[Marinir] [KCM] SBY dan "Soft Power"
Yap Hong Gie
ouwehoer at centrin.net.id
Mon Jun 13 06:21:41 CEST 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/13/opini/1806887.htm
Opini
Senin, 13 Juni 2005
SBY dan "Soft Power"
Oleh Dino Patti Djalal
SBY punya mainan baru ya?" tanya seorang wartawan. "Mainan apa?" tanya saya
heran. Ia menjawab setengah berkelakar, setengah serius , "Soft power!"
Dewasa ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang sering berpikir
dan berbicara mengenai soft power, dan memang sudah waktunya.
Setelah perang di Afganistan dan Irak, dan berlangsung ketegangan strategis
di berbagai penjuru dunia termasuk Semenanjung Korea, Presiden SBY memandang
perlu mengingatkan masyarakat dunia tentang pentingnya elemen power yang
lain, selain kekuatan militer dan diplomasi koersif (apa yang disebut hard
power). Berbeda dari hard power yang mengandalkan kekuatan, konsep soft
power mengandalkan pendekatan persuasif dengan menggunakan aset ekonomi,
kemasyarakatan, budaya, humaniter, pendidikan, iptek, dan sebagainya.
Presiden SBY memilih tempat menarik untuk pertama kali menyampaikan
pandangannya mengenai soft power, di Washington DC, ibu kota Amerika
Serikat. Dalam pidato resmi di depan elite politik AS yang diorganisasi
US-Indonesia Society (USINDO), Presiden SBY mengimbau AS agar lebih
menekankan soft power ketimbang hard power dalam kiprahnya di kancah
internasional.
Di depan anggota Kongres, pejabat tinggi, pengusaha, dan pakar AS, Presiden
SBY menyatakan, meski AS adalah negara adidaya yang kekuatan militernya
tidak tertandingi, AS perlu lebih memproyeksikan soft power ketimbang hard
power: "The US has no shortage of soft power: in terms of culture, values,
sports, entertainment, business, education, science and technology, living
standard, media, the US has tremendous appeal to the international
community." SBY mengingatkan, "Remember: the use of soft power charms
and disarms. Hard power, on the other hand, if it is used incorrectly,
provokes
resistance and, sometimes, resentment."
Presiden SBY juga mengingatkan, governance tidak kalah penting dibanding
demokrasi, dan toleransi-bahkan kadang lebih penting-dari freedom. Itulah
bentuk-bentuk soft power yang perlu dikembangkan AS di masa depan.
Uniknya, pidato SBY itu mendapat apresiasi luar biasa dari elite politik AS.
Seusai pidato, Presiden SBY mendapat standing ovation hadirin, termasuk
Senator Kitt Bond yang langsung bangkit dari kursi, memberi selamat Presiden
SBY yang baru turun panggung.
Terus menggema
Dalam konferensi internasional komunitas pertahanan (dikenal dengan "The
Shangrila Dialogue") di Singapura 3-5 Juni lalu, PM Lee Hsien Loong juga
menyerukan agar AS lebih menekankan soft power. PM Lee Hsien Loong
menyatakan, AS perlu lebih menggunakan potensi soft power-nya dalam menarik
opini internasional, memperbaiki mispersepsi, serta membangun kepercayaan
dan kredibilitasnya, khususnya di kalangan dunia Islam.
Keesokan harinya Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld dalam konferensi yang
sama menyatakan sepenuhnya setuju, AS perlu mengedepankan soft power dalam
pergaulan internasionalnya meski tetap bersikeras bahwa opsi militer tetap
merupakan opsi terakhir.
Diskusi setelahnya dengan Menteri Pertahanan Jepang dan Menteri Pertahanan
Korea Selatan juga diselingi tema soft power.
Tampak, soft power akan menjadi tema yang kian disorot dalam wacana
strategis internasional.
Indonesia dan "soft power"
Banyak kalangan menilai pesan Presiden Indonesia di Washington DC itu amat
strategis dan fundamental, khususnya di tengah situasi dunia yang terus
bergolak dan selalu dihantui politik kekerasan.
Namun, pesan yang terkandung dalam pidato SBY itu sebenarnya juga berlaku
bagi diri kita, yakni Indonesia perlu terus mengembangkan potensi soft power
di masa datang.
Dalam pemikiran Presiden SBY, stabilitas internasional akan lebih terjamin
jika negara-negara dunia berlomba mengembangkan soft power ketimbang
bersaing menumbuhkan hard power.
Saya pernah menanyakan, mengapa soft power penting dalam pergaulan
internasional. Jawab Presiden, "Hard power menimbulkan aneka benturan, namun
soft power menimbulkan jaringan-jaringan. Hard power dapat mengakibatkan
persaingan negatif, namun soft power dapat menghasilkan sinergi positif."
Pengembangan soft power memang cocok bagi politik bebas aktif yang kita anut
karena tampaknya di sinilah letak kekuatan diplomasi kita serta daya tarik
Indonesia dalam pergaulan internasional.
Pengaruh dan reputasi Indonesia di masyarakat internasional lebih banyak
ditentukan oleh prestasi, pesona, persuasi kita ketimbang karena faktor
kekuatan militer.
Reputasi Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia,
misalnya, menempatkan kita sebagai negara panutan dalam pergaulan dunia.
Status Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar memberi kita
kredibilitas dalam menjembatani antara dunia Islam dan Barat. Keberhasilan
kita membantu proses perdamaian untuk konflik Kamboja, Filipina Selatan, dan
Laut Cina Selatan meningkatkan reputasi kita sebagai juru damai. Potensi
pasar kita dengan jumlah penduduk 220 juta juga banyak diperhitungkan orang.
Sementara politik bebas aktif kita mengukuhkan citra Indonesia sebagai
negara independent-minded tidak terikat siapa pun.
Dan jangan lupa, ketangguhan dan ketabahan rakyat Indonesia yang jatuh
bangun setelah krisis moneter, kerusuhan Timor Timur 1999, konflik etnis dan
separatis, serangan teror, tsunami dan sebagainya banyak diperhatikan bahkan
dikagumi masyarakat internasional.
Berbicara ihwal contoh soft power, saya teringat kunjungan Presiden SBY ke
Australia beberapa waktu lalu. Presiden SBY datang tidak dengan membusungkan
dada atau berteriak lantang, tetapi dengan apa yang dinamakan seorang
wartawan Australia membawa charm offensive, menampilkan sosok yang simpatik,
rendah hati, bersahabat, dan penuh ide.
Dalam berbagai kesempatan-gayanya yang rileks terhadap PM John Howard,
kiprahnya menjemput jenazah perwira Australia yang gugur di Nias di bandara
Sydney, kunjungan ke makam pahlawan, pidato di Parliament House-Presiden
SBY dalam sekejap mengubah citra Indonesia di mata mainstream Australia,
dan mengubah suasana dan substansi hubungan RI-Australia.
Akibat kunjungan itu, hubungan RI-Australia dapat dikatakan mencapai titik
tertinggi, yang ditandai pencanangan Comprehensive Partnership antara kedua
negara. Dan Presiden SBY konon dianggap sebagai salah satu negarawan asing
terpopuler di Australia.
Saya teringat komentar Presiden saat saya tanyakan apa yang memberi nilai
tambah bagi soft power suatu negara. Jawab Presiden, "Yang penting kita
menjadi bangsa yang dihormati, bukan ditakuti, bangsa yang disegani, bukan
dihindari; bangsa yang didengar suaranya karena kita menyuarakan sesuatu
yang bernilai."
Dino Patti Djalal Juru Bicara Kepresidenan
More information about the Marinir
mailing list