<!DOCTYPE HTML PUBLIC "-//W3C//DTD HTML 4.0 Transitional//EN">
<HTML><HEAD>
<META http-equiv=Content-Type content="text/html; charset=iso-8859-1">
<META content="MSHTML 6.00.2800.1106" name=GENERATOR>
<STYLE></STYLE>
</HEAD>
<BODY bgColor=#ffffff>
<DIV><FONT face=Tahoma size=2>Sdr. Moderator Yth, </FONT></DIV>
<DIV><FONT face=Tahoma size=2></FONT> </DIV>
<DIV><FONT face=Tahoma size=2>Saya etap menerima kiriman dari Milis Solusi-Nkri
ini. </FONT></DIV>
<DIV><FONT face=Tahoma size=2>Karena itu bersama ini saya kirim artikel utk
menyambut </FONT></DIV>
<DIV><FONT face=Tahoma size=2>HUT Kemerdekaan RI ke-61. Semoga
bermanfat!</FONT></DIV>
<DIV><FONT face=Tahoma size=2></FONT> </DIV>
<DIV><FONT face=Tahoma size=2></FONT> </DIV>
<DIV><FONT face=Tahoma size=2>
KEPAHLAWANAN YANG "KREATIF" </FONT></DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV><FONT face=Tahoma size=2>
Oleh: Bambang
Utomo<BR>
<<A
href="mailto:ideas@cianjur.wasantara.net.id">ideas@cianjur.wasantara.net.id</A>></FONT></DIV>
<DIV> </DIV><FONT face=Tahoma size=2>
<DIV><BR>BANYAK orang berbicara--bahkan kerap berdebat--tentang berbagai
<BR>hal, tanpa menyadari bahwa makna kata-kata yang dipakainya <BR>berbeda bagi
masing-masing. Salah satu contohnya adalah arti <BR>kata 'PAHLAWAN' yang tetap
relevan kita kaji-ulang setiap kali <BR>merayakan hari-hari bersejarah nasional
semisal HUT Kemerdekaan <BR>R.I. sekarang ini. </DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Pertama, mari kita renungkan hakikat di balik ajakan berikut:
<BR>"Saudara-saudara sekalian, marilah kita sejenak mengheningkan
<BR>cipta--atau berdoa menurut agama masing-masing--bagi arwah para <BR>pahlawan
yang telah gugur mendahului kita...."</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Siapa di antara kita yang tidak ingat kalimat ajakan di atas?
<BR>Hampir setiap kali menghadiri upacara resmi, ritual tersebut <BR>selalu
termasuk paket acara perayaan yang bersangkutan. Namun <BR>tulisan ini bukan
ingin mengajak Anda semua mengheningkan cipta, <BR>melainkan memikirkan ulang
makna konsep kepahlawanan yang kita <BR>anut secara lebih kreatif dan berimbang.
Keperluan terhadapnya <BR>muncul berhubung saya simak betapa sangat terbatasnya
kata <BR>'kepahlawanan' diartikan orang sejauh ini.<BR> <BR>
Tersirat dalam ajakan mengheningkan cipta di atas suatu arah <BR>penafsiran,
bahwa yang disebut "pahlawan" terutama adalah mereka <BR>yang telah gugur atau
anumerta. Tafsiran tersirat itu bahkan <BR>diperkuat lagi oleh ketetapan resmi
tentang kriteria pahlawan <BR>sebagaimana tersurat dalam peraturan Pemerintah
No. 33 Tahun 1964 <BR>tentang Penetapan Penghargaan dan Pembinaan terhadap
Pahlawan. <BR>Di situ jelas disebutkan bahwa: "Pahlawan adalah warga negara RI
<BR>yang gugur, tewas, atau meninggal dunia akibat tindak <BR>kepahlawanannya
yang cukup mempunyai mutu dan nilai dalam suatu <BR>tugas perjuangan untuk
membela negara dan bangsa." Meskipun <BR>pahlawan bisa juga termasuk mereka yang
masih hidup, yang tindak <BR>kepahlawanannya tidak ternoda sepanjang kehidupan
selanjutnya, <BR>namun hanya mereka yang telah meninggal dunia yang diakui resmi
<BR>sebagai pahlawan. Bisa Anda bayangkan, betapa sulitnya syarat <BR>menjadi
"pahlawan" di negeri kita. </DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Arah penafsiran kedua yang juga tersirat dalam ketetapan di
<BR>atas tak kurang janggalnya. Yaitu bahwa: kepahlawanan cenderung
<BR>dikaitkan dengan jatuhnya korban akibat upaya membela sesuatu <BR>pihak
(negara atau bangsa), yang tentunya juga mengasumsikan <BR>kehadiran pihak
lawan, serta pada gilirannya kegiatan <BR>menghancur-leburkan musuh tersebut.
