu. Dalam aliansi besar untuk memberantas kemiskinan dan > pengangguran, > adalah tidak menguntungkan jika pak Kwik ber-teriak2 orang lain komprador, > dlsb. seorang > negarawan yg arif bijaksana, adalah orang yg mampu menarik mempersatukan > seluruh > kekuatan termasuk konglomerat2 yg paling dibenci oleh pak Kwik. Tugas pak > kwik > bukannya mengganyang konglomerat2 itu, melainkan dgn penuh kesabaran > mengulurkan tangan persatuan agar konglomerat2 itu tergugah hatinya untuk > ikut ambil bagian dlm usaha > memulihkan perekonomian Indonesia. > > Tahu batas berarti jangan membikin lawan pak Kwik menjadi beringas dan > naik darah, tidak ada > gunanya untuk kepentingan nasional Indonesia. > > Judul pidato pak Kwik sangat hebat, MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL, tapi > isi > pidatonya penuh dengan semangat kebencian terhadap salah satu kekuatan > nasional yg dapat > ditarik untuk keperluan itu. KECUALI pak Kwik sudah berkesimpulan bahwa > mereka2 itu bukan nasionalis, tidak perlu diikutsertakan dlm usaha besar > ini. Jika demikian kesimpulan pak Kwik, saya yakin usaha pak Kwik pasti > akan menemui kegagalan lagi............ > > Atjong. 26 Agustus 2002. > > > > > > HKSIS wrote: > > MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL > > UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA > > Oleh Kwik Kian Gie > Dalam rangka memperingati 100 tahun Bung Hatta > Tanggal 19 Agustus (deleted) > > > > From pdiperjuangan@polarhome.com Thu Aug 29 01:56:22 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (Olga nebo Sylvie Gondokusumo) Date: Thu Aug 29 00:56:22 2002 Subject: [pdiperjuangan] Fw: [cari] Fw: Kwik: MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL Message-ID: <00d301c24edd$91072a20$b26114d4@olgasylvie> ----- Original Message ----- From: "Olga nebo Sylvie Gondokusumo" To: Sent: Wednesday, August 28, 2002 11:47 PM Subject: Re: [cari] Fw: Kwik: MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL > Bapak ATJONG yang terhormat, > > Saya sangat kagum akan kehebatan pak Kwik dlm mengupas sejarah ekonomi > Indonesia modern (1945-2002). Dan saya sangat setuju > dengan semangat serta temperamen KKG dlm pidatonya itu, yang berupa > kombinasi analisis jitu dengan penggemblengan massa untuk > mennggugah patriotisme. Karena menang setelah 32 thn bumi hangus oleh > orba itu maka rasa patrotisme kita hampir NOL. > > Tentu saja terserah masing-masing untuk menilai siapa saja, termasuk BK > maupun Soeharto. Namun kini telah banyak sekali bahan dalam > rangka pelurusan sejarah NKRI yang menyingkap segala kebobrokan orba selama > itu. Inilah buah kebebasan demokratis yg kini ada. > BK dan pemerintahannya tentu saja tidak sempurna. Tetapi bacalah telaah yg > kini banyak sekali beredar tentang bagaimana BK dan > pemerintahannya di rongrong, dijegal, ekonomi nasional dihancurkan oleh > NEKOLIM dan KOMPRADORnya menjelang 1965-66. > > Pak ATJONG agak meleset dlm menyimak pidatonya KKG itu, krn beliau lebih > mentarget Mafia Ekonomi Orde Baru (MEOB) dan bukannya > konglomerasi "as such". KKG tentu tahu ada konglomerat yang bersih, dlm arti > berbisnis dlm aturan hukum dan mungkin business ethics > yang lazim. Namun ada juga konglomerat yg di RI diberi adjective PO > (hitam?), dengan segudang prakteknya yg hitam atawa samar-samar. > > Saya mengangap KKG sbg seorang patriot Indonesia dengan P besar, jujur, dan > berani meninggalkan kursi empuknya dimenara gading > pengamat ekonomi, untuk