[Karawang] Re: [Nasional] ULIL: Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam
karawang@polarhome.com
karawang@polarhome.com
Tue Nov 19 03:12:14 2002
Sato Sakaki schrieb:
>
> -----------------------------------------------------------------------
> Mailing List "NASIONAL"
> Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
> Kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
> -----------------------------------------------------------------------
> BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH
> -----------------------------------------------------------------------
> Wah wah wah bukan main Bung Ulil Abshar Abdalla ini.
> Benar-benar seorang tokoh pendobrak.
> Coba perhatikan pandangan-pandangannya yang sebenarnya
> sudah lama terselip di hati kecil banyak orang. Saya
> kutip:
>
> -- Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam
> yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang
> tidak. Islam itu kontekstual, dalam pengertian,
> nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan
> dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu,
> Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk
> Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan
> kita tidak diwajibkan mengikutinya. Aspek-aspek Islam
> yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya,
> tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong
> tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib
> diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular
> Islam di Arab. Yang harus diikuti adalah nilai-nilai
> universal yan! g melandasi praktik-praktik itu. Jilbab
> intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi
> standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan
> umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai
> perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.
>
> -- Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara
> perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak
> relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas
> melarang itu, karena Quran menganut pandangan
> universal tentang martabat manusia yang sederajat,
> tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum
> Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang
> Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan
> prinsip kesederajatan universal dalam tataran
> kemanusiaan ini.
>
> -- kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas
> memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan
> agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara
> pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil
> kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi.
> Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut
> membentuk nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan
> praktik peribadatan agama yang sifatnya partikular
> adalah urusan masing-masing agama.
>
> -- Menurut saya, Rasul Muhammad SAW adalah tokoh
> historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga
> tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa
> memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga
> banyak kekurangannya), sekaligus panutan ! yang harus
> diikuti (qudwah hasanah).
>
> -- Bagi saya, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi;
> wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu
> verbal memang telah selesai dalam Quran, tetapi wahyu
> nonverbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus
> berlangsung.
>
> Bravo Ulil!!
> Sato Sakaki
> Los Angeles, California
> (seorang sekularis)
> -----------------
>
> The original text:
>
> Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam
> Oleh Ulil Abshar-Abdalla
>
> SAYA meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah
> "organisme" yang hidup; sebuah agama yang berkembang
> sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam
> bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7
> Masehi, lalu dianggap sebagai "patung" indah yang tak
> boleh disentuh tangan sejarah.
>
> Saya melihat, kecenderungan untuk "me-monumen-kan"
> Islam amat menonjol saat ini. Sudah saatnya suara
> lantang dikemukakan untuk menandingi kecenderungan
> ini. Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah
> ini sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali
> pemikiran Islam yang saya pandang cenderung membeku,
> menjadi "paket" yang sulit didebat dan dipersoalkan:
> paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan
> pesan sederhana, take it or leave it! Islam yang
> disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi
> kemajuan Islam itu sendiri.
>
> Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan
> mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini. Untuk
> menuju ke arah itu, kita memerlukan beberapa hal.
>
> Pertama, penafsiran Islam yang non-literal,
> substansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi
> peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
>
> Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana
> unsur-unsur di
> dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan
> mana yang merupakan nilai fundamental. Kita harus bisa
> membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan
> pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.
> Islam itu kontekstual, dalam pengertian,
> nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan
> dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu,
> Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk
> Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan
> kita tidak diwajibkan mengikutinya. Aspek-aspek Islam
> yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya,
> tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong
> tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib
> diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular
> Islam di Arab.
> Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yan! g
> melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah
> mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan
> umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya
> fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan
> kebudayaan
> manusia. Begitu seterusnya.
>
> Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya
> sebagai "masyarakat" atau "umat" yang terpisah dari
> golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga
> universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu
> sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan
> berlawanan, dengan
> Islam. Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara
> perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak
> relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas
> melarang itu, karena Quran menganut pandangan
> universal tentang martabat manusia yang sederajat,
> tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum
> Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang
> Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan
> prinsip kesederajatan universal dalam tataran
> kemanusiaan ini.
>
> Keempat, kita membutuhkan struktur sosial yang dengan
> jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana
> kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi;
> sementara pengaturan kehidupan publik adalah
> sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui
> prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu
> diharapkan ikut membentuk nilai-nilai publik, tetapi
> doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya
> partikular adalah urusan masing-masing agama.
>
> Menurut saya, tidak ada yang disebut "hukum Tuhan"
> dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang
> Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual
> beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang
> ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang
> dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut
> sebagai maqashidusy syari'ah, atau tujuan
> umum syariat Islam. Nilai-nilai itu adalah
> perlindungan atas kebebasan beragama, akal,
> kepemilikan, keluarga/keturunan, dan kehormatan
> (honor). Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan dalam
> konteks sejarah dan sosial tertentu, itu adalah urusan
> manusia Muslim sendiri.
