[Nasional-a] [Nasional] Draft BIOGRAFI JOESOEF ISAK Bag. 3/10

nasional-a@polarhome.com nasional-a@polarhome.com
Sat Oct 5 17:24:01 2002


-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH
-----------------------------------------------------------------------
9. Strategi menolak Uni Soviet dari keanggotaan PWAA

Secara internasional maupun nasional tarik-menariknya dua kubu yang
berseberangan akan selalu hadir di setiap lini dan strata. Bahkan perkembngan di
daerah dengan sendirinya terrefleksi pula oleh dua kekuatan dan kepentingan
tersebut. Dengan berjalannya sang waktu memang akan ada mutasi dan pergeseran,
namun substansinya tetapalah sama yang itu-itu juga.

	Bahkan International Organization of Journalist (IOJ) di mana Joesoef selaku
wakil presidennya, tidaklah berdiri sendiri tanpa hambatan. Di belakang itu
berdiri pula organisasi pers lain sebagai tandingannya, yakni International
Federation of Journalist (IFJ) yang bermarkas di Brussel, Belgia. Sedangkan yang
khusus bersifat profesional adalah International Press Institute (IPI) yang
bertempat di Swiss.

	Hal yang paling mencolok yang mempengaruhi kalangan jurnalis Indonesia (pada
1960-an) adalah tarik-menariknya kekuatan Moscow dan Peking yang sepintas nampak
berbeda namun pada hakekatnya adalah refleksi dari substansi yang sama.

	Secara internasional tarik-menariknya dua kubu itu-bagi Joesoef-bukanlah
sekedar konflik akademis tetapi sudah menjurus kepada konflik antagonistis dan
permusuhan. Karena itulah ia tak keberatan pada strategi para jurnalis kiri
(unsur PKI) yang menolak keanggotaan Uni Soviet dengan cara-caranya yang lihai
dan cerdik, terutama dalam upaya memuluskan "garis PKI" seakan-akan menjadi
keputusan nasional.

	Ketika itu manuver-manuver kekuatan kiri yang diwakili oleh Soepeno (wakil
Harian Rakyat) berupaya untuk menguasai rapat-rapat hingga sanggup menundukkan
setiap perwakilan dari unsur nasionalis maupun agamis. Dalam suatu rapat
tertutup ia berdiri tegak, dan dengan suaranya yang lantang ia
menegaskan-seakan-akan-ia menghendaki Uni Soviet bergabung dalam keanggotaan
PWAA dengan suatu alasan dan pertimbangan ini dan itu.

	Karena ulah Soepeno itu maka rapat pun berkali-kali mengalami kegagalan, hingga
terpaksa harus mengutus Joesoef, Karim DP dan Satyagraha untuk menghadap
Soebandrio agar dapat melakukan intervensi kepada Aidit selaku Menko.

	Seketika itu maka sukseslah Soepeno dan kawan-kawan dalam memuluskan garis PKI
yang sejajar dengan garis Bandung, dan pada saatnya menjadi garis keputusan
nasional.

	Dan setelah rapat mengambil keputusan, berdirilah Soepeno di hadapan hadirin
dengan menyatakan: "Baiklah, kalau mayoritas sudah memutuskan bagaimanapun kita
harus tunduk kepada keputusan mayoritas itu. Marilah kita menjaga persatuan
seperti menjaga biji mata kita sendiri…."
						***
Bersamaan dengan itu, dalam politik nasional Indonesia tengah menghadapi
konfrontasi Irian Barat di mana Uni Soviet dengan gigihnya menawarkan bantuan
senjata kepada Indonesia. Waktu itu duta besar Soviet kontan menemui Soebandrio
dengan suatu teguran: "Kalian ini bagaimana? Bukankah sekarang ini kalian
membutuhkan senjata dari kami, tapi kenapa sikap kalian tidak bersahabat kepada
kami?"

	Dan menjelang dua hari pelaksanaan konferensi, teguran kepada Soebandrio itu
malah berkembang menjadi tuduhan: "Kenapa Joesoef itu keliling Afrika sambil
menjalankan kampanye anti Soviet?"

