[GMNI] Fwd: GMNI Kegagalan Merumuskan Ideologi

Admin gmni@polarhome.com
Thu Nov 27 17:12:42 2003


Sebuah artikel lama yang ditulis mantan Ketua DPC GMNI Semarang, kiranya 
perlu dicermati bersama.

-ay-

=========================================================================== 
GMNI, Kegagalan Merumuskan Ideologi
Oleh: Ichwan Ar 

BERBICARA mengenai Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), diskursus 
yang muncul tentang heroisme semu, konflik organisasi, kegelisahan dan 
fragmen mimpi politik dari kelompok yang merepresentasikan diri sebagai 
nasionalis muda. Ironisnya, napas yang sama masih mengemuka pada saat 
organisasi mahasiswa ini genap berusia 48 tahun pada 23 Maret ini. 
Persoalan yang muncul masih berkutat pada konflik organisasi dan 
keterpenjaraan dalam romantisme sejarah.

Konflik semakin mengental dalam bentuk perpecahan. Pada tingkat presidium, 
kepengurusan terbelah antara presidium versi Kongres Kupang 1999 dan 
Kongres Luar Biasa di Semarang 2000.

Pada tingkat implementasi gerakan, yang lebih banyak mengemuka adalah model 
aksi di jalanan. Sebuah pilihan yang lebih banyak didasari pada euforia 
politik pascareformasi, mengikuti tren hiruk pikuk aksi mahasiswa dan 
terlihat sekadar mengisi kebutuhan aktivitas organisasi. 

Dengan demikian, tidak mengherankan jika yang kemudian muncul adalah 
tipologi gerakan politik semu, miskin gagasan dan terjebak pada karakter 
aktifisme belaka.

Keterpenjaraan dalam romantisme masa lalu mengental dalam pola kaderisasi 
dan struktur gerakan yang tidak bergeser dari simbol-simbol kebesaran di 
masa silam. Hal itu terlihat dari model rekrutmen dan pendidikan kader yang 
lebih mempertimbangkan kuantitas daripada kualitas. 

Tidak aneh, jika kemudian para kader lebih mengedepankan hal-hal yang 
berbau seremonial dan pilihan aktivitas yang menawarkan "gebyar'' serta 
ilusi tentang gerakan politik mahasiswa. Hal-hal yang menyangkut ruang 
pergulatan pemikiran nyaris tidak tersentuh. Pada akhirnya, produk yang 
dihasilkan adalah kader-kader karbitan yang lemah secara intelektual, 
miskin pemahaman ideologi dan cenderung bersikap komprador pada penguasa.

Refleksi Total

Meski demikian, terasa lebih memprihatinkan melihat situasi itu tidak juga 
diimbangi dengan kemunculan kesadaran politik dari para aktivisnya untuk 
merefleksi problem mendasar yang diidap organisasi. 
Hal lainnya adalah kesiapan menerima kritik. Jika kesiapan itu tidak ada, 
refleksi tersebut justru berpotensi menumbuhkan konflik baru bagi kelompok 
yang tidak sepaham. Pilihan itu juga cenderung tidak populer serta jauh 
dari ilusi kekuasaan politik. Dengan demikian, refleksi menjadi pilihan 
yang tidak menarik. 

Ada beberapa hal yang sepatutnya dijadikan materi refleksi. Pertama, 
perubahan tata politik yang berimbas pada keberadaan organisasi dan desain 
gerakan. 

Sejak dibukanya kran kebebasan, salah satunya adalah kebebasan mendirikan 
partai politik, nilai strategis ormas kini praktis menurun drastis. 
Kelompok-kelompok kepentingan akan cenderung mengakses langsung kepada 
partai politik daripada ormas. Logikanya parpol lebih menawarkan kompensasi 
politik yang riil daripada yang dapat diberikan ormas (terutama ormas 
kemahasiswaan).

Kedua, perumusan ideologi sebagai basis gerakan. Ideologi dalam struktur 
gerakan politik dan sosial kemasyarakatan memiliki beberapa fungsi. Yaitu 
sebagai alat membangun rasionalitas hubungan antara pemimpin dan umatnya. 
Fungsi lainnya, ideologi memberikan perekat, landasan material dan 
legitimasi bagi gerakan serta sebagai identitas kelompok politik. Dalam 
sisi ideologi inilah, GMNI telah mengalami perjalanan spiritual panjang.
Dari sejarah kita melihat, penempatan marhaenisme sebaga ideologi GMNI 
tidak pernah diikuti kemauan untuk mengeksplorasi ideologi itu ke dalam 
tindakan nyata. 

