[Nasional-a] Draft BIOGRAFI JOESOEF ISAK Bag. 2/10

nasional-a@polarhome.com nasional-a@polarhome.com
Sat Oct 5 00:12:01 2002


 4. Reportase seputar penangkapan Kartosuwiryo

Tidaklah mudah untuk dipilah-pilah apakah seorang wartawan berhaluan kiri
ataupun kanan. Hal itu berkaitan pula dengan persoalan kebutuhan hidup yang
bersifat situasional. Sebagai Pemred Merdeka Joesoef berpijak pada komitmen
semula bahwa dalam menerima calon wartawan ia tidak terlampau mempersoalkan
jurusan pendidikan ataupun ijasah. Baginya yang terpenting adalah logika dan
kerangka berpikir, atau seberapa jauh penguasaannya kepada basis pengetahuan
umum.

	Hal tersebut bukanlah jaminan mutlak bahwa ia tak pernah lengah dalam menerima
para calon wartawan. Suatu kali ia pun luput telah memberikan kepercayaan kepada
seorang wartawan muda yang ditugaskan untuk meliput berita-berita kriminal serta
kasus-kasus yang tengah ditangani pihak kepolisian.

	Wartawan muda itu (sebut saja Saman) hanya lulusan SD, meski dinilainya sangat
berbakat dalam dunia karang-mengarang. Ketika itu Merdeka menugaskannya untuk
meliput penangkapan Kartosuwiryo yang berkampanye dengan DI TII di wilayah
Gambir.

	Seperti yang tercantum dalam surat undangan, rapat BKOI (Badan Koordinasi
Organisasi Islam) akan dilaksanakan pada hari Minggu di lapangan Gambir, tetapi
karena berbagai hal rapat tersebut tidak terlaksana, meski BKOI tidak sempat
mengirim surat pembatalan kepada Merdeka.

	Pada Senin pagi suara telpon tak henti-hentinya berdering di kantor redaksi,
yang kemudian disusul dengan barisan anak-anak muda (dari organisasi Islam)
berdemonstrasi di depan kantor Merdeka. Seketika itu Joesoef kewalahan
menyaksikan situasi yang terjadi. Ada apa ini? Mengapa para pemuda itu
berdemonstrasi sengit di depan kantor kita?

	Sesudah menghimpun informasi maka jelasklah bahwa Saman, si wartawan baru itu,
rupanya mengarang-ngarang berita yang terjadi di Gambir, seakan-akan rapat itu
terjadi dengan meriahnya, seakan-akan semua pembicara telah hadir menyampaikan
sambutan penting (seperti yang tercantum dalam undangan semula).

	Bagi Joesoef pemberitaan yang dibikin Saman itu adalah suatu kelengahan atau
keteledoran yang kerap menghinggapi kalangan wartawan muda kita. Ia tidak
mempersoalkan apakah Saman itu lantas berhaluan kiri ataupun kanan, karena
persoalannya tidaklah sesederhana itu.

	Ironisnya pada pasca 1965-an rezim Orde Baru menangkap Saman dan membuangnya ke
Pulau Buru, bersama dengan ratusan wartawan-yang dianggapnya-berhaluan kiri dan
pendukung Bung Karno. Selepas dari pembuangan selama belasan tahun Joesoef
menemukan Saman (yang hanya tamatan SD itu) tengah bekerja sebagai penjual
bensin eceran di wilayah Jakarta, yang kemudian membawanya kepada seorang
pemimpin suratkabar (seorang militer) yang sudah dikenalnya sejak zaman Bung
Karno.

	Seketika itu, karena bakatnya dalam soal karang-mengarang Saman memperoleh
pekerjaan baru sebagai penulis cerita bersambung di suratkabar yang dipimpin
seorang militer itu.
***

5. Garis suratkabar Merdeka

Di awal-awal karirnya sebagai jurnalis Joesoef sangat mengagumi BM Diah yang
dinilainya sebagai penulis editorial yang baik, seorang nasionalis pro-Soekarno
dan menentang militerisme. Sewaktu peristiwa 17 Oktober 1952 BM Diah berdiri
paling depan dalam menentang Nasution hingga ia pun terpaksa berpindah-pindah
tempat-dan hanya sesekali berkunjung ke kantor-karena harus menghindar dari
kejaran petugas-petugas militer.

