[Marinir] [KCM] Opini: Kita, Australia, dan Corby

Yap Hong Gie ouwehoer at centrin.net.id
Sat Jun 4 23:49:43 CEST 2005


http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/03/opini/1792251.htm

Opini
Jumat, 03 Juni 2005
Kita, Australia, dan Corby
Oleh PLE Priatna

PROYEKTIL peluru dilemparkan ke pintu gerbang Kantor Konsulat Jenderal RI
di Sydney dan mengenai kaca belakang sebuah kendaraan yang diparkir, selepas
Corby dijatuhi hukuman 20 tahun, Jumat lalu. Demikian laporan surat kabar
Sydney Morning Herald (30/5).

Belum reda insiden itu, KBRI di Canberra, Rabu (1/6), menerima kiriman surat
mencurigakan karena diduga berisi serbuk bakteri antraks. KBRI langsung
ditutup. Seluruh staf diisolasi paling tidak 48 jam di dalam Gedung KBRI,
mereka tak boleh pulang. Deplu RI langsung mengutuk aksi teror ini, dan
Perdana Menteri John Howard pun meminta maaf.

Reaksi sebagian masyarakat Australia di Negara Kanguru dalam menyikapi
keputusan hukuman Schapelle Corby memang tampak emosional sekaligus
irasional yang dibarengi rasa permusuhan terhadap Indonesia.

Sekelompok kecil bahkan ingin agar Pemerintah Australia dan LSM meminta
kembali uang sumbangan yang diberikan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi
korban tsunami Aceh. Belum pernah ada masyarakat yang menyumbang untuk
korban tsunami di Aceh ingin menarik kembali uang yang sudah diberikan,
kecuali dari Australia. Suara segelintir kelompok, namun dengan suara amat
menyakitkan. Kelompok kecil yang melontarkan suara yang sama untuk memboikot
warga Australia pergi ke Bali.

Setelah diplomat RI di Perth diancam dengan dikirimi dua butir peluru,
kejadian itu kembali mengungkap, publik Australia memiliki ruang kebebasan
tersendiri untuk menafsirkan sebuah kejadian serta merespons secara beragam.
Aspirasi yang muncul dapat tidak sejalan atau bahkan berseberangan dengan
kebijakan Pemerintah Australia.

Meski kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tujuh menteri RI ke
Australia baru-baru ini mampu membuka lembaran baru kerja sama RI-Australia,
juga sebaliknya, publik Australia tetap elemen lain yang memiliki kekuatan
tersendiri untuk memaknai peristiwa di mancanegara. Meski pandangan publik
Australia belum tentu benar apalagi mewakili mayoritas (the silent majority)
publik yang bersahabat.

Dalam kondisi yang sama, publik dan media Australia menyadari, di sini pun
bisa muncul respons serupa. Adalah amat tidak fair jika kemudian rentetan
aksi unjuk rasa atau seruan boikot terhadap produk Australia yang dilakukan
kelompok masyarakat di sini dikatakan sebagai mengada-ada. Bukankah dalam
kasus Corby, sebagian publik Australia dijangkiti histeria dan bersikap
mengada-ada?

MARI kita lihat sisi lain. Ada 46 warga negara Australia yang sedang
menunggu proses pengadilan yang tersebar di negara-negara ASEAN.
Demikian tulis surat kabar the Australian baru-baru ini.

Kemlu Australia mencatat ada tiga warga negara Australia yang sedang
menunggu hukuman mati di Asia Tenggara. Kasus Tran Van Thanh, warga
Australia keturunan Vietnam yang dihukum pengadilan Ho Chi Minh City karena
terbukti membawa 700 gram heroin, berikut kedua kaki tangannya, Pham Dai
Nhon yang dihukum 16 tahun dan Le Thi Loan dipenjara 20 tahun, ternyata
tidak mendapat publikasi sesemarak kasus Corby.

Begitu pula dengan Nguyen Tuong Van, warga Australia keturunan yang diancam
hukuman gantung di Singapura karena menyelundupkan 400 gram heroin. Atau
Gordon Vuong, remaja berusia 16 tahun yang dituntut hukuman mati pengadilan
Kamboja karena menyelundupkan dua kg heroin keluar dari negara, ternyata
tidak mendapat simpati media massa Australia yang begitu luas sebagaimana
Corby.

