[Marinir] [MIOL] Pertukaran Tahanan setelah Jalani Separuh Masa Hukuman

Yap Hong Gie ouwehoer at centrin.net.id
Wed Jun 8 06:53:01 CEST 2005


http://www.mediaindo.co.id/

HUKUM-KRIMINAL
Rabu, 08 Juni 2005 04:57 WIB

Pertukaran Tahanan setelah Jalani Separuh Masa Hukuman

JAKARTA-MIOL: Tawaran Austalia untuk melakukan pertukaran tahanan dengan
Indonesia, terkait vonis penjara 20 tahun terhadap terdakwa Schapelle Leigh
Corby (27), hanya bisa dilakukan setelah yang bersangkutan menjalani separuh
masa hukumannya.

"Yang ada di negara lain, pertukaran itu baru boleh dilakukan setelah
terpidana menjalani 50 persen dari masa hukumannya," kata Wapres Jusuf Kalla
di Jakarta, Selasa malam.
Selain itu, Wapres juga mengatakan bahwa pertukaran tahanan antara kedua
negara dalam kasus Corby tersebut bukanlah ekstradisi, melainkan pertukaran
tahanan (exchange of prissoner).

Namun, ia melanjutkan, untuk merealisasi upaya tersebut sebelumnya
dibutuhkan undang-undang tersendiri di antara kedua negara.
Sebelumnya, menyusul vonis atas warga Australia, Schapelle Leigh Corby (27),
oleh PN Denpasar dalam kasus penyelundupan mariyuana seberat 4,2 kilogram
ke Bali, Australia gencar mengupayakan terciptanya perjanjian dengan
Indonesia
tentang pemindahan tahanan (transfer of sentenced-person/TSP).

Secara informal, Australia telah menyerahkan contoh perjanjian TSP yang
dimilikinya dengan Thailand untuk dijadikan bahan kajian oleh Indonesia.
Wapres menegaskan bahwa jika seorang tahanan menjalani hukuman salama 20
tahun penjara dan vonis itu telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, maka
setelah 10 tahun baru bisa dipertimbangkan pemindahan tahanan itu.
"Jadi itulah syaratnya, (telah dilalui) setengah dari masa tahanannya,"
demikian Kalla.
(Ant/Ol-1)

=================================

http://www.gatra.com/artikel.php?id=85147


Perjanjian
Tukar Corby Terganjal Payung

AUSTRALIA benar-benar agresif. Belum lagi Corby divonis, sepucuk surat
dari ''negeri koala'' telah tiba di meja Menteri Kehakiman. Surat itu 
mengajak
Pemerintah RI kembali duduk satu meja, membahas pertukaran narapidana.
Surat tersebut diterima menteri, 25 Mei silam. Atau dua hari sebelum Corby
diganjar 20 tahun penjara.

Schapelle Leigh Corby, 27 tahun, berurusan dengan hamba wet setelah
kedapatan membawa 4,2 kilogram mariyuana dalam tasnya. Jaksa I.B.
Wiswantanu, SH, yang menuntut hukuman seumur hidup, menyatakan banding.
Abdul Rahman Saleh, Jaksa Agung RI, memang memerintahkan itu. Banding
kejaksaan makin memperpanjang proses hukum.

Tak bisa dimungkiri, munculnya ide pertukaran tahanan dan narapidana berkait
erat dengan maraknya desakan warga Australia agar Corby dipulangkan.
Tapi agaknya keinginan Pemerintah Australia itu sulit diwujudkan.
Setidaknya,
belum bisa terealisasi dalam waktu dekat. Bagi Indonesia, mewujudkan tawaran
itu tidak mudah. Tukar-menukar terpidana tidak sama dengan ekstradisi
tersangka pelaku kriminal. Meski ada kerja sama ekstradisi, itu tidak
mencakup soal terpidana. Menurut Abdul Rahman Saleh, realisasi kerja sama
itu harus diatur dengan undang-undang.

Sementara itu, Australia terus mendesak. Surat berkop "Senator The Hon
Christopher Ellison, Minister of Justice and Customs, Senator for Western
Australia" itu menjadi bukti. Dalam surat pada Hamid Awaludin, Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia, itu Ellison minta tindak lanjut pertemuan April lalu.
"Di mana kedua negara setuju memulai pembicaraan perjanjian pertukaran
narapidana," tulisnya.