terjun ke lembaga eksekutif guna mengangkat negeri > dan bangsa kita dari keterpurukan yang sangat memalukan dan menyengsara- > kan puluhan juta rakyat Indonesia. Dlm bidang ekonomi tentu saja ini akibat > arsitektur economic policy orba yang > diletakan fondasinya oleh Wijoyo and his Melody Boys. > > KKG yg sampai sakit-sakit dirawat di Singapore sungguh tidak pada tempatnya > untuk dihina oleh Prof. Dr. Arief Budiman, the professional > rebel without a cause, dari Melbourne University. Memang banyak pengamat > yang semakin negeri kita runyam, semakin mereka dapat > berbincang dan menulis-nulis, tentu sesuai dengan pepatah "Ayampun tidak > mengais ditempat sampah secara cuma-cuma". > Nanti kalau negeri kita sudah adil dan makmur, nah mereka hanya akan dapat > berkoaran didepan beberapa mahasiswa political sciences. > > Saya harap Pak Atjong tak usah khawatir. KKG dilihat dari filosofi > perjoangannya pasti akan mengayomi semua lapisan masyarakat, > tentu saja mereka yang menghormati hukum dan aturan permainan, syukur kalau > juga punya bizethics. > > Saya pribadi berpendapat bahwa setelah ada perundangan yang rapi serta law > enforcement yang canggih, dan ada business ethics > yang memadai, maka saya akan mulai tereak-tereak bahwa "the state is the > worst manager on earth" (gudang KKN namun sepi efficiency!). > > B.RGDS. Bismo DG > > > > ----- Original Message ----- > From: "HKSIS" > To: > Sent: Wednesday, August 28, 2002 4:22 PM > Subject: [cari] Fw: Kwik: MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL > > > > Pak Kwik yth: > > Saya sangat kagum akan kehebatan pak Kwik dlm mengupas sejarah ekonomi > Indonesia modern (1945-2002). Namun, sangat saya sayangkan pak Kwik masih > belum bisa mengurangi > penyakit subjektifisme dalam metode berfikir. Penyakit ini > termanifestasikan dalam menganggap > dirinya serba benar, orang lain serba salah. Sukarno serba benar dan > Suharto serba salah. Dirinya > nasionalis tulen, orang lain a nasional, komprador dlsb. > > Pidato pak Kwik yg panjang lebar itu bukan saja tidak pantas diucapkan > oleh seorang menteri > kabinet, juga tidak pantas diucapkan oleh seorang sipil yg sudah dikenal > sebagai pakar ekonomi > kaliber nasional. Sebab akan menyesatkan banyak pengaggum pak Kwik. > > Saya berpendapat, semakin tinggi kedudukan kita dalam masyarakat, > semakin ber-hati2 dalam > pidato maupun menulis artikel. Segala sesuatu harus difikirkan matang2 > sebelum disemburkan > keluar. Terutama dalam menilai tokoh sejarah seperti Sukarno dan Suharto, > harus adil, meng- > untungkan dan tahu batas. > > Adil berarti objektif, tidak berat sebelah. jangan dibimbing oleh teori > SERBA BENAR atau SERBA SALAH, atau menutupi segi negatif dari kelompoknya, > menutupi segi positif dari kelom- > pok lawannya. > > Menguntungkan berarti berguna untuk memulihkan perekonomian Indonesia yg > sudah amburadul itu. berarti menguntungkan untuk mempersatukan seluruh > kekuatan nasional > untuk keperluan itu. Dalam aliansi besar untuk memberantas kemiskinan dan > pengangguran, > adalah tidak menguntungkan jika pak Kwik ber-teriak2 orang lain komprador, > dlsb. seorang > negarawan yg arif bijaksana, adalah orang yg mampu menarik mempersatukan > seluruh > kekuatan termasuk konglomerat2 yg paling dibenci oleh pak Kwik. Tugas pak > kwik > bukannya mengganyang konglomerat2 itu, melainkan dgn penuh kesabaran > mengulurkan tangan persatuan agar konglomerat2 itu tergugah hatinya untuk > ikut ambil bagian dlm usaha > memulihkan perekonomian Indonesia. > > Tahu batas berarti jangan membikin lawan pak Kwik menjadi beringas dan > naik darah, tidak ada > gunanya untuk kepentingan nasional Indonesia. > > Judul pidato pak Kwik sangat hebat, MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL, tapi > isi > pidatonya penuh dengan semangat kebencian terhadap salah satu kekuatan > nasional yg dapat > ditarik untuk keperluan itu. KECUALI pak Kwik sudah berkesimpulan bahwa > mereka2 itu bukan nasionalis, tidak perlu diikutsertakan dlm usaha besar > ini. Jika demikian kesimpulan pak Kwik, saya yakin usaha pak Kwik pasti > akan menemui kegagalan lagi............ > > Atjong. 26 Agustus 2002. > > > > > > HKSIS wrote: > > MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL > > UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA > > Oleh Kwik Kian Gie > Dalam rangka memperingati 100 tahun Bung Hatta > Tanggal 19 Agustus (deleted) > > > > From pdiperjuangan@polarhome.com Fri Aug 30 18:48:07 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (akang) Date: Fri Aug 30 17:48:07 2002 Subject: [pdiperjuangan] Kelompok Nasionalis serukan untuk Tolak seluruh hasil Amandemen UUD 1945 Message-ID: <3D6D51C6.56B805FB@yahoo.com> Politik & Pemerintahan: Kelompok Nasionalis Serukan Untuk Tolak Seluruh Hasil Amandemen 1945 Oleh : Kramadipa -aspirasikaltim- Hasil Amandemen UUD 1945 yang baru saja disahkan pada ST MPR 2002 kemarin, ternyata belumlah mencerminkan aspirasi dari seluruh rakyat Indonesia. Belum saja berumur satu bulan, penolakan atas hasil amandemen itu telah disuarakan oleh berbagai keolmpok politik yang tergabung dalam "rumpun" aliran nasionalis. Mereka terdiri dari : Presidium GMNI, PP Pemuda Demokrat, Keluarga Besar Marhaen, dan Kesatuan Buruh Marhaen. Dalam Konferensi persnya, yang berlangsung siang tadi di wisma Marinda (23/08/02), yang terletak di Jl. Percetakan Negara, Jakarta. Dalam Konferensi persnya itu yang bertindak sebagai juru bicara dilakukan oleh para jubir dari masing-masing organisasi. Inti dari konferensi persnya itu mereka menyatakan menolak semua hasil amandemen terhadap UUD 1945. Mereka berkeinginan, jika hendak melakukan perubahan terhadap konstitusi (UUD 1945) haruslah melalui Referendum, begitu kata Yulianto yang berasal dari keluarga besar Marhaen. Pendapat serupa juga dilontarkan oleh ketua presidium GMNI, Bambang Ramadhan yang mengatakan, "Perubahan yang terjadi pada UUD 1945 tidak jelas segala-galanya, baik itu Prosedurnya, prosesnya, dan juga hasil yang terjadi, dimana banyak pasal-pasal yang saling bertentangan. Pertentangan itu tidak saj pasal per pasal, tetapi juga telah mencapai pertentangan antara pembukaan dengan pasal-pasal." Untuk itu Bambang Ramadha menyerukankan agar segenap komponen bangsa untuk menolak hasil amandemen, kemudian segera mengadakan referendum untuk membentuk lembaga Konstituante yang nantinya bertugas untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Disela-sela penolakan terhadap Hasil amandemen itu, para organisasi yang ikut dalam konferensi pers itu, juga menyatakan kekecewaannya terhadap rencana pemberian Bintang Mahaputra terhadap para kader PDI Perjuangan yang duduk dalam PAH I. Dengan Nada Geram, Yulianto mengatakan, hal tersebut harus ditimbang ulang oleh Presiden Megawati, karena mereka mendapatkan Bintang Mahaputra itu dengan alasan telah sukses mengawal ST MPR 2002 yang sangat bersejarah karena telah berhasil dengan mulus