[GMNI] Juwono Sudarsono: Supremasi sipil dan peran politik milter
didonk-
didonk at cbn.net.id
Tue Aug 3 07:32:26 CEST 2004
Supremasi Sipil dan Peran Politik Militer
Oleh Juwono Sudarsono
KCM - 2 Agustus 2004
ROYAL College of Military Science of The United
Kingdom atau RCMS adalah lembaga pendidikan tinggi
yang dikelola oleh Kementerian Pertahanan Inggris. Ia
terletak di Shrivenham, Wiltshire, yang dikenal
sebagai wilayah pusat-pusat pendidikan dan latihan
Angkatan Bersenjata Kerajaan Inggris.
Dalam sebuah seminar tentang pertahanan dan keamanan
belum lama ini (28 Juli 2004) dibahas sejumlah konsep
pertahanan abad ke-21. Antara lain tentang "peperangan
jaringan" (network-centric warfare) yang berintikan
penggunaan teknologi komunikasi di medan laga. Juga
tentang "ketahanan untuk keamanan" (resilience for
security), yang mirip dengan konsep TNI AD tentang
perang teritorial, yang bersumber dari konsep
pertahanan rakyat dan perang gerilya.
Di sela-sela seminar, sempat dibahas tentang peran
tentara di beberapa negara berkembang seperti Myanmar,
Nigeria, Brasil, Mesir, India, Pakistan, Filipina,
Thailand, dan Indonesia. Beberapa pejabat Kementerian
Pertahanan Inggris serta Komandan RCMS, seorang mayor
jenderal Angkatan Darat, memberi paparan menarik. Ikut
hadir sejumlah pakar sipil dan militer aktif dari
Amerika Serikat (AS), Perancis, dan Jerman.
Seminar di lembaga pendidikan militer Inggris dengan
sendirinya sarat dengan diskusi tentang "supremasi
sipil atas militer" (civilian supremacy over the
military) yang dianut sejak berpuluh-puluh tahun di
Inggris, AS, Perancis, dan Jerman setelah Perang Dunia
II.
Saat seminar membahas peran militer di negara-negara
sedang berkembang di Amerika Latin, Afrika, dan Asia,
saya ditanya tentang peran TNI dalam demokrasi di
Indonesia. Maklum, hasil resmi pemilu presiden
Indonesia putaran pertama 5 Juli sempat diberitakan di
media Inggris; banyak peserta seminar memuji
berkurangnya peran politik militer Indonesia, antara
lain, dengan melepaskan diri dari DPR RI dan lembaga
pemerintahan lainnya.
Secara lugas saya sampaikan bahwa sesungguhnya,
meskipun secara formal (di atas kertas) banyak dicapai
kemajuan dalam pengurangan peran politik TNI, secara
nyata (de facto) peran politik dalam arti peran
teritorial sebagaimana dibahas sejak akhir tahun
1950-an, masih berjalan di Indonesia.
Sebabnya sangat sederhana: lembaga-lembaga sipil,
terutama partai politik, masih amat lemah. Partai
politik masih berupa "kerumunan orang yang dipimpin
tokoh" yang organisasinya sangat memprihatinkan.
Demikian juga kelembagaan aparat pemerintah sipil pada
tingkat provinsi, kabupaten/kotamadya, sampai ke
tingkat desa. Terlebih-lebih di daerah terpencil di
pelosok Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Saya kemukakan catatan bahwa selama enam tahun
reformasi politik di Indonesia, ketiga presiden sipil
(BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekanoputri)
selalu mengangkat Menko Polkam dan Mendagri dari
kalangan yang berlatar belakang TNI AD. Pertanda bahwa
ketiga pemimpin sipil (dan partai-partai yang
dipimpinnya) masih "belum yakin" bahwa seorang yang
sama sekali bukan berlatar belakang militer patut
dipercaya untuk bertanggung jawab mengurus polkam,
khususnya di Departemen Dalam Negeri. Saya sampaikan
juga bahwa menjelang putaran pertama pemilu presiden,
Panglima TNI Endriartono Sutarto sempat "dilirik" atau
"dilamar" beberapa calon presiden sipil untuk menjadi
calon wakil presiden.
REKAN peserta seminar dari Nigeria, Mesir, Thailand,
dan Flipina menyatakan pengamatan yang kurang lebih
sama. Kata mereka, soal "sipil-militer" adalah soal
derajat/besaran (a matter of degree). Sebab, di
negara-negara mereka pun kelembagaan sipil, terutama
partai politik, masih berupa "kerumunan orang seputar
satu dua tokoh", bukan organisasi yang rapi, dengan
sumber dana yang mandiri, dengan program kerja yang
layak laksana. Partai politik di Abuja, Kairo,
Bangkok, dan Manila terlalu tergantung pada dana dari
kaum pengusaha yang memberi sumbangan "di bawah, di
atas, dan bahkan sekalian dengan mejanya". Mirip benar
dengan keadaan di Jakarta, Indonesia.
