[Karawang] QSAR, Puncak Gunung Es Problema Investasi Bagi Hasil
Ambon
karawang@polarhome.com
Tue Aug 27 23:49:51 2002
KOmpas
Rabu, 28 Agustus 2002
QSAR, Puncak Gunung Es Problema Investasi Bagi Hasil
Oleh Elvyn G Masassya
Adakah jenis investasi yang bisa meniadakan dogma high risk high return?
Ada! Setidaknya, seperti itulah persepsi para investor yang menempatkan
dananya dalam perusahaan investasi bagi hasil. Jadi, tidak mengherankan bila
kemudian PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), yang menjalankan bisnis bagi
hasil di sektor agrobisnis berhasil menarik hati para pemilik dana.
Perusahaan ini, menawarkan return yang jauh di atas bunga deposito dan
risiko yang nihil.
Itulah janji yang dikemukakan, ketika QSAR memasang iklan di berbagai media
cetak beberapa tahun silam.
Namun, persepsi memang berbeda dengan realitas. High risk high return adalah
suatu aksioma yang tidak bisa digugat oleh keajaiban apa pun. Sekitar 6.500
investor yang semula begitu yakin, investasi bagi hasil yang diikutinya akan
memberikan return dahsyat, ternyata menghadiahi mereka risiko yang jauh
lebih dashyat. Konkretnya, dana Rp 500 milyar yang tertanam di QSAR, tidak
jelas lagi nasibnya. QSAR yang semula diyakini bisa menjadi "dewa investasi"
ternyata hanya memberi mimpi. Tidak jauh beda dengan sinetron di televisi.
Mengapa masyarakat bisa tertarik investasi semacam itu? Boleh jadi, latar
persoalannya ada di budaya kita yang cenderung ingin hasil cepat tanpa kerja
keras. Lihat saja, fenomena iming-iming tabungan berhadiah yang dijalankan
banyak bank dewasa ini, ternyata begitu sakti menghimpun dana. Masyarakat
lebih suka iming-iming hadiah ketimbang substansi. Atau, lihat beberapa
tahun silam, saat banyak bank jor-joran menaikkan suku bunga. Pemilik dana
berlomba-lomba menempatkan dananya di bank seperti itu. Sampai ketika
bank-bank itu dilikuidasi, baru penyesalan datang. Boleh jadi, perasaan
seperti itu pula yang dialami ribuan investor QSAR, saat ini.
***
INVESTASI bagi hasil sebenarnya bukan hal keliru. Prinsip syariah atau
venture capital juga mengenal bagi hasil. Tetapi, hasil investasi bukan
sekadar keuntungan, namun juga resiko kerugian. Inilah prinsip dasar yang
umumnya tidak dikemukakan secara jujur oleh penyelenggara investasi bagi
hasil.
Investasi juga mengenal logika, bagaimana investasi itu dilakukan. Logika
bagaimana penyelenggara mengelola risiko yang melekat pada jenis investasi
itu.
Dalam investasi agrobisnis, seperti dilakoni QSAR, sebagai misal, benar
bahwa sepanjang manusia masih butuh pangan, maka kebutuhan akan produk
pertanian akan terus ada. Tetapi, juga ada tingkat kejenuhannya. Itu
berarti, tidak seluruh hasil produksi bisa diserap pasar. Dan QSAR yang
kebanjiran dana investasi, boleh jadi bingung menanamkan dana itu. Sebab,
semakin luas lahan yang digarap, tidak menjamin output-nya akan diserap
pasar. Ada titik optimum dalam penggunaan lahan. Sebab, selain QSAR juga ada
lahan yang dikelola perusahaan lain yang juga memproduksi output yang sama.
Lain hal, kalau QSAR menjadi pemasok tunggal produk pertanian. Itu baru
dilihat dari sisi teknis pertaniannya.
Kemudian, target keuntungan yang bisa diraih. Setinggi apa pun permintaan
terhadap produk pertanian, sulit rasanya untuk bisa menghasilkan keuntungan
50 sampai 85 persen per tahun, sebagaimana dijanjikan QSAR. Menurut para
ahli pertanian, dalam keadaan normal, keuntungan dari bisnis pertanian
paling banter hanya sekitar 10 persen per tahun. Lalu, bagaimana QSAR berani
menjamin return yang melebihi kelaziman itu? Ada beberapa kemungkinan.
Pertama, harga produk pertanian QSAR dibeli pasar dengan harga jauh di atas
pesaingnya. Kedua, QSAR melakukan efisiensi luar biasa dahsyat, sehingga
mungkin tidak ada ongkos sama sekali. Ketiga, QSAR sebenarnya menjalankan
"matrik bisnis" dalam pengelolaan bisnisnya.
Mengenai kemungkinan pertama, jelas tidak masuk akal. Yang melakukan
investasi di sektor agrobisnis bukan cuma QSAR. Perusahaan-perusahaan yang
nonbagi hasil juga banyak bermain di agribisnis. Jadi, amat muskil bila
produk hasil tani QSAR mendominasi pasar, apalagi dijual dengan harga jauh
di atas kelaziman. Konkretnya, bila QSAR menjanjikan keuntungan tinggi
kepada investor, itu jelas bukan karena QSAR mampu menjual produknya dengan
harga mahal.