dalam mengamandemen UUD 1945. Padahal, sambung Yulianto, hasil amandemen itu sangat bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan pemberi Ruh, Jiwa, Karakter, dan semangat pada tatanan yang ada di negeri ini. Yulianto yang juga ternyata adalah kader PDI Perjuangan juga, menyatakan tindakan yang dilakukan itu juga bertentangan Piagam Perjuangan Partai, dan AD/ART partai. Jadi sangat tidak pantas jika ada kader PDI-P yang duduk dalam PAH I MPR RI untuk menerima penghargaan Bintang Mahaputra. Yahoo! Groups Sponsor ADVERTISEMENT [Image] To Post a message, send it to: gmni@eGroups.com To Unsubscribe, send a blank message to: gmni-unsubscribe@eGroups.com Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. From pdiperjuangan@polarhome.com Fri Aug 30 18:49:43 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (Olga nebo Sylvie Gondokusumo) Date: Fri Aug 30 17:49:43 2002 Subject: [pdiperjuangan] Fw: [cari] Fw: [Nasional] Goenawan Mohamad soal hitam putih Message-ID: <010501c24ee8$aa802820$b26114d4@olgasylvie> Mas Goenawan Mohamad yang terhormat, terimakasih untuk pencerahan dalam hal pidato KKG yang patriotik menggebu namun tak kurang analisis ekonominya yang jitu. Mohon maaf untuk berlainan pendapat, tetapi saya kurang melihat pandangan hitam- putih maupun intoleransi dlm pidato tsb. Sembari setuju dengan Mas Goen tentang rekayasa penulisan sejarah serta indoktrinasi politik ideologis sampai brainwashing oleh orba dulu, namun secara umum memang ada hal ikhwal yang memang hitam pekat, dan ada juga yang memang putih laksana melati. Ini dengan menjauhkan pada pemikiran absolut. Diantara dua "ekstrim" itu tentu dapat ada warna abu-abu maupun "putih tua". Demikianlah menurut hemat saya mengenai tahun-tahun gelap 1966-98. Apakah yang dapat dikatakan tidak hitam kala itu?. Tentu ini tergantung pada sudut pandang. Namun paling tidak warna apa yg DOMINAN bagi penilaian masa itu? Disini saya kira pada tempatnya bhw KKG menuding MEOB (mafia ekonomi orde baru) dengan kata-kata yang sesuai. Tanpa pekewet pekewuh gaya Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Wijoyo dan cantrik-cantriknya telah berhasil meletakkan dasar bagi economic policy orba, yang ujung-ujungnya mencuat RI terjerembab didalam krisis multidimensi kolosal. Ketika fondasi sedang diletakkan, maka mungkin semen dan betonnya diaduk dengan darah ratusan ribu atau bahkan lebih, penduduk yang dibantai tanpa pengadilan. Kalau mixed feelings Wijoyo cs terhadap korupsi, kesewenangan militer serta ulah the First Family dikatakan sbg warna putih, maka bayang-bayangannya pun sukar untuk disimak dibawah kehitaman kenthal. Yang kini konon nampak berwarna putih adalah sejumlah besar kerangka manusia yang mulai digali, sebuah memento mori suatu masa sedih, bagi kemanusiaan di bumi Pertiwi. Kemanusian yang menjelujuri semua CATATAN PINGGIR Mas Goen di Tempo kala itu. Didalam kita bersama kini meletakkan landasan sebuah sistem demokratis dan plural, maka kita sekaligus harus tegas menepis semua gejala intoleransi, ekstremisme, dengan latar belakang apapun. Karena itu demokratisasi serta kemudian demokrasi itu sendiri harus mempunyai peralatan serta sistem canggih untuk membela dirinya, untuk memisahkan beras dari gabah. Kita memang membutuhkan segudang otot dan otak untuk membangun negeri, bangsa dan negara. Namun yang jelas-jelas telah sangat menodainya, lebih baik dipersilahkan mundur saja, atau kalau perlu dimundurkan. Saya yakin bahwa kita