[Marinir] [kompas] Kutukan Demokrasi Parlementer

YapHongGie ouwehoer at centrin.net.id
Fri Oct 29 09:33:56 CEST 2004


http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/29/opini/1353973.htm

Opini
Jumat, 29 Oktober 2004
Kutukan Demokrasi Parlementer
Oleh Riswandha Imawan

INOVASI politik di Indonesia sejak tahun 1999 dan mencapai puncaknya tahun
2004 mendapat ujian sangat berat. Tampaknya hanya ujian pada tataran teknis.
Sidang DPR deadlock beberapa kali karena persoalan tata tertib sidang.
Namun sebenarnya ujian ini menyentuh prinsip kenegaraan yang fundamental,
yakni format demokrasi yang sesuai untuk bangsa Indonesia.

Kita dipaksa untuk terus mencari tanpa jelas apa sebenarnya yang kita cari.
Kita seakan hidup di bawah kutukan demokrasi parlementer di era 1950-an.
Bangun kepolitikan pasca-Pemilu 2004 seolah merekonstruksi bangun politik
produk Pemilu 1955. Sistem multipartai, tidak ada partai dominan di DPR,
terjadi polarisasi kekuatan politik di parlemen, presiden yang sangat
populer hingga mendominasi panggung politik, dan parlemen tidak berfungsi
adalah ciri-ciri kutukan demokrasi parlementer yang saat ini gejalanya
terulang kembali.

Tinggal satu lagi, karena popularitas presiden melebihi popularitas DPR,
maka presiden dapat "mendikte" DPR. Lewat popularitasnya, presiden bisa
menyihir rakyat untuk langkah yang diambil, sekalipun langkah itu
inkonstitusional. Bila ini terjadi, lengkaplah konstruksi kutukan demokrasi
parlementer itu.

Ini bukan berita bagus buat rakyat. Masalahnya bukan sekadar saling jegal
antarkekuatan politik di DPR akan berdampak pada lumpuhnya kinerja
pemerintahan, karena program kerja pemerintah harus disetujui oleh parlemen.
Lebih dari itu berpotensi menurunkan kepercayaan rakyat akan kebenaran
inovasi politik yang baru, yang bisa mengulang sisi kelabu politik
Indonesia.

DPR 2004-2009 bukan sekadar baru dalam soal waktu. Komposisinya baru. Inilah
kali pertama DPR kita tanpa kehadiran (fraksi) TNI/Polri. Artinya, inilah
pertaruhan besar bahwa demokrasi bisa dijalankan secara tertib oleh para
politisi sipil. Selain itu, 398 orang (72,73 persen) anggota DPR adalah
wajah baru. Ada indikasi terjadi regenerasi dalam tubuh DPR. Layak bila
rakyat menaruh harapan sangat besar kepada DPR 2004-2009.

Namun, indikasi awal kiprah mereka membuat kita miris. Kepentingan fraksi
tampak menonjol. Cara berpikir cost and benefit mendominasi perilaku mereka
saat menentukan pembentukan komisi-komisi. Bila diingat bahwa fraksi adalah
kepanjangan DPP partai, pola pikir ini mengarah kepada sikap "apa yang bisa
dimanfaatkan" dari satu posisi untuk meningkatkan harga jual partai.

Repotnya harga jual ini dilandasi oleh imajinasi bahwa tiap partai memiliki
harga jual yang sama tinggi. Kebutuhan untuk membangun citra mayoritas
(pseudo majority) yang membuat imajinasi ini muncul. Akibatnya, secara agak
mengerikan, langkah awal DPR 2004-2009 seolah memberi sinyal kehadiran
tirani minoritas dan diktator mayoritas yang dulu meruntuhkan sistem
demokrasi parlementer. Partai-partai baru yang kekuatannya minim seolah
hadir sebagai tirani minoritas, berhadapan dengan partai- partai lama yang
merepresentasikan diktator mayoritas.

Mengapa format ini terbentuk? Ini terkait dengan politik akomodasi yang
dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebagai pendukung utama
Presiden SBY, sangat mengherankan bila kader Partai Demokrat (PD) hanya
mendapat dua dari 36 menteri di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu (KIB).
Kader dari kawan-kawan berkoalisi, seperti PKS, PBB, PAN, dan PPP, lebih
mendominasi KIB. PD justru menjadi kekuatan minoritas dalam KIB.

