[Marinir] [SP] Sabam Siagian: Kenapa Reaksi Begitu Sengit di Australia?

Yap Hong Gie ouwehoer at centrin.net.id
Tue Jun 7 20:09:14 CEST 2005


http://www.suarapembaruan.co.id/last/index.htm

SUARA PEMBARUAN DAILY
Last modified: 4/6/05

Catatan Jakarta
Kenapa Reaksi Begitu Sengit di Australia?
Sabam Siagian

SUNGGUH mengherankan dan membingungkan, kenapa sementara kalangan masyarakat 
Australia , termasuk sebagian media persnya, begitu sengit reaksinya 
terhadap hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Denpasar terhadap 
Schapelle Corby yang terpergok menyelundupkan mariyuana sebesar 4,2 Kg?

Berminggu-minggu sebelum vonis para hakim dijatuhkan pada Jumat, 27 Mei 
lalu, kedutaan besar RI di Canberra dan konsulat jenderal RI di Sydney dan 
Melbourne serta konsulat-konsulat RI di Darwin dan Perth sudah menerima 
ancaman kalau sampai warga Australia itu dijatuhi hukuman.

Tim pembela nona Corby menandaskan bahwa bahan terlarang itu "diselipkan" 
oleh petugas barang di bandar udara Sydney yang ada kaitannya dengan 
sindikat narkoba. Maksudnya, Corby adalah korban dari suatu konspirasi. 
Tentunya dugaan demikian sulit dibuktikan. Lagipula, bagaimana caranya pihak 
penadah di Bali mengambil titipan bahan terlarang itu tanpa sepengetahuan 
Schapelle Corby?

Vonis 20 tahun juga dianggap terlalu berat oleh sementara kalangan 
masyarakat di Australia

*

MENGIKUTI pasang surutnya hubungan Indonesia-Australia selama berpuluh 
tahun, ada kalanya seperti pengantin baru yang sedang berbulan madu tapi 
sekali-sekali saling cakar-cakaran, timbul pertanyaan: faktor-faktor apa 
saja yang menyebabkan bandulan demikian?
Belum pernah agaknya hubungan RI-Australia pada tingkat resmi sementara 
seperti sekarang ini sejak Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden. John 
Howard yang diperkirakan tidak mampu bergaul secara akrab dengan pemimpin 
Asia, hadir pada acara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden bulan Oktober 
lalu. PM Howard termasuk kepala pemerintahan pertama yang mengulurkan 
bantuan kepada korban malapetaka tsunami di Sumatra Utara. Australia juga 
cepat memberikan bantuan ketika gempa bumi melanda pulau Nias.

Sedangkan kunjungan Presiden Yudhoyono ke Australia pada awal Mei mendapat 
sambutan hangat yang luar biasa. Gaya penampilannya dan kemahirannya 
berbahasa Inggris dalam menjawab pertanyaan di beberapa konferensi pers 
dipuji sekali.
Sebelum kunjungan kepresidenan itu berbagai delegasi resmi dan setengah 
resmi dari Indonesia datang ke Australia. Menko Perekonomian Aburizal Bakrie 
memimpin delegasi yang terdiri dari empat menteri (luar negeri, perdagangan, 
industri, dan Bappenas) dalam pertemuan berkala para menteri RI-Australia 
yang diselenggarakan di Canberra pada bulan April.
Konferensi bersama antara para anggota Indonesia-Australia Business Council 
dan Australia-Indonesia Business Council di Bali baru-baru ini dicatat 
sebagai sukses karena jumlah pesertanya tinggi.

Tiba-tiba suasana bulan madu itu berubah. Dubes Imron Cotan Harahap, kepala 
perwakilan RI di Canberra, mendapat kiriman bubuk putih dalam amplop yang 
pada awalnya diduga mengandung bakteri berbahaya. KBRI terpaksa ditutup 
untuk sementara. Dan, presiden menginstruksikan semua perwakilan Indonesia 
meningkatkan kewaspadaan.
Ketika belum tahu lagi, apakah para mahasiswa dan pelajar Indonesia yang 
jumlahnya mendekati 20 ribu di Australia aman-aman saja atau mengalami 
gangguan?

*

AGAK sering kita dengar komentar bahwa masyarakat di negara-negara sedang 
berkembang yang bukan Barat, seperti Indonesia, belum mencapai tahap 
kemantapan secara psikologis. Demonstrasi, bahkan huru-hara secara periodik 
meletus. Namun, kalau kita perhatikan reaksi sengit yang terjadi di 
Australia karena kasus vonis Schapelle Corby itu, timbul pertanyaan, apakah 
masyarakat Australia yang berbudaya Barat modern dan mampu membanggakan 
prestasi yang mengesankan juga masih dihinggapi instabilitas secara 
psikologis.

Di satu pihak, reaksi sengit tersebut dapat ditafsirkan sebagai ungkapan 
sikap arogansi sebuah masyarakat Barat yang dikelilingi rumpun masyarakat 
bukan-Barat. ''Kok berani-beraninya sebuah pengadilan di Indonesia yang 
dikenal sebagai korup dan bisa diatur menjatuhkan hukuman terhadap warga 
kami, seorang wanita muda, yang tidak bersalah?" Kira-kira demikian inti 
dari ungkapan emosi yang timbul ke permukaan di Australia.

Namun, di sisi lain, reaksi sengit tersebut dapat juga dianggap sebagai 
cetusan rasa terancam yang masih menyelinap dalam bawah sadar orang-orang 
Australia. Tentu tidak semuanya. Percampuran unik antara sikap superioritas 
dan rasa insekuritas yang terselubung mungkin adalah produk dari cangkokan 
kultur Barat di pojok Selatan yang berhasil menciptakan masyarakat yang 
nikmat hidupnya. Dan, didukung oleh landasan ekonomi yang kuat.

Ia cenderung mengisolasikan dirinya dari masyarakat bukan Barat yang 
merupakan lingkungan geopolitiknya.
Australia menarik bagi para tetangganya karena ia merupakan negara Barat 
modern yang unggul di bidang sains dan teknologi, manajemen yang kompleks 
dan jaringan informasi. Namun, kalau orang-orang Australia masih saja tidak 
mampu mengembangkan sikap empati dengan kita-kita ini di Asia, maka 
keunggulan sementara yang mereka miliki itu dapat kita cari di negara lain.

Tentunya kita tetap menghargai dan terima kasih atas ungkapan manusiawi yang 
mereka salurkan ketika bencana alam melanda negara-negara tetangganya.
*
Penulis adalah pengamat perkembangan sosial politik nasional dan masalah 
internasional.
Pernah bertugas sebagai Kepala Perwakilan RI di Australia.





More information about the Marinir mailing list