[Marinir] [SP] TNI Kibarkan Bendera Setengah Tiang 7 Hari untuk LB Moerdani

Hong Gie ouwehoer at centrin.net.id
Mon Aug 30 18:51:54 CEST 2004


Selamat Jalan Pak Benny; Patriot "24 karat" !

-------------------------------------------
http://www.suarapembaruan.com/News/2004/08/30/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY
Last modified: 30/8/04
TNI Kibarkan Bendera Setengah Tiang 7 Hari untuk LB Moerdani

Pembaruan/Alex Suban
PEMAKAMAN LB MOERDANI - Anggota Korps Pasukan Khusus TNI AD
mengusung jenazah mantan Menhankam/Panglima ABRI, Jend (Purn) LB Moerdani
saat pemakama di TMP Kalibata, Jakarta, Minggu (29/8).
Moerdani wafat dalam usia 74 tahun setelah menderita sakit. (Inset) Jend
(Purn) LB Moerdani.

JAKARTA - Markas Besar (Mabes) TNI mengeluarkan perintah kepada seluruh
markas di jajaran TNI untuk mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang
selama tujuh hari, sebagai belasungkawa atas tutup usianya mantan
Menhankam/Pangab Jenderal (Purn) Leonardus Benyamin (LB) Moerdani.
Pengibaran bendera setengah tiang tujuh hari ini sekaligus menunjukkan duka
yang mendalam atas meninggalnya tokoh militer sekaligus tokoh intelijen
Indonesia itu akibat penyakit yang dideritanya selama ini.
LB Moerdani dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan,
Minggu (29/8) pukul 13.50 WIB dalam upacara militer yang dipimpin langsung
oleh Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto. Mantan Pangkopkamtib itu
meninggal pada Minggu dini hari pukul 01.30 WIB di RSPAD Gatot Subroto,
Jakarta.
Sebelumnya, Moerdani yang dirawat sejak 7 Juli 2004 karena stroke dan
infeksi paru-paru sempat dibesuk sejumlah tokoh penting, antara lain mantan
pejabat tinggi negara dan militer termasuk mantan Presiden Soeharto, Jumat
(27/8). Ketika itu Benny Moerdani masih dalam kondisi sadar.
Hal menarik, menurut beberapa sumber, saat mantan orang nomor satu di
republik ini bertemu di sisi ranjang, Benny sempat memegangi tangan
Soeharto.
Keduanya sempat hanyut dalam keharuan bersama, dan saling menitikkan air
mata.
Penghormatan tembakan salvo oleh 10 personel TNI menandai diturunkannya peti
jenazah LB Moerdani ke makamnya di Blok W bagian selatan Kompleks TMP
Kalibata.
Sebelumnya, Panglima TNI membacakan riwayat hidup LB Moerdani yang pernah
memimpin Operasi Naga pasukan elite RPKAD pada 4 Juni 1962 untuk merebut
Irian Barat dari Belanda. (Ant/Y-3)

-------------------------------------

http://www.suarapembaruan.com/News/2004/08/30/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY
Last modified: 30/8/04

In Memoriam:
Leornadus Benyamin Moerdani (1932-2004)

Atmadji Sumarkidjo

ENDERAL TNI Purnawirawan Leonardus Benyamin ("Benny") Moerdani (LBM)
hari Minggu (29/8) dini hari meninggal dunia setelah menderita sakit selama
beberapa minggu. Perwira yang berasal dari Korps Baret Merah itu wafat dalam
usia 72 tahun.

Dalam sejarah politik-militer TNI, perannya cukup penting setelah tahun
1970-an, yaitu setelah ia dipanggil mendadak dari Korea Selatan untuk
membenahi organisasi intelijen Indonesia oleh Presiden Soeharto. Puncak
kariernya dan juga puncak perannya terjadi tahun 1983 setelah LBM diangkat
menjadi Panglima ABRI menggantikan Jenderal TNI M Jusuf yang waktu itu
sangat popular.

