[Marinir] (KIAD) Bahan Seminar DAR MIL di NAD.
Hong Gie
ouwehoer at centrin.net.id
Fri May 14 20:23:26 CEST 2004
Seminar tentang Aceh, yang rencananya akan diselenggarakan oleh Kerabat
Indonesia Aman Damai (KIAD) pada hari ini, Jumat 14 Mei 2004, yang terpaksa
ditangguhkan karena perkembangan situasi dan masalah yang dihadapi pembicara
dari Aceh, namun materi yang sudah dipersiapkan (dengan seijin
penyelenggara) ingin saya sampaikan sebagai salah satu bahan referensi dan
pemikiran mengenai Darurat Militer di Aceh.
Wassalam, yhg.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kerangka Acuan Seminar : Darurat Militer di Aceh.
Kerabat Indonesia Aman Damai (KIAD).
A. LATAR BELAKANG
TNI lahir dari perjuangan melawan penjajah dan tidak berpolitik ("Politik
negara adalah politik tentara", Panglima Besar Sudirman), dan pada masa awal
kemerdekaan, menjadi alat pemersatu bangsa di tengah jatuh-bangunnya
pemerintahan . Baru pada tahun 1957, Bung Karno memasukkan TNI dalam
Dewan Nasional salah satu kekuatan politik, dan mulailah keterlibatan TNI
dalam kancah politik bangsa dan negara. Hal ini kemudian berlanjut dengan
keluarnya Doktrin Perjuangan TNI-AD Tri Ubaya Cakti II (1966) pasca
G30S/PKI: TNI bukan sekadar alat pemerintah, tapi pemerintah yang kuat,
berwibawa dan progresif dan peran sosial-politik atau Dwi Fungsi diartikan
sebagai komitmen dan kepedulian serta pernyataan kesetiaan TNI terhadap
bangsa". Demikian pula fungsi teritorial, diartikan sebagai fungsi pembinaan
potensi nasional di daerah.
Sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, TNI menganut pendekatan
keamanan, merasa bertanggung jawab jawab penuh terhadap segala aspek
kehidupan bangsa, yang menimbulkan berbagai ekses yang memberikan citra
buruk kepada TNI. Demikian pula kekaryaan TNI - yang dirancukan
pengertiannya sebagai wujud Dwi Fungsi TNI - juga bermasalah.
PARADIGMA BARU TNI
Setelah jatuhnya pemerinatahan orde baru dan lahirnya era reformasi, maka
salah satu perkembangan yang dramatis adalah perubahan dalam kedudukan TNI
itu sendiri. TAP MPR No. VII/MPR/2000 menetapkan TNI sebagai alat negara,
yang berperan sebagai alat pertahanan NKRI dengan tugas pokok: menegakkan
kedaulatan Negara dan keutuhan wilayah NKRI, melindungi bangsa dari ancaman
terhadap keutuhan bangsa dan negara. Sementara fungsi keamanan dalam negeri
diserahkan kepada POLRI, yang dalam keadaan darurat/mendesak, dapat meminta
bantuan TNI.
Tantangan dari paradigma baru ini antara lain mewujudkan kesadaran publik
bahwa pertahanan merupakan fungsi pemerintahan, menciptakan iklim kondusif
bagi terbinanya hubungan sipil-militer yang sehat, dan membangun kesepakatan
bersama antara sipil dan milter atas cara bertindak dalam keadaan tertentu
untuk menyelematkan bangsa dan negara.
PERSEPSI PUBLIK TENTANG TNI
Sementara penelitian di Universitas Gajah Mada (UGM) dan Mabes TNI
(1999-2000) menunjukkan penerimaan masyarakat terhadap peran sosial politik
TNI masih cukup tinggi, masih ada kekhawatiran tentang bangkitnya keinginan
TNI untuk berkuasa seperti pada masa orde baru. Kehadiran TNI/POLRI dalam
DPR masih menimbulkan reaksi keras dari para elit politik. Kontroversi
tentang RUU TNI yang memberi wewenang kepada Panglima TNI menggunaan
kekuatan TNI dalam keadaan mendesak, meskipun sudah dicabut pasalnya,
menimbulkan kekhawatiran bahwa TNI akan memilki otonomi politik dan dapat
mengambil keputusan politik berdasarkan penilaian sepihak.