	Dalam sikap politiknya ia selalu memberikan brifing kepada staf-stafnya agar
bersikap mandiri dan tidak menyuarakan menjadi alat kiri maupuin kanan. "Merdeka
harus terus berjuang dengan keringat sendiri. Kita bukanlah pendukung dari suatu
partai ataupun aliran politik tertentu. Kita harus memilih berita yang terbaik
untuk rakyat," begitulah tandas Diah.

           Pada masanya Joesoef memandang Diah selaku pelopor jurnalistik yang
memiliki posisi istimewa, dan karenanya Merdeka selalu memposisikan diri di
garis tengah. Sebagai perintis pers Indonesia ia selalu menekankan azas
oportunistis yang paralel dengan sikap pragmatis-praktis. Jadi Merdeka bukanlah
pers yang mudah ditarik ke kiri ataupun ke kanan yang menjadi corong bagi
kepentingan politik tertentu.

	Garis tengah yang dimaksudkan Diah tak lain dari garis politiknya Bung Karno
yang memang menyuarakan aspirasi rakyat-banyak. Karenanya pula Merdeka berbeda
dengan Bintang Timur yang didukung Partindo, Harian Rakyat yang didukung PKI,
juga Pedoman dan Suluh Indonesia Muda yang didukung PSI dan PNI.
***

Bahwa di kemudian hari terjadi semacam konflik antara Diah dengan Joesoef, hal
itu cumalah menyangkut perbedaan prinsip politik belaka. Ketika itu mereka yang
berdiri di pihak Joesoef sangatlah berlebihan dalam menyudutkan Diah (begitu
pula sebaliknya). Bahkan di satu pihak menuduh Joesoef sebagai corong PKI, di
pihak lain Diah sebagai corong Angkatan Darat. Sikap apriori ini sama sekali tak
beralasan karena Joesoef bukanlah dari PKI, juga Diah samasekali bukan dari
Angkatan Darat.

	Secara sadar diakui bahwa pada masa tertentu Joesoef memang telah membawa
Merdeka lebih cenderung ke kiri, meski bukan berarti ke kubu PKI. Hal inilah
yang menjadi acuan Diah dalam mengkritiknya, yang keduanya kemudian diaktorkan
sebagai tokoh polemik dalam jurnalisme Indonesia, padahal Joesoef tak pernah
memandang Diah sebagai lawan ataupun musuh. Ia tetap mengakui Diah selaku guru
yang dihormatinya.

	Sekitar setahun sebelum wafatnya Diah menyatakan secara terbuka, khusus tentang
apa yang dibicarakan orang sebagai "konflik" tersebut. Ia menatap Joesoef dengan
penuh seksama sambil berucap: "Joesoef, kau kenal aku dan kau juga kenal
Herawati istriku. Sebetulnya antara kita tidak ada apa-apa selama ini. Apa yang
terjadi di masa lalu, itu cumalah konflik politik biasa… dan semua itu sudah
lewat…."

	Pada hakekatnya konflik yang oleh pihak-pihak tertentu menjadi dibesar-besarkan
itu tak terlepas dari komitmen tanggungjawab untuk membawa suratkabar Merdeka
agar tetap eksis pada "garis Merdeka". Sikap politik kedua tokoh jurnalis itu
dengan sendirinya membawa akibat-akibat yang saling tarik-menarik di dalam
penafsiran umum yang berkembang saat itu, misalnya tentang apa yang disebut
"koran kiri" atau "koran kanan". Apakah Merdeka sudah membawa suara-suara yang
disebut "progressif revolusioner"? Apakah keprogressifan dan kerevolusioneran
Merdeka sudah berada pada garis Soekarno yang mewakili suara dan aspirasi rakyat
Indonesia?

	Perbedaan pandangan dan sikap politik keduanya tak terlepas dari wawasan dan
cara pandang mereka dalam mengolah berbagai istilah (semantik) yang
memasyarakat, yang kemudian berkembang dan bermutasi kepada pola bahasa yang
lazim dipakai oleh masyarakat umum.