>
> ***
>
> BAGAIMANA meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW
> dalam konteks pemikiran semacam ini? Menurut saya,
> Rasul Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus
> dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi
> mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek
> beliau sebagai
> manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus
> panutan ! yang harus diikuti (qudwah hasanah).
>
> Bagaimana mengikuti Rasul? Di sini, saya mempunyai
> perbedaan dengan pandangan dominan. Dalam usaha
> menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di
> Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan.
> Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial
> dan spiritual Islam
> di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di
> sana adalah Islam historis, partikular, dan
> kontekstual. Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul
> secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di
> Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai
> universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan
> seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah
> hasil suatu trade-off antara "yang universal" dengan
> "yang partikular".
>
> Umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru
> dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks
> kehidupan mereka sendiri. "Islam"-nya Rasul di Madinah
> adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang
> universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk
> menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks
> yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among
> others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka
> Bumi. Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya
> mandek dengan melihat contoh di Madinah saja, sebab
> kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan
> penyempurnaan. Bagi saya, wahyu tidak berhenti pada
> zaman Nabi;
> wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu
> verbal memang telah selesai dalam Quran, tetapi wahyu
> nonverbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus
> berlangsung.
>
> Temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai
> bagian dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan
> adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu
> dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugerah
> Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak
> peduli agamanya,
> adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang
> Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan
> peradaban Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain
> dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil
> karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa,
> termasuk milik orang Islam.
>
> Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa
> suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah
> paling benar dan mutlak, karena itu harus ada
> kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran,
> termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap
> golongan hendaknya
> menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam
> berdasarkan sudut pandangnya sendiri; yang harus
> di-"lawan" adalah setiap usaha untuk memutlakkan
> pandangan keagamaan tertentu.
> Saya berpandangan lebih jauh lagi: setiap nilai
> kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah
> nilai Islami juga. Islam-seperti pernah dikemukakan
> Cak Nur dan sejumlah pemikir lain-adalah "nilai
> generis" yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha,
> Konghucu, Yahudi, Taoisme,
> agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa
> jadi, kebenaran "Islam" bisa ada dalam filsafat
> Marxisme.
>
> Saya tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi.
> Keyakinan dan praktik keIslam-an yang dianut oleh
> orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam
> hanyalah "baju" dan forma; bukan itu yang penting.
> Yang pokok adalah nilai yang tersembunyi di baliknya.
> Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan
> "baju" yang dipakai, sementara mereka lupa, inti
> "memakai baju" adalah menjaga martabat manusia sebagai
> makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju, sarana,
> wasilah, alat untuk menuju tujuan pokok: penyerahan
> diri kepada Yang Maha Benar.
> Ada periode di mana umat beragama menganggap, "baju"
> bersifat mutlak dan segalanya, lalu pertengkaran
> muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi, pertengkaran
> semacam itu tidak layak lagi untuk dilanggengkan kini.
>
> ***
>
> MUSUH semua agama adalah "ketidakadilan". Nilai yang
> diutamakan Islam adalah keadilan.
> Misi Islam yang saya anggap paling penting sekarang
> adalah bagaimana menegakkan ke! adilan di muka Bumi,
> terutama di bidang politik dan ekonomi (tentu juga di
> bidang budaya), bukan menegakkan jilbab, mengurung
> kembali perempuan, memelihara jenggot, memendekkan
> ujung celana, dan tetek bengek masalah yang menurut
> saya amat bersifat furu'iyyah. Keadilan itu tidak bisa
> hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam
> bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan
> sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan.
>
> Upaya menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah
> wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi
> masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya
> dengan cara rasional. Umat Islam menganggap, semua
> masalah akan selesai dengan sendirinya manakala
> syariat Islam, dalam
> penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di
> muka Bumi. Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan
> dengan semata-mata merujuk kepada "hukum Tuhan"
> (sekali lagi: saya tidak percaya adanya "hukum Tuhan";
> kami hanya percaya pada nilai-nilai ketuhanan yang
> universal),
> tetapi harus merujuk kepada hukum-hukum atau sunnah
> yang telah diletakkan Allah sendiri dalam setiap
> bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya
> sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri,
> bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, dan
> seterusnya.
>
> Kata Nabi, konon, man aradad dunya fa'alihi bil 'ilmi,
> wa man aradal akhirata fa 'alihi bil 'ilmi; barang
> siapa hendak mengatasi masalah keduniaan, hendaknya
> memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai
> kebahagiaan di dunia "nanti", juga harus pakai ilmu.