Berbeda dengan riwayat hidup sejumlah jenderal lain yang pernah punya saham
penting dan kehidupan politik-militer di Indonesia, sejarah agaknya telah
menentukan kapan Benny Moerdani bisa dicatat perannya dalam sejarah
Republik. Dan kalau ukuran-ukuran umum dipakai, LBM bisa dikategorikan
"terlambat" berperan.

Seandainya saja ia tidak berbeda pendapat dengan Komandan RPKAD Kolonel
Sarwo Edhie Wibowo dan tidak berdebat sehingga dipindahkan oleh Men/Pangad
Letjen Achmad Yani dari Korps Baret Merah ke Kostrad; mungkin ia akan menata
karier yang wajar di Cijantung. Dan mungkin juga ia akan pensiun secara
normal di RPKAD.

Tetapi ia dipindahkan dari pasukan yang ia cintai lebih dari segala-galanya
dengan rasa getir. Sebagai ungkapan khas Jawa, rasa tidak senangnya atas
mutasi itu, Benny menyimpan semua tanda-tanda khas RPKAD dari baret, tanda
komando, wing terjun hingga pisau komandonya.

Mayor Inf Benny Moerdani yang mendapat Bintang Sakti langsung oleh Presiden
Soekarno karena peran pentingnya dalam Operasi Naga di Irian Barat melapor
ke Kostrad yang dipimpin oleh Mayjen TNI Soeharto. Inilah perkenalan
langsung antara LBM dengan Soeharto yang akan berlanjut secara dinamis
sampai 30 tahun sesudahnya.

Sebagai perwira yang relatif junior tentu di Kostrad ia tidak mempunyai
banyak peran penting, lebih-lebih antara tahun 1963-1965 Kostrad, termasuk
Panglimanya tidak banyak dikenal di masyarakat. Tetapi bagi Benny itu adalah
waktu pembelajaran yang berharga, karena selain ia belajar banyak hal selain
operasi komando, ia juga mengenal orang-orang seperti Letkol Yoga Soegama
dan terutama Letkol Ali Moertopo yang adalah orang-orang penting di Kostrad.

Intelijen

Perkenalannya dengan dua perwira menengah Kostrad di atas membawa Benny ke
bidang penugasan baru: intelijen. Peran agak besar diberikan ketika ia
ditugasi untuk membuka hubungan dengan para tokoh Malaysia dengan menyamar
sebagai anggota Perwakilan Garuda Indonesia di Bangkok, Thailand. Secara
perlahan ia mulai dipercaya oleh Soeharto "bosnya" yang karirnya menaik
setelah peristuwa G-30-S, yaitu mula-mula menjadi Men/Pangad menggantikan
Yani yang tewas, dan tahun 1968 menjadi Pejabat Presiden RI.

Keterlibatan LBM dalam tataran nasional bisa dibagi atas tiga tahapan
penting. Pertama, antara 1965 - 1974 yaitu sampai ia dipanggil oleh
Soeharto. Kedua, antara 1974-1988 yaitu sampai ia diberhentikan secara
mendadak sebagai Panglima ABRI hanya satu bulan sebelum Sidang Umum MPR.
Ketiga, tahun 1988 -1993, yaitu sampai berakhirnya jabatannya sebagai
Menteri Hankam.

Seperti diketahui, Presiden RI sangat tidak puas dengan kinerja aparat
intelijen dalam menangani peristiwa keresahan para mahasiswa yang berpuncak
dengan huru-hara 15 Januari 1974 yang populer dengan istilah ''Malari''.
Badan dan organisasi intel itu terbawa oleh persaingan antara Kepala Operasi
Khusus (Opsus) yang adalah sebuah badan intel tidak resmi di bawah Mayjen
Ali Murtopo versus Panglima Kopkamtib Jenderal TNI Soemitro sehingga tidak
bisa berfungsi efektif.