Terkandung jelas dalam <BR>penafsiran tersebut adanya unsur konflik, atau
situasi <BR>Menang-Kalah, di mana untuk bisa membuktikan kepahlawanan pihak
<BR>KITA, diperlukan jatuhnya korban di pihak MEREKA!</DIV>
<DIV><BR>KEADILAN TANDINGAN</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Mengenai arah penafsiran tersebut pertama, bahwa hanya mereka
<BR>yang anumertalah yang pantas disebut pahlawan, ingin saya <BR>bandingkan
dengan pengejawantahan konsep "KEADILAN" yang umumnya <BR>kita anut. Ibarat mata
uang, peradaban keadilan kita sejauh ini <BR>baru berkembang ke salah satu
sisinya semata: menghukum <BR>barangsiapa yang bersalah kepada sesama. Ada pun
sisi tandingannya, <BR>menghargai mereka yang berjasa kepada masyarakat,
cenderung kita <BR>abaikan. Anda ingin bukti?</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Coba ingat-ingat manakala ada maling tertangkap tangan di
<BR>sekitar kita. Tidak sedikit saksi mata yang spontan ingin jadi <BR>hakim,
bahkan sekaligus "algojo" (yang luar biasa sadisnya!). <BR>Namun sebaliknya,
kalau ada orang-orang yang terbukti berjasa <BR>kepada kita semua...jarang ada
yang serta-merta memberi ganjaran. <BR>Ya, entah sejak kapan kita kenal dan
terus kelola Lapas di <BR>Pulau Nusakambangan. Tapi mana "Taman Firdaus" yang
kita sediakan <BR>khusus bagi pahlawan-pahlawan yang masih hidup di masyarakat?
<BR>Bukan, sekali lagi, yang saya maksud bukan Taman Pahlawan bagi <BR>mereka
yang telah gugur; yang sudah lama ada di mana-mana. <BR>Juga bukan jenis-jenis
"sorga dunia" yang biasa kita jual sangat <BR>mahal ke pihak mana pun yang
sanggup membayar harganya. <BR>Taman Firdaus yang hendak saya canangkan adalah
semacam lembaga <BR>tandingan dari penjara (Lembaga Pemasyarakatan), di mana
anggota <BR>masyarakat yang terbukti berprestasi tinggi dapat berkumpul
<BR>dalam suasana kehidupan yang menunjang pelestarian karya-karya <BR>sosial
mereka secara optimal. </DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Tetapi di sini bukan tempatnya untuk melanjutkan "khayalan"
<BR>di atas lebih jauh. Lontaran ide perlunya Taman Firdaus juga
<BR>diselenggarakan di dunia kini, bukan cuma di akhirat nanti, adalah <BR>untuk
meninjau-ulang sikap masyarakat kita yang umumnya kurang <BR>berkenan terhadap
penghargaan secara material kepada para pahlawan. <BR>Berbuat baik itu harus
ikhlas, tak boleh disertai pamrih DUNIAWI <BR>apa pun (anehnya kalau yang
AKHIRATI tidak dilarang). Padahal <BR>ilmu psikologi telah lama membuktikan,
bahwa terlepas dari <BR>doktrin moral yang dianutnya, perilaku manusia
senantiasa terikat <BR>pada kecenderungan "mengejar kenikmatan" dan "menjauhi
penderitaan" - <BR>secara LAHIR maupun BATHIN. Dengan kata lain, boleh-boleh
saja <BR>kita menganugerahi seperangkat gelar kehormatan, menyematkan
<BR>bintang dan tanda jasa, atau mengabadikan nama si pelaku sebagai <BR>Nama
Jalan Raya. Tapi kalau suatu bangsa sampai membiarkan para <BR>pahlawannya
"kelaparan"--sengaja maupun alpa--jangan heran jika <BR>jumlah dan frekuensi
