[pdiperjuangan] "draft dokumen IBSAP bag. 3/8

admin pdiperjuangan@polarhome.com
Mon Aug 19 21:26:56 2002


"draft dokumen IBSAP bag. 3/8

II. TINJAUAN:
KEANEKARAGAMAN HAYATI SEBAGAI ASET PRODUKTIF
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

2.1.  Memahami Keanekaragaman Hayati
	"Keanekaragaman hayati" merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kekayaan jenis kehidupan  di bumi.  Istilah ini menggambarkan  keanekaan 
kehidupan di suatu daerah tertentu yang dibentuk oleh mahluk hidup yang ada
serta interaksi di antara mereka dan interaksi mereka dengan lingkungannya. Dan
memang, bentuk kehidupan di muka bumi sangatlah beragam, mulai dari mahluk
sederhana seperti jamur dan bakteri hingga mahluk yang mampu berpikir seperti
manusia; mulai dari satu tegakan pohon di pekarangan rumah hingga suatu sistem
jejaring kehidupan yang rumit dari ribuan tegakan pohon dan tumbuhan dalam hutan
belantara di Kalimantan. Keanekaragaman hayati terdapat dalam berbagai  tingkat
kehidupan yang acap kali dibedakan menjadi keanekaragaman  ekosistem, spesies
dan gen.

a.	Keanekaragaman ekosistem : menggambarkan variasi bentuk dan jenis  bentang
alam, daratan maupun perairan, di mana tumbuhan, hewan dan organisme hidup lain
saling berinteraksi dan membentuk keterkaitan dengan lingkungan fisiknya untuk
bisa bertahan hidup. Daratan dan lautan adalah dua ekosistem yang berbeda yang
akan membentuk pola kehidupan yang berbeda, Keanekaragaman ekosistem daratan
mencakup  padang es dan padang lumut di puncak-puncak pegunungan Papua, hutan
hujan tropik di Sumatera dan Kalimantan,  hingga hamparan padang rumput dan
semak belukar di Nusa Tenggara serta  Demikian pula  di lautan, ada  beragam
ekosistem mulai dari bentangan terumbu karang yang menawan di Bunaken hingga 
ekosistem padang lamun di Selat Sunda dan laut di sekeliling Pulau Belitung. 
b.	 Keanekaragaman spesies:  adalah keanekaan jenis organisme yang menempati
suatu ekosistem, di darat maupun di lautan. Masing-masing organisme mempunyai
ciri yang tidak dapat disamakan satu dengan yang lain. Misalnya dalam suatu
hamparan terumbu karang, dapat ditemui sekitar … spesies mahluk hidup dari ikan
hingga … Di Papua, misalnya, ditemui enam spesies penyu  yaitu penyu hijau,
penyu sisik, penyu lekang, penyu pipih, penyu belimbing dan penyu tempayan yang
masing-masing memiliki ciri-ciri fisik yang berbeda (Conservation International,
1999). Indonesia adalah salah satu negara dengan kekayaan spesies tertinggi di
dunia. Sebagai contoh, Indonesia diduga memiliki tidak kurang dari lima ratus
spesies mamalia, 8500 spesies ikan dan 1500 spesies burung yang berbeda satu
dengan yang lain. 

(Bappenas, 1993) 
c.	Keanekaragaman genetik : Gen adalah faktor pembawa sifat yang dimiliki oleh
setiap mahluk hidup serta dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Individu mahluk hidup, bahkan dalam satu spesies, membawa gen yang
berbeda dengan anggota spesies lainnya. Inilah yang menyebabkan perbedaan
tampilan fisik dalam spesies manusia (homo sapiens).  Ada yang berambut lurus
dan berkulit kuning, ada yang berambut ikal dan berkulit coklat gelap.  Demikian
pula, ada … varietas padi dengan berbagai bentuk dan rasa, misalnya padi
rojolele mempunyai ciri berbeda dengan padi dari Cianjur. Hal inilah yang
disebut sebagai keanekaragaman genetik. 
Ketiga tingkat keanekaragaman hayati tersebut saling terkait satu dengan
lainnya.  Daerah yang kaya ekosistemnya, biasanya juga memiliki keanekaragaman
spesies yang tinggi dan variasi genetik dalam spesies yang tinggi pula.