	Bagi Joesoef sesungguhnya polemik ataupun konflik pada batasan itu adalah
lumrah dan wajar-wajar saja, tak perlu dibesar-besarkan. Konflik pada batasan
wacana ataupun dialog adalah bagian dari pergulatan pemikiran yang kelak
memberikan sumbangan pada pembentukan pola dan karakter budaya bangsa, yang
memang harus dialektis berkembang. Manuasia tak mungkin bersandar pada satu
dimensi pemikiran yang membuatnya semakin menjauh dari kodrat kemanusiaannya.

	Dalam pandangan Joesoef, di zaman Soekarno dialektika pemikiran itu cukup
berkembang, dengan bersandar pada keteladanan yang diberikan para perintis
pendiri RI bahwa kita hendaknya tetap menggalang persatuan dalam setiap
perbedaan kita.

	Perjuangan dalam memasyarakatkan berbagai istilah (pola berbahasa) yang semula
dianggap tabu dan baku, adalah bagian dari dialektika pemikiran dan
pergulatan-indah dalam dunia jurnalisme kita, di mana polemik maupun konflik
(pada batasan wacana) adalah bumbu-bumbu sedap yang terus bersinambung
mengakumulasi. Bahkan dalam penggunaan istilah "sosialisme" dunia pers kita baru
dapat memasayarakatkannya pada pasca 1962-an, yakni suatu periode setelah
terbentuknya Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA).

	Pada periode sebelumnya pers Indonesia hanya menyebutnya dengan istilah
"masyarakat adil-makmur" atau "gemah ripah loh jinawi". Secara hati-hati Bung
Karno menggunakan istilah "sosialisme ala Indonesia" yang kemudian berkembang
menjadi "sosialisme Indonesia". Dan pada masanya ketika dunia pers memberanikan
diri dalam memasyarakatkan ide-ide progressif maka istilah "sosialisme" tidak
lagi menjadi hal yang tabu dalam wacana masyarakat kita.

	Inilah babakan baru dalam dunia pers Indonesia, bersamaan dengan langkah maju
dalam sejarah politik Indonesia, yang di zaman Orde Baru kemudian ditumpulkan
dan ditumbangkan menjadi pendangkalan kembali.

	Semua pemasyarakatan ide-ide progressif itu-oleh rezim Soeharto-telah diarahkan
kepada sistem pendidikan agar menjadi "manusia seutuhnya" yang pada prakteknya
hanya bermuatan doktrin-doktrin kosong yang menggiring manusia Indonesia menjadi
manusia-satu-dimensional, suatu brain washing yang bertolakbelakang dengan
pemikiran dialektis yang bersifat multidimensional.

	Dan pada kenyataannya, dalam orde Soeharto pula Joesoef-Diah telah
digembar-gemborkan selaku tokoh penting dalam konflik jurnalisme kita, di mana
setiap pihak yang berkepentingan telah menyudutkan yang satu di antara yang
lainnya. Padahal Joesoef tidak pernah merasa punya konflik khusus yang
menceraiberaikan komitmen pada perkembangan dan kemajuan jurnalisme Indonesia.

	Joesoef tetaplah Joesoef. Prinsip politiknya yang berpegang-teguh pada garis
Soekarno tetap menjadi patokan yang paralel dalam membawa garis Merdeka dalam
menyuarakan aspirasi rakyat. Adapun kritik dan saran atas dirinya adalah sah-sah
saja, meski hal itu terlontar dari mereka yang dianggap guru dan bapaknya
sekalipun.

	Prinsip politik ini pula yang diakuinya berbeda dengan BM Diah, meski tidak
kurang penghormatan dan penghargaan kepadanya.
					***
 

II. Mulai terjun ke organisasi kewartawanan

Joesoef mulai masuk ke organisasi kewartawanan pada tahun 1959. Inilah tahun
berkumandangnya dekrit presiden, suatu penegasan agar bangsa Indonesia kembali
kepada garis UUD 1945, suatu pencetusan manifesto politik serta lahirnya ajaran
Nasakom.

	Tak berapa lama setelah bergabung sebagai anggota PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia) ia pun dicalonkan untuk menduduki kepengurusan PWI-Jakarta, yang
kemudian terpilih selaku ketuanya. Pemilihan berjalan secara demokratis melalui
perwakilan suara seluruh kalangan jurnalis, baik dari kubu kiri maupun dari kubu
kanan.

