[GMNI] Persoalan Komunikasi Politik Megawati
Ambon
gmni@polarhome.com
Sat Jan 18 01:48:04 2003
Sabtu, 18 Januari 2003 Karangan Khas
Persoalan Komunikasi Politik Megawati
Oleh: Nur Hidayat Sardini
UJUNG-ujungnya Presiden Megawati tunduk di bawah tekanan. Setelah dua minggu
didemo hampir seluruh kalangan, bahkan sebagian besar di antaranya berbentuk
radikalisme, akhirnya kebijakan kenaikan TDL dan BBM akan dikaji ulang,
sementara tarif telepon ditunda. Keputusan ini berbanding terbalik dari
sikap Mega yang selama ini bergeming.
Baik dalam setiap sidang kabinet terbatas serta sidang kabinet lengkap
Gotong Royong maupun dalam berbagai kesempatan, Presiden sama sekali tidak
pernah mengagendakan setiap desakan, protes, dan usulan masyarakat tersebut.
Sekali saja merespons, Megawati sekadar mengungkapkan ketersinggungannya
atas diinjak-injaknya baik foto maupun pembakaran patung atas dirinya. Dia
klaim, foto dan patung adalah simbol-simbol negara (?).
Memang semua itu serba dilema bagi Mega. Sebagai presiden, dia berkewajiban
merancang perikehidupan jangka panjang bagi rakyatnya. Maka ada benarnya
ketika dia menyatakan pencabutan subsidi bermanfaat bagi kemandirian bangsa.
Selama lebih seperempat abad, warga dari bangsa ini dimanja oleh berbagai
bentuk subsidi. Toh, subsidi yang selama ini dikucurkan, jatuhnya bukan
kepada rakyat bawah. Justru birokrat korup dan pengusaha nakal yang
teruntungkannya.
Murahnya BBM terutama solar karena pemberian subsidi, penyelundupan banyak
terjadi ke luar negeri. Siapa lagi kalau itu bukan pekerjaan birokrat korup
dan pengusaha hitam ? Secara objektif, ada benarnya langkah Mega. Apalagi
IMF telah mengamanatkannya. Perkara kurangnya atau bahkan miskinnya
sofistifikasi dalam strategi kebijakan sehingga banjir keberatan
dialamatkannya, inilah letak kelemahan pemerintahan Mega.
Di balik itu, sebagai politisi, Mega punya kalkulasi politik. Dalam 1,5
tahun sisa kekuasaannya, dia hendak menuntaskan persoalan ini. Ingat, dalam
tahun-tahun ini jagat politik nasional akan diwarnai berbagai pembahasan
agenda politik nasional. Dia juga ingin mengambil keuntungan politik.
Pembahasan ini bisa berimplikasi negatif bagi partai dan dirinya. Andaikan
kebijakan tak populer itu ditempuh di akhir jabatannya, taruhlah kurang dari
setahun menjelang Pemilu 2004, ingatan massa akan tereferensi betapa Mega
tak berpihak kepada wong cilik. Sesuatu yang pernah lekat dengan dirinya,
sekaligus yang memungkinkannya sebagai peraih suara terbanyak dalam Pemilu
1999.
Dengan menerbitkan kebijakan kenaikan tiga komoditas strategis sekarang
juga, Megawati bersama kelompok politiknya memiliki waktu yang cukup.
Setidaknya untuk memotong referensi orang untuk memilih atau tidak memilih
PDI-P dan foto dirinya dalam bursa suksesi kepemimpinan nasional dalam paket
Pemilu 2004.
Dengan demikian, dia punya waktu kurang setahun sebelum Pemilu 2004.
Terantuk Lagi
Dihitung, sisa waktu itu setidaknya akan diefektifkan untuk tiga hal.
Pertama, rekayasa politik akomodasi. Konkretnya, di ambang Pemilu 2004,
Megawati akan menerbitkan paket kebijakan pro-populisme semacam Jaring
Pengaman Sosial (JPS), kenaikan gaji PNS-TNI-Polri, paket
sandang-pangan-papan murah, subsidi SPP bagi sekolah dasar dan menengah.
Kedua, memotong kapitalisasi politik rival-rivalnya.
Dalam dua minggu ini saja, bagaimana seorang Amien Rais - yang sering
diasosiasikan sebagai figur utama rival Megawati - bisa mengeruk keuntungan
atas kelemahan Mega akibat kebijakan menaikkan 3 komoditas strategis
tersebut. Diharapkan, pada detik-detik menjelang akhir kekuasaan Megawati,
tidak ada peluang bagi lawannya untuk menyalip di tikungan terakhir. Ketiga,
setidaknya bisa memotong suatu asumsi politik kontra populisme kebijakan
Mega sebelumnya.
Dengan segala implikasi yang mencekik rakyat yang diterbitkan sebelumnya,
kelompok Mega berhitung agar kognisi kolektif massa akan cepat melupakannya.
Dalam bacaan politiknya, karakter pemilih itu pendek-pendek, gampang lupa
dan melupakan, serta mudah memaafkan atas apa yang pernah dilakukan
penguasanya. Bersama kedua langkah kebijakan politik sebelumnya secara
sinergis, maka rakyat yang pernah geram dengannya akan kembali ke kandang
banteng. Berharap pula hingar bingar Pemilu 1999 akan kembali berulang pada
Pemilu 2004.
Dengan merevisi kenaikan BBM-TDL-tarif telepon (BTT) tersebut, justru Mega
terantuk tiga kali pada batu yang sama. Pertama, sejatinya problem utama
Mega tidak pada keputusan kenaikan ketiga komoditas strategis tersebut.