Mengapa Schapelle Corby seolah menjadi kasus khusus, padahal banyak warga
negara Australia di Asia yang diancam hukuman karena terkait narkoba? Ada
tendensi sebagian publik Australia tidak peduli terhadap kasus lain, semata
karena mereka warga negara keturunan, yang kebetulan bukan berkulit putih.
Hal itu diperkuat bukti, dalam kasus Corby sampai-sampai PM Howard didesak
menulis surat pengampunan pada presiden RI.

Sementara dalam kasus Muhamad Heri, nelayan tradisional yang tewas setelah
disekap 10 hari di tengah laut, dan kasus Hok Soen Heng, yang dibakar
bersama perahunya pertengahan Mei ini di sekitar wilayah laut Darwin, publik
Australia dan media massanya tampak membisu.

Peristiwa tragis itu seakan dibiarkan hilang dimakan waktu karena PM John
Howard dan Menlu Alexander Downer disibukkan mengurus kasus Corby.
Meski tak kurang dalam kunjungan pertama yang lalu, Presiden Yudhoyono
menandaskan bahwa peristiwa tewasnya nelayan dan perlakuan buruk yang
terjadi tidak boleh terulang. Dan perwakilan kita di Australia menyampaikan
protes, menuntut klarifikasi, mendesak dilakukan penyelidikan atau meminta
hukuman
bagi petugas maritim yang terlibat, sebagian publik Australia dengan nuansa
SARA, ternyata mengabaikan kasus ini.

KASUS tewasnya Muhamad Heri dan dibakarnya Hok Soen Heng bersama
perahunya ternyata tidak mampu menggerakkan nurani sebagian publik Australia
yang marah atas kasus Corby.
Dari kedua kasus berbeda itu kita bisa mencatat, rasa kebangsaan yang
berlebihan jika tidak ingin disebut xenophobia, yang ditempatkan dalam
simbol-simbol identitas negara, ternyata mampu mengalahkan nurani
kemanusiaan sebagian publik Australia.

Bagaimana tidak. Segelintir orang dengan suara lantang mendesak agar
Pemerintah Australia dan LSM mencabut kembali sumbangan Australia bagi
korban tsunami Aceh. Mereka lebih rela berpihak kepada seorang Corby, meski
ia dijatuhi hukuman karena tindak pidana menyeberangkan mariyuana, yang di
negaranya dapat dijatuhi hukuman mati.

Simpati kepada "kriminal", hanya karena mereka menganggap rendah sistem
peradilan kita dengan praktik korup di dalamnya, termasuk bisa diintervensi
kekuasaan lain. Sebuah pandangan sesat yang menjungkirbalikkan pemihakan
sekaligus mengungkap ketulusan mereka.

Hilangnya pemihakan kepada yang menderita karena bencana alam. Hilangnya
simpati kepada Muhamad Heri yang tewas disekap dalam perahu di tengah laut
atau Hok Soen Heng yang dibakar bersama kapalnya karena ingin mencari ikan,
seolah menjadi tidak berarti disandingkan kasus Corby. Bukan main.

Hilangnya nurani warga Australia, terhadap warga Aceh yang kehilangan, atau
menderitanya para nelayan kita yang diperlakukan buruk, bukan sebuah sinyal
yang boleh begitu saja diabaikan. Mereka memang sedikit dari segi kuantitas.
Mereka memang minoritas, tetapi suara mereka meracuni publik yang sehat.
Pemerintah Australia, publik, dan media yang tersebar dari ujung Darwin,
pusat pemerintahan Canberra, hingga Tasmania seharusnya tidak boleh
membiarkan dan menolerir sekelompok kecil orang dengan suara yang berbahaya
ini, untuk terus hidup berdampingan dan meracuni warga yang sehat.

PLE Priatna Peminat Masalah Internasional, Pernah Tinggal di Melbourne,
Australia



More information about the Marinir mailing list