Kenyataannya, kekhawatiran itu cenderung muncul dari kalangan elit politik
dan bukan dari masyarakat umum atau silent majority.
Jajak pendapat harian KOMPAS menunjukkan bahwa 79,6% responden non-Aceh dan
54,6% responden Aceh mendukung dilakukannya operasi pemulihan keamanan di
Aceh, meskipun Komnas HAM menolak rencana pemerintah menggelar operasi
militer di Aceh tersebut.
Demikian pula, persepsi internasional yang cenderung positif terhadap
kemimpinan baru TNI.
CNN memberitakan bahwa reformasi dan kepemimpinan baru TNI dibawah Jenderal
Endriartono Soetarto dan Jenderal Ryamizard Ryacudu disambut baik kalangan
internasional, "As an individual, Soetarto is well acepted domestically and
internationally for his tough stance against the current background of
uncertainty";
"Western diplomat: I am optimistic. General Soetarto has good ideas, some
vision...
he also strongly believes in law enforcement".
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa TNI berkembang dari tentara pejuang
yang tidak berpolitik menjadi kekuatan politik dengan berbagai ekses yang
merugikan citranya. Ada ambivalensi dalam menyikapi peran TNI baik di dalam
negeri maupun di mancanegara, dan kehawatiran di kalangan elit politik bahwa
TNI ingin kembali berkuasa seperti semasa orde baru, sementara ada dukungan
kuat terhadap pperasi pemulihan.
Demi keamanan Aceh, termasuk dari rakyat Aceh sendiri, maka perlu ada
upaya mendukung TNI sebagai alat negara yang akan menjada keamanan nasional
dan memperatahankan keutuhan wilayah TNI. Untuk itu perlu dibangun suatu
himpunan dari mereka yang peduli terhadap perkembangan bangsa dan bersedia
memberikan kesempatan kepada TNI untuk memperbaiki diri dan merebut kembali
hati rakyat Indonesia.
B. TUJUAN ORGANISASI
UMUM
Membangun apresiasi terhadap TNI sebagai alat negara yang perlu didukung
oleh seluruh masyarakat.
KHUSUS
- Memberikan gambaran yang lebih obyektif dan berimbang tentang peran,
fungsi, dan kegiatan TNI.
- Menghimpun dukungan dari berbagai organisasi masyarakat, LSM, individu dan
masyarakat umum terhadap TNI.
- Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya persatuan nasional dan
keutuhan wilayah NKRI sebagai syarat mutlak kebangkitan kembali bangsa.
- Membangun kembali citra TNI.
C. PRINSIP-PRINSIP ORGANISASI
Organisasi menganut prinsip-prinsip:
- Integritas : berdirinya organisasi ini dan seluruh kegiatannya adalah demi
kepentingan terbaik bangsa dan negara dan bukan untuk
kepentingan pribadi atau golongan.
- Akutanbilitas : semua tindakan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
norma dan ketentuan yang berlaku.
- Kesetaraan : semua anggota dan mitra dari organisasi adalah setara, tanpa
ada hirarki atau perlakuan istimewa.
- Profesional : berpikir dan berkarya secara profesional dan berdisiplin.
D. PERAN DAN FUNGSI
Organisasi bersifat sukarela dan merupakan suatu himpunan warga peduli
terhadap situasi bangsa dan negara dengan peran dan fungsi utama sebagai
berikut:
- Membangun aliansi diantara berbagai pihak dan organisasi yang mempunyai
visi dan misi yang sama (like-minded).
- Melakukan advokasi agar diperoleh dukungan kebijakan, anggaran, dan
organisasi bagi terpeliharanya keamanan nasional dan keutuhan wilayah
NKRI dan TNI.
- Menjadi suatu pusat informasi dan sarana pertukaran informasi tentang
hal-hal yang berhubungan dengan keamanan nasional dan keutuhan wilayah
NKRI
- Melakukan "back stopping" bagi mitra-mitra dan calon mitra yang
membutuhkan tambahan keahlian dan keterampilan.
