[Marinir] Emha Ainun Nadjib: "Gunung Jangan Pula Meletus"
YapHongGie
ouwehoer at centrin.net.id
Tue Feb 22 13:04:45 CET 2005
Gunung Jangan Pula Meletus
Oleh Emha Ainun Nadjib
KHUSUS untuk bencana Aceh, saya terpaksa menemui Kiai Sudrun.
Apakah kata mampu mengucapkan kedahsyatannya?
Apakah sastra mampu menuturkan kedalaman dukanya?
Apakah ilmu sanggup menemukan dan menghitung nilai-nilai kandungannya?
Wajah Sudrun yang buruk dengan air liur yang selalu mengalir pelan dari
salah satu sudut bibirnya hampir membuatku marah.
Karena tak bias kubedakan apakah ia sedang berduka atau tidak.
Sebab, barang siapa tidak berduka oleh ngerinya bencana itu dan oleh
kesengsaraan para korban yang jiwanya luluh lantak terkeping- keping, akan
kubunuh.
"Jakarta jauh lebih pantas mendapat bencana itu dibanding Aceh!," aku
menyerbu.
"Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran," Sudrun menyambut dengan
kata-kata yang, seperti biasa, menyakitkan hati.
"Jadi, kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?"
"Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh
dinikahkan dengan surga."
"Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir amat dan paling
menderita dibanding kita senegara, kenapa masih ditenggelamkan ke kubangan
kesengsaraan sedalam itu?"
"Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya sehingga
derajat orang Aceh ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan untuk terus
menjalani kerendahan."
"Termasuk Kiai...."
Cuh! Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak dahulu
kala. Kuusap dengan kesabaran.
"Kalau itu hukuman, apa salah mereka?
Kalau itu peringatan, kenapa tidak kepada gerombolan maling dan koruptor di
Jakarta?
Kalau itu ujian, apa Tuhan masih kurang kenyang melihat kebingungan dan
ketakutan rakyat Aceh selama ini, di tengah perang politik dan militer tak
berkesudahan?"
Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari
kata-kataku.
Badannya terguncang-guncang. "Kamu mempersoalkan Tuhan?
Mempertanyakan tindakan Tuhan Mempersalahkan ketidakadilan Tuhan?" katanya.
Aku menjawab tegas, "Ya."
"Kalau Tuhan diam saja bagaimana?"
"Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan terus
mempertanyakan."
"Sampai kapan?"
"Sampai kapan pun!"
"Sampai mati?"
"Ya!"
"Kapan kamu mati?"
"Gila!"
"Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu mempertanyakan kenapa
ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh.
Kamu bahkan tidak tahu apa yang akan kamu katakan sendiri lima menit
mendatang.
Kamu juga tidak tahu berapa jumlah bulu ketiakmu.
Kamu pengecut. Untuk apa mempertanyakan tindakan Tuhan.
Kenapa kamu tidak melawanNya. Kenapa kamu memberontak secara tegas kepada
Tuhan.
Kami menyingkir dari bumiNya, pindah dari alam semestaNya, kemudian kamu
tabuh genderang perang menantangNya!"
"Aku ini, Kiai!" teriakku, "datang kemari, untuk merundingkan hal-hal yang
biasa menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan adalah diktator dan
otoriter...."
Sudrun malah melompat-lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya.
Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.
"Kamu jahat," katanya, "karena ingin menghindar dari kewajiban."
"Kewajiban apa?"
"Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter.
Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya,
dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya.
Tuhan-lah satu-satunya yang ada, yang berhak bersikap diktator dan otoriter,
sebagaimana pelukis berhak menyayang lukisannya atau merobek-robek dan
mencampakkannya ke tempat sampah.
Tuhan tidak berkewajiban apa- apa karena ia tidak berutang kepada
siapa-siapa, dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapa pun.
Tuhan tidak terikat oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan
baik buruk.
Tuhan tidak harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan salah yang
harus taat kepadaNya. Ainun, Ainun, apa yang kamu lakukan ini? Sini,
sini..."-ia meraih lengan saya dan menyeret ke tembok-"Kupinjamkan dinding
ini kepadamu...."
"Apa maksud Kiai?," aku tidak paham.
"Pakailah sesukamu."
"Emang untuk apa?"
"Misalnya untuk membenturkan kepalamu...."
"Sinting!"
"Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal pembelajaran yang terbaik
untuk cara berpikir yang kau tempuh."
Ia membawaku duduk kembali.
"Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk manusia
menurut pertimbanganmu?," ia pegang bagian atas bajuku.
"Kamu tahu Muhammad?", ia meneruskan, "Tahu?
Muhammad Rasulullah shallallahu'alaihi wa alihi wasallah, tahu?
Ia manusia mutiara yang memilih hidup sebagai orang jelata.
Tidak pernah makan kenyang lebih dari tiga hari, karena sesudah hari kedua
ia tak punya makanan lagi.
Ia menjahit bajunya sendiri dan menambal sandalnya sendiri.
Panjang rumahnya 4,80 cm, lebar 4,62cm.
Ia manusia yang paling dicintai Tuhan dan paling mencintai Tuhan, tetapi
oleh Tuhan orang kampung Thaif diizinkan melemparinya dengan batu yang
membuat jidatnya berdarah.
Ia bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat panas badan oleh racun Zaenab
wanita Yahudi.
Cucunya yang pertama diizinkan Tuhan mati diracun istrinya sendiri.