	Pada awalnya Joesoef didukung oleh orang-orang kanan yang tidak menghendaki
dunia pers jatuh pada kekuatan radikal-kiri seperti Bintang Timur, Harian Rakyat
dan lain-lain. Namun sebaliknya, orang-orang kiri rupanya lebih tajam melirik
Joesoef yang waktu itu sudah meninggalkan garis PSI, maka secara serentak
seluruh kubu kiri mendukungnya pula.

	Berkaitan dengan itu Bung Karno sangat menghendaki agar PWI-Jakarta dapat
berdiri di garis tengah serta dipimpin oleh orang-orang moderat progressif
hingga sanggup menentukan segala kebijakan terhadap koran-koran daerah. Joesoef
menyadari bahwa Bung Karno kurang menyukai pengurus-pengurus PWI-Pusat yang
waktu itu masih dalam kubu PSI. Sebagai orang yang pernah berada dalam kubu itu
Joesoef pun merasa kurang nyaman melihat sikap Bung Karno kepada dirinya, meski
hal itu diterimanya sebagai suatu proses dan pengalaman hidup yang menjadi
cambuk dan pelajaran berharga baginya.

	Dan pada masanya ketika Bung Karno lebih mendukung PWI-Jakarta maka semakin
tumbuhlah semangat dan kepercayaan dirinya, hingga ia pun berusaha untuk tidak
menyia-nyiakan kesempatan baik tersebut. Seketika itu bersama kawan-kawannya
Joesoef mengupayakan suatu rencana untuk "merebut" PWI-Pusat agar dapat berdiri
pada garis Manipolis-seperti yang ditekankan Bung Karno.

	Maka ia pun bersiap-siap mengikuti kongres persatuan wartawan seluruh Indonesia
yang rencananya akan diadakan di Makassar, dan seketika itu pula ia persiapkan
bersama kawan-kawan untuk memenangkan Djawoto yang dikenalnya sebagai jurnalis
yang konsekuen pada garis Manipolis.
					***

6. Tumbuhnya kesadaran berpolitik

Prinsip yang selalu dipegangnya adalah berupaya menilai seseorang tidak seperti
gambar atau foto yang mati, akan tetapi seperti sebuah film yang terus berjalan
sampai akhir. Adakalanya seseorang mengalami kesalahan dan kekeliruan dalam
hidupnya, yang kesemuanya mengandung pelajaran sejauhmana ia sanggup menyerapnya
untuk dapat menguasai pengendalian dirinya di kemudian hari.

	Pemihakan pada garis politik pun harus dipahami dalam konteks itu. Ia bukanlah
sesuatu yang baku dan mandek, karena wawasan dunia politik dan kesadaran
berpolitik adalah bagian dari proses penyerapan dan pengalaman hidup tadi.

	Ada masanya ketika Joesoef meninggalkan garis Bung Karno dan memandangnya
sebagai "tukang agitator", namun ketika usianya beranjak 30-an di saat
penyerapan terhadap pengalaman semakin meluas, di saat kematangan pikiran
semakin meningkat, ia pun dapat menilai persepsi-persepsi yang berbeda dari
pandangan hidupnya, bahkan-boleh jadi-malah bertolakbelakang dari pemahamannya
semula.

	Sejak usia belasan tahun Joesoef sudah terbiasa bergaul dengan bermacam-macam
literatur dunia. Bahkan karya-karya Karl Marx sudah menjadi bacaan favoritnya di
masa-masa belia itu. Namun segala pergolakan dunia serta tarik-menariknya
kepentingan internasional, dengan sendirinya menciptakan refleksi dan imbas
kepada proses penyerapan dan persepsinya kepada tingkat pengetahuan tadi.
Terjadinya berbagai krisis dunia yang susul-menyusul adalah faktor yang tidak
kalah pentingnya dengan peristiwa-peristiwa yang kemudian mempengaruhi iklim
pergaulan yang berbeda di negeri sendiri.

	Krisis besar yang melanda Kuba misalnya-bagi Joesoef-adalah pukulan telak yang
membuatnya harus kembali introspeksi diri untuk melangkah ke masadepan, yakni
mengolah kembali pola dan kerangka berpikir kepada proses pematangan dan
kedewasaan dirinya.

