[Marinir] [tempoint'f] R.William Liddle: TNI, Demokrasi,
& Peran Amerika
Yap Hong Gie
ouwehoer at centrin.net.id
Fri May 27 18:04:02 CEST 2005
http://www.tempointeraktif.com/hg/khusus/kolom/
Jumat, 27 Mei 2005 | 18:56:57 WIB
Kolom
Pembaca, mulai pekan ini, kami akan memuat kolom secara lebih variatif.
Kolom ini akan ditulis oleh para pakar, yang berkompeten. Seperti kolom
sebelumnya, pembaca diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan, komentar,
atau sanggahan terhadap materi isinya. Mohon pengirim tanggapan mencantumkan
identitas jelas.
Terima kasih.
Kolom R. William Liddle
TNI, Demokrasi, dan Peran Amerika
Senin, 23 Mei 2005
TEMPO Interaktif, : Dalam perjalanannya ke Washington pekan ini, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dijadwalkan akan bertemu dengan Menteri
Pertahanan Donald Rumsfeld. Topik pembicaraannya tentu kerjasama militer
Amerika-Indonesia yang sedang pulih setelah dibekukan selama lebih dari
sepuluh tahun.
Langkah pertama sudah diambil, Februari lalu, ketika Menteri Luar Negeri
Condoleeza Rice memberi sertifikasi kepada Kongres bahwa Indonesia sudah
layak menerima bantuan militer. Rice juga mencanangkan bahwa program IMET
(Latihan dan Pendidikan Militer Internasional), yang dihentikan pada 1992,
akan dihidupkan kembali.
Anggaran IMET untuk Indonesia tidak besar, hanya sekitar $600,000 untuk
tahun pertama. Tetapi pembukaan kembali keran IMET melambangkan bahwa
seluruh "dosa" TNI sudah mulai diampuni. Ke depan, Indonesia bisa
mengharapkan bahwa pembelian suku cadang, senjata, dan perlengkapan militer
lain tidak akan diembargo lagi.
Oleh karena itu, saya tidak heran bahwa penguluran tangan pemerintahan Bush
kepada TNI dilawan oleh sejumlah orang Amerika. Misalnya, Senator Patrick
Leahy, Demokrat dari Vermont, menuduh bahwa "anggota TNI yang melakukan
kejahatan belum dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatan keji
mereka."
Menurut John Miller, aktivis East Timor Action Network, "sertifikasi
Departemen Luar Negeri Amerika adalah tindakan palsu dan berbohong?yang
tidak dimaksudkan untuk menggalakkan reformasi demokratis."
Apakah Miller benar? Sejauh mana reformasi demokratis akan dihambat oleh
kerjasama militer yang sedang dijalin oleh Bush dan Yudhoyono? Terus terang
saja, bagi saya masalah ini termasuk problem "pembangunan politik" Indonesia
kini yang paling memprihatinkan.
Namun saya berpendapat bahwa masyarakat Amerika dan Indonesia sebaiknya
bersikap supportive but watchful, mendukung sambil mengamati terus.
Alasan saya untuk bersikap mendukung adalah bahwa Indonesia, seperti semua
negara modern, memerlukan tentara yang modern pula. Tugas utamanya adalah
untuk membela negara dan bangsa dari ancaman asing.
Kadang-kadang jasanya juga diperlukan di dalam negeri kalau ada konflik yang
tak teratasi oleh polisi. Tentu dengan syarat supremasi sipil, yaitu bahwa
tentara dan polisi dikuasai oleh pemerintahan demokratis. Bantuan dari
Amerika bisa dimanfaatkan untuk menciptakan sebuah tentara yang kuat dan
sekaligus menghormati asas supremasi sipil.
Tetapi saya tegaskan bahwa mendukung harus diimbangi dengan mengamati.
Pertama, komitmen Amerika kepada demokrasi di Indonesia harus dipertanyakan
terus. Selama Perang Dingin, Amerika berkali-kali mengkhianati cita-citanya
sendiri.
Selama Perang Terhadap Teror yang berlaku kini, pemerintahan Bush mendukung
tanpa merasa ragu atau malu seorang diktator militer di Pakistan. Tak sulit
untuk membayangkan suatu pemerintahan Amerika yang bersedia mengorbankan
demokrasi di Indonesia demi stabilitas yang dijamin (atau djanjikan akan
dijamin) oleh sebuah pemerintahan militer.
Kedua, hambatan yang terbesar kepada konsolidasi demokrasi di Indonesia
adalah kedudukan dan sikap perwira TNI sendiri serta sikap banyak orang
sipil yang terlalu lunak terhadap peran politik TNI. Para perwira pada
umumnya masih membanggakan sejarah mereka sebagai kekuatan politik sambil
meremehkan kemampuan kaum sipil.
Sebagian besar dari anggaran TNI masih diperoleh dari luar anggaran negara,
yang berarti bahwa para perwira sulit dikendalikan oleh pemerintah.
Lagipula, sistem komando teritorial TNI setiap waktu bisa digerakkan untuk
keperluan politik perwira.
Di Amerika Latin dulu, politisi sipil yang suka bersekongkol dengan oknum
tentara merupakan salah satu alasan penting yang menjelaskan kenapa
pemerintahan sipil sering dikudeta.
Di Indonesia pasca-Soeharto, Presiden Habibie menggantungkan nasibnya kepada
Jenderal Wiranto, yang untungnya mendukung demokratisasi. Gus Dur mencoba
menyelamatkan diri a la Sukarno, tetapi untungnya TNI masih mendukung
pemerintahan konstitusional. Megawati juga memberi kesan bahwa dia mencari
dukungan politik dari tentara.
Akhirulkata, saya mengucapkan selamat datang kepada Presiden Yudhoyono.
Mudah-mudahan beliau akan berhasil di Washington. Tetapi sekaligus saya
mengimbau kepada masyarakat Amerika dan Indonesia untuk memantau terus
perbuatan semua politisi, sipil dan militer, di dua negara kita.
Jangan-jangan cita-cita luhur kita bakal dikorbankan untuk keperluan sesaat
atau segelintir orang.
R. William Liddle
Profesor Ilmu Politik The Ohio State University, Columbus, Ohio, AS
More information about the Marinir
mailing list