[Marinir] Fw: [nasional-list] MD Kartaprawira - PEMBUNUHAN KEKUASAAN KONSTITUSIONAL SOEKARNO

BDG Kusumo bdgkusumo at volny.cz
Sun Dec 25 12:14:27 CET 2005


----- Original Message ----- 
From: MD Kartaprawira 
To: nasional-list at yahoogroups.com 
Cc: wahana-news at yahoogroups.com ; hksis at yahoogroups.com ; apakabar at yahoogroups.com ; sastra-pembebasan at yahoogroups.com ; koran-sastra at yahoogroups.com ; perhimpunan_persaudaraan at yahoogroups.com ; lksm at groups.marhaenis.org ; merahputih at groups.marhaenis.org 
Sent: Saturday, December 24, 2005 9:48 PM
Subject: [nasional-list] MD Kartaprawira - PEMBUNUHAN KEKUASAAN KONSTITUSIONAL SOEKARNO


http://indonesia-berjuang.blogspot.com/2005/12/pembunuhan-kekuasaan-konstitusional_24.html
http://patriaindonesiabakti.blogspot.com/2005/12/pembunuhan-kekuasaan-konstitusional.html





PEMBUNUHAN KEKUASAAN KONSTITUSIONAL SOEKARNO 
Kajian sejarah politik dan hukum tatanegara Indonesia
(Re: Aswi Warman Adam, Pembunuhan Ketiga Soekarno, Jawa Pos, 24.11.2005)



Oleh MD Kartaprawira*


Sesungguhnya pembunuhan Soekarno sudah kesekian banyak kali, tidak tiga kali seperti yang ditulis oleh Aswi Warman Adam dalam artikelnya yang berjudul "Pembunuhan Ketiga Soekarno" (Jawa Pos, 24.11.2005). Sebab di samping pembunuhan phisik dengan cara penahanan Bung Karno yang sedang menderita sakit kronis berat tanpa mendapatkan perawatan semestinya sehingga wafat (Pembunuhan pertama), kemudian pelarangan peringatan hari lahir Pancasila oleh Kopkamtib, usaha penjungkir-balikan sejarah bahwa   bukan Soekarno yang pertama mengungkapkan Pancasila (Pembunuhan Kedua) dan  penerbitan  buku Prof.Dr. Antonie CA Dake "Sukarno File, Berkas-berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan" (Pembunuhan Ketiga), masih banyak lagi macam-macam "pembunuhan" lainnya terhadap Soekarno, yang terjadi sebelum peristiwa G30S.    



Salah satunya adalah pembunuhan  kekuasaan konstitusional Soekarno, yang   berdampak serius terhadap perkembangan politik dan nasib bangsa dan negara Indonesia. Pembunuhan kekuasaan konstitusional Soekarno terjadi dua kali.



Pembunuhan Kekuasaan Konstitusional Pertama: adalah keputusan penggantian sistem kabinet presidensiil dengan kabinet parlementer. Sebab dengan demikian maka secara resmi mulai saat itu kekuasaan Soekarno sebagai Kepala Pemerintahan dilucuti, yang tinggal hanya kekuasaan sebagai Kepala Negara yang praktis hanya sebagai simbol dalam sistem tatanegara. 

Bersamaan dengan itu mulailah di Indonesia berlaku demokrasi liberal.   Perubahan sistem kenegaraan demikian itu tercapai berkat modus operandi yang lihai, yaitu pertama-tama dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No.X bulan Oktober 1945, yang  menyatakan  bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat sebelum terbentuknya MPR/DPR melakukan tugas legisltif. (1). Dengan demikian KNIP dari lembaga pembantu presiden menjadi lembaga yang sederajat dengan lembaga kepresidenan. 

