[Karawang] Mimpi Agrobisnis

Ambon karawang@polarhome.com
Tue Aug 27 23:48:01 2002


Kompas
Rabu, 28 Agustus 2002

Mimpi Agrobisnis
Oleh Onny Untung

SAYA ini reformis pertanian," ujar HM Ramly Araby, Presiden Direktur PT
Qurnia Subur Alam Raya (QSAR) saat berbincang dengan penulis, Agustus 2000.
Mereka yang pernah berdialog dengan orang yang sedang dicari polisi ini
pasti sepakat, Ramly Araby orator ulung. Kepiawaiannya meyakinkan orang,
ditambah promosi melalui kunjungan pejabat, membuat banyak orang mau
menceburkan dananya di QSAR.
QSAR menawarkan mimpi agrobisnis pada orang awam. Betapa tidak, dalam
proposal yang dibuat, ia menjanjikan keuntungan sampai 50 persen dari nilai
investasi. Ambil contoh cabai. Pada Juli 2000 harga cabai di pasar hanya Rp
6.500 per kg, namun QSAR mematok Rp 30.000 per kg. Fantastis! "Terobosan"
lain yang dibuat Ramly ialah menggelembungkan nilai investasi. Untuk menanam
10.000 tanaman jagung manis, investor harus menyetor dana Rp 26 juta.
Padahal, sebenarnya biaya untuk 48.000 tanaman hanya Rp 5,5 juta.
Bagi para praktisi pertanian, angka-angka yang disodorkan QSAR sama sekali
tidak masuk akal. Di sisi lain, masyarakat kita gampang tergiur hal-hal yang
luar biasa. Mereka tidak berusaha mengotopsi angka-angka pada proposal itu.
Tawaran investasi dengan iming-iming keuntungan tinggi langsung disambar.
Sementara para pelaku pertanian yang sudah berpengalaman-atau mereka yang
sungkan bertanya-hanya menyaksikan dari pinggir lapangan.
Setelah lima tahun meninabobokan para investornya, kini QSAR ambruk. Namun,
masih banyak perusahaan sejenis yang menawarkan kerja sama agrobisnis dengan
berbagai komoditas. Supaya mimpi indah beragrobisnis tidak berubah menjadi
buruk, ada baiknya dicermati rambu-rambu beragrobisnis.
***
BERAGROBISNIS adalah sebuah proses. Semua dilakukan tahap demi tahap tanpa
jalan pintas. Para pekebun sukses yang saya kenal umumnya sudah
berpengalaman lebih dari 10 tahun. Kesuksesan mereka diraih berkat akumulasi
kejelian, pengetahuan, dan pengalaman. Pada beberapa kasus tertentu, memang
ada pemula yang mendadak sukses pada awal berkebun. Ini kebanyakan terjadi
karena muncul lonjakan permintaan sesaat yang menyebabkan keuntungan
berlipat ganda. Sukses dadakan itu sama sekali bukan ukuran.
Jadi, rambu pertama yang perlu dicermati ialah pengalaman perusahaan itu.
Sudah berapa lama ia terjun di agrobisnis? Tidak sulit mengecek track record
perusahaan agrobisnis. Berdasarkan pengalaman selama 15 tahun bekerja di
majalah pertanian, terbukti praktisi pertanian kita demikian sedikit. Mereka
kenal satu sama lain, minimal pernah mendengar namanya. Jadi, bila ada
pemain baru dan mengklaim diri mampu membuat terobosan pasar dengan harga
luar biasa tinggi-seperti QSAR-para pemain lama pasti mengetahuinya. Minimal
mereka bisa memberi saran.
Para praktisi dan akademisi sepakat, margin on-farm di agrobisnis paling
kecil. Bisa mencapai angka 30 persen saja sudah luar biasa hebat. Pada
kenyataannya, angka 30 persen kebanyakan hanya terjadi pada mereka yang
masih sempat mencangkul, memupuk, atau panen sendiri. Paling banter dibantu
beberapa tenaga kerja. Bila hasil kebun itu sudah harus menggaji direktur
produksi, manajer lapangan, atau petugas Humas, maka marginnya melorot
sampai 10 persen-15 persen. Sungguh sebuah tanda tanya besar seandainya ada
perusahaan yang menawarkan keuntungan di atas angka itu untuk beragrobisnis
on-farm. Bila ini benar-benar terjadi, maka sudah pasti semua petani
Indonesia kaya raya.
QSAR menawarkan keuntungan sampai sekitar 50 persen. Secara logika, tanpa
perlu pengetahuan mendalam, angka ini sudah menjadi tanda tanya, bahkan di
luar logika. Jika benar ada bisnis menggiurkan seperti itu, mengapa sedikit
yang terjun ke sana? Mungkin masih ingat kasus cabai pada tahun 1999. Saat
harga Rp 27.000/kg di kebun, orang beramai-ramai menanam cabai. Akibatnya
empat-lima bulan kemudian harga cabai merosot sampai Rp 2.000/kg. Ini hanya
contoh, betapa informasi sebuah bisnis menguntungkan tak mungkin ditutupi.