Sementara, kemungkinan melakukan efisiensi, rasanya juga agak berlebihan.
Untuk melakukan kegiatannya, selain mengalokasikan dana untuk lahan, bibit,
pemeliharaan, proses produksi, dan distribusi, QSAR pasti memiliki biaya
overhead yang besar. Dengan kantor cabang di mana-mana, muskil bagi QSAR
untuk melakukan efisiensi melebihi yang dilakukan perusahaan sejenis.
Kemungkinan ketiga bukannya mengada-ada. Sebab, bisnis apa pun, termasuk
agrobisnis pasti memiliki yang namanya masa investasi atau grace periode.
Bila palawija, paling tidak kurun waktu masa investasi adalah tiga bulan.
Kalau holtikultura atau tanaman keras jelas lebih panjang, bisa mencapai
tahunan. Anehnya, dalam masa investasi itu, yang nyata-nyata belum
menghasilkan, penyelenggara investasi tetap harus membayar (minimal) bunga
atau keuntungan kepada investor. Dari mana sumber dananya? Sangat mungkin,
yang dipakai sebagai sumber pembayaran adalah dana si investor juga.
Konkretnya, menggunakan pola gali lubang tutup lubang atau mendekati pola
arisan. Dengan kata lain, dana dari investor yang masuk belakangan dipakai
untuk membayar investor yang duluan menjadi anggota. Itu sebabnya, para
investor yang masuk di awal, umumnya masih menikmati keuntungan. Sementara,
investor yang datang belakangan, hanya menerima "getahnya" saja.
***
LEPAS kemungkinan mana yang benar, hal yang paling tidak masuk akal dari
kegiatan QSAR adalah filosofi pendanaannya. Bisnis apa pun, sukar dimungkiri
bukan kegiatan sosial. Bisnis adalah derivatif dari ideologi kapitalis.
Dalam konsep ini, lazimnya pebisnis enggan berbagi keuntungan. Yang ada
adalah berbagi risiko.
Nah, bila benar QSAR mampu meraih keuntungan 50 persen sampai 85 persen,
seharusnya ia tidak perlu berbagi. Kalaupun berbagi, tentunya dengan
persentase lebih kecil, dan itu bisa dilakukan bila QSAR menggunakan kredit
bank. Dengan bunga sekitar 17-20 persen per tahun, maka marjin yang
diperoleh pemilik QSAR akan jauh lebih besar ketimbang menggunakan dana
milik masyarakat, yang biayanya mencapai 50-85 persen per tahun. Lalu
mengapa QSAR tidak menggunakan kredit bank yang lebih jelas
akuntabilitasnya? Atau, dari sisi lain, bila bisnis QSAR benar-benar
sebagaimana dijanjikannya, tentu akan banyak bank tergiur memberi pendanaan?
Nyatanya, tidak ada bank yang berminat? Boleh jadi, bisnis QSAR sebenarnya
tidak bank-able.
Yang juga mengherankan adalah mekanisme operasional QSAR itu sendiri.
Perusahaan ini adalah perseroan terbatas yang tentunya tunduk pada
Undang-Undang (UU) Perseroan Terbatas (PT) dan memiliki izin sebagai
perusahaan yang bergerak di agrobisnis. Tetapi, dalam praktiknya, QSAR sudah
melakukan kegiatan penghimpunan dana. Kalau perusahaan di sektor riil
melakukan penghimpunan dana langsung dari masyarakat, mestinya dilakukan
dengan menggunakan instrumen keuangan, seperti surat berharga, apakah itu
obligasi atau minimal promissory notes. Tetapi, adakah QSAR menggunakan
metoda semacam itu?
Lebih jauh lagi, adakah QSAR memiliki izin untuk menghimpun dana masyarakat?
Tidak ada. Dus, meski ada pejabat yang mengatakan QSAR bukan bank gelap,
praktik yang dijalankannya sebenarnya analog dengan itu. Masalahnya, di
negeri ini, aturan-aturan yang menyangkut investasi bagi hasil dengan cara
menghimpun dana langsung dari masyarakat memang belum tertata.
Di pasar modal, ada yang namanya KIK (kontrak investasi kolektif).
Sebenarnya, apa yang dilakukan QSAR dan perusahaan sejenis, harus merujuk ke
situ, bila ingin dibakukan. Sayang, kita sering kebakaran jenggot bila
masalah sudah demikian parah. Dan, QSAR hanyalah salah satu contoh dari
problema investasi bagi hasil yang marak belakangan ini.
QSAR bukan ujung dari persoalan investasi bagi hasil. Bukan tidak mungkin,
fenomena sejenis akan mencuat kembali dalam waktu tidak terlalu lama, bila
pemerintah tidak segera menertibkan bisnis-bisnis seperti itu, yang apa
boleh buat, lebih cocok diberi istilah "pepesan kosong" ketimbang investasi
bagi hasil.
Elvyn G Masassya, Praktisi dan pengamat investasi
Search :
Berita Lainnya :
•TAJUK RENCANA
•REDAKSI YTH
•Mimpi Agrobisnis
•QSAR, Puncak Gunung Es Problema Investasi Bagi Hasil
•TKI Ilegal dan Harga Diri Kita
•KARIKATUR
•POJOK