Kemudian KNIP yang dipimpin Syahrir ini lebih berhasil lagi dalam mendorong Pemerintah – Wk.Presiden Hatta --  untuk mengeluarkan Maklumat Pemerintah tentang pendirian partai-partai politik (3Nopember 1945) dan pemberlakuan Kabinet Parlementer (14 Nopember 1945). (2) 



Seperti kita ketahui UUD 1945 menganut sistem kabinet presidensiil, di mana presiden memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Tapi dengan   dikeluarkannya Maklumat Wk. Presiden No.X Oktober 1945, yang diikuti pengumuman  Peraturan Pemerintah bulan Nopember tentang pendirian partai-partai politik dan pergantian sistem presidensiil menjadi parlementer, maka akibatnya mulai saat itu , presiden tidak lagi mempunyai kekuasaan atau hak   menentukan kebijakan jalannya pemerintahan, tapi hanya sebagai kepala negara yang berfungsi sebagai simbol atau tukang stempel. Semua kebijakan pemerintahan dijalankan oleh perdana menteri bersama kabinetnya. 



Sesungguhnya dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No.X secara yuridis tidaklah serta merta harus menghilangkan kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan, tapi hanya perubahan status KNIP dari pembantu presiden menjadi lembaga legislatif yang sederajad kedudukannya dengan presiden dan yang bersama-sama presiden mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang. Hal itu bisa dilihat   dalam praktek ketatanegaraan Indonesia di era pemerintahan Soekarno (setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959), era Suharto (sampai 1998), dan pemerintahan-pemerintahan pada era reformasi, di mana meskipun   ada lembaga legislatif (MPR/DPR) presiden tetap memegang kekuasaan konstitusional sebagai kepala pemerintahan  dan kepala negara. 



Tampak jelas, perubahan sistem presidensiil ke sistem parlementer bukanlah suatu amandemen terhadap UUD 1945, melainkan pengebirian total UUD 1945, sebab semua apa yang tertulis dalam   UUD 1945 tetap tidak berubah. Jadi pelucutan kekuasaan konstitusional

Presiden sebagai kepala pemerintahan melalui suatu maklumat yang isinya bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam konstitusi pada hakekatnya adalah "kudeta" terhadap kekuasaaan konstitusional Presiden Soekarno.



Memang situasi politik pada masa itu diliputi suasana gegap-gempitanya aliran demokrasi liberal, yang berlindung pada alasan-alasan politik bahwa UUD 1945   memberi banyak kekuasaan kepada presiden, yang bisa mengakibatkan timbulnya kekuasaan otoriter dan kediktatoran, sehingga dikhawatirkan Indonesia tidak akan mendapat dukungan negara-negara Barat. Bahkan berkembangnya isu provokatif tuntutan penyeretan Soekarno ke mahkamah internasional sebagai penjahat perang, karena dituduh berkolaborasi dengan fasis Jepang juga menambah dukungan gerakan demokrasi liberal. Ternyata gerakan politik   tersebut berhasil menggalang suara di Komite Nasional Indonesia Pusat  dalam mendorong Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta untuk mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No.X Oktober 16 Oktober 1945 beserta peraturan-peraturan berikutnya yang diperlukan untuk perubahan sistem presidensiil menjadi sistem parlementer. Dalam perjalanaan sejarah telah terbukti  bahwa sistem parlementer hanya menelorkan "kabinet-kabinet seumur jagung", yang tidak pernah sempat melaksanakan program-program pembangunan secara signifikan.



Fakta bahwa Maklumat Wk. Presiden No.X tersebut dikeluarkan saat ketika Presiden Soekarno sedang berada di Jawa Tengah, menguatkan pendapat bahwa terdapat suatu rekayasa kudeta dengan menggunakan situasi ketidak beradaan Presiden di Jakarta. Jika tiada perekayasaan kudeta tentunya harus menunggu kedatangan presiden Soekarno lebih dulu, apalagi mengenai masalah maha penting – pergantian sistem presidensiil ke sistem parlementer. Ben Anderson, Giebles (3) dan Bagin (4) pun berkesimpulan bahwa peristiwa itu adalah kudeta, yang mereka namakan silent coup d'etat. 

Lebih dari itu, penulis berpendapat bahwa tidak hanya silent coup d'etat   -- kudeta secara diam-diam --  tapi juga "kudeta merangkak", yang di mulai dari pengumuman Maklumat Wakil Presiden No.X, disusul pengumuman Maklumat Pemerintah tentang pembentukan partai-partai dan akhirnya pengumuman tentang perubahan sistem presidensiil ke sistem parlementer, yang semuanya bertolak dari usulan komite Nasional Indonesia Pusat yang dipimpin Syahrir. 