	Dengan begitu maka serta-mertalah ia dipanggil oleh Soebandrio dengan suatu
pertanyaan:
	"Joesoef, apa yang kau lakukan di Afrika?"
	"Kami hanya mengkonfirmasi undangan untuk pelaksanaan konferensi nanti…"
	"Apa betul kau membikin-bikin kampanye anti Soviet?"
	"Kami hanya membawa garis PWI yang sejajar dengan garis Bandung. Mungkin itu
yang mereka sebut 'kampanye anti Soviet', terserahlah pada mereka."
Dalam soal ini, apa yang dikagumi oleh Joesoef justru adalah sikap Bung Karno
yang sangat tajam dalam intuisi politiknya. Setelah mendengar rencana konferensi
yang tidak menyertakan Uni Soviet sebagai anggota ia hanya menatap tajam seraya
memberi kepercayaan kepada penyelenggara:
	"Laksanakan dengan sebaik-baiknya," demikian tandas Bung Karno.
					***
Pada batas-batas tertentu manuver-manuver kekuatan kiri itu-menurut
Joesoef-memang brillian dan canggih. Meski begitu ia tidak apriori sepakat
dengan pendirian beberapa tokoh PKI yang dinilainya "kelebihan
berwishfullthinking". Kehidupan masyarakat yang masih konservatif tentulah
membutuhkan bimbingan dan pengarahan di mana upaya untuk dapat membumi (turun
lapangan) adalah hal yang lebih realis dan bijaksana daripada memanfaatkan cara
yang melulu mengatasnamakan rakyat.

	Dalam masyarakat yang multikompleks ini pengertian kiri-kanan tak bisa
diartikan searah dan satu dimensi, sebab pengertian "kiri" dalam arti membela
kepentingan rakyat tidak selalu identik dengan kubu PKI yang menjurus kepada
perjuangan kelas. Menurut Joesoef garis Bung Karno tak lain dari perjuangan kiri
yang progressif-revolusioner meski nampak berbeda dengan cita-cita PKI. Dalam
kaitan ini Joesoef berseberangan dengan beberapa tokoh PKI yang mengklaim
dirinya paling progressif dan paling revolusioner.

	Sabagai pribadi Joesoef memang tumbuh di tengah-tengah keluarga borjuis serta
mengecap pendidikan dari sekolah-sekolah elit Belanda, namun apakah--dengan
begitu--cukup beralasan untuk menunjuk dirinya sebagai orang kanan. Tentulah
penilaian itu berlebihan meski ia sendiri menganggap berlebihan pula bila
dikategorikan sebagai orang kiri (dalam pengertian PKI).
						***

III. Seputar peristiwa G30S/1965

Antara tahun 1960 hingga 1965 hegemoni pilitik sudah berada di tangan kaum
progressif-revolusioner (PR). Tetapi menurut Joesoef kekuatan kaum PR tersebut
justru lebih cenderung pada kekuatan non-PKI yang dengan sendirinya adalah
kekuatan pro-Bung Karno. Sebab di antara kaum PR itu berdiri pula dari unsur NU,
PSI, Masyumi dan lain-lain. Bahkan tidak sedikit dari kekuatan PNI yang justru
lebih progressif dan lebih revolusioner daripada unsur PKI-nya sendiri.

	Pada saat itu bumbu-bumbu konfigurasi politik memang nampak semrawut. Udara
politik begitu memanas dengan berderet-deretnya segala macam slogan dan jargon
politik: revolusioner, progressif, militan, kontrev, reaksioner, kabir, nekolim
dan banyak lagi yang lainnya. Di kalangan militer, tidak kurang dari perwira
rendah hingga jenderal saling jor-joran ingin mendapat predikat "progressif".
Mereka akan merinding ketakutan bila mendapat label "kontrev" atau "reaksioner"
dan seterusnya.

	Pertemuan dan perpaduan kekuatan kaum PR itu, oleh PKI dijadikan patokan untuk
mengklaim dirinya seakan-akan telah mencapai hegemoni politik. Ketika itu ia
merasa bahwa seluruh percaturan politik sudah berada di tangan, bahwa segala
rencana akan dapat tercapai dengan sebaik-baiknya, bahwa segala yang pro-PKI
akan berjalan lancar dan yang kontra-PKI akan jatuh terpuruk.

