[Marinir] [mediacare] Re: Presiden: Jangan Memfitnah - Imlek Momentum Kesetiakawaan Sosial

kinnoyas at centrin.net.id kinnoyas at centrin.net.id
Tue Feb 27 01:38:34 CET 2007


Dear Bung Yap Hong Gie,
aaa) Tulisan yang kami terima sedemikian lengkapnya dan memang itu adalah
cerita realita sehari-hari dalam kehidupan di Indonesia.
bbb) Saya sebagai sahabat dengan warna kulit sawo mateng dan juga sebagai
Saudara sebangsa dan setanah air serta sebahasa Indonesia, sangat prihatin
dengan situasi dan kondisi tersebut.
ccc) Saya juga banyak belajar dari sejarah dan Bung Karno pernah berkata
jangan sekali-kali melupakan sejarah ( JASMERAH ) barangkali perlu disimak
bersama untuk kita memulai suatu Indonesia Baru dimana semua komponen
bangsa dapat mendudukkan pokok masalah dan mempunyai program yang pada
hakekatnya adalah kembali kepada Persatuan Indonesia.
ddd) Saat ini kami belum banyak berbuat untuk itu secara nasional, akan
tetapi secara pribadi-pribadi kami terus mencoba untuk menempatkan format
kebangsaan pada kebersamaan.
eee) Kembali melihat sejarah masa lalu yang dapat kami rekam bahwa sejak
masa kejayaan kerajaan-kerajaan di Indonesia Majapahit, Sriwijaya dan
kemudian masuknya agama Islam ke Indonesia sampai dengan berdirinya VOC
yang telah menimbulkan permasalahan sangat kompleks terhadap bangsa
Indonesia.
fff) Prolamasi 17 agustus 1945 adalah merupakan suatu tonggak sejarah
dimana persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia terwujud tanpa mengenal
perbedaan agama, suku, bahasa, dstnya. bukan? Saya secara pribadi ingin
melihat bahwa perputaran masa dan sejarah perlu dilakukan suatu Proklamasi
Jilid II untuk membawa bangsa Indonesia kepada persatuan dan kesatuan
untuk mewujudkan Indonesia Baru (tentunya dalam konteks tidak ada
diskriminasi-semua suku-agama-dll. duduk sama rendah tegak sama tinggi)
Semoga dapat dipahami dan sekali lagi terima kasih atas setiap pengiriman
tembusan milis.
Aspermato, MA
http://groups.yahoo.com/group/tionghoa-net/message/52882


"BECKhoo",  Mon Feb 26, 2007

---- In tionghoa-net at yahoogroups.com, "HKSIS" <SADAR at ...> wrote:

> Dalam kesempatan itu, Presiden minta semua pihak tidak saling menyakiti,
> mencaci maki atau berkata-kata kasar, dan memfitnah atau melakukan
> pembunuhan karakter.

> Setelah mengambil napas dalam, Presiden melanjutkan, "Kita sangat
> membenci fitnah dan pembunuhan karakter terhadap diri kita.
> Untuk itu, janganlah untuk kepentingan tertentu justru kita sangat
> produktif menaburkan fitnah dan melakukan pembunuhan karakter kepada
> orang lain."

=========

Saya kira ada maksudnya SBY menggunakan kalimat2 'bersayap' semacam
ini. Entah itu ditujukan kepada rival Matakin dlsb, kita hanya bisa
menduga2.

Saya ingat, waktu kunjungan ke Presiden Megawati yang diprakarsai
Murdaya Poo dan diikuti di antaranya tokoh Duarte Inn; Megawati juga
memakai istilah bersayap 'mawas diri'.

Boleh saja merasa ngga jelas dengan statement SBY, tapi  kata2
'FITNAH' dan 'PEMBUNUHAN KARAKTER' adalah kata2 yang
tajam dan tegas, apalagi untuk ukuran SBY. Tidak bisa kita sebagai
Tionghoa/Cina, kepada statement diarahkan - mau merem saja
menanggapinya.

Dalam sehari-hari membaca keluhan para teman2 Tionghoa, selalu
keluhan klasik itu-itu saja untuk menggambarkan diskriminasi yang
dialami oleh mereka di negeri ini; yang lama2 sebenarnya lebih mirip
mitos belaka.

Mitos #1
Penghinaan dari lingkungan sekitar : rumah, sekolah, kantor; dengan
istilah2 'Cina loleng, makan babi sekaleng', 'sipit' dll yang bernuansa
etnis. Kalau orang Tionghoa berbuat baik, nama Tionghoanya ngga
disebut. Kalau berbuat jahat, nama Tionghoanya pasti dicantumkan.

Mitos #2
SBKRI sebagai media diskriminasi. Bahkan setelah peraturan dicabut,
dalam pelaksanaannya masih tetap diminta.

Mitos #3
Sebutan Cina bersifat penghinaan (sehingga selalu minta disebut
Tionghoa).

Mitos #4
Kerusuhan Mei 98 adalah kerusuhan terhadap etnis Tionghoa.

Mitos #5
Orang Tionghoa didiskriminasikan dari penerimaan Universitas Negeri,
pegawai negeri sipil dan TNI.


Dalam keluhannya sehari2, gemar sekali kaum Tionghoa ini mengumbar
kata 'didiskriminasi', bahkan meluas menjadi menuduh negara telah
melakukan diskriminasi - tanpa memahami bahwa ada perbedaan besar
antara state discrimination (yang berbentuk UU dan Peraturan
Pemerintah) dengan implementasi yang diskriminatif oleh oknum2 di
lapangan.