Tidak mengherankan kalau Y.B.Mangunwijaya (pengagum Syahrir) mempunyai pandangan berbeda, yang bahkan menamakan pergantian sistem presidensiil menjadi parlementer sebagai Revolusi Besar kedua setelah 17 Agustus 1945. Lebih dari itu Y.B.Mangunwijaya menyerukan dilakukannya Revolusi Besar semacam itu lagi. (5)  



Penelitian tentang peristiwa sejarah ketatanegaraan dan politik tersebut di atas sangat kurang sekali bahkan hampir terlupakan, yang seharusnya bisa menjelaskan pertanyaan-pertanyaan, misalnya: Bagaimana sikap atau reaksi Presiden Soekarno berhubung dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No.X oleh Drs Moh.Hatta?. Apakah Bung Karno begitu saja menyerah? Adakah rekayasa yang mengakibatkan Bung Karno tidak dapat berbuat apa-apa? Apakah Bung Karno mengalah demi persatuan bangsa, supaya tidak membahayakan eksistensi Republik Indonesia yang baru berumur 2 bulan?   Ataukah Bung Karno mengalah demi mendapat dukungan negara-negara barat yang mendukung garis politik Syahrir? Seberapa jauh peranan barat dalam peristiwa pemberlakuan sistem parlementer – demokrasi liberal di Indonesia pada saat itu?   

Satu hal yang penulis yakin, bahwa semangat (demi) persatuan bangsa yang selalu diserukan tanpa henti-hentinya oleh Soekarno, adalah jawaban yang dialektik dan benar, mengapa dia mengalah atas kudeta kekuasaan konstitusionalnya. 



Hilangnya kekuasaan konstitusional presiden sesuai UUD 1945 tersebut berlangsung selama   14 tahun, yang sampai pada titik pemberhentian pada 5 Juli 1959 ketika presiden Soekarno mendekritkan Kembali ke UUD 1945 (tanpa embel-embel Maklumat Wakil Presiden No.X). Dengan dekrit tersebut presiden Soekarno mulai saat itu tidak lagi menjadi "tukang stempel", melainkan sebagai pemegang kekuasaan Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara. Mulai saat itulah Bung Karno secara nyata berkuasa dalam pemerintahan di Indonesia   sejak berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 (disamping masa 2 bulan  dari 17 Agustus sampai 16 Oktober 1945). 

Dalam pidato Peringatan Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1959, Bung Karno menamakan pidatonya dengan "Penemuan Kembali   Revolusi Kita" (The Rediscovery of our  Revolution). Sejatinya memang sejak diberlakukannya sistem Kabinet Parlementer,   revolusi Indonesia telah disesatkan  ke arah jalan yang salah – jalan demokrasi liberal, yang kemudian dalam era globalisasi melahirkan aliran neo-liberalisme. 



Pembunuhan kekuasaan konstitusional kedua: adalah ketika MPRS mengeluarkan TAP No.XXXIII Tahun 1967. Di sini tampaknya tindakan MPRS adalah "benar", sebab berdasarkan UUD 1945 MPR memang mempunyai kekuasaan untuk memberhentikan presiden dari jabatannya. Jelas sangat berbeda dengan Pembunuhan Pertama melalui Maklumat Wakil Presiden yang bertentangan dengan UUD 1945. Pembunuhan kedua ini benar-benar membunuh kekuasaan   konstitusional secara nyata dan total, yaitu penghapusan kekuasaan Soekarno baik sebagai  kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan.   Dalam kaitannya dengan kasus ini, pembunuhan kedua juga dilakukan dengan menggunakan modus operandi  kudeta "merangkak" oleh jenderal Suharto terhadap Presiden Soekarno, yang sangat dibenci oleh Barat (kaum nekolim, kaum neo-liberal) dengan tuduhan otoriter, diktator, pembela komunis. Kudeta "merangkak" yang startnya dimulai dari Penumpasan G30S, melalui pengkhianatan   Supersemar, mencapai titik finish pada sidang MPRS, yang mengeluarkan TAP No.XXXIII/1967,  yang akhirnya melahirkan rejim Orde Baru. 