E. RUANG LINGKUP KERJA
- Membangun kesamaan visi, misi, dan komitmen diantara sesama anggota
dan simpatisan.
- Membangun kemitraan, jejaringan pendukung, peroleh promosi, dan sinergi.
- Menyusun dan menyepakati strategi dasar program advokasi dan KIE.
- Menyusun dan mensepakati rencana kerja, bagi tugas rencana.
- Memantau secara berkala kegiatan bersama, individu.
- Menggerakkan peran serta masyarakat sebagai mitra aparat negara.
F. PENGORGANISASIAN
- Unsur LSM, swasta, pribadi yang punya komitmen, kemampuan melaksanakan
kegiatan yang disepakati.
- Organisasi daerah, bila ada, diprakarsai daerah. Tidak ada hubungan
hirarkis dengan pusat = mitra.
- Pedoman umum dikeluarkan oleh organisasi pusat.
- Mitra organisasi, di pusat dan di daerah, dapat kembangkan program sendiri
sejalan strategi dan pedoman yang telah disepakati.
- Struktur dan susunan organisasi ditentukan oleh kelompok pemrakarsa/inti.
G. STRATEGI POKOK
- Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang paradigma baru TNI-POLRI dan
peran dan fungsi TNI dalam membela bangsa dan mempertahankan keutuhan
wilayah NKRI.
- Menggerakkan dukungan pada seluruh lapisan masyarakat agar memberikan
apresiasi terhadap peran dan fungsi TNI-POLRI.
- Mengimbangi suara-suara negatif dari kalangan yang masih antipati terhadap
TNI dengan lobbying dan sosialisasi paradigma baru TNI-POLRI.
- Membangun hubungan yang baik dengan media agar media membantu memberikan
citra positif terhadap TNI.
- Melaksanakan suatu kampanye untuk membangun citra TNI dengan memanfaatkan
Operasi Terpadu Aceh sebagai entry point/momentum.
H. KEGIATAN - KEGIATAN POKOK
- Mengajak organisasi dan individu untuk bergabung dalam suatu wadah (Forum,
Kerabat, Himpunan) yang menghargai TNI sebagai alat negara yang perlu
didukung.
- Melakukan launching dari wadah ini untuk menunjukkan dukungan masyarakat
terhadap TNI.
- Menjadi pusat penerangan (pusat data; clearing house) tentang situasi
politik, ekonomi dan sosial yang berdampak kepada keamanan nasional dan
keutuhan wilayah NKRI.
- Mengembangan wahana (Pusat Kajian/study center) untuk memberikan masukan
dan saran kepada TNI untuk memperbaiki kinerja dan citranya.
- Memprakarsai kampanye untuk membangun kembali citra TNI.
*****
DRAFT PRESS RELEASE
SEBUAH PEMIKIRAN UNTUK ACEH
Jakarta, 14 Mei 2004 - Menyikapi status darurat militer di Aceh yang akan
berakhir 19 Mei 2004 ini, Kerabat Indonesia Aman Damai (KIAD)
menyelenggarakan Seminar "Darurat Militer di Aceh: Masih Perlu?" di Gedung
Dewan Pers, hari Jumat, 14 Mei 2004 Pk. 14.00 - 17.00 WIB.
Suryo Susilo, Direktur KIAD menyatakan bahwa masalah darurat militer di Aceh
yang sudah berjalan satu tahun ini memerlukan perhatian semua pihak. Oleh
karena itu, KIAD mencoba mengakomodasi pendapat dan masukan dari berbagai
kalangan dengan menyelenggarakan seminar yang bertema "Membangun Aceh yang
Aman dan Damai". Suryo juga menambahkan bahwa tujuan pelaksanaan seminar ini
adalah untuk melakukan sosialisasi tentang perkembangan sosial politik dan
ekonomi di Aceh selama diberlakukannya darurat militer; melakukan analisis
tentang segala dampak yang ditimbulkan selama pemberlakuan darurat militer,
baik yang positif maupun negatif; serta mengkonstruksikan beberapa
alternatif jalan keluar terbaik bagi penerapan kebijakan/policy lanjutan.
