[Nasional-m] Akhir Dari Segala-galanya

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Aug 13 23:36:02 2002


Suara Karya

Akhir Dari Segala-galanya
Oleh Ismail Saleh

Rabu, 14 Agustus 2002
Akhirnya, hari Senin 12-08-02 Tim Penilai Kesehatan RSUPN Cipto Mangunkusumo
(Tim RSCM) mengumumkan kesehatan yang mutakhir HM Soeharto, Presiden RI ke-2
di Kejaksaan Agung. Tim RSCM mengatakan, Soeharto mudah kesal karena sering
tidak mampu mengemukakan apa yang ada dipikirannya. Sedangkan YW Mere, Jaksa
Penuntut Umum mengatakan: "Kami akan buat pendapat hukum apakah dapat
diajukan tidak ke pengadilan dengan memperhatikan dan tetap menghormati
hak-hak hukum membela diri." Tim RSCM dibentuk berdasarkan Surat Tugas
Direktur Utama RSCM No. 1700/tu.K/02/VI/ 2002 tanggal 10 Juni 2002 atas
permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel). Susunan Tim
RSCM terdiri dari DR Dr Akmal Taher, SpBU sebagai Ketua; Prof Dr Yusuf
Misbach, Sp.S(K) Wakil Ketua; Dr Silvia F Lumempouw, SpS Sekretaris dengan
14 Anggota di bidang Neurologi, Penyakit Dalam (Kardiologi, Ginjal,
Gastroenterologi, Hematologi), Psikiatri, Patologi Klinik, Urologi,
Radiologi, Hukum dan Bidang Pelayanan Medis. Tim RSCM menyelesaikan tugasnya
15 Juli 2002 dan melaporkan hasilnya pada Kejari Jaksel 16 Juli 2002.
Kesimpulan Tim RSCM pada pokoknya adalah: (1) Pak Harto tidak mampu menjawab
atau menuturkan isi pikiran dengan kalimat panjang lebih dari 4 kata dengan
urutan kata yang sesuai aturan tata bahasa yang sesuai aturan tata bahasa
yang benar, sehingga sering terjadi pengucapan kata salah aturan; (2) tidak
mampu mengerti kalimat yang panjang yang ditanyakan pemeriksa, maupun
mencernakan informasi yang diperlihatkan pemeriksa dalam bentuk nonverbal
(cerita dalam bentuk gambar berurutan) yang memerlukan proses berpikir yang
kompleks.
Silakan masyarakat dan para pakar hukum menilai, apakah orang yang tidak
mampu menuturkan isi pikiran, laik diajukan ke pengadilan atau tidak?
Masyarakat dan para pakar hukum juga dapat bertanya, sudah berapa kali Pak
Harto diperiksa kesehatannya oleh tim yang dibentuk kejaksaan atau
pengadilan? Mari kita simak bersama agar puas!
Berdasarkan Surat Penugasan Jaksa Agung No Prin-013/JA/02/2000, Pak Harto
telah dinilai kesehatannya tanggal 13 dan 14 Maret 2000 oleh Tim Dokter
Penilai terdiri dari Prof Dr H Nurhay Abdurachman, Sp.PD, KKV; Dr R Miftah
Suryapraja, SP.PD,KKV dan Prof Dr Sasanto Wibisono, SP.KJ. Hasilnya adalah;
ditemukan gangguan kognitif berupa defisit untuk ekspresi verbal, memori,
atensi dan pemahaman konsep, sehingga hanya mampu memahami dan mengemukakan
pendapat untuk hal-hal yang sederhana. Sedangkan untuk menyatakan isi
pikiran dalam bentuk kalimat yang panjang/kompleks memerlukan bantuan untuk
memilih kata-kata yang tepat/sesuai. Kualitas pembicaraan tidak dapat
dijamin sepenuhnya sesuai dengan apa yang disampaikan.
