[Marinir] [SP] DPR Punya Legitimasi untuk Serahkan RUU TNI
Hong Gie
ouwehoer at centrin.net.id
Tue Aug 3 07:49:05 CEST 2004
Catatan YHG:
* DR.Tjipta Lesmana adalah pengamat politik nasional, dosen Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Indonesia, Depok.
------------------------------------------------------------------
http://www.suarapembaruan.com/News/2004/08/02/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY
-------------------------------------------------------------------
Last modified: 2/8/04
DPR Punya Legitimasi untuk Serahkan RUU TNI
Oleh Tjipta Lesmana
EBAGIAN orang yang saat ini mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk
tidak mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia
(RUU TNI) sesungguhnya adalah mereka yang ikut secara aktif menyusun draf
awal RUU di bawah koordinasi Departemen Pertahanan. Dengan demikian,
sebagian pandangan dan pemikiran mereka sudah diakomodasi di dalam RUU.
Bahwa ada pemikiran mereka yang tidak ditampung, mestinya bisa dipahami oleh
semua pihak.
Masalahnya, mereka telanjur mengklaim dirinya sebagai "pakar militer" yang
lebih tahu soal militer daripada jenderal-jenderal di Cilangkap. Padahal,
mereka hanya berbekal textbooks dari negara-negara Barat, khususnya Amerika.
Ada juga di antara mereka yang jebolan Center for Security Study Pacific
Command (CSSPC) di Hawaii, sebuah institusi pendidikan yang dibiayai
Pemerintah Amerika.
Institusi ini bertujuan membekali para jenderal dan cendekiawan dari
negara-negara yang sedang berkembang dengan konsep-konsep keamanan dan
militer ala barat yang bertumpu pada satu konsep dasar, yaitu civilian
supremacy over military establishment.
Pokoknya, militer harus dikangkangi oleh otoritas sipil. Para jenderal,
termasuk Panglima TNI atau Kepala Staf Angkatan, semua, harus tunduk pada
perintah sipil.
Operasionalisasi dari paradigma itu, antara lain berupa: (a) tentara berada
di bawah kendali Menteri Pertahanan (Defense Secretary di Amerika); (b)
tidak ada jabatan Panglima TNI. Yang ada, paling banter Joint Chief of Staff
(Kepala Staf Gabungan) yang sama sekali tidak memiliki wewenang komando; (c)
sebagian kewenangan Panglima TNI dialihkan ke Kepala Staf Angkatan
masing-masing; (d) kerja tentara dalam masa damai hanya berlatih dan
berlatih untuk meningkatkan profesionalisme mereka, sambil memelihara
perlengkapan militer; (e) tentara tidak bisa menyusun dan mempunyai anggaran
sendiri, melainkan harus bagian dari anggaran Departemen Pertahanan; (f)
haram bagi tentara untuk bersinggungan, apalagi terlibat dalam perpolitikan
dalam bentuk apa pun.
Paradigma Lama
Anak-anak muda berpendidikan Barat yang bersikeras "mem-foto-copy" paradigma
militer di negara maju untuk diterapkan di Indonesia tidak paham tentang
sejarah TNI. Maka, ketika Pasal 2 (1) RUU TNI menyatakan "TNI adalah tentara
rakyat yang berasal dan bersumber dari rakyat, berjuang bersama-sama rakyat,
pelindung dan pembela rakyat ...." mereka serta-merta berteriak bahwa itu
adalah "paradigma lama" yang harus dibuang, karena tidak lagi sesuai dengan
tuntutan reformasi.
Mereka menghendaki hubungan antara TNI dan rakyat betul-betul diputus. TNI,
ya TNI; rakyat, ya rakyat. Mereka lupa bahwa secara historis, TNI memang
lahir dari rakyat, berasal dari rakyat. Pada awalnya, tentara berjuang
bersama rakyat mengusir penjajah dan mempertahankan keutuhan bangsa dan
negara. Rakyat juga amat besar andilnya bagi keberhasilan operasi milter
menumpas sekian banyak pemberontakan pasca-kemerdekaan RI. Jangan melupakan
sejarah!
Kita memang sampai hari ini tetap tidak bergeser dari "paradigma lama" dalam
soal keamanan yang bertumpu pada konsep dasar "sistem pertahanan-keamanan
rakyat semesta" (Sishankamrata). Kalau paradigma ini mau disugur, ya,
terlebih dahulu harus diubah UUD 1945, sebab sistem Hankamrata itu tercantum
jelas dalam UUD 1945. UU mengenai TNI, jelas tidak boleh bertabrakan dengan
UUD 1945, juga tidak boleh bertabrakan dengan Tap MPR No VII/2000 tentang
Peran TNI dan Peran Polri.
Perhatikan konsideran ke-2 Tap MPR yang berbunyi: "bahwa pertahanan dan
keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari ketahanan nasional dengan menghimpun, menyiapkan dan
mengerahkan kemampuan nasional yang menetapkan rakyat sebagai kekuatan
dasar". Dengan demikian, dalam sistem Hankamrata, tentara sesungguhnya hanya
berperan sebagai kekuatan pendukung; sedang kekuatan dasarnya, kekuatan
utamanya, tetap rakyat sendiri.
Untuk melatih rakyat agar mampu menangkal dan melawan ancaman musuh dari
mana pun datangnya, tentara diberikan tugas melaksanakannya. Maka, kalau
kita bicara mengenai "Sishankamrata", penghapusan komando territorial
(koter)) adalah absurb. Koter merupakan bagian tak terpisahkan dari
"Sishankamrata".
Orang-orang berpendidikan barat, umumnya, tidak mengerti apa perlunya kita
mempertahankan konsep "Sishankamrata". Negara kita adalah negara kepulauan
terbesar di dunia, terdiri atas lebih dari 17.000 pulau, besar dan kecil.
