[Marinir] [SH] Benny Moerdani: yang 60% Itu Urusannya Pak Harto

Hong Gie ouwehoer at centrin.net.id
Mon Aug 30 18:47:46 CEST 2004


Selamat Jalan Pak Benny; Patriot "24 Karat" !

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0408/30/sh05.html

Benny Moerdani: yang 60% Itu Urusannya Pak Harto
Oleh Wartawan "SH"
Daud Sinjal

JAKARTA - Untuk L.B.Moerdani, Presiden menggunakan hak prerogatifnya
dengan sempurna.
Ia diangkat menjadi Panglima ABRI dengan melangkahi dua lapis seniornya,
tanpa pernah menjadi Pangdam, dan di struktur TNI, dia baru di jenjang
asisten.

Jenderal Leonardus Benyamin Moerdani atau yang lebih dikenal dengan
panggilan Pak Benny memang orang kepercayaan Presiden Soeharto, setidaknya
dari dasawarsa 1970-an sampai akhir 1980-an.
Sebagai Panglima ABRI ia melakukan gebrakan menentukan. Empat Komando
Wilayah Pertahanan (Kowilhan) dihapus, Komando Strategis Nasional
(Kostranas) dilikuidasi, 17 Kodam diciutkan jadi tinggal 10. Intelijen lebih
ditonjolkan ketimbang pembinaan tempur dan teritorial. Itu yang
dikatakannya "perampingan" untuk menampilkan ABRI yang modern, efektif dan
efisien. Namun dari semuanya itu, ia memang efektif dan efisien menjalankan
kepemimpinannya dan menjadi orang kedua paling ditakuti di negeri ini
setelah Soeharto.

Secara pribadi, ia memang dikenal efektif menjalankan berbagai operasi
militer dan politik, ke dalam mau pun keluar. Masih berpangkat mayor,
namanya sudah menjulang sebagai komandan brigade gerilya pembebasan Irian
Barat (dan untuk ini dia mendapat Bintang Sakti). Sebagai letnan kolonel
memainkan peran penting dalam normalisasi hubungan dengan Malaysia, sebagai
Dan Satgas Intel Kopkamtib/ Asisten Intel ABRI menjadi penanggung-jawab
operasi penggabungan Timor Timur ke dalam RI (yang langsung melapor ke
Presiden/Panglima Tertinggi). Dan kendati sudah berbintang tiga sebagai
Asintel Hankam/ABRI, ia ikut terjun langsung dalam penyerbuan untuk
menyelamatkan penumpang pesawat DC 9 Woyla milik Garuda dari tangan teroris.
Pak Benny, demikian L.B. Moerdani biasa dipanggil, bisa bicara dengan relaks
dengan sesama rekan panglima negara tetangga, para kepala pemerintahan dan
senator. Tapi bagi kebanyakan wartawan, Benny Moerdani adalah Pangab yang
sangat bertolak belakang dengan pendahulunya. Kalau Jenderal M.Jusuf terbuka
dan "royal" mengajak wartawan, maka Moerdani sepertinya tabu dekat-dekat
dengan wartawan, apalagi membuka diri di depan mereka. Ia senantiasa
menampakkan muka "beku", memberi isyarat kuat tidak ingin didekati. Tapi
tokoh ini sebenarnya susah susah gampang karena bisa saja, di tempat umum,
ia malah memanggil wartawan untuk duduk ngobrol dengannya.

Operasi Khusus
Sikap angker ini menjadi "trade mark" Pak Benny ketika ia menjabat Komandan
Satgas Intel Kopkamtib merangkap Asisten Intel Hankam/ABRI dan Kepala Badan
Intelijen Strategis (BAIS) sampai menjadi Panglima ABRI/Panglima Komando
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).