Berikutnya adalah Pemeriksaan Komprehensif Tim Dokter RSCM sebagai
pelaksanaan penugasan Kejaksaan Agung 2 Juni 2000 No R 115/F/Fp. K.I/6/2000.
Kesimpulannya: hasil pemeriksaan komprehensif adalah sesuai dan memperkuat
kesimpulan yang terdahulu (tanggal 22 Maret 2000). Tim Dokter RSCM terdiri
dari Prof Dr H Nurhay Abdurachman,Sp.PD. KKV; Dr R Miftah Suryapradja,
Sp.PD. KKV; Prof Dr Sasanto Wibisono, Sp.KJ; Dr Martina Wiwie Nasrun, Sp.
KJ; Dr H Yusuf Misbach, Sp.S(K); Prof Dr Nurul Akbar, Sp PD; Dr Silvia FL Sp
S dan Dr H Soepardi Soedibyo, SP A(K) sebagai Koordinator.
Kejaksaan Agung pada waktu itu sesungguhnya cukup mempunyai alasan dari segi
juridis dan medis untuk menyatakan, bahwa Pak Harto tidak memenuhi syarat
(not eligible) dan tidak layak (not proper) untuk dihadapkan ke pengadilan.
Syarat utama bagi seorang terdakwa dan saksi untuk mengikuti sidang
peradilan adalah kemampuan untuk menjawab pertanyaan Hakim, Jaksa Penuntut
Umum dan Pengacara. Tapi toh... Jaksa Penuntut Umum tetap melimpahkan
perkara HM Soeharto ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) tanggal
8 Agustus 2000. Mungkin sudah telanjur basah atau karena public pressure.
Pak Harto ternyata tidak dapat dihadirkan oleh Penuntut Umum di sidang
pengadilan.
Apa yang terjadi kemudian? Majelis Hakim PN Jaksel yang dipimpin Lalu
Mariyun SH dalam sidang 31 Agustus 2000 meminta Tim Penasihat Hukum HM
Soeharto agar menghadirkan Tim Dokter Pribadi HM Soeharto dan Tim Dokter
RSCM guna memberi penjelasan di muka sidang mengenai kondisi kesehatan Pak
Harto dalam bahasa yang mudah dipahami oleh siapa pun juga. Namun Majelis
Hakim ternyata masih belum puas atau mungkin ragu-ragu setelah mendengar
penjelasan Tim Dokter Pribadi dan Tim Dokter RSCM di sidang PN Jaksel 14
September 2000.
Cukup keras reaksi Prof Dr Mahar Mardjono pada waktu itu dengan mengatakan
"tutup saja semua Fakultas Kedokteran, kalau tidak percaya lagi dengan Tim
Dokter." (Suara Karya, 23-09-2000). Namun Majelis Hakim tetap memerintahkan
Jaksa Penuntut Umum Membentuk Tim Dokter lagi guna melakukan penelitian
mutakhir kesehatan HM Soeharto. Atas perintah Majelis Hakim tersebut Kajari
Jaksel kemudian membentuk Tim Penilai Kesehatan HM Soeharto (TPK-HMS)untuk
kepentingan tahap pemeriksaan di muka persidangan pengadilan. TPK-HMS
terdiri dari 24 Dokter dipimpin Prof Dr M Djakaria,Sp.R dari FK UI sebagai
Ketua; Prof DR Dr Rusdi Lamsudin, Sp S(K) dari FK UGM sebagai Wakil Ketua;
Dr Budi Sampurno SH, Sp F dari PB IDI sebagai Sekretaris. TPK-HMS dibagi
atas Kelompok Neuropsikogeriatri, Interna dan Kardiovaskuler, Penunjang
(Radiologi, Patologi Klinik, Rehab Medik, Sarana Kesehatan) ditambah dengan
administrasi/ organisasi serta kelompok penasehat. Terdapat 7
Dokter/Profesor, 16 Dokter yang sebagian bergelar Doktor dan 1 orang
Dokter/SH dari berbagai institusi seperti FKUI, UGM, UNAIR, Dept. Kesehatan
dan Ikatan Dokter Indonesia. Analis TPK-HMS 27 September 2000 menyatakan,
keseluruhan temuan psikiatri klinis dan psikogeriatri menunjukkan, HM
Soeharto secara mental tidak laik (unfit) dan tidak cakap (incompetence)
untuk disidangkan. Kesimpulannya adalah: secara medis baik ditinjau dari
segi fisik maupun mentalnya, HM Soeharto dinyatakan dalam keadaan tidak laik
(unfit) untuk disidangkan. Keadaan unifit untuk disidangkan tersebut
bersifat permanen. Karena itu PN Jaksel dalam sidangnya 28 September 2000,
setelah mendengar dan membaca hasil TPK - HMS, akhirnya memutuskan (1)
penuntutan perkara pidana tidak dapat diterima, (2) membebaskan terdakwa
dari tahanan kota, (3) mengembalikan berkas perkara, (4) mencoret dari
register perkara.
