<!DOCTYPE HTML PUBLIC "-//W3C//DTD HTML 4.0 Transitional//EN">
<HTML><HEAD>
<META http-equiv=Content-Type content="text/html; charset=iso-8859-1">
<META content="MSHTML 6.00.2900.2802" name=GENERATOR>
<STYLE></STYLE>
</HEAD>
<BODY bgColor=#c6c6c6>
<DIV><FONT face=Arial size=2>Sdr Moderator Yth, </FONT></DIV>
<DIV><FONT face=Arial size=2></FONT> </DIV>
<DIV><FONT face=Arial size=2>Saya sering dikirimi e-mail oleh Solusi-NKRI,
</FONT></DIV>
<DIV><FONT face=Arial size=2>tapi tidak bisa masuk krn lupa password saya.
</FONT></DIV>
<DIV><FONT face=Arial size=2>Bisa bantu ingatkan? Tx.</FONT></DIV>
<DIV><FONT face=Arial size=2></FONT> </DIV>
<DIV><FONT face=Arial size=2>Ideas</FONT></DIV>
<DIV><FONT face=Arial size=2></FONT> </DIV>
<DIV><FONT face=Arial size=2>NB: Tertera di bawah ini artikel daur-ulang
menyambut </FONT></DIV>
<DIV><FONT face=Arial size=2>Hari Pahlawan 2007 - semoga
bermanfaat!</FONT></DIV>
<DIV><FONT face=Arial size=2></FONT> </DIV><FONT face=Arial size=2>
<DIV><BR>"…bukan cuma kepahlawanan yang menghancurkan, <BR>tapi juga yang
mensejahterakan sesama."</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV><BR> KEPAHLAWANAN YANG KREATIF.</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Oleh: Bambang
Utomo<BR> <<A
href="mailto:ideas@cianjur.wasantara.net.id">ideas@cianjur.wasantara.net.id</A>></DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV>BANYAK orang berbicara--bahkan kerap berdebat--tentang <BR>berbagai hal,
tanpa menyadari bahwa kata-kata yang <BR>dipakainya berbeda maknanya bagi
masing-masing. Salah <BR>satu contohnya adalah arti kata 'pahlawan'– yang tetap
<BR>relevan kita kaji-ulang setiap kali merayakan hari-hari <BR>bersejarah
nasional semisal Hari PAHLAWAN 2007 ini. </DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Pertama, mari kita renungkan hakikat di balik ajakan
<BR>berikut: "Saudara-saudara sekalian, marilah kita sejenak <BR>mengheningkan
cipta--atau berdoa menurut agama masing-<BR>masing--bagi arwah para pahlawan
yang telah gugur <BR>mendahului kita...."</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Siapa di antara kita yang tidak ingat kalimat ajakan <BR>di
atas? Hampir setiap kali menghadiri upacara resmi, <BR>ritual tersebut selalu
termasuk paket acara perayaan <BR>yang bersangkutan. Namun tulisan ini bukan
ingin <BR>mengajak Anda semua mengheningkan cipta, melainkan <BR>memikirkan
ulang makna konsep kepahlawanan yang kita <BR>anut secara lebih kreatif.