  Keanekaragaman hayati  tersebut tersebar tidak merata di bumi, ada wilayah
yang menyimpan kanekaragaman yang tinggi ada pula yang hanya memiliki sedikit
keanekaan. Negara-negara di daerah tropik, seperti Indonesia, memiliki
keanekaragaman yang tinggi dibandingkan negara yang terletak jauh dari garis
khatulistiwa.  Keanekaragaman ini menurun seiring dengan semakin jauhnya suatu
tempat dari garis khatulistiwa, menurunnya curah hujan atau semakin tingginya
tempat tersebut.  Pulau-pulau atau daerah yang kecil biasanya memiliki jumlah
keanekaragaman hayati yang lebih rendah dibandingkan daerah yang lebih luas dari
tipe ekosistem yang sejenis meskipun memiliki lebih banyak hewan dan tumbuhan
yang unik dan tidak dijumpai di daerah lain (endemis).  
Pengaruh manusia juga cenderung mengurangi kenakaragaman, utamanya jika
dilakukan secara intensif dalam jangka panjang.  Wilayah yang kaya
keanekaragaman hayati bisa menjadi miskin secara hayati akibat beragam tindakan
manusia, seperti pembukaan hutan yang luas, perburuan, maupun pemanfaatan yang
berlebihan dan merusak terhadap spesies dan ekosistem tertentu.  Keanekaragaman
hayati dengan demikian juga cenderung lebih kaya di tempat yang lebih sedikit
dijamah manusia.  Uraian lebih rinci  tentang keanekaragaman pada lahan basah,
hutan, pesisir/laut dan agroekosistem (pertanian) disajikan pada Lampiran I,
yang merupakan dokumen terpisah. 

2.2.  Arti Penting Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati mempunyai nilai penting bagi manusia. Populasi miskin di
dunia mengandalkan produk dan proses hayati untuk memenuhi 85-90% kebutuhan
hidupnya. Sekitar setengah dari obat yang paling banyak diresepkan di dunia
berasal dari tumbuhan atau senyawa sintetis dari kimiawi tumbuhan. Dan, sekitar
40% dari ekonomi dunia mengandalkan proses dan produk hayati, dengan kata lain
keanekaragaman hayati (Crucible Group, 2000).  Manfaat keanekargaman hayati
dapat digolongkan menjadi tiga yaitu berdasarkan nilai konsumtif, nilai
produktif dan nilai ekologis/lingkungan. 

a. Nilai konsumtif

 Keanekaragaman hayati di sekeliling manusia memberikan manusia sumber daya
untuk mencukupi kebutuhan dasar hidupnya, baik itu pangan, sandang maupun
papan.  Masyarakat Indonesia mengkonsumsi tidak kurang dari 100 spesies tumbuhan
biji-bijian dan ubi-ubian sebagai sumber pasok karbohidrat.  Tidak kurang dari
100 spesies kacang-kacangan, 450 spesies buah-buahan serta 250 spesies
sayur-sayuran dan jamur juga digunakan dalam menu makanan masyarakat kita. 
Berbagai spesies liar dari hutan, seperti pasak bumi, tabat barito, akar kuning
maupun bunga raflesia,  serta berbagai spesies budi daya, seperti jahe, kunyit,
kencur, kumis kucing dan kapulaga, juga digunakan sebagai bahan obat tradisional
oleh masyarakat lokal.  Beberapa spesies, seperti kayu angin dan tapak dara, 
bahkan telah digunakan sebagai bahan obat modern.  Lebih dari 100 spesies kayu,
56 spesies bambu dan 150 spesies rotan juga telah digunakan masyarakat untuk
membangun rumah dan membuat peralatan rumah tangga mereka.  (Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup, 1997) 
Keanekaragaman hayati menyediakn  manusia pilihan yang lebih luas untuk bertahan
hidup.  Suku Dayak Kenyah di Kalimantan Timur, sebagai contoh, mempunyai pilihan
sumber pangan yang luas karena mereka memelihara tidak kurang dari 95 spesies
tanaman di dalam lembo dan menanam 25 varitas padi di ladang-ladang mereka. 
Demikian pula suku asli di Papua yang mengembangkan empat belas varitas ubi
maupun masyarakat pedesaan di Maninjau  yang menanam tiga puluh jenis
buah-buahan di lahan mereka (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997).  