Soeharto menugaskan langsung Benny Moerdani untuk mengendalikan tiga aparat
intelijen sekaligus, yaitu menjadi Asisten Intelijen Hankam merangkap
Asisten Intelijen Kopkamtib. Dan juga mereorganisasi sebuah badan intel baru
yaitu Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat) sebagai pengembangan Satuan
Tugas Intelijen Hankam.

Sementara badan intel non-militer, yaitu Bakin (Badan Koordinasi Intelijen
Negara) juga diberikan kepada pejabat baru, yaitu Mayjen Yoga Soegama yang
juga dipanggil mendadak dari penugasannya di Perwakilan RI di PBB, New York.
Kabakin yang lama "di-Dubes-kan" ke Belanda dan Soemitro mengundurkan diri
sementara Ali Moertopo mulai dikendalikan geraknya.

Tidak banyak yang tahu betapa pentingnya jabatan tersebut Seperti diketahui
di Indonesia pada waktu itu, Soeharto mengandalkan keamanan dan stabilitas
negara hanya pada dua badan penting: ABRI dan Komando Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban (Kopkamtib). ABRI mempunyai tentara dan senjata dalam
organisasinya juga mempunyai satuan intelijen di bawah kendali Asintel.
Sementara itu, Kopkamtib juga punya organisasi terpisah (meskipun pejabatnya
juga tentara) yang intelnya terpisah pula.

Dengan kedua badan itu ada di satu tangan, tidak mungkin terjadi persaingan
antar-lembaga. Benny dikenal baik oleh Yoga dan juga Ali sehingga tidak
mungkin lagi terjadi saling curiga antarpejabat tertinggi intelijen.

Organisasi Intelstrat dikembangkan untuk menghadapi berbagai ancaman yang
bersifat strategis dan terutama mempunyai komunikasi langsung dengan para
Atase Pertahanan RI di seluruh dunia. Dalam situasi yang mengharuskannya, ia
juga bisa mempergunakan satuan Kopasandha untuk operasi khusus. Padahal
pergerakan pasukan untuk operasi militer menurut ketentuan hanya boleh
dilakukan oleh Panglima ABRI.

Jabatan yang dipegang oleh LBM tidak boleh diotak-atik oleh siapa pun. Ia
diangkat di era kepemimpinan Menhankam Jenderal TNI Maraden Panggabean,
dan ketika pada tahun 1978 ada Kabinet baru dengan Menhankam/Pangab nya
M. Jusuf dan Panglima Kopkamtib Laksamana TNI Soedomo, Benny tetap
aman dengan tiga jabatan tersebut.

Sementara itu, Yoga tetap kukuh dengan jabatan Kabakin, tetapi Ali Murtopo
dipereteliti secara lihai dari organisasi Opsusnya oleh Soeharto dengan
mengangkatnya menjadi Menteri Penerangan RI.

LB Moerdani dengan pangkat Letnan Jenderal TNI juga bertanggung jawab atas
keamanan Presiden, dan organisasi Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres)
ada di bawah kendalinya. Dalam daftar rombongan Presiden Soeharto yang pergi
ke daerah-dan lebih-lebh ke luar negeri, nama Asintel Hankam selalu ada.
Benny yang selalu ikut mengawasi perjalanan Presiden secara langsung,
meskipun berusaha bersikap low profile sehingga sering pejabat di daerah
tidak mengenali wajahnya.

Ketika Jenderal Jusuf yang sangat populer di mata rakyat, makin dekat dengan
akhir jabatannya sebagai Menhankam/Pangab, sudah jelas bahwa jabatan
Panglima ABRI berikutnya harus diberikan kepada orang yang bisa dipercaya
penuh oleh Soeharto. Presiden kedua RI yang tidak pernah ingin ada tokoh
yang sekiranya bisa menyaingi popularitasnya, kemudian menunjuk Benny
Moerdani untuk memimpin ABRI pada tahun 1983.