Masalahnya adalah bagaimana pengelolaan pemerintahan yang tidak akurat,
tidak dibarengi dengan sofistifikasi langkah strategi dalam bagaimana
menerapkan suatu kebijakan. Pada yang namanya object matter, rakyat andaikan
diberi penjelasan yang sejelas-jelasnya pasti akan menerima keputusan BTT
sebelumnya. Meskipun dengan ini harus pula disertai sofistifikasi
strateginya.
Dampak sosial seharusnya dikaji sebelum kebijakan tersebut diterapkan,
dengan skenario-skenario kemungkinan dan penanganannya.
Kedua, dengan demikian, masalahnya adalah subject matter. ialah mengapa Mega
tidak sedari awal secara langsung menjelaskan duduk perkaranya kepada rakyat
mengapa (terpaksa) Pemerintah menempuh langkah menaikkan BBT.
Sudah tidak ada penjelasan yang akurat, justru "analisis intelijen" dari
Susilo Bambang Yudoyono yang menyatakan bahwa terdapat tiga pihak tertentu
di balik aksi-aksi protes kenaikan BBT, yang datang kemudian. Ada pula
pernyataan Menhan Matori Abdul Djalil, serta keluhan Megawati sendiri yang
foto dan patungnya dibakar massa.
Respon pemerintah seolah menantang kepada pengunjuk rasa dan berbagai
kelompok pemrotes tersebut. Pemerintah melarikan basis keresahan rakyat
dengan isu-isu yang berbasis politik. Maka tak heran, jika sejak sehari
Pemerintah merevisi kenaikan BBT tersebut, demonstrasi belum juga reda. Ini
karena pengalihan isu-isu yang tak kalah populernya dilakukan Pemerintahan
Gotong Royong ini.
Ketiga, pada akhirnya Mega tidak mendapatkan apa-apa dari setiap yang
dikeluarkannya. Alih-alih demi popularitas. Sekadar untuk bertahan demi
berlangsungnya operasi pemerintahan yang wajar belaka, justru tak
diperolehnya. Nasi sudah menjadi bubur. Mungkin itu kalimat yang paling
tepat, untuk menggambarkan betapa rezim kini sedang dirundung problematika
delegitimasi.
Pertahanan yang terakhir ini bakal berisiko bagi kepentingan politiknya.
Juga jika kondisi demonstrasi yang sesungguhnya harus mereda di saat
dikeluarkannya revisi kenaikan BBT berlarut-larut, namun sebaliknya tunaian
yang dia peroleh. Persoalannya adalah kesalahan Mega dalam membaca situasi.
Suatu keputusan, hanya akan didukung andaikan problem elementer disertakan
sebagai proses pertimbangan. Problem ini adalah keterusan konsistensi, yang
agaknya tidak dimiliki oleh pemerintah kini. Malah bentrok antara pendukung
Megawati dan mereka yang menolak kebijakan kenaikan BBT sekarang sudah
terjadi pula di beberapa tempat. Kalau ini dibiarkan, maka konflik
horisontal suatu ketika bisa tak terhindarkan. Adalah peluang bagi masuknya
kekuatan ekstraparlementer, ekstrajudisial, serta kelompok pengaruh suasana
atas berlarut-larutnya kondisi delegitimasi ini.
Masalah Komunikasi
Masalahnya adalah komunikasi politik. Mungkin saja Mega tengah dikerumuni
oleh mereka yang memasok berbagai informasi yang tak akurat. Bisa pula
karena karakternya yang memang telah cenderung menjauh dari massa
politiknya; sehingga komunikasi antara subject matter dan object matter-nya
tak bersambung. Diyakini, kebijakan kenaikan harga BBT akan didukung oleh
rakyat. Namun, kepemimpinan yang efektif, dukungan luas dari semua rakyat,
dengan sistem pengelolaan negara yang akuntabel, adalah penopang dari
kewibawaan pemerintah. Belakangan kewibawaan tersebut kian melemah. Betapa
pun tidak populernya sebuah kebijakan, namun jika syarat-syarat tersebut
dipenuhi, niscaya lambat laun akan diterima juga kebijakan tersebut.
Di mata publik, pemerintah kini masih diselimuti selubung ketidakjelasan.
Sumber perbaikan, andaikan masih akan berusaha untuk "mengubah bubur menjadi
nasi kembali" adalah perbaikan dalam berkomunikasi dengan publik. Publik
jangan pernah dibiarkan untuk menduga-duga apa yang dikehendaki
pemerintahnya. Haqul yaqin bahwa di balik kebijakan mencabut BBT adalah
maksud baik pemerintah.
Namun maksud baik tersebut terhalang justru hanya karena persoalan tidak
tersampaikannya niat luhur tersebut. Ini mungkin persoalan teknis, namun
sekarang sudah berubah menjadi problem substansial. Problem substansial
berkait dengan menguatnya apatisme rakyat terhadap apa pun niat baik yang
ingin dikatakan dan dimaui pemerintah. Karena itu, satu-satunya jalan adalah
Mega harus bicara langsung dengan publik. Persoalan lewat media atau
langsung kepada kelompok pemrotes, itu pun persoalan medium komunikasi.
Persoalan teknis belaka.
Masih ada waktu untuk mengatasi keadaan. Sembari Mega harus ke luar 'dari
sarang kebekuannya', juga penyertaan suri teladan dari diri dan keluarganya
juga mesti dibenahi. Jangan sampai dia berkali-kali menganjurkan perlunya
mengencangkan ikat pinggang, pada saat yang bersamaan pesta ulang tahun
ke-60 suaminya diselenggarakan di sebuah hotel berkelas wahid di Bali. Lalu
hari berikutnya seluruh keluarganya memborong kelas vip menonton F-4. Inilah
susahnya.(33)
-Nur Hidayat Sardini, dosen Undip dan peserta program S2 UI Jakarta