tindak kepahlawanan yang terjadi di masyarakat <BR>semakin surut. </DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Sayang kita tidak tahu, karena sejarah belum pernah mencatat:
<BR>berapa banyak pahlawan tak dikenal di sekitar kita yang terlanjur
<BR>kecewa, dan lalu menghentikan prestasi sosialnya? Dan berapa yang
<BR>kemudian berubah lugas sikapnya: memilih mengabdikan keunggulan
<BR>kemampuannya kepada kepentingan pihak pemberi upah tertinggi – siapa <BR>pun
mereka? Atau malah "desersi", pindah bermukim ke lingkungan <BR>masyarakat atau
bangsa lain di mana prestasi sosial mereka secara <BR>layak dihargai, diakui
peranannya serta ditunjang kelestariannya?</DIV>
<DIV><BR>TRADISI BERPIKIR: Minus-Normal-Plus</DIV>
<DIV><BR> Akan halnya penafsiran kedua yang cenderung mengkaitkan
<BR>kepahlawanan dengan situasi konflik, antara tugas membela kawan <BR>di satu
pihak dengan keharusan menghancurkan musuh di pihak lain; <BR>ingin saya
hubungkan dengan kebiasaan berpikir kita. Pada umumnya <BR>kita lebih terlatih
berpikir KRITIS, bukan KREATIF. Berpikir <BR>kritis yang bertumpu pada logika
dan sejak lama diajarkan lewat <BR>penalaran ilmu pengetahuan di sekolah itu
memang bersifat korektif <BR>atau rehabilitatif: menghilangkan atau memperbaiki
kesalahan dari <BR>situasi yang dihadapi. Sedangkan berpikir kreatif yang banyak
<BR>mengandalkan intuisi serta belum pernah ada sekolahnya itu lebih
<BR>bersifat eksploratif dan inovatif: menjelajahi berbagai kemungkinan <BR>yang
ada dalam setiap situasi untuk menciptakan hal-hal baru <BR>yang berguna.</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Ditinjau dari sudut pandang demikian, tampak bahwa berbagai
bentuk <BR>kegiatan "menghancurkan musuh" itu lebih berorientasi rehabilitatif:
<BR>mengembalikan keadaan MINUS ke kondisi awal. Atau dari kehidupan <BR>sosial
yang kelangsungannya terancam, dikembalikan menjadi NORMAL; <BR>tanpa bermaksud
mengurangi nilai kemuliaan pengorbanan yang demikian. <BR>Sedangkan kepahlawanan
yang kreatif, misalnya menciptakan karya <BR>penemuan baru yang bermanfaat,
jelas bakal lebih memajukan kehidupan <BR>bersama. Atau dari kondisi kehidupan
normal (bahkan yang minus <BR>sekalipun!) menjadi PLUS, yang bahkan akan terus
bertambah baik <BR>di kemudian hari.</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Namun harus diakui, bahwa praktek mengikis atau menghancurkan
<BR>sesuatu sebagai buah dari kebiasaan berpikir kritis itu lebih disukai
<BR>orang. Mungkin karena di samping mudah, hasilnya pun bisa serta-merta
<BR>dirasakan. Dengan sebuah bom umpamanya, orang bisa seketika
<BR>menghancurkan sepasang gedung pencakar langit modern, pesawat udara,
<BR>bahkan peninggalan sejarah seperti Candi Borobudur sekalipun! Tapi
<BR>apatah mungkin kita mampu membangunnya kembali dalam tempo singkat?</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Demikian pula halnya dengan, misalnya, mengkritik GAGASAN BARU
<BR>yang diusulkan seseorang. Kebiasaan ini amat digemari karena melakukannya
<BR>mudah serta kepuasaan psikologik yang dihasilkannya cepat dirasakan.