Seminar ini sendiri ditujukan untuk tokoh-tokoh masyarakat baik yang berada
pada level nasional maupun lokal, ditambah dengan unsur pemuda dan mahasiswa
serta pers, ujar Ghazi Hussien Yoesoef, Panitia Seminar. "Idealnya seminar
ini bisa melahirkan pemikiran-pemikiran dari masyarakat untuk memberikan
solusi mengenai Aceh bagi pemerintah" tambah Ghazi.
Yang mendesak untuk dilakukan saat ini adalah menciptakan iklim yang
kondusif agar setiap perubahan ini bisa berproses secara alami dan
berkesinambungan. Keberadaan operasi militer sebagai sebuah kebijakan harus
dievaluasi secara berkala. Tanggal 19 Mei ini merupakan deadline bagi
pengambilan keputusan apakah akan meneruskan atau tidak operasi militer
tersebut. Kalaupun diteruskan, dalam bentuk apa? Dan kalaupun tidak
diteruskan, maka apa yang akan menjadi alternatif penggantinya. Semua ini
bukanlah pilihan mudah, karena setiap opsi yang ditawarkan masing-masing
memiliki implikasi positif dan negatif. Hanya saja sejauh mana kita mampu
melihat opsi yang mampu meminimalisir korban serta kerugian yang
ditimbulkannya.
Kondisi inilah yang melatarbelakangi KIAD bekerja sama dengan Mingguan Aceh
Post (MAP) dan Fortune Indonesia menyelenggarakan seminar "Darurat Militer
di Aceh: Masih Perlu?" untuk memberikan kontribusi pemikiran yang cerdas dan
kontruktif bagi penyelesaian masalah Aceh ke depan. (Selesai)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
REKOMENDASI SEMINAR
DARURAT MILITER DI ACEH: MASIH PERLU ?
I. Status Darurat Militer di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) telah
berlangsung satu tahun atau dua periode (masing-masing 6 bulan).
Secara umum hasil yang telah dicapai dari diberlakukannya status daerah
militer di NAD adalah terwujudnya suasana aman yang dirasakan oleh
masyarakat umum, dan berjalannya roda pemerintahan, sehingga tercipta
suasana kondusif bagi keamanan dan ketertiban serta kesempatan
bekerja/berusaha.
Catatan: Status Darurat Militer di NAD yang diberlakukan oleh Pemerintah
Pusat telah mendapat payung politik berupa persetujuan dari DPR RI, yang
selanjutnya dilaksanakan dalam bentuk operasi terpadu, meliputi: (1) Operasi
pemulihan keamanan; (2) Operasi Kemanusiaan; (3) Operasi penegakan hukum;
dan (4) Operasi pemulihan pemerintahan daerah/lokal.
Agar apa yang telah dicapai dari status darurat militer periode 1 dan 2
dapat semakin mantap, maka status darurat militer perlu dilanjutkan,
setidaknya untuk 1 periode (6 bulan), hal ini mengingat:
(1) Masih cukup kuatnya potensi perlawanan dan moril pasukan GAM yang
tersembunyi, dan menanti kesempatan dicabutnya status darurat militer di NAD
tanggal 19 Mei 2004. Bila status darurat militer di NAD diperpanjang 1
periode, maka potensi perlawanan dan moril pasukan GAM akan sangat melemah,
sehingga mudah ditumpas atau disadarkan untuk kembali ke pangkuan NKRI.
(2) Masih hangat/memanasnya kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum
pemerintah daerah NAD yang sangat menyakiti hati rakyat Aceh, dan memicu
ketidakpuasan yang dapat mengarah pada pemberontakan rakyat Aceh sehingga
memperkuat posisi GAM.
(3) Menghangatnya suhu politik pada saat pemilihan presiden secara
langsung, memudahkan timbulnya konflik diantara rakyat Aceh yang selanjutnya
akan memperkuat posisi GAM.