Namun "stel kenceng" ini berangsur kendur selepas dari Panglima ABRI,
kendati masih memegang kendali di BAIS. Seperti diketahui selepas pergantian
Menhankam/Pangab Jusuf, jabatan Menhankam tidak lagi sekaligus Panglima
ABRI. Di tahun 1983 itu, sebagai Pangab, Jusuf diganti oleh Moerdani,
sedangkan jabatan Menhankamnya diserahterimakan kepada Jenderal Poniman.
Tahun 1988, Benny Moerdani menyerahkan jabatan Pangab kepada Jenderal Try
Soetrisno, lalu dia sendiri "hanya" menjadi Menteri Hankam.
Close encounter saya dengan Pak Benny terjadi pertengahan Mei 1969 di Kuala
Lumpur. Saat itu ia menjadi Kuasa Usaha di KBRI dan baru saja naik pangkat
menjadi kolonel. Ia berada di sana memang untuk membuka kembali Kedutaan
Besar RI setelah Jakarta (1966) menghentikan konfrontasi dan rujuk kembali
dengan Malaysia. Letkol Inf. L.B. Moerdani adalah pelaksana penting operasi
khusus untuk berbaikan kembali dengan negara serumpun melayu itu.
Dilakukan "operasi khusus", karena Presiden Soekarno yang mencanangkan "
Ganyang Malaysia" masih berkuasa, sementara di Kuala Lumpur (KL) masih ada
PM Tengku Abdurachman Putra yang ngambek pada Soekarno. Maka operasi ini
hanya diketahui oleh Menpangad/Panglima Kostrad Letjen Soeharto dan di
Malaysia oleh Wakil PM Tun Abdul Razak.
Saya berada di KL selama lebih seminggu untuk meliput pasca kerusuhan rasial
13 Mei (Tragedi 13 Mei 1969). Pertemuan-pertemuan saya dengan Pak Benny
cukup hangat, dan nyaris setiap hari, di kolam renang atau di ruang makan,
karena kami tinggal di hotel yang sama (Merlin Kuala Lumpur). Benny tinggal
di hotel itu karena rumahnya masih direnovasi.

Jangan Cari Persoalan
Pertemuan pribadi kedua kalinya dengan Pak Benny terjadi tahun 1974.
Kebetulan di Kuala Lumpur pula dan lagi-lagi menginap di satu hotel (kali
ini Hilton). Namun suasananya kali ini sudah berubah 180 derajat. Saya
mendatangi dia ketika sedang sarapan pagi di hotel di Kualalumpur itu. Atase
Pertahanan Kol. Djajadiningrat yang mendampinginya di meja makan berdiri
untuk menyalami saya dan memperkenalkan saya kepada Pak Benny. Pak Benny
sendiri tidak berdiri dan tidak menyambut uluran tangan saya. "Sudah kenal",
katanya datar. Lalu dia menatap ke saya dan bertanya, "Siapa yang mengkover
peradilan Malari?". Saya menjawab sekaligus juga bertanya, "Ada Pak,
wartawan pengadilan kita. Kenapa, apakah ada persoalan?"
Dia menjawab, "Tidak, cuma saya mau bilang, jangan cari persoalan".
Saat itu dia baru saja menjabat sebagai sebagai Komandan Satgas Intel
Kopkamtib (kemudian merangkap Asisten Intel Hankam/ABRI). Di Jakarta,
Januari tahun itu pecah peristiwa 15 Januari (Malari). Benny yang ketika itu
masih menjadi Konsul Jenderal di Korea Selatan dipanggil pulang untuk
menjadi tangan kanan Pak Harto di Kopkamtib itu.
Juli 1976 saya berada di Dili, di gedung DPRD Sementara Timor Timur.
Di sebuah ruang yang lengang dekat balkon saya mengganti rol film.
Seseorang yang berseragam warna khaki sedang duduk di balik pintu.
Wartawan senior LKBN Antara, Loke Pattirajawane, juga masuk ke ruangan itu.
Orang yang dekat pintu itu terdengar berucap: "Antara...selalu terlambat".
Wah, suara ini begitu familiar di telinga. Saya menoleh ke orang yang
tadinya saya kira Hansip atau camat itu, ternyata Benny Moerdani.
Saya segera menghampiri dan menyapa: "Wah Pak Benny, maaf saya tidak
perhatikan..."
Tapi Benny langsung menyergah, "Cukup! Jauh jauh sana".
Maret 1978. Sidang Umum MPR sedang berlangsung. Pak Harto sudah pasti akan
terpilih kembali. Malam hari, saya bersama Sabam Siagian dan beberapa
wartawan Sinar Harapan sedang "ngopi" di Java Room Hotel Indonesia.
Cafe itu memang tempat favorit. Tiba tiba Benny Moerdani masuk.
Kami ramai-ramai mengucapkan selamat malam kepadanya, tapi membiarkan dia
lewat.
Baru sebulan lalu koran "SH" (bersama beberapa koran lain di Jakarta dan
Bandung)
dibreidel Kopkamtib karena rajin memberitakan aksi aksi mahasiswa Bandung.
Tapi begitu melewati meja kami, sambil tetap melangkah dia berseru:
"Ayo kita kumpul di sana", sambil menunjuk satu sudut di warung kopi itu.