Jarak antara Sabang sampai Merauke kurang-lebih sama dengan jarak antara
Teheran dan London. Indonesia juga bangsa yang paling diverse di seluruh
dunia, terdiri atas ratusan suku dan etnis masing-masing memliki kebudayaan,
adat-istiadat dan bahasa yang berbeda.
Negara dengan karakteristik fisik seperti itu sangat rawan terhadap segala
bentuk ancaman. Dan pengamaanannya pun amat sulit. Jika "Sishankamrata" mau
dihapus - artinya masalah keamanan dan pertahanan sepenuhnya menjadi
tanggung jawab TNI dibantu oleh Polri.
Kita mungkin membutuhkan paling tidak tiga juta personil TNI plus Polri,
ditambah sekian banyak perlengkapan militer yang canggih. Kita juga butuh
beberapa pesawat AWACS, agar ancaman di Papua atau wilayah-wilayah nan
jauh di pelosok dengan cepat dapat dideteksi oleh Markas Besar TNI di
Jakarta.
Apakah Negara sanggup membiayai semua keperluan itu?
Karena kita tidak memiliki kemampuan finansiil demikian besar (beda halnya
dengan RRC atau India, misalnya), maka peran militer hanya terbatas pada
pendukung, sedang tanggungjawab tetap dibebankan kepada seluruh lapisan
rayat.
Ekses Negatif
Persoalannya, implementasi "Sishankamrata" selama rezim Orde Baru mengalami
banyak ekses negatif. Fungsi pembinaan "Koter" seringkali disalahgunakan,
sehingga kerja anggota Babinsa dan intel-intel Koramil, Kodim dan Korem
banyak menekan dan mengintimidasi rakyat.
Lebih dari itu, pelaksanaan Dwifungsi ABRI juga diselewengkan. Fungsi Sospol
ABRI diinterpretasikan militer boleh menduduki jabatan sipil di strata apa
pun: mulai dari gubernur sampai camat dan lurah.
Ekses "gila" lainnya sudah sama-sama kita ketahui: tentara dijadikan "alat"
oleh Presiden Soeharto untuk meredam elemen masyarakat manapun yang berani
menentang kekuasaannya.
Pertanyaan kita sekarang, apakah perbuatan dan tindakan tercela sebagian
anggota TNI, terutama para jenderalnya di masa lalu mengharuskan kita untuk
menyerang habis-habisan TNI, bahkan kalau perlu membubarkan TNI? Apakah jika
sebagian organ tubuh kita rusak, tubuh kita harus dimatikan? Jika kita mau
jujur, kita semua sebenarnya turut berdosa dengan terjadinya penyimpangan
Orde Baru, termasuk TNI-nya.
Paling tidak, Anda akan digugat, di mana suara Anda ketika itu? Bahkan ada
seorang pengamat militer "kenamaan" saat ini yang vokal terhadap TNI, di
masa lalu termasuk orang yang getol memuji ABRI dan pemerintahan Soeharto!
Saya berpendapat, UU tentang TNI sangat diperlukan dewasa ini, dan memang
sudah diamanatkan sejak tahun 2000, yaitu dengan keluarnya Tap MPR No
VII/2000 (jo Pasal 3 ayat 1), kecuali jika Anda termasuk orang yang
berpandangan bahwa semua Tap MPR sudah menjadi "sampah" dengan lahirnya
Amendemen UUD 1945 ke-4 pada tahun 2002.
Kehadiran sebuah UU mengenai TNI lebih relevan lagi jika dikaitkan dengan
ancaman gerakan separatisme dan terorisme yang terkait pula dengan pertanyan
mendasar: Siapa yang punya tanggung jawab untuk menghancurkan kedua ancaman
itu?
Pertanyaan ini memang menjadi tidak relevan jika Anda tergolong orang yang
percaya tidak ada ancaman separatisme dan terorisme di Indonesia. Ancaman
itu tidak lebih fabrikasi intel dan militer kita.
Sikap curiga pada TNI yang terkesan ingin mendorong DPR untuk menyelesaikan
RUU ini sebelum DPR yang sekarang habis masa kerjanya adalah tidak benar.
Wacana mengenai RUU TNI sudah digulirkan sejak awal tahun lalu.
Maka, tidak benar pula tuduhan bahwa RUU ini kurang disosialisasikan. Sejak
Maret 2003 media massa sudah mempolemikkan RUU ini.
Pasal 19 Ayat (1) tentang "kewenangan Panglima TNI mengerahkan pasukan dalam
keadaan kegentingan yang memaksa" mendapat kecaman habis-habisan dari para
"pengamat militer". Pasal ini bahkan dijuluki "pasal kudeta".
Ternyata, pimpinan TNI cukup responsif. Pasal ini kemudian didrop. Sebagai
gantinya, Pasal 18, berbunyi "Kewenangan dan tanggungjawab pengerahan dan
penggunaan kekuatan TNI berada pada presiden".
Mengenai usia pensiun anggota TNI, naskah semula mencantumkan usia 60 tahun,
tapi kemudian dibubah 58 tahun. Hanya terhadap mereka "yang mempunyai
keahlian tertentu" yang dapat dipertahankan hingga usia 60 tahun.
Maka, kebijakan Presiden Megawati untuk menetapkan Amanat Presiden (Ampres)
mengenai RUU TNI sudah tepat sekali dan patut didukung. Kita percaya DPR pun
terpanggil untuk menyelesaikan RUU ini sebelum masa tugasnya selesai pada
akhir bulan September nanti.
Penulis adalah seorang pengamat politik, mantan anggota Komisi Konstitusi
MPR
More information about the Marinir
mailing list