Keperluan terhadapnya muncul <BR>berhubung saya simak betapa sangat terbatasnya
kata <BR>'kepahlawanan' diartikan orang sejauh ini.<BR> <BR>
Tersirat dalam ajakan mengheningkan cipta di atas <BR>suatu arah penafsiran,
bahwa yang disebut "pahlawan" <BR>terutama adalah mereka yang telah gugur atau
anumerta. <BR>Tafsiran tersirat itu bahkan diperkuat lagi oleh <BR>ketetapan
resmi tentang kriteria pahlawan sebagaimana <BR>tersurat dalam peraturan
Pemerintah No. 33 Tahun 1964 <BR>tentang Penetapan Penghargaan dan Pembinaan
terhadap <BR>Pahlawan. Di situ jelas disebutkan bahwa: "Pahlawan <BR>adalah
warga negara RI yang gugur, tewas, atau meninggal <BR>dunia akibat tindak
kepahlawanannya yang cukup mempunyai <BR>mutu dan nilai dalam suatu tugas
perjuangan untuk <BR>membela negara dan bangsa." Meskipun pahlawan bisa juga
<BR>termasuk mereka yang masih hidup, yang tindak <BR>kepahlawanannya tidak
ternoda sepanjang kehidupan <BR>selanjutnya, namun hanya mereka yang telah
meninggal <BR>dunia yang diakui resmi sebagai pahlawan. Bisa Anda <BR>bayangkan,
betapa sulitnya syarat menjadi "pahlawan" <BR>di negeri kita. </DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Arah penafsiran kedua yang juga tersirat dalam <BR>ketetapan
di atas tak kurang janggalnya. Yaitu bahwa: <BR>kepahlawanan cenderung dikaitkan
dengan jatuhnya korban <BR>akibat upaya membela sesuatu pihak (negara atau
bangsa), <BR>yang tentunya juga mengasumsikan kehadiran pihak lawan, <BR>serta
pada gilirannya kegiatan menghancur-leburkan <BR>musuh tersebut. Terkandung
jelas dalam penafsiran <BR>tersebut adanya unsur konflik, atau situasi
Menang-Kalah, <BR>di mana untuk bisa membuktikan kepahlawanan pihak KITA,
<BR>diperlukan jatuhnya korban di pihak MEREKA!</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV>KEADILAN TANDINGAN<BR> Mengenai arah penafsiran tersebut
pertama, bahwa <BR>hanya mereka yang anumertalah yang pantas disebut
<BR>pahlawan, ingin saya bandingkan dengan pengejawantahan <BR>konsep "KEADILAN"
yang umumnya kita anut. Ibarat mata <BR>uang, peradaban keadilan kita sejauh ini
baru berkembang <BR>ke salah satu sisinya semata: menghukum barangsiapa <BR>yang
bersalah kepada sesama. Ada pun sisi tandingannya, <BR>menghargai mereka yang
berjasa kepada masyarakat, <BR>cenderung kita abaikan. Anda mau bukti?</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Coba ingat-ingat manakala ada maling tertangkap <BR>tangan di
sekitar kita. Tidak sedikit saksi mata yang <BR>spontan ingin jadi hakim, bahkan
sekaligus "algojo" <BR>(yang luar biasa sadisnya!). Namun sebaliknya, kalau
<BR>ada orang-orang yang terbukti berjasa kepada kita <BR>semua...jarang ada
yang serta-merta memberi ganjaran. <BR>Ya, entah sejak kapan kita kenal dan
terus kelola Lapas <BR>di Pulau Nusakambangan. Tapi mana "Taman Firdaus"
<BR>yang kita sediakan khusus bagi pahlawan-pahlawan <BR>yang masih hidup di
masyarakat? Bukan, sekali lagi, <BR>yang saya maksud bukan Taman Pahlawan bagi
mereka <BR>yang telah gugur; yang sudah lama ada di mana-mana. <BR>Juga bukan
jenis-jenis "sorga dunia" yang biasa kita <BR>jual—dengan harga sangat mahal--ke
pihak mana pun <BR>yang sanggup membayar. Taman Firdaus yang hendak saya
<BR>canangkan adalah semacam lembaga tandingan dari penjara <BR>(Lembaga
Pemasyarakatan), di mana anggota masyarakat <BR>yang terbukti berprestasi tinggi