Urusannya dengan Pak Harto
Kami mengobrol ngalor-ngidul. Dalam salah satu obrolannya, ia mengatakan
bahwa tentara Sulawesi Selatan sekarang hebat. Ke mana relevansinya? Saya
cuma mengingat bahwa di Timtim baru ditempatkan pasukan dari Sulawesi
Selatan, Batalyon Raiders 700. "Oh ya, Raiders 700?" tanya saya. Benny
menjawab:"Pokoknya tentara dari Sulawesi Selatan hebat". Kami baru menyadari
isyarat itu dua minggu kemudian. Jenderal M.Jusuf diangkat menjadi
Menhankam/Pangab. Siapa yang menyangka, Jenderal Jusuf yang sudah belasan
tahun meninggalkan dinas militer ditunjuk oleh Soeharto untuk memimpin ABRI.
(Jusuf menjadi Menteri Perindustrian sejak 1966 sampai 1978).
Saya bertemu tatap muka lagi dengan Pak Benny sepuluh tahun kemudian, saat
ia sudah menjadi Menhankam. Saya sebagai Wakil Pemred Majalah TSM
(Teknologi dan Strategi Militer) dan Dadi Kartahadimadja (Pemimpin
Perusahaan TSM) melaporkan kepadanya tentang jalannya penerbitan majalah
khusus itu. Sebagai pembaca setia, ia menilainya sebagai "so far so good"
(toh, tetap saja ia melarang perwira ABRI aktif untuk menulis di TSM). Lalu
kami bicara soal
lain-lain.

Di antaranya tentang Pak Harto yang baru saja menjalani masa jabatannya yang
kelima (1988-1993). Tanpa ditanya, ia memberi komentar bahwa ini adalah masa
jabatan Pak Harto yang terakhir.
Diminta untuk menjelaskan komentarnya itu, Pak Benny berkata: "Iya 'kan,
cukup. Masak setelah 25 tahun masih terus?" "Jadi akan ada suksesi,
bagaimana caranya?" tanya saya. Dia tidak menjawab tegas, cuma katanya,
harus ada kesadaran bersama dan dia (maksudnya Pak Harto) harus ikut
melakukan persiapannya.

Terakhir saya bercakap cakap dengan Pak Benny di tahun 1993, dalam pesta
pernikahan dari putri seorang temannya. Pesta terbatas di sebuah hotel,
hanya untuk kalangan teman dekat. Tahun itu ia mengakhiri jabatannya sebagai
Menhankam, dan sama sekali tidak ikut lagi di pemerintahan. Buku biografinya
yang disusun oleh Julius Pour sudah diluncurkan. Saya mengomentari buku itu
sangat kurang lengkap tentang sosok Benny Moerdani. Saya membandingkannya
dengan buku buku tentang riwayat tokoh terkemuka intelijen Jerman,
Rheinhardt Gehlen (yang mengepalai BND, Bundes Nachrichten Dienst).
"Ya, memang buku itu paling banyak hanya 40 persen tentang perjalanan hidup
saya. Tapi, asal saudara mengerti, yang 60 persen adalah tentang urusannya
dengan Pak Harto". Lalu dengan serius dia menekankan sambil menunjuk ke arah
pintu masuk hotel, "kalau saya buka itu semua, lalu ketika saya naik atau
turun tangga di depan itu, saya tersungkur ditembak sniper, siapa yang tahu
pelakunya? Saya tidak bakal tahu, saudara tidak akan tahu. (Karena) Itu bisa
dari siapa saja".
Saya cukup bisa mengira bahwa urusan dengan kekuasaan Pak Harto itu terkena
kepada berbagai pihak dan golongan. Dan Pak Benny sempat menjadi kepercayaan
Pak Harto untuk menjalankan berbagai urusan itu. Tapi jangan lupa, pada
akhirnya Benny sendiri yang terkena oleh Soeharto, ketika ia berani mengusik
urusan keluarga dan anak anak presiden. Sniper dari mana yang lebih
dikhawatirkan? ***

 Copyright © Sinar Harapan 2003



More information about the Marinir mailing list