[Marinir] [TNI.MIL] Kontroversi Capres Mantan Militer
Hong Gie
ouwehoer at centrin.net.id
Fri May 28 07:46:05 CEST 2004
Walaupun sudah agak terlambat counter (negatif) propaganda terhadap isu
"Militer & Militerisme", yang dilancarkan dalam rangka kampanye Pemilihan
Presiden, namun pada akhirnya Mabes TNI secara resmi mengeluarkan artikel
"Kontroversi Capres Mantan Militer", yang ditulis oleh Letnan Jenderal TNI
(Purn) Kiki Syahnakri.
-----------------------------------------------------------
www.TNI.mil.id
W A R T A
Kontroversi Capres Mantan Militer
Oleh : Kiki Syahnakri, Letnan Jenderal TNI (Purn), mantan Wakil KSAD
SALAH satu fenomena yang belakangan ini kian menarik dan bahkan terkesan
menjadi kontroversial adalah tampilnya dua calon presiden berlatar belakang
purnawirawan militer, Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Fenomena
tersebut tidak hanya menarik, tetapi juga memancing beragam reaksi.
Antara lain diharapkan kedua kandidat tersebut dapat menggunakan segala
kekuatan/kelebihan atau modalitas yang dimiliki untuk memperbaiki kondisi
bangsa, menegakkan kepastian hukum, membangun good and clean governance,
melanjutkan kembali upaya reformasi, dan sebagainya. Harapan itu diimbuhi
peringatan agar kedua figur tersebut-kalau salah satunya naik ke kursi
"RI-1"-tidak mempraktikkan atau memperlihatkan karakter "militeristik" dalam
memimpin bangsa dan mengelola negara. Tulisan R William Liddle (Kompas,
29/4) mengangkat hal itu dengan kacamata positif.
Sebaliknya, tidak sedikit pula yang bereaksi secara negatif bahkan
berlebihan. Sejumlah peneliti/pengamat memperlihatkan "kecemasan yang
terlampau tinggi" terhadap figur militer (purnawirawan TNI). Seakan sulit
membedakan "sikap militer" dan "militerisme", para kritisi tersebut
terus-menerus memompa semacam "fobia militer"-kecemasan dan ketakutan
berlebihan terhadap (figur) militer. Saya cenderung menyebut sikap kecemasan
yang mungkin juga menjurus ke arah sejenis antipati ini sebagai gejala
"paranoid politik" terhadap TNI. Mereka mengidentikkan militer semata-mata
dengan "otoriter, represif, diktator".
Idealnya, setiap pakar/pengamat menawarkan pandangan yang proporsional dan
seobyektif mungkin yang menempatkan publik pemilih pada posisi rasional,
tidak tergiring ke salah satu sudut ekstrem pandangan tertentu.
Perspektif internal TNI
Kecemasan terhadap kembalinya militer ke panggung politik dapat dijawab
dengan penegasan bahwa TNI secara sungguh-sungguh telah berpikir dan
melakukan upaya/proses "reformasi internal", sebagai ekspresi "kesadaran
dari dalam" yang telah bertumbuh di kalangan perwira TNI sendiri. Niat dan
upaya reformasi internal tersebut mencerminkan dan sekaligus membuktikan
secara lebih gamblang bahwa TNI "menolak politik praktis"!
Kesadaran itu sesungguhnya telah hadir sebelum tumbangnya rezim Orde Baru,
setidaknya dalam beberapa kalangan TNI. Kesadaran kritis ini lahir dari
kenyataan historis bahwa terlalu lamanya TNI dalam kolam politik praktis
mengakibatkan fenomena politik pun merasuk ke dalam tubuh TNI yang
mengakibatkan terjadinya fragmentasi. Akibat buruk yang lebih jauh adalah
melemahnya apresiasi terhadap kemahiran teknis-militer, prestasi dan
reputasi serta tidak berjalannya merit system yang pada gilirannya
menimbulkan erosi profesionalisme yang cukup luas. Hal ini diakibatkan
adanya orientasi kekuasaan (power interest) sehingga terjadi politisasi
militer.
Malah TNI sebagai institusi pernah mengemukakan ketidaksepakatannya terhadap
politisasi militer itu, terbukti pada tahun 1977 keluarlah apa yang populer
disebut Seskoad Paper, Widodo Paper, dan Buku Biru Mabes ABRI yang
dikeluarkan Jenderal M Jusuf (Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi,
Jakarta, 2002).
Di dalam tubuh TNI AD-setidaknya di kalangan sejumlah perwira "abituren"
(lulusan AMN/Akabri)-hasrat untuk melakukan perubahan kian menguat pada
tahun 1997 (jadi sebelum Soeharto jatuh). Itulah "embrio" proses menuju
perubahan yang sesungguhnya. Tahun 1998 upaya reformasi internal TNI
(khususnya Angkatan Darat) mulai digalakkan, antara lain diawali dengan
pembaruan/transformasi di bidang pendidikan, latihan, organisasi, dan
doktrin.
TNI berupaya keluar dari "era lama" dan merekonstruksi dirinya melalui
"reformasi internal"-suatu upaya yang secara konseptual, sistematis, dan
sungguh-sungguh telah digulirkan tidak saja sebagai akibat langsung dari
"reformasi nasional", melainkan juga merupakan respons nyata dari TNI
sendiri untuk melancarkan pembaruan atau upaya kembali ke jati dirinya.