Penuntut Umum ternyata masih juga belum puas, dan langsung mengajukan
perlawanan terhadap putusan PN Jaksel. Proses hukum terus bergulir
menggelinding ke Pengadilan Tinggi Jakarta dan berlanjut di terminal
peradilan terakhir dan tertinggi, yaitu Mahkamah Agung. Di tingkat kasasi
Majelis Hakim Agung tampaknya masih penasaran, mungkin curiga atau tidak
puas terhadap hasil Tim Penilai Kesehatan. Padahal anggota Tim tersebut
telah memiliki outstanding national and international reputations dan tidak
ada kepentingan apa pun terhadap kasus HM Soeharto, menerapkan asas
profesionalisme berdasarkan disiplin ilmu kedokteran, menjunjung tinggi kode
etik dan sumpah dokter serta bersikap impartial.
Amar putusan Kasasi 2 Februari 2001 menyatakan Penuntutan tidak dapat
diterima, tapi anehnya masih memerintahkan Jaksa Penuntut Umum melakukan
pengobatan terdakwa sampai sembuh dan setelah sembuh dihadapkan ke
persidangan. Saya berpendapat ini putusan yang menggantung (hangend) karena
digantungkan pada kondisi kesehatan HM Soeharto sampai sembuh. Berarti hasil
Tim Penilai Kesehatan yang menyatakan HM Soeharto tidak laik secara permanen
untuk disidangkan, tidak digubris oleh Majelis Hakim Agung. Padahal yang
dimaksud sembuh menurut Kamus Kedokteran ialah sanatio completaatau
restitutio integrum, yaitu sembuh sempurna atau pulih kesehatannya sempurna.
Apakah HM Soeharto bisa sembuh sempurna?
Apa boleh buat. Kejari Jaksel membentuk lagi Tim Pengobatan RSCM sebagai
pelaksanaan perintah Majelis Hakim Kasasi. Hasil Tim Pengobatan RSCM yang
dipimpin DR Dr Ichramsyah A Rachman,Sp.OG.KFER beranggota 15 Dokter dari
berbagai disiplin ilmu kedokteran, setelah melakukan pengobatan komprehensif
selama 6 bulan dari Pebruari hingga Agustus 2001, akhirnya pada tanggal 27
Agustus 2001 menyatakan : "dengan memperhatikan usia pasien yang telah
lanjut, kelainan infark multiple di otak yang bertambah luas dan kelainan
jantung yang tidak dapat diperbaiki, maka berdasarkan disiplin ilmu
kedokteran saat ini dapat dikatakan bahwa prognosis penyembuhan kondisi
fisik dan mentalnya adalah buruk atau dalam arti lain tidak dapat diharapkan
sembuh dengan metode pengobatan yang ada saat ini".