mempunyai cukup manusia bijak, baik yang narayana maupun yang telah menginjak masa sepuhnya, untuk membangun negeri kita. Mas Goen yang saya kenal sebagai pemikir serta kekuatan moral dengan latar belakang Islam yang sejuk penuh pengertian pada kemajuan zaman sangatlah kita perlukan untuk membangun NKRI yang demokratis, plural, adil dan makmur. Wassalam, dan salam hangat untuk Mbakyu Widarti. Bismo DG > > ----------------------------------------------------------------------- > > Mailing List "NASIONAL" > > Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap > > eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. > > ----------------------------------------------------------------------- > > http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-m > > ----------------------------------------------------------------------- > > -----Original Message----- > > From: Goenawan Mohamad > > To: aharsono@cbn.net.id > > Date: Wednesday, August 28, 2002 8:05 AM > > Subject: Re: Tanggapan Goenawan Mohamad tentang pidato Kwik Kian Gie > > > > Salam, > > > > Saya membaca beberapa resposne terhadap komentar saya tentang pidato Kwik. > > Terimakasih, terutama untuk Mas Bismo di Praha. > > > > Yang saya tentang adalah pandangan 'hitam-putih', dan intoleransi. > Pandangan > > Kwik adalah demikian. Ingatan kita, bagaimana pun juga, terbatas, dan kita > > cenderung, secara` sadar atau tak sadar, memilih-milih, berdasarkan > > pandangan, prasangka, kepentingan kita si suatu saat, apa yang ingin kita > > ingat dan apa yang kita lupakan. Penulisan sejarah oleh Orde Baru > > menunjukkan hal itu dengan jelas. > > > > Yang lebih mengkawatirkan dalam sikap 'hitam putih' ketika kita mengingat > > dan memandang orang lain itu adalah tendensi kekerasan untuk melenyapkan > > orang yang lain yang sudah kita hitamkan itu. > > > > Setelah Orde Baru jatuh, takbiat dan kebiasaan ini seharusnya kita > > tinggalkan. Orde Baru mencoba menulis sejarah seraya menghapuskan apa yang > > baik dalam cita-cita Bung Karno dalam 'Demokrasi Terpimpin', apalagi > > cita-cita PKI. Semuanya hitam. Saya tidak percaya bahwa demikian halnya. > > Saya tahu bahwa yang diupayakan PKI, misalnya, adalah membuat sebuah > > Indonesia yang lebih baik. Bahwa dia gagal, bahwa resep Marxisme-Leninisme > > ternyata tidak tepat (seperti kita lihat di mana-mana), tidak berarti PKI > > dan kaum Marxis-Leninis itu jahat atau tak patriotik dan bisa disebut > > 'pengkhianat'. > > > > Kita akan mengulangi sikap yang sama jika kita melihat sejarah 'Orde > Baru'. > > Sebagaimana pra-Orde Baru bukanlah sesuatu yang monolitik dan tanpa > > pertentangan di dalam, juga masa 'Orde Baru'. Saya kebetulan mengikuti > > pertentangan itu, dalam kerja saya sebagai wartawan, terutama ikhtiar > yang > > dilakukan oleh Wijoyo cs. dalam menghadapi korupsi dan kesewenang-wenangan > > militer dan akhirnya Soeharto dan keluarga. Mereka bukannya tanpa > kesalahan, > > tapi saya, maaf, tidak bisa menghakimi mereka itu sebagai 'pengkhianat'. > > > > Jika kita sadar bahwa memandang masa`lalu dengan 'hitam putih' adalah > tidak > > mengakui > > keterbatasan ingatan kita, kita akan tidak belajar dari sejarah dengan > > cermat. Problem Indonesia begitu rumit. Kita memerlukan pelbagai sumbangan > > pikiran, dari masa`lalu dan sekarang, juga pikiran yang datang dari pihak > > 'lawan'. Kita bisa sengit berargumen, tapi kita hanya menutup diri jika > kita > > sudah mulai mengatakan bahwa 