	Pergulatan kubu kiri dan kanan yang tak ada habis-habisnya, membuatnya harus
kembali untuk mengontrol kedalaman dirinya, melihat dunia sekelilingnya yang
dengan sendirinya menilai kembali karakter pemimpinnya dengan cara-caranya yang
semakin maju dan multidimensional.

	Maka Joesoef pun menoleh kembali kepada figur Soekarno berikut garis
politiknya. Pembelaannya kepada mayoritas rakyat kecil serta komitmennya dalam
menggalang persatuan itulah yang membuatnya tak sanggup untuk berlama-lama
meninggalkannya. Tumbuhnya kesadaran berpolitik bersatupadu dengan kematangan
berpikir, di mana tanggungjawab moral menduduki prioritas yang harus diutamakan.

	Segala bentuk pemberontakan dan gerakan separatisme yang susul-menyusul telah
ditangani Bung Karno dengan cara-cara yang manusiawi, dengan kemampuan
berpolitik yang cukup brillian dan bijaksana, dalam batas-batas kearifan seorang
pemimpin bangsa.

	Bagi Joesoef Bung Karno telah berhasil memainkan peranannya sebagai politikus
dan negarawan kelas dunia, apalagi ketika mengatasi pemberontakan PRRI-Permesta
yang dinilainya sebagai pemimpin yang-bersama pembawaan kodratnya-telah sanggup
menggalang dan mempererat kembali persatuan-kesatuan yang sejak semula menjadi
dambaan Joesoef dalam mengidealisasi hal tersebut.

	Kesadaran berpolitik itu dengan sendirinya tak dapat dipisah-pisahkan sebagai
tanggungjawab moral, bahwa kita pun adalah bagian dari pemimpin di bidangnya
masing-masing yang juga ikut mengemban amanat dalam peranan tersebut.

	Dari sinilah pemihakan pada garis politik semakin meruncing dan terarah bahwa
apa yang dicita-citakan Bung Karno sungguh paralel seperti yang menjadi
cita-citanya semula, yakni demokrasi Indonesia, di mana persatuan-kesatuan
adalah syarat-mutlak bagi penegakan demokrasi itu sendiri, dengan menggalakkan
pemberdayaan kekuatan rakyat demi mencapai cita-cita sosial-politiknya.

	Maka tegaslah bagi Joesoef bahwa konsep demokrasi yang dijalankan Bung Karno
sangat berkait dengan wawasan dwi-tunggal, yakni perjuangan di satu sisi, dengan
persatuan-kesatuan nasional di sisi lain. Demokrasi menjadi tak berarti bila
tidak memperjuangkan kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan rakyat. Begitupun
perjuangan bisa menjadi sia-sia bila tidak mampu menyelenggarakan kesatuan dan
persatuan yang sangat diperlukan untuk menggalang kekuatan yang akan mampu
mewujudkan kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan tersebut.
						***

7. Kongres PWI di Makassar

Sejak tahun-tahun menjelang G30S sebetulnya Joesoef sudah membaca adanya
kekuatan dua kubu yang saling tarik-menarik secara tersembunyi maupun
terang-terangan, yakni kubu PKI dan Angkatan Darat. Pertikaian kedua kubu itu
sudah tercermin dari kejadian-kejadian kecil maupun besar dalam dunia
jurnalistik Indonesia.

	Ketika itu Joesoef beserta kawan-kawan berangkat ke Makassar dengan target
memenangkan Djawoto agar menduduki kepemimpinan PWI-Pusat yang semula dipegang
oleh Teuku Syahril.

	Djawoto tadinya menjabat sebagai pemimpin redaksi Antara, seorang Manipolis
yang lugu dan pendiam tetapi tegas dalam mendukung kebijakan Bung Karno. Sejak
tahun 1955 sudah berkali-kali ia dicalonkan sebagai ketua, namun kekuatan kubu
PSI begitu kokoh dan sulit ditembus untuk menciptakan terobosan pembaharuan di
dunia jurnalistik Indonesia.

	Baru pada tahun inilah (1960) ketika PWI-Jakarta berada di tangan Joesoef, ia
berusaha mengendalikan jalannya kongres dengan berupaya menekan dominasi
orang-orang PSI yang menghendaki agar PWI-Pusat tetap dikuasai kekuatan kanan.