Selain model margin luar biasa besar, ada strategi lain yang bisa diterapkan
sebuah perusahaan investasi. Margin yang ditawarkan masuk akal. Analisis
usahanya feasible. Yang menjadi daya tarik calon investor, satu atau dua
bulan setelah setor modal, keuntungan sudah bisa dicicipi. Tak ada komoditas
pertanian yang bisa quick yielding seperti ini. Sayuran semusim, seperti
pakcoy, caisim, atau selada memang bisa panen satu bulan setelah tanam.
Namun, jumlah pekebun yang menanam komoditas itu luar biasa banyak, sehingga
harga tak mungkin tinggi. Otomatis marginnya pun pasti kecil. Kenyataannya
tetap ada yang menawarkan pengembalian keuntungan secepat itu. Strategi yang
dilakukan ialah menutup kewajibannya pada investor melalui usaha
non-agrobisnis.
Menyigi pasar merupakan rambu berikut setelah tingkat keuntungan ditawarkan.
Inilah yang dilakukan majalah Trubus dua tahun lalu saat menyangsikan
kebenaran investasi di QSAR. Saat itu dikatakan, produk QSAR diekspor ke
berbagai negara. Namun, setelah dicek ternyata semua isapan jempol. Mengecek
kebenaran pasar mudah dilakukan, bahkan oleh orang awam sekalipun. Cukup
angkat telepon ke para praktisi pertanian. Sebagaimana sudah diuraikan di
atas, para praktisi pertanian di Indonesia jumlahnya terbatas. Mereka pasti
tahu jika ada pasokan lain dalam jumlah besar yang masuk ke pasar. Apalagi
jika pengecekannya dilakukan sesuai wilayah. Artinya, bila perusahaan
investasi itu berbasis di Jawa Barat, ceklah ke pemain agrobisnis di seputar
Jawa Barat.
Kalau mau lebih njlimet, pasar ini dirinci lebih mendalam. Soalnya, pasar
dalam komoditas agrobisnis demikian beragam. Dalam bentuk segar saja
persyaratan kualitasnya sangat bervariasi. Demikian juga dengan olahan.
Waktunya pun tertentu, tidak sepanjang tahun. Kalau ada yang mengatakan, ia
mengekspor paprika ke Taiwan sepanjang tahun, itu pasti bualan kosong.
Soalnya, dalam setahun Indonesia hanya punya peluang mengekspor paprika
selama 3-4 bulan saja. Sisanya diisi produk dari negara lain.
Rambu terakhir yang bisa dicermati ialah segi teknis budidaya. Pada sisi ini
seorang calon investor memerlukan bantuan pakar komoditas yang bersangkutan.
Contohnya, ya proposal jagung manis QSAR. Angka investasi yang Rp 26 juta
jelas sudah mengundang tanda tanya. Apalagi populasi tanaman hanya 10.000.
Padahal hanya dengan Rp 5,5 juta pekebun sudah bisa menanam 48.000 tanaman.
Sang pakar juga pasti akan mengecek tingkat produktivitas per tanaman. Rasa
tidak percaya pasti langsung muncul saat melihat angka produktivitas per
pohon satu kilogram. Dalam sejarah tak pernah ada produksi setinggi itu.
Pekebun jagung manis yang jagoan pun rata-rata hanya mampu menghasilkan dua
ons per pohon. Jadi, kalau populasi 48.000 tanaman per ha, total produksi
sekitar sembilan ton.
Seandainya proposal itu hanya mencantumkan hasil perkalian produktivitas per
pohon dengan jumlah total populasi, maka rasa tidak percaya pun kian
menguat. Angka total produksi itu masih harus dikurangi 20 persen untuk
makanan belalang, ulat, atau dipetik orang iseng. Puncak ketidakpercayaan
terjadi setelah melihat harga yang fantastis, Rp 5.500 per kg. Sang pakar
yang sudah 20 tahun beragrobisnis jagung manis hanya pernah mengecap angka
Rp 2.000 di tingkat petani sebagai harga tertinggi. Itupun cuma berlangsung
paling lama satu bulan, setelah itu turun lagi.
Segi teknis yang tercermin di proposal memang perlu diotopsi sang pakar.
Jadi, sebaiknya kontak dulu sang ahli sebelum menanamkan modal di perusahaan
investasi. Jangan sampai mimpi indah beragrobisnis berubah menjadi mimpi
buruk. Bila inipun sudah terlanjur terjadi, jangan salahkan agrobisnis. Dari
dahulu sampai sekarang agrobisnis-apalagi on farm-nya-memiliki risiko paling
tinggi dengan margin paling rendah. Itu masih ditambah fakta, tak ada ja-lan
pintas untuk menuju kesuksesan.
Onny Untung, Pemimpin Redaksi Majalah Trubus
Search :










Berita Lainnya :
•TAJUK RENCANA
•REDAKSI YTH
•Mimpi Agrobisnis
•QSAR, Puncak Gunung Es Problema Investasi Bagi Hasil
•TKI Ilegal dan Harga Diri Kita
•KARIKATUR
•POJOK