Dan cucunya yang kedua dibiarkan oleh Tuhan dipenggal kepalanya kemudian
kepala itu diseret dengan kuda sejauh ratusan kilometer sehingga ada dua
kuburannya.
Muhammad dijamin surganya, tetapi ia selalu takut kepada Tuhan sehingga
menangis di setiap sujudnya.
Sedangkan kalian yang pekerjaannya mencuri, kelakuannya penuh kerendahan
budaya, yang politik kalian busuk, perhatian kalian kepada Tuhan
setengah-setengah, menginginkan nasib lebih enak dibanding Muhammad?
Dan kalau kalian ditimpa bencana, Tuhan yang kalian salahkan?"
Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke
belakang.
"Kiai," kata saya agak pelan, "Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa icon
utama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim...."
"Sangat benar demikian," jawabnya, "Apa yang membuatmu tidak yakin?"
"Ya Aceh itu, Kiai, Aceh.... Untuk Aceh-lah aku bersedia Kiai ludahi."
"Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku meludahimu. Yang terjadi
adalah bahwa kamu pantas diludahi."
"Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu...."
"Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim cinta
lubuk hati. Kenapa?"
"Aceh, Kiai, Aceh."
"Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi.
Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang segera dipisahkan oleh
Tuhan dari dunia.
Ribuan malaikat mengangkut mereka langsung ke surga dengan rumah-rumah
cahaya yang telah tersedia.
Kepada saudara- saudara mereka yang ditinggalkan, porak poranda kampung dan
kota mereka adalah medan pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia
Aceh, karena sesudah ini Tuhan menolong mereka untuk bangkit dan menemukan
kembali kependekaran mereka.
Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema Aceh
Indonesia yang menyengsarakan mereka selama ini.
Rakyat Aceh dan Indonesia kini terbebas dari blok-blok psikologis yang
memenjarakan mereka selama ini, karena air mata dan duka mereka menyatu,
sehingga akan lahir keputusan dan perubahan sejarah yang melapangkan kedua
pihak".
"Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan para korban sukar
dibayangkan akan mampu tertanggungkan."
"Dunia bukan tempat utama pementasan manusia.
Kalau bagimu orang yang tidak mati adalah selamat sehingga yang mati kamu
sebut tidak selamat, buang dulu Tuhan dan akhirat dari konsep nilai hidupmu.
Kalau bagimu rumah tidak ambruk, harta tidak sirna, dan nyawa tidak
melayang, itulah kebaikan; sementara yang sebaliknya adalah keburukan-
berhentilah memprotes Tuhan, karena toh Tuhan tak berlaku di dalam skala
berpikirmu, karena bagimu
kehidupan berhenti ketika kamu mati."
"Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang tak berdosa, sementara
membiarkan para penjahat negara dan pencoleng masyarakat hidup nikmat
sejahtera?"
"Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para pencoleng itu di neraka
kelak tidak terlalu lama.
Jadi dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa dan kebodohannya.
Bukankah cukup banyak tokoh negerimu yang baik yang justru Tuhan bersegera
mengambilnya, sementara yang kamu doakan agar cepat mati karena luar biasa
jahatnya kepada rakyatnya malah panjang umurnya?"
"Gusti Gung Binathoro!," saya mengeluh, "Kami semua dan saya sendiri,
Kiai,tidaklah memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran dengan
yang disuguhkan oleh perilaku Tuhan."
"Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu bagaimana pola perilaku
Tuhan.
Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit itu
sehingga politiknya memuakkan, ekonominya nggraras dan kebudayaannya penuh
penghinaan atas martabat diri manusia sendiri-maka Tuhan justru menambahi
penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang sejati yang jauh
lebih dahsyat.
Yang di Aceh bukan bencana pada pandangan Tuhan.
Itu adalah pemuliaan bagi mereka yang nyawanya diambil malaikat, serta
pencerahan dan pembangkitan bagi yang masih dibiarkan hidup."
"Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai ketidakadilan...."
"Alangkah dungunya kamu!" Sudrun membentak, "Sedangkan ayam menjadi riang
hatinya dan bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia meski ayam
tidak memiliki kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang dan bersyukur."
"Jadi, para koruptor dan penindas rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?"
"Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang kepada mereka sehingga
selama satu dua bulan terakhir ini diberi peringatan berturut-turut, baik
berupa bencana alam, teknologi dan manusia, dengan frekuensi jauh lebih
tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya.
Tetapi, karena itu semua tidak menjadi pelajaran, mungkin itu menjadikan
Tuhan mengambil keputusan untuk memberi peringatan dalam bentuk lebih
dahsyat.
Kalau kedahsyatan Aceh belum mengguncangkan jiwa Jakarta untuk mulai
belajar menundukkan muka, ada kemungkinan...."
"Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!" aku memotong, karena ngeri
membayangkan lanjutan kalimat Sudrun.
"Bilang sendiri sana sama gunung!" ujar Sudrun sambil berdiri dan ngeloyor
meninggalkan saya.
"Kiai!" aku meloncat mendekatinya, "Tolong katakan kepada Tuhan agar
beristirahat sebentar dari menakdirkan bencana-bencana alam...."
"Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan, kenapa
tak kau pakai istilah bencana Tuhan?"
Sudrun benar-benar tak bisa kutahan. Lari menghilang.
Emha Ainun Nadjib, Budayawan
More information about the Marinir
mailing list