Namun demikian, status darurat militer periode 3 harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a. Mengurangi ekses dari operasi pemulihan keamanan berupa tindakan
kekerasan dan pelanggaran HAM yang melukai perasaan rakyat Aceh (ekses ini
biasanya dilakukan oleh tingkat prajurit / bintara, yang perlu mendapat
perhatian dari para perwiranya).
b. Meningkatkan operasi kemanusiaan, dengan melakukan pembangunan dan
perbaikan fasilitas umum, utamanya fasilitas ibadat, pendidikan, dan
kesehatan yang rusak akibat konflik.
c. Meningkatkan operasi penegakan hukum dengan menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran hukum secara adil (termasuk kasus-kasus korupsi dan pelanggaran
HAM).
d. Memantapkan roda pemerintahan daerah dengan mengupayakan terbentuknya
pemerintah daerah yang bersih dan berwibawa.
II. Simultan dengan diperpanjangnya status darurat militer di NAD,
pemerintah dapat melakukan upaya percepatan pembangunan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat NAD dengan memperluas pemberian kesempatan bekerja dan
kesempatan berusaha kepada seluruh rakyat NAD, baik kepada para mantan GAM
maupun (dan ini yang terutama dan jangan dilupakan) kepada yang tetap setia
kepada NKRI.
III. Agar dapat segera terwujud "rekonsiliasi" terhadap para korban konflik
di NAD, baik korban pasukan GAM maupun korban pasukan TNI, perlu
dipertimbangkan untuk membentuk suatu "trauma center".
Beberapa catatan penting terhadap situasi sosial politik dan ekonomi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD):
a) Dalam era reformasi, tekad pemerintah untuk menyelesaikan masalah Aceh
semakin serius. Hal ini terlihat dari berbagai perangkat hukum dan
perundang-undangan yang diterbitkan serta kegiatan, yang menjadi landasan
kebijakan dan tindakan penyelesaian masalah Aceh, yaitu: TAP MPR No.IV Tahun
1999, Rekomendasi Pansus DPR-RI, UU No.44 tahun 1999, tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, Pembentukan Komisi Independen Tindak
Kekerasan di Aceh dengan Surat Keputusan Prasiden, UU No.18 tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam, Inpres No.4/2001, Inpres
No.7/2001, Dialog antara Delegasi RI dengan GAM atas prakarsa HDC di Davos
dan Jenewa, serta Inpres No. I tahun 2002 tentang Peningkatan Langkah
Komprehansif. Dalam rangka Percepatan Penyelesaian Masalah Aceh yang mulai
berlaku pada tanggal 10 Februari 2002.
b) Usaha Pemerintah Republik Indonesia untuk mengatasi konflik dan
penyelesaian permasalahan Aceh secara komprehensif, baik melalui dialog
dengan pihak pimpinan GAM, maupun dengan Inpres 4/2001 dan Inpres 7/2001,
nampaknya belum membuahkan hasil yang diharapkan. Jeda kemanusiaan I dan II
serta Moratorium tindak kekerasan sebagai hasil dialog, ternyata sama sekali
tidak applicable di daerah konflik. Hal ini terbukti dari kondisi keamanan
di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dimana masih terjadi pertempuran
secara sporadis antara pihak Polri/Brimob dan TNI dengan pasukan GAM yang
tidak jarang membawa korban di kalangan penduduk sipil yang tidak berdosa.
Penculikan, pembunuhan, perampasan harta milik rakyat, dan pemerasan baik
yang dilakukan oleh orang tak dikenal (OTK), GAM, serta merajalelanya
korupsi yang dilakukan oleh oknum aparat negara yang indisipliner merupakan
pengalaman yang menggalaukan dalam keseharian masyarakat terutama di
desa-desa dan daerah pedalaman.
c) Konflik yang berkepanjangan di Aceh telah memakan banyak korban jiwa,
harta, dan milik publik, serta mengakibatkan berhentinya roda pemerintahan
daerah yang berarti pula berhentinya pelayanan publik oleh pemerintah, telah
menyengsarakan rakyat Aceh, dan perlu segera dihentikan dengan segala upaya
yang dimungkinkan.
Jakarta, 12 Mei 2004
Kerabat Indonesia Aman Damai (KIAD)
---------------------------
More information about the Marinir
mailing list