dapat berkumpul dalam <BR>suasana kehidupan yang menunjang pelestarian
<BR>karya-karya sosial mereka secara optimal. </DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Tetapi di sini bukan tempatnya untuk melanjutkan
<BR>"khayalan" di atas lebih jauh. Lontaran ide perlunya <BR>Taman Firdaus juga
diselenggarakan di dunia kini, bukan <BR>cuma di akhirat nanti, adalah untuk
meninjau-ulang <BR>sikap masyarakat kita yang umumnya kurang berkenan
<BR>terhadap penghargaan secara material kepada para pahlawan. <BR>Kita selalu
diingatkan oleh nasehat leluhur: ”Berbuat <BR>baik itu harus ikhlas, tak boleh
disertai pamrih DUNIAWI <BR>apa pun (anehnya kalau yang AKHIRATI tidak
dilarang)”. <BR>Padahal ilmu psikologi telah lama membuktikan, bahwa
<BR>terlepas dari doktrin moral yang dianutnya, perilaku <BR>manusia senantiasa
terikat pada kecenderungan "mengejar <BR>kenikmatan" dan "menjauhi penderitaan"
- secara LAHIR <BR>maupun BATHIN. Dengan kata lain, boleh-boleh saja kita
<BR>menganugerahi seperangkat gelar kehormatan, menyematkan <BR>bintang dan
tanda jasa, atau mengabadikan nama si pelaku <BR>sebagai nama jalan. Tapi kalau
suatu bangsa sampai <BR>membiarkan para pahlawannya "kelaparan"--sengaja maupun
<BR>alpa--jangan heran jika jumlah dan frekuensi tindak <BR>kepahlawanan yang
terjadi di masyarakat semakin surut. </DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Sayang kita tidak tahu, karena sejarah belum pernah
<BR>mencatat: berapa banyak pahlawan tak dikenal di sekitar <BR>kita yang
terlanjur kecewa, dan lalu menghentikan <BR>prestasi sosialnya? Dan berapa yang
kemudian berubah <BR>lugas sikapnya: memilih mengabdikan keunggulan
<BR>kemampuannya kepada kepentingan pihak pemberi upah <BR>tertinggi – siapa pun
mereka? Atau malah "desersi", <BR>pindah bermukim ke lingkungan masyarakat atau
bangsa <BR>lain di mana prestasi sosial mereka secara layak dihargai, <BR>diakui
peranannya serta ditunjang kelestariannya?</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV>TRADISI BERPIKIR: Minus-Normal-Plus<BR> Akan halnya penafsiran
kedua yang cenderung mengkaitkan <BR>kepahlawanan dengan situasi konflik, antara
tugas membela <BR>kawan di satu pihak dengan keharusan menghancurkan musuh
<BR>di pihak lain; ingin saya hubungkan dengan kebiasaan <BR>berpikir kita. Pada
umumnya kita lebih terlatih berpikir <BR>KRITIS, bukan KREATIF. Berpikir kritis
yang bertumpu pada <BR>logika dan sejak lama diajarkan lewat penalaran ilmu
<BR>pengetahuan di sekolah itu memang bersifat korektif <BR>atau rehabilitatif:
menghilangkan atau memperbaiki <BR>kesalahan dari situasi yang dihadapi.
Sedangkan berpikir <BR>kreatif yang banyak mengandalkan intuisi serta belum
<BR>pernah ada sekolahnya itu lebih bersifat eksploratif <BR>dan inovatif:
menjelajahi berbagai kemungkinan yang ada <BR>dalam setiap situasi untuk
menciptakan hal-hal baru <BR>yang berguna.</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Ditinjau dari sudut pandang demikian, tampak bahwa
<BR>berbagai bentuk kegiatan "menghancurkan musuh" itu lebih <BR>berorientasi
rehabilitatif: mengembalikan keadaan MINUS <BR>ke kondisi awal. Atau dari
kehidupan sosial yang <BR>kelangsungannya terancam, dikembalikan menjadi NORMAL;
<BR>tanpa bermaksud mengurangi nilai kemuliaan pengorbanan <BR>demikian.