Bahkan peserta sipil dari India, negeri yang sering
dikenal sebagai "demokrasi terbesar di dunia",
menyebut bahwa di beberapa provinsi bermasalah seperti
Kashmir, peran politik militer tetap penting dan
menentukan. Mirip benar dengan keadaan di Aceh,
Indonesia.
Setengah berkelakar, saya katakan kepada peserta dari
Inggris dan Amerika bahwa dalam menjalankan apa yang
disebut "perang melawan terorisme global", Inggris dan
Amerika pun secara nyata melibatkan militer dalam
"perang semesta" sejak 11 September 2001. Bukankah
Department of Homeland Security di AS mirip dengan
lembaga Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban) yang diciptakan Jenderal Soeharto
setelah kejadian "11 September"-nya Indonesia pada
September-Oktober 1965?
Bukankan badan intelijen Inggris (MI5 dan MI6)
melibatkan militer aktif dalam operasi intelijen
melawan teroris di Irlandia Utara dan Inggris sejak
1969? Bukankah pasukan khusus angkatan darat Inggris
SAS (Special Air Service) aktif dalam operasi
intelijen dan politik melawan IRA (Irish Republican
Army) sejak tahun 1970-an? Termasuk operasi
"menghilangkan" beberapa tokoh radikal IRA?
Seorang perwira Angkatan Darat Amerika berbisik kepada
saya, "Sebenarnya supremasi sipil atas militer sudah
tidak berlaku di Amerika jauh sebelum 11 September.
Jenderal Eisenhower sendiri memberi peringatan pada
Januari 1961 tentang bahaya military-industrial
complex, yaitu perusahaan raksasa yang banyak mendanai
anggota senat dan DPR Amerika". Dia mengedipkan
matanya sambil menyindir tokoh bisnis militer dibalik
Presiden Bush dan Wakil Presiden Cheney, terutama
dalam kontrak-kontrak "pembangunan kembali Irak"
sekarang ini. Industri pertahanan keamanan Amerika
amat berpengaruh di puncak pemerintah federal Amerika.
Rekannya dari Inggris ikut berbisik, "Inggris mengemas
supremasi sipil atas militer dengan begitu banyak
dongeng dan fantasi. Sejak zaman East India Company
abad ke 17-18, karier perwira Inggris diperdagangkan
oleh tokoh-tokoh di sekitar lingkaran Ratu atau Raja.
Mau memimpin tentara di India? Mau memimpin ekspedisi
kolonial ke Mesir, Sudan, atau Afrika Barat? Siapa
berani bayar, dia akan diberi tugas untuk memimpin
tentara kolonial atas titah Sri Raja atau Sri Ratu."
Industri pertahanan keamanan Inggris sampai sekarang
amat berpengaruh di kantor perdana menteri dan
lingkungan istana ratu.
MENGAPA peserta seminar dari negara sedang berkembang
seperti Nigeria dan Mesir bicara terbuka tentang
lemahnya supremasi sipil? Adapun peserta dari negara
seperti Inggris dan Amerika membicarakannya secara
berbisik-bisik? Jawabannya tentu adalah bahwa di
negara-negara seperti Inggris dan Amerika, dongeng dan
fantasi "supemasi sipil" di dukung oleh kelembagaan
sipil yang kuat, sehingga dongeng dan fantasi itu
mengakar dalam budaya politik. Ia menjelma menjadi
"aturan main" yang dihormati dan didukung oleh
undang-undang maupun konvensi tak tertulis.
Di Mesir, Thailand, Filipina, dan Indonesia dongeng
dan fantasi supremasi sipil masih tetap dongeng dan
fantasi karena kekuatan nyata partai politik masih
sangat lemah. Rebutan jabatan di partai, rebutan
kedudukan di pemerintah, rebutan komisi di parlemen,
rebutan rezeki di badan usaha milik negara, rebutan
"fulus halus" dari perusahaan swasta- semua ini
membuat partai politik lemah berhadapan dengan
militer. Kehadiran militer di belakang layar
"pemerintahan sipil" di Mesir, Thailand, Filpina,
Indonesia (juga di Malaysia dan Singapura) masih
berjalan, sesuai derajat kuat atau lemahnya
kelembagaan sipil yang ada.
Konsolidasi intern organisasi partai politik adalah
reformasi yang sesungguhnya harus dilaksanakan apabila
dongeng dan fantasi supremasi sipil hendak mengakar
dan berubah menjadi hal yang membudaya di Indonesia.
Alangkah baiknya, bila semua partai politik besar di
Indonesia bersungguh-sungguh dalam melaksanakan
konsolidasi intern yang amat menentukan demokrasi
kita.
Juwono Sudarsono Duta Besar RI di London
More information about the GMNI
mailing list