[GMNI] Islam dan Kebebasan Berpikir
Ambon
gmni@polarhome.com
Sat Jan 18 01:48:52 2003
Media Indonesia
Jumat, 17 Januari 2003
Islam dan Kebebasan Berpikir
Zuhairi Misrawi, Koordinator Program Islam Emansipatoris, P3M, Jakarta
MEMASUKI tahun 2003, kita dihadapkan sejumlah wacana keagamaan yang semakin
gegap-gempita. Munculnya gerakan keagamaan dari pelbagai corak, baik yang
liberal, fundamentalis, dan radikal menunjukkan intensitas perbedaan
pemikiran yang kian tajam. Namun, satu hal yang amat memprihatinkan adalah
tatkala perbedaan tersebut berakhir dengan munculnya sikap keberagamaan yang
tidak toleran, provokatif, dan menolak keragaman. Perbedaan, lalu dianggap
sebagai 'barang haram' yang mesti dibumihanguskan.
Karenanya, fenomena mutakhir ini mesti ditinjau secara kritis untuk
menghidupkan kembali pemikiran keagamaan. Sehingga perbedaan dan keragaman
pandangan keagamaan sebisa mungkin dapat mematangkan demokrasi, civil
society dan pluralisme. Ini penting, agar agama tidak dimonopoli sebagai
justifikasi kepentingan tertentu oleh kelompok tertentu.
Belajar dari sejarah peradaban Islam, bahwa pasangnya peradaban Islam sangat
ditentukan sejauh mana pengetahuan dan pemikiran keagamaan lahir secara
kreatif dan produktif. Agama dijadikan sebagai sumber dan energi untuk
melahirkan pemikiran, pandangan, dan teori yang inovatif. Ibnu Khaldun dalam
al-Muqaddimah menggambarkan khazanah keislaman yang sangat kaya, tidak hanya
dalam ranah keagamaan, melainkan juga dalam ilmu-ilmu sosial. Ini,
disebutnya sebagai puncak peradaban.
Satu hal yang ditulis Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah bahwa kunci dari
maraknya peradaban Islam adalah tradisi kebebasan berpikir dan independensi
ulama dari ranah politik. Ulama, menurutnya, adalah sosok yang mampu
melakukan analisis dan menangkap makna-makna yang tersirat, baik dalam ranah
sosial maupun teks keagamaan. Konsentrasi ulama dalam ranah pengetahuan
keagamaan, dalam sejarah peradaban Islam, telah membuktikan lahirnya
peradaban yang sangat adiluhung serta membawa pada pencerahan yang dapat
dirasakan masyarakat di seantero dunia. Buah dari itu semua, menurut Murad
Wahbah, pemikir kristiani asal Mesir (1998), pemikiran Islam telah menjadi
gerbang pencerahan bagi Eropa dan Barat.
Namun, apa yang terjadi saat ini --di Tanah Air misalnya-- adalah kebalikan
dari itu semua. Pemikiran keagamaan cukup memprihatinkan, karena dalam
beberapa dekade terakhir, kita tidak menemukan lahirnya pemikiran keagamaan
yang brilian, bahkan bisa dikatakan berjalan di tempat. Ini bisa dilihat
dengan beberapa indikator. Pertama, miskinnya gagasan. Perdebatan antara
kelompok liberal dan fundamentalis hanya sebatas isu-isu yang amat simbolik,
seperti busana (jilbab, jubah, cadar). Termasuk juga isu formalisasi syariat
yang terkesan simbolik. Karenanya, isu yang diangkat ke permukaan bersifat
individual dan komunal. Ini menyebabkan pandangan keagamaan tidak menyentuh
hajat kebanyakan masyarakat, terutama kalangan lemah yang sedang dilanda
krisis. Agama hanya didorong untuk membicarakan doktrin keagamaan, bukan
untuk mematangkan visi kemanusiaan yang bersifat universal.
Kedua, krisis ketokohan. Apa yang disebut pemikiran sering kali harus
mengikutsertakan pemikir-pemikir terdahulu. Merujuk pemikir-pemikir
terdahulu penting, tapi akibatnya kita kehilangan independensi. Pemikiran
selalu merujuk kepada salaf al-shalih. Kita selalu beranggapan bahwa yang
dikatakan ulama salaf adalah yang paling benar. Ini sebenarnya dampak
negatif dari tradisi kodifikasi yang telah memandekkan tradisi berpikir.