Hal lain yang tidak disadari oleh sebagian besar kader baru GMNI adalah 
marhaenisme merupakan ideologi yang belum selesai terbangun secara utuh. 
Dalam sejarah ideologi itu, marhaenisme mengalami penafsiran yang terus 
berkembang sejalan dengan situasi dan kondisi polisik saat itu.
Pada awalnya, Bung Karno memfokuskan marhaenisme pada perjuangan komunitas 
rakyat yang memiliki alat produksi terbatas. 

Keterbatasan alat produksi itu, ditambah dengan variabel struktur ekonomi 
dan politik yang eksploitatif telah menciptakan kantung-kantung kemiskinan 
rakyat. Kemudian, tatkala Bung Karno dekat dengan PKI, secara global 
memaknai marhaenisme sebagai marxisme. 

Pada masa transisi kekuasaan dari Bung Karno ke Jenderal Soeharto, para 
pemimpin PNI menerjemahkan marhaenisme sebagai sosio nasionalisme, sosio 
demokrasi dan Ketuhanan yang Maha Esa. Bahkan kemudian memaksakannya 
pemaknaan ideologi itu sebagai satu hal yang sama dengan Pancasila.

Dan pada masa konsolidasi kekuasaan Orba, pemaksaan azas tunggal 
mengakibatkan ideologi itu masuk ke dalam penjara kematian. 

Kemudian, pada saat arus perubahan menenggelamkan kekuasaan Orba dan 
menempatkan kelompok politik nasionalis sebagai penguasa, seperti 
memberikan peneguhan bagi mitologi romantisme ideologi yang selama ini 
menyelimuti kaum nasionalis, termasuk GMNI. 

Marhaenisme yang selama sekian waktu diletakkan dalam peti kematian, oleh 
kaum nasionalis dimunculkan kembali. Sayangnya, pemunculan itu tidak 
didahului kajian mendalam tentang ideologi tersebut.

Solusi

Melihat persoalan tersebut, jika menginginkan organisasi mahasiswa ini 
tetap eksis, perubahan merupakan hal mutlak yang harus dilakukan kader baru 
GMNI. Perubahan itu meliputi desain organisasi dan gerakan. Dalam sisi ini 
pola gerakan yang mengandalkan aksi-aksi jalanan bukan lagi pilihan 
strategis. 

Pilihan yang tepat adalah membangun desain gerakan intelektual dengan 
menitikberatkan pada reproduksi ide-ide brilian bagi pembaruan masyarakat. 
Hal itu harus didukung dengan membangun jaringan ke dalam setiap lini 
politik sebagai jalan untuk sosialisasi dan kampanye politik bagi ide-ide 
yang dihasilkan. 

Dengan demikian, desain organisasi yang mendukung pola gerakan itu adalah 
organisasi kader yang memiliki anggota tidak terlalu besar, dapat melakukan 
kerja politik secara efektif dan memiliki kualitas yang lebih dari kader 
organisasi lainnya.

Untuk tidak terjebak ke dalam model kelompok studi, setiap aktivis GMNI 
harus mau melakukan kerja-kerja politik sampai ke massa akar rumput.
Juga perlu perumusan ideologi sebagai basis material gerakan politik GMNI. 

Marhaenisme sebagai sebuah ideologi memuat semangat pembebasan segala 
proses dehumanisasi dalam sejarah kemanusiaan dan penindasan dalam struktur 
sosial kemasyarakatan. 

Selain itu, marhaenisme telah memiliki seperangkat tatanan lain yang 
disyaratkan bagi keabsahan sebuah ideologi, yaitu ajaran dan cara-cara 
pencapaian. Namun, sisi lain yang perlu disadari adalah ideologi itu, 
sebagaimana yang dikemukakan Bung Karno masih berbicara dalam tataran 
global. Tesis atau konsepsi tentang marhaenisme hasil kongres Partindo 1932 
yang mencoba mengeksplorasi ideologi itu juga belum menyentuh aspek 
operasional dari ideologi.

Belajar dari sejarah kita dapat melihat konsepsi marhaenisme cenderung 
diterjemahkan menurut selera penguasa. Di samping itu dalam perjalanan 
ideologi itu telah mengondisikan kebekuan dalam pengembangan ajaran-
ajarannya. Dengan demikian, kalau kader baru GMNI menganggap marhaenisme 
sebagai rumusan final, merupakan kesalahan fatal.

Karena itu, eksplorasi terhadap marhaenisme mutlak dilakukan, baik dari 
konsepsi dasar maupun varian-varian yang direproduksi dari gagasan besar 
Soekarno itu. Untuk mengeliminasi sikap-sikap subyektif dan sentimental 
dalam proses eksplorasi, kader GMNI perlu bersikap ontologis dalam 
melakukan kajian terhadap marhaenisme.(33) 

-Ichwan Ar, Ketua Yayasan Kibar Indonesia, dan mantan Ketua GMNI Semarang 

Sumber: Suara Merdeka (Sabtu, 23 Maret 2002)