Pilihan menyebabkan manusia lebih mampu beradaptasi dan menghadapi perubahan. 
Keanekaragaman hayati juga  memungkinkan  manusia untuk mengembangkan
pilihannya.  Sebagai contoh, variasi genetik yang ada pada spesies liar bisa
dimanfaatkan manusia untuk memperbaiki kualitas genetik pada spesies yang telah
dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Keanekaragaman hayati tersebut
bahkan sering menjadi identitas kultural manusia dan kelompok masyarakat yang
memanfaatkannya serta menjadi bagain integral dari sistem kebudayaan masyarakat
tersebut.   Sebagai contoh, padi bulu di Nusa Tenggara Barat harus dihadirkan
dalam setiap upacara masyarakat suku Sasak. Jadi,  walaupun masyarakat mungkin
mengkonsumsi beras varitas lain, tetapi mereka tetap menanam padi bulu khusus
untuk upacara. 


b. Nilai Produktif
Keanekaragaman hayati juga memiliki  nilai kegunaan produktif yaitu  nilai pasar
yang didapat dari perdagangan keanekaragaman hayati di pasar lokal, nasional
maupun internasional. Berbagai spesies tanaman budidaya, khususnya tanaman
perkebunan seperti karet dan kopi, menjadi komoditas ekspor yang penting di
pasar dunia.   Demikian pula berbagai hasil hutan, baik produk olahan kayu
maupun spesies non kayu.  Hingga 1990, produk industri kayu dan pengolahan hasil
hutan merupakan komoditas ekspor non migas terpenting sedangkan pada 1999 dan
2000 nilai ekspor produk hutan (termasuk pulp dan kertas) masih mencapai 16 dan
17 persen dari total nilai ekspor non migas Indonesia (Resosudarmo, 2000). 
Indonesia juga mendapatkan penerimaan devisa sebesar US$ 45 juta dari ekspor
rumput laut pada tahun 1998 dan US$ 2 milyar dari ekspor komoditas perikanan
pada tahun 2000.  Nilai produktif juga bisa didapatkan melalui perdagangan jasa,
misalnya melalui ekoturisme.

Abad ke 21 seringkali disebut sebagai abad biologi atau abad hayati. Pada masa
ini, industri yang menguntungkan adalah "industri ilmu kehidupan" yaitu farmasi,
kesehatan, pangan, pertanian dan kosmetik. Kesemua industri ini mengandalkan
keragaman hayati sebagai bahan baku, beserta pengetahuan dan teknologi hayati
yang menyertainya.  

c. Nilai pilihan
Nilai pilihan terkait dengan potensi keanekaragaman hayati dalam memberikan
keuntungan pada masyarakat di masa datang (Primack et al, 1998).  Seringkali
keanekaragaman hayati menyimpan nilai manfaat yang belum disadari atau belum
dapat dimanfaatkan oleh manusia pada saat kini namun seiring dengan perubahan
permintaan, pola konsumsi dan asupan teknologi nilai tersebut menjadi penting di
masa depan.  Potensi tanaman-tanaman liar sebagai sumber obat-obatan merupakan
salah satu bentuk nilai pilihan tersebut.  Banyak perusahaan farmasi maupun
lembaga kesehatan pemerintah secara intensif berupaya menemukan zat-zat sumber
obat baru untuk memerangi penyakit, seperti AIDS dan kanker,  dari
keanekaragaman hayati di habitat aslinya.   Fakta menunjukkan bahwa dua puluh
jenis obat-obatan yang paling sering dipakai di Amerika Serikat senilai US$ 6
milyar per tahun mengandung bahan-bahan kimia yang ditemukan di alam (Primack et
al, 1998).