<BR>Satu saja kelemahan kecil pada gagasan itu Anda tuding, maka hancurlah
<BR>kesahihan seluruh usul tersebut. Padahal, belum tentu si pengkritik
<BR>mampu menghasilkan alternatif gagasan konstruktif lain, yang sering
<BR>memerlukan cukup waktu untuk memikirkannya sempai matang - baik di atas
<BR>kertas, apalagi kalau sampai harus membuktikan hasilgunanya dalam
praktek!</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Di lain pihak, penafsiran konsep kepahlawanan yang DESTRUKTIF
di atas <BR>banyak pula dipengaruhi, serta pada gilirannya dilestarikan, lewat
<BR>teladan yang kita cerap dari dunia fiksi - lewat buku-buku atau film.
<BR>Coba kita simak bersama: bukankah alur kebanyakkan cerita "kepahlawanan"
<BR>yang ada--baik berupa epos sejarah, perang, silat, ninja, koboi, spionase,
<BR>atau terorisme--cuma berkisar di antara dua kutub kehidupan MINUS-NORMAL
<BR>tersebut? Tiba-tiba seorang yang tidak bersalah dibunuh, keluarga
<BR>baik-baik dibantai, atau sekelompok orang tak berdaya diteror, dan
<BR>semacamnya. Lalu ditampilkanlah si tokoh utama yang berkepentingan atau
<BR>bersimpati terhadap nasib--minus--para korban. Syahdan jalan cerita pun
<BR>terjalin sepanjang upaya sang "pahlawan" merehabilitasi keadaan, lengkap
<BR>berikut suka-dukanya (terkadang dibumbui sekadar kisah cinta). Dan kisah
<BR>pun berakhir begitu situasi kehidupan normal berhasil dipulihkan. Tegang
<BR>dan mengasyikkan, bukan? Dan di tengah decak kekaguman kita terhadap
<BR>tokoh-tokoh idola pahlawan semacam "Rambo" atau "Spider Man" ini, nyaris
<BR>kita lupa bahwa tantangan kehidupan yang sesungguhnya bukanlah
<BR>menormalkan, melainkan mem-PLUS-kan (kehidupan sosial) itu sendiri!</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Disadari atau tidak, hasrat "normalisasi" kehidupan yang minus
inilah--<BR>menurut hemat saya--akar ideologi yang melatarbelakangi berbagai
paham <BR>kemasyarakatan maupun gerakan kemanusiaan di dunia sejak dulu. Pada
<BR>umumnya mereka cuma berpikir dari minus-ke-normal, ingin mengurangi atau
<BR>menghilangkan situasi kehidupan negatif yang dialami orang banyak.
