[Nasional-e] Pengamal Puasa Tak Butuh Penghormatan?

Ambon nasional-e@polarhome.com
Tue Dec 3 10:24:06 2002


Suara Merdeka
 Selasa, 3 Desember 2002  Karangan Khas

Pengamal Puasa Tak Butuh Penghormatan?
Oleh: Ahmad Rofiq

MEMBACA tulisan Prof Abu Su'ud dengan judul "Pengamal Puasa Tak Butuh
Penghormatan" dan Jabir Al Faruqi "Puasa dan Rekreasi Spiritual" (SM,
15/11), membuat saya penasaran. Secara pribadi saya dapat memahami karena
ilustrasinya masuk akal. Tetapi saya juga merasa terganggu, karena masih
menyimpan kekhawatiran, apalagi orang-orang yang memang tidak mengetahui
bagaimana menyambut hadirnya Ramadan, melakukan tindakan semaunya sendiri.

Dengan dalih demokrasi dan hak asasi, maka bagi yang berpuasa silakan
berpuasa. Sedangkan bagi yang tidak berpuasa dan mempunyai pekerjaan atau
profesi yang bertentangan dengan nilai-nilai susila dan agama, tanpa peduli
tetap jalan terus.

Jika Abu Su'ud lebih memberi angin kepada orang yang tidak berpuasa tak
perlu menghormati yang berpuasa, karena pengamal puasa tak butuh
penghormatan. Sementara Jabir menyoroti, tren kaum muslimin berpuasa sebagai
rekreasi spiritual. Alasannya, keindahan, keistimewaan, kedisiplinan bekerja
dan menegakkan aturan beragama itu hanya ada di bulan Ramadan. Setelah itu
tidak ada. Dua-duanya tidak perlu dibantah.

Ada dua hal yang ingin saya kemukakan. Pertama, apakah memang tidak perlu
ada penghormatan itu? Bagaimana jika orang lain memang sengaja ingin
menghormati? Apakah sekiranya Kapolda melakukan operasi terhadap penyakit
masyarakat tidak perlu didukung?

Memahami substansi ajaran Islam secara komprehensif di saat kaum muslimin
menjalankan puasa terasa penting. Karena ada semacam pemaksaan ritual wajib
bagi aparat untuk menutup tempat-tempat maksiat. Padahal tempat-tempat
tersebut menjadi gantungan hidup ratusan orang. Tuntutan pemaksaan demikian,
menunjukkan seakan-akan umat muslim mendapat hak tertentu, agar orang lain
menghormati bulan ramadan. Bukankah yang namanya amar ma'ruf nahi munkar,
termasuk pemberantasan penyakit masyarakat masih diperlukan?

Kecuali kalau kita sepakat membiarkan masyarakat dengan sebebas-bebasnya
untuk bisa menikmatinya. Jika perlu digelontor tontonan yang "aduhai"
seperti analog yang dikemukakan profesor, "Kalau kita puasa di negeri
non-Islam, tantangan itu lebih besar. Namun umat Islam tetap menunaikan
puasa menjadi lebih terasa, kalau lingkungan dirasakan tidak mendukung.
Bukan saja tidak ada warung makan yang ditutup di sana, bahkan bagian tubuh
wanita pun banyak yang tidak ditutup. Perjudian dibuka siang-malam, demikian
juga tempat hiburan maupun pelacuran."

Kisah Majusi

Ada riwayat yang menarik dipertimbangkan (Ibn Ahmad Syakir, Durrat
al-Nashihin, h. 13). Seorang majusi (non-Islam) melihat anaknya pada siang
hari bulan ramadan sedang makan di pasar, lalu dia memukulnya seraya
berkata, "Mengapa kamu tidak memelihara kemuliaan orang-orang Islam dalam
bulan ramadan?" Setelah itu, orang majusi itu meninggal dunia.

Ada seorang yang alim bermimpi. Dia melihat orang majusi tersebut berada di
atas kasur kemuliaan. Kemudian dia bertanya, "Bukankah kamu orang majusi?"
Orang majusi itu menjawab, "Benar, tetapi aku mendengar waktu kematian itu
datang, suara panggilan di atasku: Hai Malaikat-Ku, janganlah kamu
tinggalkan dia karena majusinya. Maka muliakanlah dia dengan Islam, karena
penghormatan dia kepada bulan ramadan."

Saya menduga, profesor mengkhawatirkan banyak orang yang bekerja di panti
pijat, tempat hiburan, dan lokalisasi tidak dapat menghidupi dirinya. Tetapi
apa yang diharapkan bahwa tindakan aparat mestinya tidak hanya bulan puasa,
tetapi bisa dipahami. Hanya saya tidak bisa membayangkan, kalau tidak ada
tindakan aparat, bagaimana jadinya masyarakat kita?