Kebanyakan spesies di dunia saat ini belum memiliki nilai ekonomi atau hanya
memberikan nilai produktif yang terbatas.  Jika salah satu spesies dengan nilai
pilihan yang besar tersebut punah sebelum diidentifikasikan maka hal itu 
mungkin merupakan kehilangan besar bagi kesejahteraan manusia.  Jika
keanekaragaman hayati diumpamakan sebagai suatu buku pegangan untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia maka hilangnya satu spesies adalah seperti merobek satu
halaman dari buku itu (Primack et al, 1998). Jika kita membutuhkan informasi
untuk mengatasi permasalahan kita dari halaman yang robek tersebut barulah kita
sadar bahwa kita telah kehilangan informasi itu selamanya.

d. Nilai eksistensi
Nilai eksistensi merupakan nilai yang dimiliki oleh keanekaragaman hayati karena
keberadaannya (Ehrenfeld, 1991).  Nilai eksistensi ini terkait dengan nilai
estetis yang ditimbulkannya pada manusia  serta tidak berkaitan dengan manfaat
ekonomi riil dan potensialnya.  Para pecinta alam maupun wisatawan, misalnya,
akan bersedia untuk mengeluarkan sejumlah biaya untuk mengunjungi taman-taman
nasional untuk melihat satwa di habitat aslinya meskipun mereka tidak
mendapatkan manfaat ekonomi dari aktivitas tersebut maupun dari adanya
satwa-satwa bahkan dari adanya taman nasional itu.  Manfaat yang mereka terima
dari melihat gajah di Taman Nasional Way Kambas, Lampung jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan tambahan kesejahteraan yang mereka peroleh dengan melihatnya
di kebun binatang Ragunan.  Manfaat yang didapatkan dari nilai eksistensi
keanekaragaman hayati bersifat abstrak walaupun meningkatkan kesejahteraan
manusia.  Inilah yang menyebabkan, khususnya di negara-negara maju, dana bagi
konservasi alam dan keanekaragaman hayati yang dikumpulkan dari masyarakat yang
menikmati nilai eksistensi ini sangatlah besar.

e. Nilai lingkungan
Keanekaragaman hayati juga memberikan jasa ekologis atau jasa lingkungan bagi
manusia.  Ekosistem hutan melindungi keseimbangan siklus hidrologi dan tata air
sehingga menghindarkan manusia dari bahaya banjir maupun kekeringan.  Hutan juga
menjaga kesuburan tanah  melalui pasok unsur hara dari serasah hutan, mencegah
erosi dan mengendalikan iklim mikro.  Ekosistem terumbu karang dan padang lamun
melindungi pantai dari abrasi.  Demikian pula hutan mangrove yang menyediakan
tempat pengasuhan benih bagi berbagai spesies ikan dan udang. 

Keanekaragaman hayati dengan demikian mempunyai arti yang penting tidak hanya
bagi kehidupan manusia namun juga bagi kelangsungan seluruh sistem kehidupan. 
Selain manfaat konsumtif, produktif maupun lingkungan yang diperoleh manusia
keanekaragaman hayati juga merupakan satu kesatuan dimana komponen yang ada
saling berkaitan dan tergantung. Sebagai contoh, rantai makanan tersusun atas
ratusan ribu spesies yang saling memanfaatkan.  Demikian pula jasa lingkungan
yang disediakan ekosistem juga dibutuhkan dan dinikmati oleh beragam spesies
yang lain
Keanekaragaman genetik dibutuhkan oleh setiap spesies untuk menjaga kemampuan
mereka dalam berkembang biak, ketahanan terhadap penyakit serta kemampuan untuk
beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan.  Spesies membutuhkan cadangan
genetik yang beragam untuk terus bertahan hidup dalam lingkungan yang selalu
berubah. 

Keanekaragaman spesies menyebabkan mereka mampu membentuk rantai makanan di
antara tumbuhan dan hewan yang menjamin kelangsungan pasok pangan
spesies-spesies tersebut.  Berbagai spesies juga mengembangkan hubungan yang
saling menguntungkan di dalam rantai tersebut, seperti serangga yang mengambil
madu namun sekaligus membantu penyerbukan tumbuhan atau kelelawar yang memakan
buah durian namun sekaligus membantu penyebaran bijinya.  Di sisi lain,
keanekaragaman ekosistem menyediakan tempat bagi berlangsungnya rantai makanan
tersebut serta ruang  bagi spesies  untuk bertahan hidup dan mengembangkan
kehidupannya.  Ekosistem yang berfungsi dengan baik bisa menyediakan dan
menghasilkan jasa-jasa lingkungan lain yang juga  bermanfaat bagi spesies yang
hidup di dalamnya, seperti dalam perlindungan kualitas air dan tanah serta
penciptaan iklim lokal.