Memang ia tidak merangkap jabatan sebagai Menteri Hankam seperti Jusuf
(posisi ini diberikan kepada Jenderal Poniman), tetapi Soeharto untuk
pertama kalinya mempercayai dua institusi sngat vital yang secara
tradisional selalu dipisahkannya, yaitu Panglima ABRI dan Panglima Kopkamtib
kepada satu orang

Tahun 1973, jabatan Menhankam/Pangab diberikan kepada Panggabean tetapi
Kopkamtibnya dipercayakan kepada Soemitro. Tahun 1978, Jusuf dipercaya
memimpin ABRI tetapi Kopkamatib dipegang oleh Soedomo.
Kepercayaan Soeharto dengan menyandingkan jabatan Panglima
ABRI/Pangkopkamtib kepada Benny menunjukkan betapa besar kepercayaan
Presiden kepada LBM.

Kesetiaan

Para pengamat asing melihat bahwa kesetiaan LB Moerdani kepada Presiden
Soeharto adalah segala-galanya dan cenderung membabi-buta dan ini membuat
ia mampu bertindak keras dan tegas kepada siapa pun yang bisa mengancam
kedudukan Soeharto.

Operasi penangkapan para mahasiswa tahun 1978, dikendalikan oleh Benny
Moerdani sebagai Kepala Pusintelstrat dan demikian pula penangkapan berbagai
tokoh garis keras setelah itu. Sejumlah perwira tinggi yang bergabung dalam
''Petisi 50'' pun ia cekal dengan keras, tidak peduli jabatan atau jasa yang
dipunyai orang itu sebelumnya.

Namun, para pengamat sering salah taksir mengenai hubungan pribadinya dengan
sejumlah tokoh tentara yang lain. Ia bisa bertindak keras terhadap perwira
tinggi senior semacam Letjen HR Dharsono dengan menangkapnya dan
menjebloskannya ke penjara. Secara mendasar ia juga tidak senang dengan
tokoh yang dekat dengan Soeharto, seperti Soedharmono atau kepada sejumlah
perwira yang mencoba berpikir sebagai demokrat.

Tapi secara intuitif LB Moerdani bisa hormat kepada sejumlah jenderal lain
yang juga tidak senang dengan Soeharto secara pribadi seperti Jenderal
Soemitro. Pernah Benny secara khusus mengirimkan perwira kepercayaannya
untuk memberi penjelasan kepada Soemitro setelah ia mendengar bahwa ia
mengkritik salah satu kebijakannya.

Contoh lain adalah hubungannya dengan Jenderal M. Jusuf. Kivlan Zen dalam
bukunya Konflik dan Integrasi TNI-AD (2004) menulis sebuah bab tentang
adanya konflik antara LBM dan Jusuf yang memuncak dengan ketidakhadiran
Benny dalam Rapim ABRI di Ambon. Padahal faktanya adalah Benny baru saja
memberikan briefing kepada peserta Rapim ketika terjadi peristiwa pembajakan
pesawat DC-9 Woyla milik Garuda Indonesia tahun 1981. Jusuf memerintahkan
Benny untuk memimpin operasi penumpasan, dan malah Benny disuruh untuk
mempergunakan pesawat Hercules Komandonya supaya bisa kembali pulang ke
Jakarta secepatnya.

Ketika keduanya sudah pensiun, mereka masih saling berhubungan. Benny pernah
terbang secara khusus ke Australia sewaktu mantan Menhankam itu harus
mengalami operasi jantung. Dan ketika LBM diserang sakit, Jusuf yang
menanyakan keadaan kesehatannya secara terus-menerus.

Yang unik dan menarik dikaji adalah hubungan LBM dengan Letjen (Purn)
Prabowo Soebianto ketika yang belakangan masih berpangkat Mayor.
Keduanya berasal dari generasi yang berbeda jauh, dan normalnya tidak
mungkin seorang perwira menengah mampu melakukan gerakan atau menyatakan
ketidaksukaan terhadap seorang yang begitu powerful seperti Benny.