Padahal, ulama besar seperti Imam Abu Hanifah memberikan pesan yang sangat
berharga untuk senantiasa keluar dari kungkungan salaf.
***
Bila dibandingkan dengan belahan dunia Islam, seperti Mesir, Sudan, Tunisia,
Maroko, dan Suriah, dalam hal pemikiran keislaman, negara kita bisa dianggap
mundur ke belakang. Dalam satu dasawarsa terakhir muncul pemikir-pemikir
muslim yang menyemangati demokrasi, pluralisme, dan civil society.
Di Mesir, lahir pemikir besar seperti Hasan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd,
Athif Eraqi, Khalil Abdul Karim dan lain-lain. Secara garis besar, mereka
membawa semangat untuk mengkritisi tradisi keagamaan yang bersifat dogmatis,
normatif, dan konservatif. Harus diakui, bahwa doktrin keagamaan klasik
turut mendorong bagi mandeknya pemikiran keagamaan. Karenanya, kritik
terhadap tradisi klasik menjadi penting untuk menyegarkan pemikiran
keagamaan dan menghidupkan tradisi ijtihad yang bersifat kontekstual.
Di Suriah, muncul sejumlah pemikir seperti Ali Harb, Jabir al-Anshari dan
lain-lain. Mereka memunyai concern pada pembongkaran terhadap otoritas agama
yang menyebabkan mahalnya tradisi ikhtilaf. Menurut mereka, ini disebabkan
adanya penyeragaman dalam pandangan keagamaan. Agama dilihat sebagai
'lembaga otoritas', bukan spirit kebebasan. Karena itu, yang terjadi justru
hilangnya mozaik pemikiran keagamaan dan munculnya sikap intoleran. Otoritas
agama, menurut mereka, telah memantapkan kekuasaan untuk mengeksploitasi
pemikiran keagamaan. Dan di Maroko, kita mengenal Abid al-Jabiri, Thayeb
Tizini, Thaha Abdurrahman dan lain-lain. Mereka memunyai proyek besar untuk
menghidupkan kembali rasionalitas yang hilang dalam disket keagamaan.
Tentu saja, apabila melihat pemandangan tersebut, kita bisa mengatakan bahwa
pemikiran keagamaan di Tanah Air terbelakang, mundur, dan ketinggalan
kereta.
Sejauh pengamatan saya, satu hal yang sangat membedakan antara tradisi
intelektual kita dan belahan dunia muslim lainnya adalah tradisi kebebasan
berpikir. Kita tidak memunyai ruang bebas untuk mengekspresikan pemikiran,
pandangan, dan gagasan. Apabila muncul pemikiran baru yang berbeda dengan
mainstream sering kali dianggap sebagai penyesatan dan penyimpangan dari
agama. Kritik terhadap pandangan keagamaan kadang kala dianggap sebagai
kritik terhadap Tuhan, nabi dan lain-lain. Di sini, agama lalu dijadikan
sebagai otoritas baru untuk memasung dan membonsai pemikiran-pemikiran
inovatif.
Karena itu, kita perlu menghidupkan kembali tradisi intelektual yang bebas,
dialogis, inovatif, dan kreatif. Ibnu Rushd dalam Fashl al-Maqal bi ma bayn
al-Hikmah wa al-Syari'ah min al-Ittishal, memunyai pesan menarik, bahwa
hikmah, penalaran, dan filsafat adalah sahabat agama (syariat), dan saudara
sesusuan. Agama dan kebebasan berpikir merupakan dua mata uang logam yang
tidak bisa dipisahkan. Bahkan Alquran dalam puluhan ayatnya menyebutkan
pentingnya berpikir (QS 51:20-21, 7:185, 29:20). Di sini, kebebasan berpikir
mutlak diperlukan untuk melahirkan pandangan keagamaan yang baru, segar, dan
jernih. Dan, kita berharap agar tahun 2003 ini menjadi era berembusnya
kebebasan berpikir, sehingga mendorong lahirnya pemikiran keagamaan yang
kritis, transformatif, inovatif, dan konstruktif.***