2.3.	Keanekaragaman Hayati sebagai Aset Produktif
Banyak negara memaksimalkan penggunaan nilai produktif keanekaragaman hayati
untuk menopang laju pertumbuhan ekonomi mereka.  Negara-negara berkembang
seperti Kamerun dan Brazil maupun negara maju seperti Finlandia dan Norwegia
mengeksploitasi hasil hutannya sebagai komoditas ekspor utama.  Filipina
mendapatkan US$ 700 juta dari ekspor rumput laut mereka sedangkan Malaysia
menguasai 49,7 persen produksi minyak kelapa sawit dunia pada tahun 1997.
Pemerintah Indonesia semasa Orde Baru juga menggunakan sumberdaya hayati sebagai
landasan pembangunan. Devisa non migas dari ekspor kayu bulat dan komoditas
sektor pertanian digunakan untuk mendukung eksploitasi minyak dan gas bumi
sepanjang masa rehabilitasi ekonomi (1966 -1970) dan masa pertumbuhan ekonomi
cepat (1971-1980) sehingga rerata pertumbuhan tahunan Produk Domestik Bruto pada
masa itu bisa mencapai 7,7 % (Hill dalam Barber, 1996).  
Saat Indonesia mengalami kesulitan ekonomi akibat melemahnya harga minyak mentah
dunia pada pertengahan tahun 1980-an, devisa dari ekspor produk pengolahan kayu
secara bertahap mampu mendukung pertumbuhan ekonomi nasional sampai pada awal
tahun 1990-an ketika kedudukannya sebagai penyumbang utama devisa non migas
digantikan oleh ekspor produk tekstil (Resosudarmo, 2000).  Peran penting sektor
ekonomi berbasis keanekaragaman hayati ini kembali muncul ketika Indonesia
mengalami krisis ekonomi sejak tahun 1997.  Pada periode awal krisis, saat
sektor-sektor perekonomian lain mengalami penyusutan pertumbuhan antara -3,4
hingga -30,8 persen, sektor pertanian tetap tumbuh sebesar 5,3 persen dan
menghindarkan perekonomian nasional dari kontraksi pertumbuhan yang lebih parah
(BPS dalam Johnson, 1998).  Semua sub sektor, khususnya tanaman pangan,
perkebunan dan perikanan, tumbuh stabil sehingga selama krisis peran sektor
pertanian dalam PDB meningkat.  Tahun 1999, saat banyak sektor ekonomi belum
bisa pulih ke tingkat sebelum krisis, kontribusi sektor pertanian justru naik
menjadi 19,54 persen dari masa sebelum krisis yang hanya mencapai 16,67 persen
(BPS, 2002). 

Kontribusi basis sumberdaya hayati dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
inilah yang menjadikan keanekaragaman hayati sebagai salah satu aset produktif
pembangunan.  Adalah suatu fakta bahwa manusia memanfaatkan keanekaragaman
hayati sebagai modal pembangunan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
secara luas dan berkesinambungan. Sebagai aset, keanekaragaman hayati merupakan
bagian dari modal alam (natural capital) yang terbaharui (renewable) yang
berarti mempunyai kemampuan untuk pulih setelah dimanfaatkan jika tingkat
pemanfaatannya tidak melampaui  kemampuan  pemulihannya. Selain modal alam,
manusia membutuhkan jenis modal lain untuk melaksanakan pembangunan baik itu di
tingkat nasional maupun lokal.  Modal lain yang dibutuhkan adalah modal manusia
(human capital), modal buatan manusia (human made capital), seperti infra
struktur, dan modal sosial (social capital) yang mencakup budaya, sistem nilai 
dan kelembagaan.  

