[Nasional-e] Produksi dan Reproduksi Gaya Hidup

Ambon nasional-e@polarhome.com
Tue Dec 3 10:24:06 2002


Jawa Pos
Selasa, 03 Des 2002

Produksi dan Reproduksi Gaya Hidup
Kapitalisme Pasar Menjelang Idul Fitri
Oleh Baharuddin Tino *

Untuk apa demo para buruh untuk menuntut THR (tunjangan hari raya)? Atau,
untuk apa perusahaan memberikan THR? Jawabannya tentu sederhana. Kebutuhan
menjelang Lebaran meningkat. Kebutuhan konsumsi barang meningkat. Karena
itu, perlu biaya lebih besar untuk membelinya dibandingkan hari-hari biasa.

Persoalannya, mengapa menjelang atau untuk Idul Fitri, kebutuhan konsumsi,
khususnya konsumsi barang-barang produksi untuk massa meningkat? Mengapa
perlu baju baru, sepatu baru, sepeda baru, motor baru, mobil baru, dan
barang-barang baru lain? Bukankah Islam tak mengajarkan Idul Fitri harus
disambut atau dirayakan dengan barang-barang konsumsi baru?

Transformasi Makna

Agama mengajarkan bahwa nuansa Idul Fitri adalah kembali ke fitrah manusia
sebagai zat yang suci. Sebagai hamba Allah SWT yang baru terbebas dari dosa
setelah satu bulan menjalankan ibadah pembersihan diri melalui puasa
Ramadan. Sebab, dengan itu, manusia dianggap memperoleh ampunan (magfirah)
dosa-dosanya dari Allah SWT.

Jadi, sama sekali tidak ada ajaran yang mengharuskan atau mewajibkan umat
Islam pada saat mereka kembali suci harus dirayakan dengan pakaian, sepatu,
mobil, dan berbagai aksesori baru sebagai simbol telah suci. Indikasi
kesucian tidak berupa melekatnya barang-barang komsumsi baru di tubuh,
rumah, dan lingkungan sekitar.

Dalam perkembangannya, rasionalitas manusia yang didukung rasionalitas pasar
melahirkan penafsiran kontekstual di luar atau bahkan keluar tekstual
syariat bahwa kembali suci berarti perlu disimbolkan dengan barang-barang
konsumsi baru.

Dari sinilah, tradisi merayakan Idul Fitri dengan penafsiran kontekstual
tersebut berkembang menjadi budaya konsumen. Karena itu, momentum Idul Fitri
pun berubah menjadi nuansa produksi massa, untuk massa, dan reproduksi gaya
hidup (life style) baru.

Momentum merayakan Idul Fitri mengalami transformasi dari pemenuhan
religious calling (panggilan agama) menjadi pemenuhan gaya hidup baru yang
bersandar pada konsumsi massa, produksi, dan reproduksi massa yang seolah
menjanjikan kehidupan lebih sejahtera.

Produksi Pasar

Ketika gejala yang berkembang dalam transformasi merayakan Idul Fitri banyak
menuangkan rasionalitas dari kebutuhan konsumsi baru dan gaya hidup baru,
gejala tersebut berubah menjadi proses produksi dan reproduksi massa untuk
massa melalui mekanisme pasar yang kapitalistis.

Dalam konteks ini, industri media, mulai televisi, radio, koran, sampai
majalah, berfungsi sebagai pembentuk produksi pesan serta makna hidup modern
dengan mengangkat setiap sisi perayaan Idul Fitri sarat harapan dan
keharusan mewujudkan hidup baru melalui konsumsi produksi massa.

Ketika menjalankan fungsi demikian, media massa menjalankan apa yang disebut
Adorno (1960) sebagai public relations (PR) produksi barang-barang konsumsi
massa. Menyampaikan image atau citra lebih baik tentang hidup yang indah.

TV, radio, dan koran bukan saja menjadi media advertensi paling depan untuk
menjajakan barang-barang konsumsi massa, melainkan juga berfungsi sebagai
pembentuk harapan publik mengenai gaya hidup baru yang indah-indah, glamor,
dan serba instant (cepat usang).

Lihatlah, misalnya, menjelang Idul Fitri, semua stasiun TV, radio, koran,
majalah, dan tabloid menjejali masyarakat dengan iming-iming menggiurkan
produksi barang konsumsi baru yang menjanjikan hidup lebih nikmat.

Seolah, merayakan hari suci agama dipersyarati oleh keharusan membeli
barang-barang konsumsi baru yang ditawarkan oleh berbagai model diskon serta
kemudahan pembayaran.

Kecenderungan tersebut dari ke waktu terus menguatkan diri menjadi sistem
nilai dan budaya konsumen. Dalam hal ini, rasionalisme pasar membentuk
momentum merayakan Idul Fitri menjadi harapan-harapan baru tentang hidup
yang lebih sejahtera dan lebih modern melalui proses yang erzat (semu).

Idul Fitri tak cukup diwujudkan melalui salat id dengan membaca takbir dan
tahmid. Tidak juga cukup diwujudkan melalui silaturahmi untuk memperkuat
ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathoniyah, melainkan harus dinikmati dengan
simbolisme gaya hidup baru.

Merayakan Idul Fitri berkembang menjadi simbil-simbol baju, sepatu, mobil,
dan barang-barang konsumsi baru. Lalu, hidup pun seolah lebih nikmat, lebih
berarti dibanding hari lalu. Persis seperti pesan iklan sebuah produk film:
"lebih indah daripada warna aslinya".

Dalam konteks tersebut, momentum Idul Fitri berubah menjadi sarana
kapitalisasi massa. Yakni, suasana suci dieksploitasi menjadi market share
(segmen pasar), menjadi media produksi massa, dan untuk konsumsi massa.

Momentum Idul Fitri, meminjam Baudrillard (1981), mencerminkan karakter
budaya konsumen yang sejati. Apa itu? Konsumsi massa untuk tujuan pemenuhan
gaya hidup dengan ciri-ciri materialisme yang kukuh, tetapi miskin rohani
dan spitirualisme.
*. Baharuddin Tino PhD, pendidik di sekolah nonpemerintah di Jakarta,
alumnus Syracus University, AS.