	Pada kesempatan itu Joesoef dapat menyaksikan berbagai pihak yang
berkepentingan sedang kasak-kusuk untuk melancarkan target yang ingin
dicapainya. Di satu sudut beberapa orang militer sedang bisik-bisik dengan
rekan-rekan sekomplotannya, sementara di sudut lain kekuatan kiri (PKI) begitu
lihai dan cerdik dalam membangun strateginya.

	Sedangkan Joesoef dan kawan-kawan tetaplah pada komitmen semula. Mereka harus
memenangkan Djawoto, tak peduli apakah ia dari PNI, PKI ataupun Masyumi. Yang
terpenting bagi mereka adalah kejelasan sikap Djawoto dalam mendukung
kebijakan-kebijakan Bung Karno.

	Selain itu agar dapat mengimbangi kedua kekuatan yang saling bersaing sengit
Joesoef (selaku utusan PWI-Jakarta) memberikan sambutannya dengan harapan dapat
mengambil hati utusan-utusan daerah yang seakan-akan diacuhkan oleh kedua
kepentingan tersebut.

	Pada waktu itu ia menyampaikan amanat, berpidato di hadapan hadirin agar
PWI-Pusat hendaknya berlaku adil terhadap PWI-PWI daerah, agar diupayakan
pemerataan dan tidak Jakarta-sentris. Dengan begitu maka kontanlah suara-suara
dari utusan daerah menghambur memihak Djawoto, yang selanjutnya baru kali ini
dalam sejarah PWI-Pusat dipimpin oleh seseorang yang berada dalam garis
Soekarnois.

	Menurut Joesoef segala tarik-menariknya kepentingan kubu kiri dan kanan yang
bersaing sengit di Makassar itu adalah suatu contoh konkret dari peranan PKI dan
Angkatan Darat yang jauh-jauh sudah "melancarkan" aksinya hingga meletusnya
G30S. Sejak pagi-dini ia dapat membaca bahwa tidaklah sulit untuk membuktikan
peranan Angkatan Darat yang telah bersiap-siaga menjelang G30S tersebut, meski
ia tidak mudah hanyut kepada arus pendapat bahwa PKI lantas tidak terlibat sama
sekali.

	Pada dasarnya segala persaingan itu tidaklah menyangkut urusan dan kepentingan
demi mengangkat dan membantu mayoritas daerah, akan tetapi sebagai ajang dan
pentas emosional demi keuntungan dan keunggulan kelompoknya masing-masing.
Padahal kedua organisasi terbesar itu, yang sama-sama menyatakan pendukung setia
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi, yang sama-sama organisasi
terkuat dan terorganisir rapi, seharusnya merupakan komponen potensi nasional,
akan tetapi justru saling bersaing keras dan bertekad untuk saling menjatuhkan
antara satu dengan yang lainnya.

	Akhirnya setiap langkah yang dipermainkan di Makassar pada tahun 1960 itulah
yang kemudian mengantarkan Joesoef menjadi tahanan politik selama sepuluh tahun,
terutama setelah penggeseran dirinya dari Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika,
setelah menyusul pemecatannya dari keanggotaan PWI serta kepemimpinannya dari
suratkabar Merdeka.

	Dan kelak ia semakin menyadari adanya "permainan" itu setelah mendengar
kesaksian dari seorang kawan dekatnya sesama mantan jurnalis….
					***

8. Pembentukan Persatuan Wartawan Asia-Afrika

Pada tahun 1962 terselenggara kongres International Organization of Journalist
(IOJ) di gedung parlemen Budapest, Hongaria. Para wartawan Indonesia yang sudah
menjadi anggota IOJ (seperti Tahsin, Umar Said dan kawan-kawan) mengundang
Joesoef agar ikut-serta menghadiri kongres yang bertempat di gedung termegah
itu. Pada kesempatan itu Joesoef terpilih mewakili wilayah Asia sebagai wakil
presiden IOJ. Maka kontanlah ia manfaatkan untuk mengadakan berbagai perundingan
guna memuluskan jalannya kongres Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA) yang
sudah direncanakan bersama kawan-kawan pers lainnya.