Modal tersebut saling melengkapi namun tidak bisa saling menggantikan. 
Kemampuan keanekaragaman hayati untuk mendukung ketersediaan dan kualitas modal
pembangunan yang lain secara memadailah yang justru membuat keanekaragaman
hayati menjadi aset produktif yang penting, melebihi nilai penting yang
didapatkan dari eksploitasi nilai produktifnya.  Sebagai contoh, nilai
lingkungan yang diberikan suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) membuat daerah di
hilir aliran sungai tersebut subur dan produktif bagi pertanian serta mendorong
pembangunan infrastruktur di daerah tersebut bagi pusat produksi dan pemukiman
yang pada akhirnya membuat perekonomian wilayah tersebut tumbuh lebih cepat.
Demikian pula, tutupan hutan yang terjaga baik di kawasan Gunung Gede, Halimun,
Pangrango dan Salak di Jawa Barat akan menjamin ketersediaan pasokan air minum
bagi masyarakat serta kelangsungan berbagai aktifitas ekonomi produktif, baik
pertanian maupun industri pengolahan,  di daerah  Jabotabek, Sukabumi dan
Banten. 
Di tingkat lokal, ekonomi rakyat berbasis kekayaan keanekaragaman hayati
terbukti memberikan kesejahteraan yang lebih tinggi kepada komunitas
dibandingkan dengan pengembangan ekomoni skala besar yang miskin keanekaragaman
hayati.  Kajian yang dilakukan terhadap pengelolaan hutan adat berbasis bengkar
(hutan), ladang dan simpukng (lahan bercocok tanam) serta uwe (kebun rotan) pada
masyarakat Dayak di desa Besiq, Benung dan Tepulang Kalimantan Timur menunjukkan
bahwa pengelolaan hutan tersebut memberikan manfaat ekonomi yang lebih tinggi
pada masyarakat desa dibandingkan pembangunan kebun kelapa sawit yang bersifat
monokultur (NRM/EPIQ Program dan SHK Kalimantan Timur, 2000).  Pengelolaan hutan
adat paling tidak secara rerata menghasilkan manfaat tahunan senilai US$ 200-700
per hektarnya melalui tidak kurang dari 14 aktivitas pengelolaan bengkar, uwe,
simpukng dan ternak. Berbeda dengan hasil produksi kebun kelapa sawit, sistem
hutan adat ini lebih tahan terhadap guncangan harga pasar, tidak membutuhkan
waktu yang lama maupun investasi modal yang besar sebelum memberikan manfaat
pada masyarakat lokal serta mampu menjaga kelestarian hutan.

Kekayaan keanekaragaman hayati juga bisa memperkuat basis modal sosial yang
dibutuhkan masyarakat untuk mempertahankan dan membangun hidupnya.  Penggunaan
berbagai komponen keanekaragaman hayati oleh masyarakat tradisional memperkaya
kebudayaan masyarakat, seperti pengetahuan pengobatan, sistem bercocok tanam
yang berkelanjutan serta berbagai ritual adat.  Interaksi yang terbangun antara
masyarakat lokal dan keanekaragaman hayati di sekelilingnya mendorong masyarakat
mengembangkan aturan , norma dan berbagai bentuk kelembagaan-kelembagaan lokal
yang membuat mereka mampu mempertahankan daya dukung lingkungan serta membuat
mereka bisa beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di sekeliling mereka. 
Masyarakat Kasepuhan, misalnya,  mengembangkan pola budidaya padi dan pembukaan
lahan pertanian yang disesuaikan dengan tipologi hutan berbasis norma dan
kepercayaan adat sehingga mereka mampu menjaga kelestarian hutan mereka.

Peran keanekaragaman hayati sebagai modal produktif tersebut harus bisa terus
dijaga dalam jangka panjang karena perannya tidak tergantikan dan sebab
pembangunan beserta  manfaatnya tidak hanya dibutuhkan oleh generasi kini namun
juga oleh generasi mendatang.  Kapasitas produktif keanekaragaman hayati,
sebagai aset pembangunan dan bagian dari modal alam,  oleh karenanya harus
dijaga melalui pemanfaatan yang lestari. Pemanfaatan lestari dilakukan dengan
tidak melampaui kemampuan keanekaragaman hayati untuk memulihkan dirinya serta
disertai tindakan-tindakan untuk memulihkan basis sumber daya keanekaragaman
hayati yang telah dimanfaatkan.  Pemanfaatan lestari dengan demikian merupakan
dasar bagi suatu pembangunan berkelanjutan yaitu suatu bentuk pembangunan dimana
manusia tidak hanya menghimpun dan menggunakan cadangan modal produktif yang ada
namun juga memulihkan kualitas dan ketersediaannya secara terus menerus.


Bersambung kebag. 4/8