	Padahal-menurut Joesoef-saat itu hegemoni politik bukanlah di tangan PKI,
karena ia tidak solid dan telah lalai untuk berpikir secara Marxis. Dalam ajaran
Marxis cukup jelas bahwa bangunan bawah akan menentukan bangunan atas, yakni
kekuatan ekonomi akan menentukan kekuatan politik. Tetapi PKI yang mengklaim
bahwa hegemoni politik sudah di tangannya, kurang menyadari bahwa basisnya
justru berada di tangan Angkatan Darat yang merupakan saingan beratnya.

	Ketika itu sudah jelas bahwa Angkatan Darat mempunyai akses terhadap roda
perekonomian, juga lebih leluasa menggunakan aparatur dan mekanisme birokrasi.
Dan yang paling utama bahwa AD-lah yang jelas-jelas memegang senjata serta
mengontrol seluruh teritorial Indonesia, dari perkotaan hingga ke desa-desa.
Belum lagi peluang kerjasama dengan seluruh kaum borjuasi ditambah seluruh modal
luar negeri yang terus berkuasa hingga hari ini.
						***

10. Perlakuan militer terhadap wartawan progressif

Setelah menyaksikan suasana yang penuh kacau-balau juga menyadari situasi bangsa
dan negara yang kalang-kabut tak keruan bagaimanapun Jenderal Soeharto dan
kawan-kawan-yang semula belum bekerja dalam suatu kelompok-kini harus menggalang
kekuatan dengan suatu tim berikut sub-sub tim agar dapat berkiprah hingga ke
pelosok daerah.

	Deretan nama-nama dari kalangan militer seperti Jenderal A.H. Nasution,
Soewarto, Ali Murtopo hingga Sarwo Edhi adalah mitra-mitra terpenting dalam
menggalang "kerjasama" ini. Menurut analisis Joesoef, insting kekuasaan Soeharto
memang cukup tajam terutama pada detik-detik awal setelah kekisruhan G30S
tersebut.

	Langkah pertama yang ditempuhnya tiada lain adalah membungkam dan memberangus
(cara kias dan harfiah) kalangan jurnalis, disusul oleh pembredelan semua
pers-pers progressif yang dianggap kiri seperti Harian Rakyat, Bintang Timur,
Warta Bhakti hingga Ekonomi Nasional dan lain-lain.

	Soeharto rupanya mengerti bagaimana harus merebut opini publik, hingga
pembredelan semua pers itu dilakukan justru sebelum diberlakukan pengejaran dan
penangkapan terhadap orang-orang PKI.
Setelah pembredelan itu maka lahirlah opini publik yang serba baru, yang hanya
bicara dalam satu arah dan satu dimensi, hingga ketika seseorang disebarluaskan
sebagai anggota PKI atau terlibat G30S maka dengan sendirinya tak ada peluang
kesempatan untuk menyatakan sanggahan atau pendapat yang lain.
	Juga ketika Joesoef Isak atau Pramoedya Ananta Toer dituduh-tuduh sebagai orang
komunis, maka tak ada kesempatan bagi keduanya untuk menyanggah dan mengatakan
yang sebenarnya, hingga permanenlah Joesoef dan Pram itu menjadi "komunis",
bahkan selama 30 tahun lebih. Selain itu para pakar politik, sejarawan hingga
jaksa agung (di zaman Soeharto) kemudian mengunyah-ngunyah opini bikinan itu,
tanpa menyadari bahwa semuanya adalah produk megalomania yang bersumber dari
luar diri mereka (penguasa) dan bukan dari kedalaman diri mereka sendiri.

	Hanya beberapa hari setelah G30S keadaan di lapangan-seperti pengamatan
Joesoef-begitu seporadis dan amburadul. Suasana tanpa hukum yang membikin
urat-urat syaraf begitu menegang serta bulu-bulu serasa merinding. Seketika itu
ia mendengar seorang kawan jurnalis telah mati terbunuh, kemudian menyusul kabar
dari Bandung dan Medan tentang kawan-kawan yang telah disita rumahnya dan
lain-lain.