Ini langkah taktis sebab kekuatan PKS, PBB, PAN, dan PPP bisa menjadi "kartu
bebas" yang menentukan irama permainan di DPR. Selain itu, ketiganya bisa
dijadikan perisai bagi KIB untuk menangkis berbagai kemungkinan sikap oposan
dari Koalisi Kebangsaan. Namun, posisi ini juga bisa menekan Presiden SBY
untuk lebih akomodatif terhadap sikap politik mereka. Tegasnya, keempat
partai ini berada pada posisi yang sangat menentukan untuk "mendiktekan"
kehendak kepada Presiden SBY atau KIB.

Format semacam ini berpotensi membawa kepolitikan Indonesia ke dua arah.
Pertama, terjadi instabilitas pemerintahan karena DPR asyik berkelahi dengan
dirinya sendiri, sementara pemerintah menunggu persetujuan dari DPR terhadap
program yang diajukan. Bila di era Demokrasi Parlementer situasinya diikuti
dengan jatuh-bangunnya kabinet, maka di era Demokrasi Parlementer "yang
malu-malu" saat ini, KIB tidak bisa dijatuhkan. Hanya saja, sangat mungkin
tekanan bagi dilakukannya reshuffle kabinet akan muncul setelah pemerintahan
SBY melampaui 100 hari pertama. Tetapi hati-hati, bila reshuffle dilakukan,
citra dan akuntabilitas Presiden SBY akan segera ambruk.

Kedua, Presiden SBY mengambil tindakan sangat decisive. Alasan yang bisa
dilakukan adalah legitimasi presiden sangat kuat karena dipilih secara
langsung oleh rakyat. Bisa saja presiden berdalih bahwa bukan dia yang tidak
siap dengan program konkret mengatasi masalah bangsa, namun DPR-lah yang
tidak siap mengiringi langkahnya.

Argumentasi seperti ini bisa dengan mudah digunakan Presiden SBY. Fakta
membuktikan bahwa popularitas SBY adalah lima kali popularitas PD yang
mencalonkannya di pilpres pertama dan sepuluh kali di pilpres kedua. Jangan
lupa pula bahwa presiden dipilih secara langsung, sementara hanya ada dua
dari 550 anggota DPR yang melampaui bilangan pembagi pemilih (BPP), yang
bisa dibaca sebagai benar-benar dipilih secara langsung oleh rakyat.
Selebihnya, mayoritas anggota DPR kita dipilih berdasarkan nomor urut dalam
daftar caleg yang diajukan DPP partai, yang artinya masih menggunakan sistem
proporsional gaya lama.

MENGAPA sampai kita berhadapan dengan dua pilihan yang mirip buah simalakama
ini? Karena sebenarnya kita masih mencari format demokrasi yang pas bagi
bangsa Indonesia, yang ditunjang oleh masih kuatnya oligarki dalam partai
politik di Indonesia. Sangat mungkin juga inovasi politik yang kita ciptakan
belum seutuhnya dipahami para anggota DPR. Akibatnya, tiap orang berusaha
menggunakan celah-celah yang ada dalam inovasi politik itu untuk kepentingan
(kelompok) mereka.

Kendali politik DPR tampaknya masih berada "di luar" DPR. Persis seperti DPR
masa lalu. Menyerahnya Koalisi Kerakyatan dalam perjuangan merebut
komisi-komisi memberi indikasi kuat akan hal ini.
Selama ini perdebatan yang demikian sengit di DPR, yang seolah tak
terpecahkan, tiba-tiba saja bisa diputuskan melalui forum lobi para elite
partai. Sering lobi itu berlangsung singkat.

Peta politik serta cara berpolitik semacam ini sebenarnya memudahkan
Presiden SBY mengendalikan pemerintahan. "Pegang" semua pimpinan partai,
maka presiden dapat mengendalikan DPR. Sayangnya, ini adalah salah satu ciri
Demokrasi Parlementer yang berlanjut pada Demokrasi Terpimpin, maupun
Demokrasi Pancasila, yang berujung pada terbentuknya rezim otoriter.
Sebuah kutukan yang harus segera kita cari cara menghindarinya.

Riswandha Imawan Guru Besar Ilmu Politik UGM, Yogyakarta




More information about the Marinir mailing list