Mengenai masalah kudeta merangkak yang dilakukan oleh mayjen. Suharto sudah banyak ditulis oleh para pakar politik/sejarah dan para politisi, maka tidak perlu direntang lebih jauh di sini. Meskipun demikian, ada satu hal yang perlu dicatat bahwa tampilnya tokoh-tokoh politisi mantan gerakan Maklumat Wk. Presiden No.X  dalam pemerintahan rejim  Soeharto/Orba  dan di posisi penting dalam lembaga-lembaga negara membuktikan bahwa antara pembunuhan pertama dan kedua   kekuasaan konstitusional presiden Soekarno terdapat titik konvergensi kepentingan, meskipun dalam situasi dan kondisi politik nasional dan internasional yang berbeda. 



Tampak jelas bahwa  garis politik dan ideologi Bung Karno yang anti nekolim-neoliberalisme, ajaran Pancasila dan Nasionalisme Kerakyatan kapan pun merupakan duri dalam daging bagi lawan politiknya di dalam dan di luar negeri. Politik persatuan lintas agama, suku, etnis , yang selalu diserukan oleh Bung Karno demi usaha dan perjuangan untuk terbentuknya masyarakat demokratik, damai, sejahtera berdasarkan Pancasila merupakan penghalang bagi tujuan kaum nekolim dan neoliberalis.   Maka tidak mengherankan  bahwa "pembunuhan" terhadap Soekarno bisa terjadi berkali-kali. Pemunculan buku Prof.Dr. Antonie Dake "Soekarno File ..." yang merupakan   pembunuhan karakter terhadap Bung Karno tidak saja bertujuan untuk de-Soekarnoisasi, tapi juga untuk menyebarkan racun pecah belah bangsa/rakyat Indonesia. Hal tersebut tidak kebetulan dan tidak bisa dipisahkan dari offensif kaum nekolim dan kaum neo-liberal untuk menguasai Indonesia setelah jatuhnya rejim Suharto. Sejarah berjalan terus – panta rei --   ke depan. Tapi sejarah masa lalu yang bagaimana pun pahitnya harus menjadi pelajaran untuk melangkah ke masa depan yang "manis" dengan menghindari jauh-jauh jerat yang dipasang kaum neo-liberal. 



*) Penulis Anggota Indonesia Legal Reform Working Group, di Nederland



Nederland, 08 Desember 2005





(1)     Kronik Revolusi Indonesia Jilid I (1945) (Pramudya Ananta Toer, Kusalah Subagyo Toer, Ediati Kamil), KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) 1999, halaman 404. 

(2)     Kronik Revolusi Indonesia Jilid I (1945) (Pramudya Ananta Toer, Kusalah Subagyo Toer, Ediati Kamil), KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) 1999, halaman   86, 113, 149, 404, 438, 480. 

(3)     SOEKARNO Nederlandsch onderdaan Een biografie 1901-1950, Uitgeverij Bert Bakker Amsterdam, 1999,  pagina 396. 

(4)     BAGIN, Pemahaman saya Tentang Ajaran Bung Karno II, KKJ Berdikari Jakarta 2004, halaman 324.

(5)     MD Kartaprawira, MASALAH UUD'45 DAN MASA DEPANNNYA DALAM ERA REFORMASI (½), Indonews 4 Dec 1998.

       











--------------------------------------------------------------------------------
YAHOO! GROUPS LINKS 

  a..  Visit your group "nasional-list" on the web.
    
  b..  To unsubscribe from this group, send an email to:
   nasional-list-unsubscribe at yahoogroups.com
    
  c..  Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. 


--------------------------------------------------------------------------------

-------------- next part --------------
An HTML attachment was scrubbed...
URL: http://gate.polarhome.com/pipermail/marinir/attachments/20051225/819ada36/attachment-0001.html


More information about the Marinir mailing list