Buku Kivlan Zen menyatakan, hubungan keduanya memburuk sejak tahun 1985,
Tetapi faktanya, Prabowo sudah menunjukkan sikap curiga terhadap Benny
Moerdani sejak sebelumnya, yaitu tahun 1983. Pernah sewaktu Prabowo meminta
bertemu ke kediaman M. Jusuf di Jl Teuku Umar, tetapi sebelum berbcara, ia
memeriksa beberapa tempat di rumah Jusuf takut kalau Asintel Hankam itu
memasang peralatan penyadap atau kamera mata-mata di rumah sang bos.

Prabowo jugalah yang mengundang Jusuf untuk bertemu dengan sejumlah perwira
menengah Korps Baret Merah di Cijantung setelah mendengar informasi bahwa
Jusuf akan diganti oleh Moerdani. Jusuf yang masih Menhankam menyetir
sendiri mobilnya diikuti Prabowo dari belakang untuk menenangkan mereka.

Hubungan antara LBM dan Soeharto yang oleh seorang pengamat disebut mirip
"hubungan anak dengan bapak" memang mulai menyurut sejak tahun 1985. Ada
tiga faktor yang menyebabkan itu. Pertama, kegelisahan LBM bahwa Soeharto
mulai kehilangan pengendalian diri dan akan lebih memprcayai keluarganya
daripada orang lain. Perubahan "kesetiaan" LBM itu mulai dirasakan oleh
Soeharto. Presiden yang ahli strategi itu mengambil langkah cepat dan secara
mendadak mengganti kedudukan LBM sebagai Panglima ABRI sebelum Sidang
Umum MPR tahun 1988. Padahal biasanya jabatan itu diganti berbareng dengan
pembentukan Kabinet baru yang dilakukan sesudah MPR mengangkat Presiden.

Kedua, suksesi yang direncanakan oleh Soeharto dianggap tidak cocok olehnya,
lebih-lebih dengan akan diajukannya Soedharmono sebagai Wapres periode
1988-1993. Peristiwa interupsi Brigjen Ibrahim Saleh dalam Sidang Umum MPR
sering dianggap sebagai bagian dari ketidaksenangan LBM.

Ketiga, dan yang ini barangkali yang mampu menjelaskan mengapa perubahan
sikap LBM "mudah" dibaca oleh Soeharto, adalah munculnya faktor Prabowo
Soebianto. Ia adalah "anggota baru" keluarga Soeharto yang sejak awal tidak
cocok dengan LBM dan karenanya mampu menyampaikan informasi jenis lain
langsung kepada Presiden Soeharto. Paling tidak ini dikemukakan oleh dua
orang dekat dengan Prabowo, yaitu Kivlan Zen dan Fadli Zon yang
masing-maisng menulis buku mengenai itu.

Soeharto memang sebelumnya mempunyai keluarga yang jadi anggota tentara,
bahkan juga Baret Merah, yaitu Wismoyo Arismunandar; tetapi ia sejak lama
mencoba menjaga jarak dengan Soeharto sehingga tidak pernah masuk ke
lingkaran paling dalam.

Ketiga alasan itu agaknya akan tetap menjadi bagian dari misteri sejarah
yang dibawa oleh almarhum LB Moerdani. Suatu misteri dari banyak misteri
lain yang mungkin tidak akan pernah terungkap.

Penulis adalah pengamat militer pada RIDEP Institute, kini bekerja di
''RCTI''

----------------------------------------------------------------------

http://www.mediaindo.co.id/

Senin, 30 Agustus 2004
BERITA UTAMA
Bendera Setengah Tiang Tandai Kepergian Moerdani

JAKARTA (Media): Jenazah Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Timur, kemarin. Sebagai wujud
dukacita dan penghormatan atas jasa-jasa almarhum,

Media/M Irfan
PEMAKAMAN MOERDANI: Sejumlah anggota Kopassus mengusung jenazah
mantan Menhankam-Pangab Jenderal (Purn) LB Moerdani, untuk dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, kemarin. Pendiri Badan Intelijen
Strategis (Bais) ABRI ini meninggal dalam usia 72 tahun karena telah lama
menderita
stroke.