> Setiap bidang ada
> aturan, dan tidak bisa semena-mena merujuk kepada
> hukum Tuhan sebelum mengkajinya lebih dulu. Setiap
> ilmu pada masing-masing bidang juga terus berkembang,
> sesuai perkembangan tingkat kedewasaan manusia. Sunnah
> Tuhan, dengan demikian, juga ikut berkembang. Sudah
> tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang
> kehidupan itu harus tunduk kepada nilai primer, yaitu
> keadilan. Karena itu, syariat Islam, hanya merupakan
> sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan
> universal; bagaimana nilai-nilai itu menjadi nyata dan
> dapat memenuhi kebutuhan untuk menangani suatu masalah
> dalam periode tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada
> ijtihad manusia itu sendiri. Pandangan bahwa syariat
> adalah suatu "paket lengkap" yang sudah jadi, suatu
> resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala
> zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan
> memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat
> Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah
> sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi,
> merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk
> eskapisme dengan memakai alasan
> hukum Tuhan.
>
> Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat
> Islam di mana-mana. Saya tidak bisa menerima
> "kemalasan" semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi
> dengan alasan, itu semua demi menegakkan hukum Tuhan.
> Jangan dilupakan: tak ada hukum Tuhan, yang ada adalah
> sunnah Tuhan
> serta nilai-nilai universal yang dimiliki semua umat
> manusia. Musuh Islam paling berbahaya sekarang ini
> adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup
> bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab
> atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan
> manusia terus berkembang, dan perkembangan peradaban
> manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha
> bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua
> bangsa. Setiap doktrin yang hendak membangun tembok
> antara "kami" dengan "mereka", antara hizbul Lah
> (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan)
> dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu,
> antara "Barat" dan "Islam";! doktrin demikian adalah
> penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar
> Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat
> manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia
> yang satu.
>
> Pemisah antara "kami" dan "mereka" sebagai akar pokok
> dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa
> dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut
> "kami" itu, tetapi juga bisa di lingkungan "mereka".
> Saya berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan lebih
> luas dari
> yang semata-mata tertera di antara lembaran-lembaran
> Quran. Ilmu Tuhan adalah penjumlahan dari seluruh
> kebenaran yang tertera dalam setiap lembaran "Kitab
> Suci" atau "Kitab-Tak-Suci", lembaran-lembaran
> pengetahuan yang dihasilkan akal manusia, serta
> kebenaran yang belum
> sempat terkatakan, apalagi tertera dalam suatu kitab
> apa pun. Kebenaran Tuhan, dengan demikian, lebih besar
> dari Islam itu sendiri sebagai agama yang dipeluk oleh
> entitas sosial yang bernama umat Islam. Kebenaran
> Tuhan lebih besar dari Quran, Hadis dan seluruh korpus
> kitab tafsir yang dihasilkan umat Islam sepanjang
> sejarah.
>
> Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut
> sebagai sebuah "proses" yang tak pernah selesai,
> ketimbang sebuah "lembaga agama" yang sudah mati,
> baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat
> Innaddina 'indal Lahil Islam (QS 3:19), lebih tepat
> diterjemahkan sebagai,
> "Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah
> proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan
> (kepada Yang Maha Benar)." Dengan tanpa rasa sungkan
> dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat
> berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju
> Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah
> benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman
> yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas
> itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang
> sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran
> yang tak pernah ada
> ujungnya. Maka, fastabiqul khairat, kata Quran (QS
> 2:148); berlombalah-lombalah dalam menghayati jalan
> religiusitas itu. Syarat dasar memahami Isla! m yang
> tepat adalah dengan tetap mengingat, apa pun
> penafsiran yang kita bubuhkan atas agama itu, patokan
> utama yang harus menjadi batu uji adalah maslahat
> manusia itu sendiri. Agama adalah suatu kebaikan buat
> umat manusia; dan karena manusia adalah organisme yang
> terus berkembang, baik secara kuantitatif dan
> kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan
> diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada
> adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena
> manusialah stake holder yang berkepentingan dalam
> semua perbincangan soal agama ini.
>
> Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang
> justru berlawanan dengan maslahat manusia itu sendiri,
> atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam yang
> semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi berguna
> buat umat manusia. Mari kita cari Islam yang lebih
> segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat manusia.
> Mari kita tinggalkan Islam yang beku, yang menjadi
> sarang dogmatisme yang menindas maslahat manusia itu
> sendiri.
> ULIL ABSHAR-ABDALLA, Koordinator Jaringan Islam
> Liberal (JIL), Jakarta
>
> __________________________________________________
> Do you Yahoo!?
> Yahoo! Web Hosting - Let the expert host your site
> http://webhosting.yahoo.com
> -------------------------------------------------------------
> Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
> Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
> Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
> Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
> Nasional-a: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
> Nasional-e: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-e/
> ------------------Mailing List Nasional------------------