	Setelah diadakan Konferensi Asia-Afrika (Bandung) memang telah berdiri beberapa
organisasi penting yang menyusul seperti Persatuan Pengarang Asia-Afrika (PPAA),
Persatuan Setiakawan Asia-Afrika (PSAA) dan lain-lain. Organisasi-organisasi itu
telah mengikutsertakan Uni Soviet sebagai anggota, yang dinilai Joesoef sebagai
tidak konsekuen dalam mengikuti "garis Bandung". Tetapi untuk PWAA ia
bertekad-bersama kawan-kawan-untuk tidak mengikutsertakan Uni Soviet karena
dikhawatirkan akan mengaburkan komitmen negara-negara miskin demi kepentingan
dan keuntungan adidaya mereka.

	Sepulang dari Budapest delegasi Indonesia sudah membawa ikrar PWAA yang sudah
utuh, matang dan konkret, meski kemudian mendapat hambatan karena PWI-Pusat
merasa belum memberikan mandat kepada Joesoef dan kawan-kawan.

	"Bagaimanapun kita belum mengakui keberadaan PWAA," begitulah selorohan
orang-orang PWI-Pusat.
	"Ah, itu pasti kerjaan si Joesoef, Tahsin dan Umar Said," kata yang lainnya
menggerutu.
Padahal persiapan sudah matang, dan rencana penyelenggaraan sudah berjalan jauh.
Kenapa pula mesti ada hambatan justru di dalam negeri sendiri, selaku tuan rumah
sendiri. Maka segala daya-upaya dikerahkan, dan atas bantuan Soekrisno, duta
besar RI di Rumania, yang memanfaatkan kesempatan atas kedatangan Presiden
Rumania sewaktu menghadap Bung Karno maka disampaikanlah rencana Indonesia akan
mengadakan konferensi wartawan Asia-Afrika. Ketika itu surat pernyataan telah
dipersiapkan yang langsung disambut dan direstui Bung Karno, dan kemudian
disusul penandatanganan surat pernyataan tersebut.

	Seketika itu pula PWI-Pusat tak bisa berkutik, maka segeralah diadakan
rapat-rapat guna persiapan dan kematangan penyelenggaraan tersebut.
					***

PWAA bukanlah sekedar organisasi profesional yang hanya ingin meningkatkan mutu
jurnalistik, mendidik para wartawan atau membagi-bagikan bantuan dana kepada
negara-negara miskin. Dari awal keberangkatannya betul-betul sadar bahwa ia
memang ingin berpolitik. Meski begitu dengan sadar pula bahwa tugas yang dipikul
memanglah berat, yakni ikut-serta merebut kebebasan, menegakkan kemerdekaan bagi
negara-negara Asia-Afrika, yang pada kenyataannya hingga memasuki tahun 1960-an
sebagian besar negara-negara Afrika belum bebas dari penjajahan.

	Tugas berat yang dipikul itu dengan sendirinya mengandung konsekuensi bahwa
perjuangan PWAA identik dengan label kiri yang melawan imperialisme dan
kolonialisme. Dan pada prakteknya tentulah menjengkelkan pihak-pihak tertentu,
karena dalam setiap rapat penting PWAA hanya membutuhkan waktu singkat untuk
membicarakan profesionalisme, tetapi untuk membahas soal politik dibutuhkan
waktu berhari-hari untuk mencapai kesepakatan publik.

	Sewaktu membahas soal masuk atau tidaknya Uni Soviet ke dalam keanggotaan PWAA,
tidak kurang dari enam hari mereka harus "bertengkar" untuk mencapai
kesepakatan. Ketika itu berbondong-bondonglah duta besar Uni Soviet mendatangi
Istora Senayan, kemudian disusul oleh delegasi-delegasi Eropa Timur berhamburan
melobi dan mendesak agar mereka diikutsertakan sebagai anggota.

	Desakan mereka-menurut Joesoef-nampak berlebihan, karena tidak kurang dari
Tahsin, Djawoto, dan Joesoef sendiri telah "dibanjiri" oleh hadiah-hadian
cenderamata seperti minuman vodka, alat-alat elektronik terbaru seperti kamera
dan keperluan pers lainnya. Bahkan ketiga istri mereka turut pula diming-imingi
untuk diajak berlibur dan bertamasya keliling Uni Soviet, meski akhirnya
dibatalkan setelah keputusan dengan bulat menyatakan penolakan terhadap mereka
atas keanggotaan PWAA.
					***

Bersambung kebag. 3/10