	Tak berapa lama kabar penyitaan rumah itu malah menimpa seorang kawan dekatnya,
Karim DP (Pemred Warta Bhakti), kemudian menyusul pemimpin-pemimpin surat kabar
lainnya. Laporan terus berdatangan mengenai rumah seorang anggota Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat) yang disita, lantas menyusul lagi seorang anggota LKN
(Lembaga Kebudayaan Nasional) dan seterusnya.

	Suasana tak menentu semakin dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu guna
melancarkan berbagai teror dan intimidasi untuk memperoleh kepentingannya
masing-masing. Ketika itu belum ada instruksi umum hingga setiap unsur
militer-terutama dari Kodam-punya inisiatif sendiri-sendiri dalam melancarkan
aksinya.

	Joesoef berusaha untuk tidak menggubris segala intimidasi yang dialamatkan
kepadanya dan keluarganya. Rumahnya yang terletak di Jalan Sisimangaraja tak
dibiarkan kosong melompong begitu saja. Ia tetap harus bertahan meski
kabar-kabar dengan santernya makin tersiar bahwa militer-militer (dari unsur
Kodam) seenaknya menangkapi masyarakat di mana-mana, bahkan berinisiatip
membikin tempat tahanan sendiri-sendiri.

	Dengan begitu maka gampang saja bagi seorang militer yang ingin menduduki rumah
penduduk, yakni dengan menangkap dan menyeret tuan rumahnya, lantas dituduhlah
ia sebagai anggota PKI yang terlibat dalam G30S. Setelah itu dijebloskan saja ke
tempat tahanan, dan jangan diberi kesempatan untuk bisa ngomong menyatakan
pembelaannya.

	Situasi macam itu dengan sendirinya membawa akibat fatal bagi minoritas
pendatang (non-pribumi) terutama dari etnis Tionghoa yang dengan entengnya
dikait-kaitkan dengan PKI dan G30S, sebelum akhirnya dipaksa untuk meninggalkan
rumahnya. Bahkan tidak sedikit dari perusahaan, sekolah-sekolah hingga tempat
peribadatan yang kemudian disita dan diambil-alih kepemilikannya secara
sewenang-wenang dan serba serampangan.

	Kemudian setelah berbulan-bulan membiarkan situasi kacau-balau tak menentu,
juga menyadari begitu banyaknya tempat tahanan berserakan di mana-mana maka
tampillah Jenderal Soeharto bersama kawan-kawan tim "seperjuangan" menyerukan
instruksi massal, yang kemudian mengkoordinasi langkah-langkah selanjutnya
dengan suatu komando sentral.

	Ironisnya, instruksi dan komando sentral itu bukanlah berniat untuk
mengupayakan situasi negara menjadi tentram dan damai, akan tetapi melangkah
dalam koordinasi massal untuk terus mensahkan segala tindak kesewenangan dan
pembantaian, yang selanjutnya tidak kurang dari pemberlakuan genocide untuk
menghabisi jutaan manusia Indonesia yang dianggap bertentangan dengan
"kebijakan" serta berseberangan dengan garis politiknya Orde Baru.
						*** 

11. Intimidasi seputar penyitaan rumah

Berhari-hari hingga berbulan-bulan segala macam intimidasi dan teror telah
menimbulkan banyak keluarga yang terpaksa harus mengosongkan rumahnya.
Laporan-laporan dari beberapa tempat mengabarkan tentang adanya rumah-rumah yang
dijarahi bahkan dibakar-habis. Seorang wartawan di daerah Bandung telah ditembak
mati, sampai kemudian disita rumahnya. Bahkan tidak jarang wanita-wanita yang ke
sana kemari mencari-cari suami dan anak-anaknya.

	Apa yang menimpa Joesoef beserta keluarganya tidaklah ringan kepedihannya.
Berkali-kali ia mengalami interogasi dan penahanan, berkali-kali pula rasa
was-was dan takut menghinggapi istri dan anak-anaknya.

	Suatu hari ketika ia sedang mengalami penahanan sang istri menyelundupkan
secarik surat bertuliskan mengenai rumahnya yang akan disita. Seketika itu pula
Joesoef membalas agar sedapat mungkin bisa mempertahankannaya. Ia tahu mengenai
banyaknya orang yang mengambil-alih kepemilikan rumah, dengan ganti-rugi
seenaknya, terutama setelah memanfaatkan alat negara dengan melancarkan berbagai
teror dan intimidasi.