<BR>Kembali ke topik kepahlawanan, begitu keadaan kembali normal: ketika
<BR>pihak musuh hancur, dendam terbalas, atau hukuman berhasil dilaksanakan;
<BR>maka selesailah tindak "kepahlawanan" kita. Tinggal lagi memikirkan
<BR>nasib para korban atau orang-orang terancam lainnya, untuk disusul
<BR>langkah normalisasi berikutnya.</DIV>
<DIV><BR>KEPAHLAWANAN BARU</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Kesimpulan pertama yang hendak saya tarik dari semua uraian di
atas <BR>adalah: perlunya kita bersama-sama melengkapi, bukan mengganti,
<BR>kecenderungan berpikir kritis yang telah begitu lama mewarnai tradisi
<BR>intelektual kita dengan pemikiran kreatif. Hasil dari alternatif sudut
<BR>pandang yang muncul diharapkan bisa semakin memperluas makna berbagai
<BR>konsep yang kita anut, termasuk di antaranya: kepahlawanan.</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Kedua, melalui kesempatan ini pula saya ingin mengimbau
kesukarelaan <BR>masyarakat luas untuk lebih menghargai para pahlawan yang masih
HIDUP di <BR>antara kita; baik secara moril lewat pemberian berbagai tanda
kehormatan, <BR>maupun tak kalah penting secara material. Pentingnya hal
tersebut <BR>belakangan bukan sekadar untuk menjamin kehidupan layak bagi si
pelaku <BR>berserta keluarganya, atau semata-mata mencegah sang pahlawan kecewa
dan <BR>lalu "desersi". Tapi justru demi melestarikan pretasi sosial itu
sendiri. <BR>Anda masih belum sepakat dengan pemberian bantuan konsumtif
demikian? <BR>Baiklah, mari kita alihkan sebagian "subsidi kreativitas"
termaksud <BR>menjadi perangkat "alat produksi" yang menunjang karya-karya
sosial <BR>yang dihasilkan - sepanjang kita ingat bahwa para pahlawan yang kita
<BR>hargai adalah manusia-manusia yang masih hidup di dunia nyata, belum
<BR>kembali ke alam baka.</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Sebagai penutup, berikut ini saya coba rangkum ciri-ciri
konsep <BR>"Kepahlawanan Baru" yang saya canangkan sepanjang tulisan di atas.
<BR>Yaitu: kepahlawanan yang lebih mengutamakan perwujudan dan pelestarian
<BR>berbagai prestasi sosial demi semakin memajukan (prosperity) kehidupan
<BR>bersama, ketimbang sekedar menjaga kelangsungan hidup (survival)
<BR>masyarakat. Kepahlawanan yang juga bisa berlangsung dalam situasi damai
<BR>dan tidak mensyaratkan kehadiran musuh mana pun di mana semua pihak bakal
<BR>memperoleh manfaat, lebih dari tipe kepahlawanan destruktif yang menuntut
<BR>modus operandi situasi konflik serta jatuhnya korban.</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Kepahlawanan yang tidak mengecilkan nilai penghormatan
terhadap para <BR>pahlawan yang sudah tiada, tapi memberi tempat selayaknya pula
kepada <BR>mereka yang masih hidup - tanpa pandang bulu. Kepahlawanan yang
menyadari <BR>perlunya keseimbangan antara pemberian simbol-simbol kehormatan di
satu <BR>pihak, dengan jaminan hidup layak serta subsidi nyata untuk terus
berkarya <BR>di pihak lain - demi melestarikan prestasi sosial yang
bersangkutan. <BR>Dan yang terakhir--meski tak kalah penting--kepahlawanan yang
tidak <BR>mengharapkan para pelakunya menjadi SUPERMAN tanpa cacat yang tak
mungkin <BR>berbuat khilaf di kemudian hari, melainkan: manusia-manusia
bersahaja <BR>yang senantiasa perlu dirangsang prestasi sosialnya.@</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> (KOMPAS, Selasa, 10 November 1987)</DIV>
<DIV><BR>_______________<BR> Menjadi salah satu artikel dalam buku
"TERAMPIL BERPIKIR: Mengapa Tidak?" <BR>karya Bambang Utomo (Griya Gagasan &
Milenia Populer, 2001). Aneka <BR>aplikasinya akan dibahas lebih lanjut dalam
buku seri berikut: <BR>"TERAMPIL MENOLONG: Mengapa Tidak? (segera terbit). Bagi
yang berminat, bisa <BR>mendapatkannya di toko-toko buku terdekat, atau
menghubungi Perpustakaan <BR>Griya Gagasan lewat e-mail: <<A
href="mailto:ideas@cianjur.wasantara.net.id">ideas@cianjur.wasantara.net.id</A>>.
Terimakasih.<BR></FONT></DIV></BODY></HTML>