Dengan gambaran profesor antara masjid, musala, tempat ibadah dan
tempat-tempat hiburan mempunyai pangsa pasar berbeda, apalagi kalimat "tak
ayal timbul kesan, pengunduran jadwal itu dilakukan dengan alasan agar
mereka yang tengah menunaikan salat tarawih bisa mengikutinya, karena
dilakukan setelah tarawih." Meski itu hanya sekadar kesan, tetapi terkandung
makna tuduhan bagi orang yang tarawih. Masya Allah.

Mungkin saya saja yang tidak paham terhadap ungkapan kalimat profesor yang
saya kutip di atas. Wong dengan amar ma'ruf nahi munkar yang demikian saja
penyakit masyarakat makin meningkat. Apalagi kalau dibiarkan saja, bagaimana
kehidupan masyarakat kita nanti jadinya.

Saya sependapat dengan kedua penulis yang menegaskan puasa itu bukan hanya
ritual saja. Baik itu di media massa yang menyambut ramadan dengan nuansa
religius yang cukup tinggi. Memang yang penting bagaimana proses menjadi
orang bertakwa dapat dilakukan.

Karena itu, redaksi yang digunakan Allah adalah la'allakum tattaqun yang
artinya agar kalian menjadi bertakwa (QS Al Baqarah, 2: 183). Jadi orang
yang berpuasa, belum tentu cukup memenuhi klasifikasi orang bertakwa
(muttaqin). Untuk menjadi muttaqin, perlu usaha terus-menerus.

Karena itu, selain puasa Ramadan itu penting, puasa di luar Ramadan juga
lebih penting. Pernyataan Jabir yang saya kutip sepotong di bawah ini,
adalah nada protes yang cenderung menyalahkan. "Kegiatan-kegiatan pengajian
di televisi pun harus dibungkus dengan artis-artis. Apakah yang menarik itu
artisnya atau pengajiannya itu sendiri menjadi tidak jelas. Masih belum puas
harus pakai kuis berhadiah pula," ungkap Jabir.

Kalau media kita sudah mau begitu, hemat saya itu sudah lebih baik, dari
pada tidak ada respon sama sekali atas kehadiran Ramadan. Saya yakin, Jabir
dan profesor berharap semua menjadi baik. Tetapi dalam situasi dilematis
seperti sekarang, apalagi semangat pemilik stasiun-stasiun TV lebih
berorientasi bisnis, ya kita doakan saja, mereka dapat berubah dan
memberikan yang terbaik buat masyarakat dan bangsa ini.

Boleh jadi masyarakat kita, memang masih membutuhkan yang seperti itu. Sahur
terasa lebih semangat karena ada siaran TV yang menyajikan artis, lawak dan
kuis.

Tetapi sajian televisi semalam suntuk tidak pernah ada yang protes. Lalu di
mana letak persoalannya yang salah? Mungkin jawabannya sama dengan profesor
dan Jabir. Profesor menganjurkan agar orang yang berpuasa tidak usah manja
menggantungkan belas kasihan dan penghormatan dari orang lain. Sementara
Jabir menyarankan kita perlu mujahadah kepada Allah dan muhasabah pada diri
sendiri.

Yang jelas untuk dapat menuju apa yang diharapkan itu perlu latihan
terus-menerus. Tetapi dalam waktu yang sama, amar ma'ruf nahi munkar juga
perlu dilakukan. Atau boleh jadi pada saatnya, kemuliaan dan pahala puasa
hanya akan diberikan kepada orang majusi yang dengan penuh keikhlasan
memukul anaknya yang tidak berpuasa, karena hanya ingin menghormati
orang-orang yang berpuasa.

Ataukah justru kita menjadi orang yang bangkrut (muflis) karena pahala amal
ibadah kita,habis untuk berprasangka kepada orang lain, termasuk kepada
media yang mengisi menu-menu Ramadannya dengan gebyar kemewahan. Mereka
menggelar kebaikan itu, tidak berarti seperti pertanyaan kutipan Jabir
"apakah Allah sekarang ini semakin berkurang daya lihatnya sehingga manusia
untuk beramal saja mesti harus disaksikan dan ditulis besar-besar di koran?"

Ajaran agama Islam membolehkan, menunjukkan amal baik kepada orang lain. QS
Al Baqarah, 2: 271 menyatakan, "Jika kamu menampakkan sedekah (mu) maka itu
adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada
orang-orang fakir, maka menyembunyikannya itu lebih baik bagimu." (33)

-Ahmad Rofiq, Sekretaris MUI Jateng dan Dekan Syariah IAIN Walisongo