Bahkan yang sifatnya olok2 dalam interaksi sosial, dimana racism
adalah santapan sehari2 : 'padang bengkok', 'batak tukang copet' dll
juga biasa dipakai jika hati menyimpan bibit benci, bukan dipakai
atas etnis Cina saja; bisa ditarik2 dan diperlebar menjadi
diskriminasi oleh negara.

Sementara kebalikannya, dalam mengingkari kesejahteraan yang
dinikmati di Indonesia - acapkali data2 yang menunjukkan sejumlah
besar orang kaya, daftar orang terkaya yang didominasi Tionghoa, dan
bagaimana orang2 Tionghoa kaya ini memperlakukan Indonesia seperti
hotel (baca : 1/3 orang kaya Singapore dengan kekayaan U$ 87 bn :
message #49580) - disangkal habis2an dengan membawa2 Cina Benteng
dsb dsb.

Sesungguhnya semua ini menunjukkan ketidak-jujuran kaum yang suka
complain tsb di atas - dalam konteks menjadi bagian dari bangsa ini.
Padahal sebagian besar tuntutan sudah dikabulkan oleh Pemerintah :
pencabutan SBKRI, Imlek sebagai hari libur nasional, pemakaian kata
Tionghoa, dsb.

Tapi kata DISKRIMINASI terus-menerus diumbar. Oknum dibilang negara.
Olokan di pasar dibilang penghinaan etnis. Kerusuhan Mei 98 dianggap
penderitaan eksklusif etnis, luka2 etnis dan kelompok lain dibilang
sudah diadili sementara keadilan buat Tionghoa tidak diberikan.

Terus-menerus, kaum yang pathetic ini merasa kelompoknya yang paling
menderita dan teraniaya. Di antara gelimpangan masalah bangsa dan
azab yang dialami oleh elemen bangsa lainnya akibat ketidak-becusan
pengelolaan negara yang dialami rakyat secara merata.

Negeri ini, yang merayakan imlek secara gegap-gempita di mal2 dimana
barongsay disukai berbagai etnis, anak2 pribumi berebut menyentuhnya
bersama anak2 Tionghoa; tidak pernah secara sengaja, sadar dan
massal membenci dan menyudutkan etnis Tionghoa.

Mengapa makian akibat perselisihan individu, mesti dibawa2 sebagai
persoalan diskriminatif ?

Di Amerika, racist remark terhadap kaum migran dan minoritas sudah
lazim. Yellow Peril, Ching-Chong Chinaman sudah merupakan olokan
sering didengar; bahkan disebutkan oleh comedian Rosie O' Donnel di
National Channel.

Dulu di Inggris, saya juga acapkali melihat racist remark terhadap
minoritas Asian migrant. Pernah nonton 'Little Britain' ? Comedy
sketch tersebut melukiskan dengan gamblang dan menyentil soal
prejudis kaum ultra-conservative terhadap etnis minoritas, gay,
transvestive dan orang cacat.

Di acara Celebrity Big Brother, aktris Bollywood Shilpa Shetty
diejek2 secara rasis oleh Britain' girl next door seperti Jade Goody
dan Danielle Lloyd dengan istilah 'pompadom', 'black indian' dsb. So
what, karena orang2 juga menyebut Goody dan Lloyd sebagai 'white
trash'.

Di Malaysia, istilah 'keling' dianggap penghinaan bagi warga
Indianya. Atas lobby MIC, kata 'keling' dikeluarkan dari dictionary
bahasa Melayu (Kamus Dewan). Tapi toh, nama 'keling' tetap dipakai
dalam nama tempat bersejarah di Penang : 'Masjid Kapitan Keling'
karena pemakaiannya dalam konteks penghormatan terhadap pendirinya.

Jadi, istilah yang jelek bisa jadi tidak jelek kalau pemakaiannya
untuk konteks hormat - jadi mengapa mesti kita persoalkan dipanggil
apa ? A rose by any other name would smell as sweet, kata
Shakespeare, bunga bangkai ya berbau bangkai walaupun disemprot
parfum. Apa ada perbedaan antara konglo hitam Cina dengan konglo
hitam Tionghoa, pengemplang BLBI Cina dengan pengemplang BLBI
Tionghoa, juragan narkoba Cina dengan juragan narkoba Tionghoa ?

Mengapa kita tidak coba jujur pada diri sendiri ?

Mengapa menyangkal bahwa kaum Tionghoa banyak yang hidup
sejahtera di negeri ini; bahwa banyak dari mereka melakukan kejahatan -
penggelapan pajak, mengedarkan narkoba, membajak, menyogok
pejabat, mengemplang bank, melarikan duit ke LN memperkaya negara
tetangga dsb; bahwa memang anak2 etnis kita kurang berminat menjadi
TNI dan pegawai negeri karena takut mati dan gajinya kecil; bahwa etnis2
lainnya juga sering kita maki secara etnis di belakang mereka 'fan-
kui', 'hwa-na' sementara kita sewot dipanggil Cina loleng ?

Mengapa tidak kita coba lihat lebih jernih : negara atau oknum ?
Dan seperti tema Imlek : apakah saya lakukan terhadap orang lain, apa
yang saya tidak ingin mereka lakukan pada saya ?

Kata Presiden adalah benar, di negeri ini tidak ada state
discrimination - kalau ada yang masih menuduh demikian, maka itu
adalah fitnah. Dan kalau masih saja menyama-ratakan bangsa dengan
oknum, menyebut bangsa ini diskriminatif terhadap Tionghoa dengan
mitos2 seperti di atas - adalah pembunuhan karakter.

Tahun Babi Api ini dan tahun2 berikutnya, tidak bisa tidak, adalah
tahun mawas diri.

BK





More information about the Marinir mailing list