Markas Besar TNI menginstruksikan seluruh markas di lingkungan TNI
mengibarkan bendera setengah tiang selama tujuh hari berturut-turut.

Moerdani menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat
(RSPAD) Gatot Soebroto sekitar pukul 02.00 WIB, dini hari kemarin. Beliau
dirawat di rumah sakit itu sejak 7 Juli 2004 karena menderita stroke dan
infeksi paru-paru.

Upacara pemakaman secara militer berlangsung sekitar pukul 13.50 WIB
dipimpin Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto. Saat upacara
berlangsung, tiga kepala staf TNI tampak mendampingi keluarga dan sanak
saudara, yaitu KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu, KSAL Laksamana Bernard
Kent Sondakh, dan KSAU Marsekal Chappy Hakim.

Tembakan salvo terdengar saat peti jenazah diturunkan ke liang lahat yang
berada di Blok W, di bagian selatan kompleks pemakaman tersebut. Disusul
dengan doa dan upacara kerohanian secara Katolik yang dipimpin oleh Romo
Soewito Pandito.

Dalam amanatnya, Panglima TNI menegaskan, upacara itu dilakukan untuk
menghormati dan menghargai jasa-jasa almarhum. ''Indonesia kembali
kehilangan salah satu putra bangsa terbaik karena dia telah menjadi suri
teladan bagi semua, meski selama hidupnya sebagai manusia almarhum tidak
luput dari kesalahan,'' ujar Endriartono.

Almarhum juga mendapat penghormatan terakhir di Mabes TNI-AD Jl Veteran,
Jakarta Pusat, dalam sebuah upacara yang dipimpin KSAD Jenderal Ryamizard
Ryacudu. Sebelumnya, jenazah almarhum disemayamkan di rumah duka Jl Terusan
Hang Lekir IV No 4/43, Jaksel.

Hadir melayat di Mabes TNI-AD, Presiden Megawati Soekarnoputri bersama
suami, Taufiq Kiemas. Terlihat pula Abdurrahman Wahid (Gus Dur) beserta
istrinya, Sinta Nuriyah, dan mantan capres dari Partai Golkar Jenderal
(Purn) Wiranto yang juga mantan Menhamkam/Pangab.

Sedangkan di rumah duka, tampak melayat mantan Presiden Soeharto yang
didampingi putrinya, Siti Hardijanti Rukmana, dan capres Susilo Bambang
Yudhoyono.

Moerdani termasuk tokoh yang paling berpengaruh dalam perjalanan bangsa ini.
Selain karena jasanya terhadap kemajuan TNI, beliau juga dikenal sebagai
salah satu tokoh yang kontroversial karena disebut-sebut berada di balik
rangkaian kerusuhan di beberapa daerah. Bahkan, dianggap berada di balik
peristiwa Tanjung Priok.

Moerdani juga sering disebut-sebut berada di belakang mutasi besar-besaran
di tubuh TNI (ketika itu sebutannya ABRI). Istilah perwira "hijau" atau
perwira Islam juga berdengung di era kepemimpinannya. Semasa beliau memegang
tongkat komando, para perwira hijau disebut-sebut sering digeser olehnya.

Namun, jasanya yang besar terhadap bangsa ini menenggelamkan begitu
gunjingan-gunjingan seperti itu. Ketokohannya juga membuat orang sulit
melupakan figur ini begitu saja. Bahkan Gus Dur yang menulis pengantar pada
biografi "Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan, 1993", menyebut
jenderal ini sebagai guru politiknya.

Dia juga dikenal sebagai negarawan yang besar hingga dijuluki kalangan
diplomat asing sebagai the only statesman in Indonesia. (Nur/Tia/X-8)




More information about the Marinir mailing list