Mungkin Kejaksaan atau masyarakat masih sanksi juga, karena ada kalimat
"dengan metode pengobatan yang ada saat ini." Barangkali dengan metode
pengobatan yang paling mutakhir bisa sembuh. Kalau ada pendapat seperti itu,
wah itu sudah terlalu jauh memasuki wilayah profesi kedokteran. Masak sudah
tidak percaya lagi dengan profesi yang paling tua di dunia ini.
Bagaimana kelanjutannya perkara HM Soeharto?
Tanggal 11 Desember 2001 Ketua Mahkamah Agung menyampaikan pendapat hukum
kepada Jaksa Agung yang intinya: Tim Dokter yang memeriksa terdakwa HM
Soeharto mengatakan, terdakwa tidak dapat disembuhkan, maka terdakwa tidak
dapat diajukan ke persidangan. Untuk menentukan mengajukan atau tidak
mengajukan perkara atas nama terdakwa HM Soeharto ke persidangan adalah
menjadi wewenang kejaksaan sesuai dengan bunyi Pasal 137 KUHAP. Pendapat
hukum tersebut disampaikan untuk menjawab Surat Kajari Jaksel 29 Februari
2002. Ketua Mahkamah Agung mengatakan, "Pengadilan adalah suatu tempat yang
digunakan untuk mendengar suatu perkara, bukan untuk mendengar laporan
perkembangan kesehatan seorang terdakwa." (Media Indonesia, 6-02-02). Karena
itu PN Jaksel tanggal 8 Maret 2002 menjawab surat Kajari Jaksel dengan
menegaskan: (1) tidak dapat memenuhi permintaan Kajari Jaksel untuk membuka
kembali persidangan perkara atas nama terdakwa HM Soeharto, (2) tetap dan
senantiasa akan menerima pelimpahan berkas perkara di waktu-waktu yang akan
datang, bila terdakwa sudah sembuh, (3) berkas perkara diserahkan kembali
kepada Kejari Jaksel, karena tidak ada urgensinya lagi berada di PN Jaksel.
Apa yang terjadi kemudian?
Masih penasaran, mungkin gara-gara ada berita yang dilansir wartawan Bali
Post tanggal 24 Mei 2002 dengan judul "Siapa bilang Soeharto Sakit ?". Ini
seperti membangunkan macan tidur dan ada yang kebakaran jenggot. Diberitakan
Pak Harto menghadiri acara akad nikah cucunya, Danty Rukmana dengan Adrianto
Supoyo tanggal 23 Mei 2002 di rumah Indra Rukmana-Siti Hardiyanti Rukmana
(mbak Tutut). Berita dirinci gaya peliputan langsung, yaitu Pak Harto
tersenyum dan manggut-manggut, berjalan tanpa tongkat penyanggah, tidak ada
yang menuntun atau tidak pakai kursi roda, berjalan dengan santai, tidak
terhuyung-huyung apalagi terbongkok-bongkok. Barangkali itu semua dianggap
cukup alasan secara fisik dan mental disidangkan lagi perkaranya. Kejari
Jaksel tanggal 4-6-02 untuk kesekian kalinya masih minta bantuan RSCM
membentuk lagi Tim Penilai Kesehatan. Kapuspenkum Kejakgung Barman Zahir
mengatakan itu merupakan upaya proaktif Kejagung mengecek kebenaran
informasi yang menyatakan Soeharto telah sehat (Suara Karya, 5-6-02).