Kesungguhan TNI secara institusional untuk keluar dari politik praktis cukup
memberi alasan bahwa kekhawatiran akan kembalinya TNI ke panggung politik
tidak relevan lagi.
Militer dan "militerisme"
Beberapa pengamat memperlihatkan persepsi yang kabur tentang militer dan
militerisme. Wujud sikap militer antara lain disiplin yang tinggi, taat
kepada atasan (terutama bangsa dan negara), loyalitas, komitmen, dan
dedikasi. Di sisi lain, hal yang buruk dalam konteks demokratisasi dan harus
dihindarkan adalah sikap "militeristik" (militerisme), yakni menerapkan
cara-cara militer yang tidak sesuai dalam/bagi kehidupan sipil.
Jika seorang mantan purnawirawan yang berkiprah di dunia sipil mempraktikkan
sikap disiplin, tegas, loyal, penuh integritas, dan dedikasi, itulah sikap
militer yang secara benar diterapkan. Namun, jika dia atau seorang sipil
sekalipun menerapkan perilaku ala komando, otoriter, dan represif, itulah
sikap "militeristik" yang harus dibuang dan dihindarkan.
Bila didekati melalui dinamika politik nasional pun, sebenarnya kekhawatiran
terhadap bangkitnya militerisme tidak perlu berlebihan. Adanya amandemen
Undang-Undang Dasar (UUD), lahirnya UU Politik, UU Hak Asasi Manusia (HAM),
UU Peradilan HAM, lembaga swadaya masyarakat/LSM (yang menjamur di
mana-mana), serta secara formal melalui institusi legislatif (DPR) dan
yudikatif (MA), kita memiliki lembaga kontrol untuk memagari dan mencegah
militerisme.
Perlu ditekankan pula, militerisme (karakter dan tendensi kekerasan) tidak
identik dengan personel militer. Trauma terhadap pola-pola otoriter dan
represif yang diterapkan oleh rezim Soeharto (yang kebetulan militer) dapat
dipahami. Namun, menyamakan semua mantan militer dengan Soeharto merupakan
kekeliruan cara berpikir. Sejarah membuktikan, Jenderal Eisenhower adalah
Presiden AS yang juga demokrat sejati.
Contoh aktualnya, belakangan di AS berkembang kelompok Hawkish
(neokonservatif) yang direpresentasikan George W Bush, Dick Cheney, Donald
Rumsfeld, Condoleeza Rice, dan Paul Wolfowitz-semuanya adalah tokoh sipil.
Dalam kasus Irak, misalnya, justru Jenderal Collin Powell (Menteri Luar
Negeri AS) bersikap jauh lebih moderat (bahkan mulanya menolak invasi ke
Irak) ketimbang para tokoh sipil tersebut.
Dalam konteks kekinian Indonesia, bangsa kita masih terbeban persoalan
teramat berat menyangkut ideologi, politik, keamanan, ekonomi, sosial, dan
budaya. Dibutuhkan pemerintahan dan kepemimpinan yang kuat agar dapat
menggerakkan bangsa ini menuju pemulihan. Perlu dijaring kader yang
berkualifikasi "memadai"-kalau memang sulit untuk mencapai yang
"ideal"-tanpa melihat apalagi mempersoalkan latar belakang sipil atau
militer. Kepemimpinan merupakan simpul strategis dan sangat menentukan dalam
kehidupan bangsa sehingga harus digali dari segala sumber rekrutmen
kepemimpinan yang tersedia. Membatasi/"menghadang" kader yang potensial dari
mana pun latarnya berarti "bermain-main" dengan masa depan bangsa.
Telah menarik diri
Dari perspektif internal TNI, munculnya kekhawatiran terhadap militerisme
mungkin kurang proporsional dan relevan. TNI dewasa ini lebih berfokus pada
upaya meningkatkan kembali profesionalisme (military competency/skill) dan
karakter militernya (military character). Tampilnya purnawirawan TNI menjadi
calon presiden (capres) sama sekali tidak mewakili institusi TNI, melainkan
wujud hak politik mereka sebagai warga negara yang sudah berstatus sipil.
Justru kalau mereka "dihadang", hal itu identik dengan melanggar HAM mereka.
Secara struktural pun TNI telah menarik diri dari pentas politik praktis
(parlemen)" dan hemat saya sudah mencapai point of no return. Sekali lagi,
kekhawatiran terhadap hal itu sudah tidak beralasan saat ini.
Dari perspektif eksternal TNI pun, tidak dapat diandaikan bahwa militer akan
ikut berlaga di politik praktis lagi. Iklim demokratisasi yang terus
berembus kencang niscaya ikut memagari hal itu. Adalah tugas semua komponen
bangsa, termasuk DPR dan lembaga-lembaga pemberdayaan civil society (LSM),
untuk terus-menerus mengontrol dan ikut memagari hal ini-namun bukan dengan
sikap "fobia militer", apalagi "paranoid politik"-terhadap (mantan) TNI.
Setiap pemimpin berpotensi menjadi otoriter-represif ataukah demokratis.
Oleh karena itu, rakyat diimbau agar memilih pemimpin dengan kapasitas
pribadi dan kualitas kepemimpinan yang dapat membawa bangsa ini keluar dari
krisis multidimensi, tanpa melihat latar sipil atau militer.
Mudah- mudahan akan terpilih pemimpin yang berjiwa kerakyatan dan
berkarakter kenegarawanan. (Kompas, 27/5)
More information about the Marinir
mailing list