Sedangkan kepahlawanan yang kreatif, misalnya <BR>menciptakan karya penemuan
baru yang bermanfaat, jelas <BR>bakal lebih memajukan kehidupan bersama. Atau
dari kondisi <BR>kehidupan normal (bahkan yang minus sekalipun!) menjadi
<BR>PLUS, yang bahkan akan terus bertambah baik di kemudian hari.</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Namun harus diakui, bahwa praktek mengikis atau
<BR>menghancurkan sesuatu sebagai buah dari kebiasaan berpikir <BR>kritis itu
lebih disukai orang. Mungkin karena di samping <BR>mudah, hasilnya pun bisa
serta-merta dirasakan. Dengan <BR>sebuah bom umpamanya, orang bisa seketika
menghancurkan <BR>sepasang gedung pencakar langit modern, pesawat udara,
<BR>bahkan monumen sejarah seperti Candi Borobudur sekalipun! <BR>Tapi apatah
mungkin kita membangunnya kembali dalam tempo <BR>singkat?</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Demikian pula halnya dengan, misalnya, mengkritik GAGASAN <BR>BARU
yang diusulkan seseorang. Kebiasaan ini amat digemari <BR>karena melakukannya
mudah serta kepuasaan psikologik yang <BR>dihasilkannya cepat dirasakan. Satu
saja kelemahan kecil <BR>pada gagasan itu Anda tuding, maka hancurlah kesahihan
<BR>seluruh usul tersebut. Padahal, belum tentu si pengkritik <BR>mampu
menghasilkan alternatif gagasan konstruktif lain, <BR>yang sering memerlukan
waktu tertentu untuk memikirkannya <BR>sempai matang - baik di atas kertas,
apalagi kalau harus <BR>membuktikan hasilgunanya dalam praktek!</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Di lain pihak, penafsiran konsep kepahlawanan yang
<BR>DESTRUKTIF di atas banyak pula dipengaruhi, serta pada <BR>gilirannya
dilestarikan, lewat teladan yang kita cerap <BR>dari dunia fiksi - lewat
buku-buku atau film. Coba kita <BR>simak bersama: bukankah alur kebanyakkan
cerita <BR>"kepahlawanan" yang ada--baik berupa epos sejarah, perang, <BR>silat,
ninja, koboi, spionase atau terorisme--cuma berkisar <BR>di antara dua kutub
kehidupan MINUS-NORMAL tersebut? <BR>Tiba-tiba seorang yang tidak bersalah
dibunuh, keluarga <BR>baik-baik dibantai, atau sekelompok orang tak berdaya
<BR>diteror, dan semacamnya. Lalu ditampilkanlah si tokoh utama <BR>yang
berkepentingan atau bersimpati terhadap nasib--MINUS--<BR>para korban. Syahdan
jalan cerita pun terjalin sepanjang <BR>upaya sang "pahlawan" merehabilitasi
keadaan, lengkap <BR>berikut suka-dukanya (terkadang dibumbui sekadar kisah
<BR>cinta kilat). Dan cerita pun berakhir begitu situasi <BR>kehidupan normal
berhasil dipulihkan. Tegang dan mengasyikkan, <BR>bukan? Dan di tengah decak
kekaguman kita terhadap <BR>tokoh-tokoh idola pahlawan semacam "Rambo" atau
"Spider Man" <BR>ini, nyaris kita lupa bahwa tantangan kehidupan yang
<BR>sesungguhnya bukanlah me-NORMAL-kan, melainkan mem-PLUS-kan <BR>(kehidupan
sosial) itu sendiri!</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Disadari atau tidak, hasrat "normalisasi" kehidupan yang
<BR>minus inilah--menurut hemat saya--akar ideologi yang <BR>melatarbelakangi
berbagai ideologi, paham kemasyarakatan <BR>maupun gerakan kemanusiaan di dunia
sejak doeloe. Pada <BR>umumnya mereka cuma berpikir dari minus-ke-normal, ingin
<BR>mengurangi atau menghilangkan situasi kehidupan negatif <BR>yang dialami
orang banyak. Kembali ke topik kepahlawanan, <BR>begitu keadaan kembali normal:
ketika pihak musuh hancur, <BR>dendam terbalas, atau hukuman berhasil
dilaksanakan; maka <BR>selesailah tindak "kepahlawanan" kita. Tinggal lagi