Tapi ya... itulah yang terjadi. Di awal tulisan ini telah diumumkan hasil
Tim Penilai Kesehatan yang mutakhir. Saya hitung sudah lima kali sejak tahun
2000 dibentuk Tim Dokter untuk menilai dan mengobati Pak Harto secara
komprehensif dan mutakhir. Apakah Pak Harto masih diharapkan dapat sembuh,
setelah mengalami stroke berkali-kali? Menurut para dokter kerusakan di otak
tidak mungkin diatasi dengan cara transplantasi otak. Sekali rusak otaknya
ya... berarti permanen rusaknya. Padahal fungsi otak diperlukan bagi
seseorang untuk laik menjalani proses peradilan, lebih-lebih sebagai
terdakwa. Dalam laporan TPK-HMS 27 September 2000, sebuah tim yang bersifat
nasional dan paling lengkap, telah dijelaskan, bahwa menurut Kamus Hukum
seseorang disebut tidak cakap untuk disidangkan (incompetence to stand
trial) apabila ia kehilangan kemampuan untuk memahami sifat dan obyek
persidangan, kemampuan berkonsultasi dengan pengacara dan membantu dalam
mempersiapkan pembelaannya. Apakah aparat Kejaksaan belum pernah membaca
pengertian incompetence to stand trial seperti yang tercantum dalam Black's
Law Dictionary? Wallahu'alam.
Bagaimana nasib perkara Pak Harto selanjutnya?
Saya berpendapat perkara HM Soeharto tidak dapat dilanjutkan dalam arti
tidak dapat disidangkan, karena kondisi fisik dan mental secara medis dan
juridis tidak cakap untuk disidangkan dan karenanya menurut hukum berakhir,
sehingga seluruh proses hukumnya juga harus diakhiri. Berkas perkaranya
disimpan Kejari Jaksel sebagai legal document dan diselesaikan sesuai
ketentuan Administrasi Perkara yang berlaku di lingkungan kejaksaan.
Dalam surat tanggal 5-8-02 ditandatangani Hj Siti Hardiyanti Rukmana atas
nama keluarga HM Soeharto yang dikirim kepada Kajari Jaksel menjawab surat
Kajari Jaksel tanggal 29-7-02 yang diterima keluarga 1-8-02 terdapat 4 butir
penting yang perlu diketahui masyarakat luas. Yaitu: (1) seluruh keluarga
Bapak HM Soeharto menyatakan tidak keberatan apabila hasil pemeriksaan
kesehatan tersebut harus diumumkan, (2) sesuai permintaan Bapak HM Soeharto,
ini merupakan pemeriksaan kesehatan yang terakhir, karena beliau
sesungguhnya sudah tidak bersedia lagi untuk diperiksa kesehatannya oleh tim
yang dibentuk kejaksaan atau pemerintah, mengingat sudah cukup banyak tim
kesehatan memeriksa kesehatan Bapak HM Soeharto dengan hasil yang kurang
lebih sama, (3) tidak timbul pendapat dan tafsiran dari pemerintah dan
masyarakat bahwa HM Soeharto sudah sembuh secara keseluruhan apabila suatu
saat beliau mengikuti kegiatan yang bersifat keagamaan, kemanusiaan dan
kekeluargaan, misalnya menjenguk putranya Hutomo Mandala Putra di LP
Cipinang, karena sesuai saran Tim Dokter bahwa kegiatan-kegiatan di luar
rumah merupakan salah satu terapi menjaga kesehatan Bapak HM Soeharto, (4)
karena tidak ada alasan lagi melakukan tindakan pencegahan ke luar negeri,
kiranya Kep. Jaksa Agung No Kep-076/Dsp.3/04/2002 tanggal 12 April 2002
dapat dicabut.
Perlu diketahui Pak Harto telah dikenakan tindakan pencegahan ke luar negeri
sejak 12 April 2000 diperpanjang setiap tahun dan akan berakhir 12 April
2003. Apa urgensinya?
Itu akhir dari segala-galanya. Kehidupan manusia di dunia pun pada saatnya
juga akan berakhir pula. Tulisan saya ini anggap saja yang paling mutakhir
dan komprehensif (pinjam istilah yang dipakai kejaksaan dan pengadilan).
(Ismail Saleh SH,mantan Jaksa Agung dan Menkeh).