'saya patriot' dan sebab itu pasti benar, dan > > 'kamu pengkhianat', dan sebab itu pasti salah. > > > > > > Tanahair kita berada di antara kesedihan dan harapan; saya selalu ingat > > kata-kata yang kami pakai selama dalam perlawan terhadap Orde Baru: > "Jangan > > maki-maki kegelapan, tapi nyalakankah lilin". > > > > Sekian. > > > > Goenawan Mohamad > > > > > > ------------------------------------------------------------- > > Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/ > > Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national > > Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html > > Nasional-a: http://redhat.polarhome.com/pipermail/nasional-a/ > > Nasional-f:http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-f > > ------------------Mailing List Nasional---------------------- > > > > > ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor ---------------------~--> > 4 DVDs Free +s&p Join Now > http://us.click.yahoo.com/pt6YBB/NXiEAA/MVfIAA/IYOolB/TM > ---------------------------------------------------------------------~-> > > Untuk masuk ke list: Kirim E-mail kosong ke > cari-subscribe@egroups.com > > Untuk keluar dari list: Kirim E-mail kosong ke > cari-unsubscribe@egroups.com > > > > Your use of Yahoo! Groups is subject to http://docs.yahoo.com/info/terms/ > > > From pdiperjuangan@polarhome.com Sat Aug 31 09:24:07 2002 From: pdiperjuangan@polarhome.com (akang) Date: Sat Aug 31 08:24:07 2002 Subject: [pdiperjuangan] Diminta Gulung Golkar, Amien Tak Mau Jawab Message-ID: <3D6FC1C4.614F264B@yahoo.com> Diminta Gulung Golkar, Amien Tak Mau Jawab Reporter : Muchus Budi R. detikcom, (Jum'at, 30 Agustus 2002) - Solo, Ada-ada saja pertanyaan masyarakat. Dalam dialog dengan jamaah masjid Agung Solo, Ketua Umum DPP PAN Amien Rais ditanya seorang jamaah apakah bersedia menggulung Golkar. Kontan saja, Amien meradang, tak mau menjawab. Amien di Solo berkaitan dengan peringatan HUT PAN ke-4 yang diselenggarakan DPW PAN Jawa Tengah yang dipusatkan di Alun-alun Utara Kraton Solo, Jumat (30/8/2002). Seusai memimpin acara-acara peringatan itu, Amien menjadi khatib salat Jumat di Masjid Agung Solo. Seusai salat Jumat, Amien menggelar dialog. Dalam pengantarnya, wong Solo ini menegaskan bahwa reformasi saat ini sudah berjalan sesuai agenda yang dikehendaki bersama. "Jadi kalau ada orang yang membuat plesetan dengan mengatakan reformasi menjadi repotnasi, maka dia tidak jujur terhadap dirinya sendiri," tegas Amien. Saat dialog, seorang pemuda bertanya apakah Amien Rais bersedia menggulung Golkar sebagai kekuatan masa lalu yang dianggap menyebabkan Indonesia terpuruk dalam krisis multidimensi. Pertanyaan itu lagsung disambut Amien dengan dengan penilaian pedas, bahwa itu pertanyaan bodoh dan tidak demokratis. "Itu pertanyaan bodoh dan tidak demokratis. Tidak ada alasan untuk menggulung Golkar. Saya tidak mau menjawab, itu pertanyaan bodoh. Saya tidak mau menjawab pertanyaan bodoh," tegas Amien Rais. Sementara itu saat melepas karnaval seribuan sepeda motor keliling Kota Solo, Amien kembali menegaskan bahwa partai-partai politik adalah sahabat PAN. Menurut Amien musuh PAN adalah korupsi, kolusi dan nepotisme. "Jadi PPP, PBB, PK, Golkar dan PDIP itu adalah saudara kita, sahabat kita dan bukan musuh kita. Musuh kita adalah korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu adalah saudara dan sahabat kita," seru Amien yang disambut gemuruh tepuk tangan ribuan kader pendukungnya.(asy)