<BR>memikirkan nasib para korban atau orang-orang terancam <BR>lainnya, untuk
disusul langkah normalisasi berikutnya.</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV>KEPAHLAWANAN BARU<BR> Kesimpulan pertama yang hendak saya tarik
dari semua <BR>uraian di atas adalah: perlunya kita bersama-sama melengkapi,
<BR>bukan mengganti, kecenderungan berpikir kritis yang telah <BR>begitu lama
mewarnai tradisi intelektual kita dengan <BR>pemikiran kreatif. Hasil dari
alternatif sudut pandang baru <BR>yang muncul diharapkan bisa semakin memperluas
makna <BR>berbagai konsep yang kita anut, termasuk di antaranya:
<BR>kepahlawanan.</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Kedua, melalui kesempatan ini pula saya ingin mengimbau
<BR>kesukarelaan masyarakat luas untuk lebih menghargai para <BR>pahlawan yang
masih HIDUP di antara kita; baik secara moril <BR>lewat pemberian berbagai tanda
kehormatan, maupun tak kalah <BR>penting secara material. Pentingnya hal
tersebut belakangan <BR>bukan sekadar untuk menjamin kehidupan layak bagi si
pelaku <BR>berserta keluarganya, atau semata-mata hendak mencegah sang
<BR>pahlawan kecewa dan lalu "desersi". Tapi justru demi <BR>melestarikan
pretasi sosial itu sendiri. Jangan sampai kita <BR>lupa, bahwa para pahlawan
yang kita hargai adalah manusia-<BR>manusia yang masih hidup di dunia nyata,
belum kembali ke <BR>alam baka.</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Sebagai penutup, berikut ini saya coba rangkum ciri-ciri
<BR>konsep "Kepahlawanan Baru" yang saya canangkan di sepanjang <BR>tulisan di
atas. Yaitu: kepahlawanan yang lebih mengutamakan <BR>perwujudan dan pelestarian
berbagai prestasi sosial demi <BR>semakin memajukan (prosperity) kehidupan
bersama, ketimbang <BR>sekedar menjaga kelangsungan hidup (survival) masyarakat.
<BR>Kepahlawanan yang juga bisa berlangsung dalam situasi damai <BR>dan tidak
mensyaratkan kehadiran musuh mana pun di mana <BR>semua pihak bakal memperoleh
manfaat, lebih dari tipe <BR>kepahlawanan destruktif yang menuntut modus
operandi situasi <BR>konflik serta jatuhnya korban.</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> Kepahlawanan yang tidak mengecilkan nilai penghormatan
<BR>terhadap para pahlawan yang sudah tiada, tapi memberi tempat <BR>selayaknya
pula kepada mereka yang masih hidup - tanpa <BR>pandang bulu. Kepahlawanan yang
menyadari perlunya <BR>keseimbangan antara pemberian simbol-simbol kehormatan di
<BR>satu pihak, dengan jaminan hidup layak serta subsidi nyata <BR>untuk terus
berkarya di pihak lain - demi melestarikan <BR>prestasi sosial yang
bersangkutan. Dan yang terakhir--meski <BR>tak kalah penting--kepahlawanan yang
tidak mengharapkan <BR>para pelakunya menjadi Superman tanpa cacat yang tak
mungkin <BR>berbuat khilaf di kemudian hari, melainkan: manusia-manusia
<BR>bersahaja yang senantiasa perlu dirangsang prestasi sosialnya.@</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV> (Sumber: KOMPAS, Kolom, Selasa, 10 November 1987)</DIV>
<DIV> </DIV>
<DIV>___________<BR> Salah satu artikel dalam buku "TERAMPIL
BERPIKIR: Mengapa <BR>Tidak?" (Griya Gagasan & Milenia Populer, 2001). Aneka
<BR>aplikasinya akan dibahas lebih lanjut dalam buku seri berikut: <BR>"TERAMPIL
MENOLONG: Mengapa Tidak? (segera terbit). Kontak <BR>e-mail: <<A
href="mailto:ideas@cianjur.wasantara.net.id">ideas@cianjur.wasantara.net.id</A>>.
Terimakasih.<BR></FONT></DIV></BODY></HTML>