	Pernah sewaktu dalam penahanan, istrinya mengirim kabar tentang adanya beberapa
orang yang mendesak supaya melepaskan rumahnya. Karena tidak diberi kesempatan
untuk membalas kabar tersebut maka segala macam cara harus ditempuh Joesoef,
antara lain dengan menulis kata "BERTAHAN" di balik rantang nasi yang dikirimkan
kepadanya.

	Tapi makin lama kegentingan semakin menjadi-jadi. Yang menjadi kekhawatiran
bukanlah sekedar menyangkut keselamatan dirinya namun keluarga dan saudaranya
pula. Apa yang nampak di hadapannya tak lain dari kekuatan militer bersenjata
yang setiap saat menunggu kelengahan kita berikut orang-orang sekeliling kita.

	Perlawanan tanpa kontrol dan kendali adalah kenekatan sekaligus kekonyolan yang
berakibat fatal dan meluas ke mana-mana. Bagaimanapun tindakan mereka, sekeras
dan serepresif apapun adalah sesuatu yang bisa dianggap formal dan legal, karena
mereka adalah bagian dari sistem yang bermain, dan segala tindak-tanduk mereka
adalah tugas yang-dengan sendirinya-dinyatakan sah dan konstitusional.

	Akhirnya karena segala cara tak memungkinkan dapat bertahan dan membela diri,
Joesoef beserta keluarganya terpaksa harus mengungsi dan berpindah ke Jalan
Duren Tiga, Pancoran (dulu Jalan PLN), Jakarta. Ganti-rugi yang diterimanya
dimanfaatkan untuk membangun rumah sederhana, yang kelak dijadikan markas bagi
anak-anak muda progressif yang menentang pemerintahan Soeharto.

	Di rumah itu pula sejak tahun 1980-an telah didirikan Penerbit Hasta Mitra yang
diprakarsai Pramoedya Ananta Toer, Hasjim Rahman dan Joesoef Isak sendiri selaku
tuan rumahnya. Pada tahun-tahun awal berdirinya belasan mantan tapol telah
bekerja di Penerbit itu hingga dapat menghidupi diri dan keluarganya.
***

12. Menilai obyektif para tokoh PKI

Memanglah ada tokoh PKI-yang dalam penilaian Joesoef-dinyatakan "keblinger",
seperti halnya Bung Karno telah menyebutnya pula. Namun tidak sedikit dari
mereka yang betul-betul tajam pemikirannya hingga membuat orang terkagum-kagum
karena ketajamannya. Juga tidak jarang dari mereka yang berbakat sebagai orator
militan, bahkan ahli strategi yang handal. 

Ada beberapa tokoh PKI yang dinilai Joesoef sebagai berlebihan dalam mengkritik
Bung Karno, bahkan menjurus kepada tindak pelecehan terhadapnya. Orang itu
menganggap remeh peranan Bung Karno, terutama dalam pemihakannya kepada rakyat
kecil. Bahkan ada pula yang menilai bahwa Bung Karno dilahirkan dari kelas elit
borjuasi, dan karenanya sangat diragukan pembelaannya kepada kaum tertindas.
Dalam kaitan ini Joesoef menilai Aidit sebagai orang yang tegas dalam
perkataannya, cukup cerdas dalam pola pikirnya. Kepada Joesoef, Nyoto malah
pernah bercerita mengenai Aidit bahwa ia adalah seorang jago strategi dan
taktikus sekaligus. Ia cukup tanggap dan peka terhadap suatu persoalan, bahkan
sanggup dengan spontan menanggapinya pula.

Tidak kurang penilaian Joesoef bahwa Aidit tergolong sebagai tokoh yang ambisius
dan pantang menyerah. Figur seperti itu sangat penting diperlukan, terutama
karena ciri khas dari Partai Komunis memang harus ada yang bergerak secara
terbuka dan tertutup. Biasanya yang tampil ke permukaan itulah yang menjadi
dominan karena posisi formal berada di tangannya.
Sedangkan Sudisman dinilainya sebagai organisator yang jitu dan cerdik. Ia juga
seorang intelektual yang tekun dan teliti. Joesoef mengenalnya sebagai orang
yang rajin membawa catatan ke mana-mana, dan kebiasaannya tak lain dari mencatat
apa-apa yang dikatakan lawan bicaranya. Ia tak ubahnya sebagai "kamus berjalan"
yang bisa dimintai bantuannya bila seseorang lupa atau tak mampu mengingat-ingat
suatu hal penting yang ingin dikemukakan.