Ellison melampirkan draf perjanjian mengenai "tukar guling" itu. Draf
terdiri dari 15 pasal (artikel) dan merupakan standar berbagai perjanjian
transfer of sentenced person (TSP) di negara mana pun. Ellison menulis bahwa
draf itu mengacu pada perjanjian Australia dengan negara lain dalam hal TSP.

Sementara itu, pihak Indonesia belum merespons permintaan tersebut. "Belum
ada pembicaraan untuk menanggapi permintaan itu," kata Arif Havas Oegroseno,
Direktur Perjanjian Politik, Keamanan, dan Kewilayahan, Departemen Luar
Negeri. Apalagi, Indonesia belum punya pengalaman menjalin kerja sama
seperti itu. "Kita baru mempelajari," Havas menambahkan.

M. Akil Mochtar, Wakil Ketua Komisi III DPR yang membidangi hukum,
mengatakan bahwa persoalan TSP tidak sederhana. Menurut dia, perjanjian
antar-negara harus dengan persetujuan DPR. Dia mempertanyakan, kenapa hal
itu baru muncul setelah kasus Corby. Kalau beriktikad baik, seharusnya
tawaran kerja sama itu ada sejak dulu. Akil mencontohkan kasus Hendra
Rahardja, Direktur Bank BHS yang dituduh mengemplang dana bantuan likuiditas
Bank Indonesia. "Australia nggak mau ngasih, padahal sudah divonis di sini!"
katanya.

Karena itu, DPR tidak akan melakukan inisitif dalam membahas TPS. "Kami
menunggu pemerintah," katanya. Akil juga menyoal seberapa pentingnya
perjanjian itu bagi Indonesia. "Siapa tahanan kita yang ada di sana?"
ujarnya.

Menurut Zulkarnaen Yunus, Dirjen Administrasi Hukum Umum, pengiriman draf
itu bukan karena kasus Corby. Menurut dia, perjanjian TSP merupakan standar
Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Jadi, di bidang pidana sebenarnya ada tiga
perjanjian," katanya. Pertama, perjanjian ekstradisi. Kedua, perjanjian
mutual legal assistance in criminal matters (bantuan kerja sama timbal balik
di bidang pidana). Ketiga, perjanjian TSP.

Dengan "negeri kanguru", Indonesia telah memiliki dua perjanjian. Tinggal
TSP yang belum. Sementara itu, telah terjadi tiga kali perundingan untuk
membahas TSP. "Jadi, jauh sebelum kasus Corby," katanya. Selain dengan
Australia, Indonesia juga tengah menjajaki perjanjian dengan Prancis.

Memang pembahasan TSP dimulai saat kasus Corby merebak. "Kesannya memang
untuk Corby, padahal tidak," kata Zulkarnaen. Menurut dia, ada tiga warga
negara Indonesia yang menjalani hukuman 10 tahun ke atas di Australia karena
kasus narkotika. Selain itu, ada puluhan nelayan Indonesia yang hingga kini
masih ditahan di sejumlah penjara di Australia.

"Jadi, bukan cuma Corby. Warga negara kita juga ada," tutur Zulkarnaen. Jika
perjanjian TSP itu disepakati, maka payung hukum transfer terpidana adalah
perjanjian itu sendiri. "Perjanjian itu diratifikasi menjadi hukum
nasional," katanya.

Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia,
menyarankan agar tidak buru-buru membahas TSP, apalagi kemudian menyetujui
transfer Corby. Karena tidak adil jika orang yang bersalah kemudian
menjalani hukuman di negara asalnya. "Corby harus menjalani hukuman di
sini," ujarnya. Begitu juga pelaku kejahatan narkotika di Australia,
Indonesia tidak usah meminta supaya dihukum di sini.

Rohmat Haryadi, M. Agung Riyadi, dan Bernadetta Febriana
[Hukum, Gatra Nomor 30 Beredar Senin, 6 Juni 2005]



More information about the Marinir mailing list