Dari semua tokoh PKI yang dikenalnya Joesoef memandang Nyoto memiliki kelebihan
dan keistimewaan tersendiri daripada yang lainnya. Ia adalah seorang pemikir
intelektual, tetapi tak pernah menunjukkan dirinya melebihi segala-galanya.
Komitmennya pada semangat kerakyatan dapat dilihat dari kesederhanaan hidupnya.
Pandangannya mengenai realitas tercermin dari pola-pikirnya yang mudah dipahami
setiap kalangan masyarakat.

Satu hal yang dikaguminya dari Nyoto adalah kehebatannya dalam mengemas gaya
bahasa Bung Karno, menempatkan diri dalam pikirannya bahkan pikiran politiknya.
Selain itu ia juga sanggup mengkreatifkan bahasa Bung Karno, mengembangkan
pikiran-pikiran maju berdasarkan pikiran Bung Karno itu sendiri. Dengan begitu
ia berusaha menempatkan diri sebagai pemikir yang tidak apriori ke kiri tetapi
juga sama sekali bukan ke garis kanan.
Itulah keistimewaan Nyoto, dan karenanya Joesoef dapat mengerti bahwa Bung Karno
pernah menjulukinya sebagai "marhaenis sejati", suatu julukan yang pada zamannya
tak pernah diberikan kepada tokoh-tokoh partai lainnya.
***

Suatu hari Joesoef memandu serombongan wartawan Afrika yang tengah mengadakan
latihan jurnalistik di Indonesia. Salah satu acaranya adalah pertemuan dengan
tokoh-tokoh PKI, dan karenanya Joesoef membawa mereka ke wilayah Ekom, suatu
institut pendidikan pertanian di Cisarua, Bogor. Di lembaga itu telah berjalan
suatu pendidikan teoritis-marxis namun sekaligus praktis.

	Ekom berasal dari nama seorang petani, yang kemudian menjadi nama institut
pertanian yang didirikan oleh PKI, dan juga boleh dibilang sebagai lembaga
pengkaderan bagi pemuda-pemuda PKI.

	Waktu itu Joesoef menghadapkan mereka kepada Aidit, yang kemudian mengajaknya
ke tengah-tengah pesawahan di mana para pelajar Ekom sedang melakukan praktek di
bidang pertanian. Seketika itu para wartawan Afrika terkagum-kagum kepada Aidit,
dan salah seorang berkata sambil geleng-geleng kepala:
	"Luar biasa… hebat sekali kalian… bisa mencapai seperti ini…."

	Tak berapa lama Aidit berpidato di hadapan mereka, dan satu kalimat yang masih
diingat Joesoef ketika dengan lantangnya ia menyatakan:

	"Semuanya ini bukanlah sesuatu yang tinggal jadi. Bukanlah sesuatu yang gampang
diperoleh. Tapi karena didapat dari hasil perjuangan panjang…!"
Seperti itulah karakter Aidit yang nampak berbeda dengan Nyoto. Dalam hal ini
Joesoef tidak memandang Aidit selaku tokoh yang angkuh dan sombong, namun karena
kevokalannya serta kecenderungannya yang ambisius dan pantang menyerah itulah
yang membuatnya tak bisa digolongkan sebagai intelektual yang rendah-hati dan
sederhana. Karakter semacam itu tidak jarang membawa seseorang kepada hal-hal
yang berlebihan dalam menilai sesuatu, termasuk menyepelekan Bung Karno sebagai
bapak bangsanya.

	Barangkali itu pula yang membawa mereka menjadi kelebihan ber-wishfullthingking
dengan berbagai asumsi seakan-akan enampuluh persen kekuatan rakyat dan militer
sudah berada di tangan PKI, dan dengan sendirinya mengabaikan kekuatan rakyat
progressif yang konsisten pada garis Soekarno.
						***  

Bersambung kebag. 4/10

-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-e:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-e/
------------------Mailing List Nasional------------------