[Nasional-m] Dr M, Presiden M

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Aug 13 23:36:02 2002


Sinar Harapan
13 Agustus 2002

  Dr M, Presiden M
Oleh Stevanus Subagijo

Kabar dari saudara serumpun, negeri jiran yang jauhnya cuma ”selemparan
 batu” beberapa hari ini, bukan hanya persoalan pemulangan TKI atau asap
kiriman dari hutan Kalimantan seperti yang sudah-sudah. Fenomena politik
bersahaja sedang digulirkan oleh tokoh terpenting Malaysia hari-hari ini dan
Asia dua puluh tahun terakhir belakangan. Indonesialah negera di dunia yang
seharusnya paling wajib memperhatikan dan belajar dari perkembangan politik
terakhir saudara serumpunnya itu, dibanding negara lain manapun.

Pan-Melayu?
Perdana Menteri Dr Mahathir Mohamad sepertinya mempunyai beban yang berat
dalam suksesi kepemimpinan nasional. Negeri yang serumpun Melayu dengan
Indonesia ini sedang menorehkan kebesaran politik pan-Melayu tanpa harus
terjerembab seperti ”saudara kandungnya” di selatan.
Malaysia bukan hanya ingin menjadi pan-Melayu, lebih jauh ingin menjadi ”
Asia yang sebenar-benarnya”, truly Asia seperti yang didengungkan. Malaysia
ingin dan sudah mampu memberi warna pada Asia, selagi Indonesia justru
mengotorinya dengan predikat negeri terkorup.
Dr M demikianlah beliau dipanggil akrab, mengawalinya dengan tangisan
seorang negarawan dan bukan ” tangisan politik” atau ” doa politik” ala
kita. Sebelumnya Dr M juga menyesal belum berhasil meningkatkan derajat dan
kemapanan kaumnya, etnik Melayu dibanding rekan sejawatnya etnik Cina.
Siapakah yang memiliki gedung menjulang, bukan kita, melainkan mereka.
Sebuah pengakuan yang jujur untuk membangkitkan mereka-mereka yang masih
tertinggal.
Bandingkan dengan di sini, kita sudah berlagak sok paling asli di UUD 45,
Pancasilais, di tengah menuntaskan persoalan Surat Bukti Kewarganegaraan
Indonesia (SBKRI) yang masih diterapkan pada etnik Cina saja tidak becus
sehingga perlu ” tekanan” dari pahlawan bulu tangkis.
Apa yang terjadi di Malaysia dengan sentralnya pada Dr M yang mengumumkan
mundur segera, kemudian diralat menjadi mundur Oktober 2003, jelas sangat
berbeda dengan lengser keprabon-nya mantan Presiden Soeharto. Soeharto
seperti didesak oleh keadaan genting sosial, politik, dan ekonomi sehingga
lengser keprabon-nya seperti ngambek dengan ungkapannya yang terkenal, tidak
jadi presiden tidak patheken.
Di samping itu, Soeharto seperti baru sadar ketika lupa mempersiapkan
regenerasi kepemimpinan nasional, pan-Jawa, pan-Indonesia, yang mewarnai
Asia, meminjam jargon politik ideologi secara murni dan konsekuen.
Dr M, terlepas dari persoalan yang menimpa mantan Wakil Perdana Menteri
Anwar Ibrahim, sebenarnya sudah mempersiapkan jalan bagi tokoh muda berbakat
Malaysia ini. Jika Anwar Ibrahim tidak tersandung kasusnya, mungkin Dr M
lebih cepat untuk mundur.
Sekalipun demikian, Malaysia tidak kekurangan penerus, buktinya Dr M
menunjuk Wakil Perdana Menteri Abdullah Badawi sebagai calon penggantinya
dengan mengisyaratkan Wakil Perdana Menterinya adalah Menteri Pertahanan
sekarang Najib Razak.

Kepenerusan Bukan Penggantian
Suksesi kepemimpinan gaya Malaysia adalah kepenerusan kepemimpinan. Bangsa
harus diteruskan, pembangunan tidak boleh berjalan mundur, kesejahteraan
harus dipertahankan atau ditingkatkan.
Soeharto sebenarnya memiliki ruang dan waktu politik yang bagus dalam
mempersiapkan regenerasi kepemimpinan. Sayang, kekuasaan yang terlalu lama
dan ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan pengganti akhirnya menjerumuskan
Indonesia pada model rotasi kepemimpinan berdasarkan partai politik tanpa
berkewajiban meneruskan pendahulunya secara positif.
Tidak heran ketika Soeharto terdongkel, BJ Habibie pun mengalami nasib yang
sama, begitu pula Abdurrahman Wahid, dan kini Megawati yang cuma
dipertahankan sampai 2004. Berikutnya pastilah Amien Rais atau Akbar Tanjung
yang gatal mencoba memimpin.
Tidak peduli bahwa rotasi kepemimpinan tidak meneruskan sejarah bangsa yang
seharusnya makin beradab, bebas dari kekerasan sistemik dan KKN. Nyatanya
justru makin banyak kerusuhan, bom, dan KKN baru.
Meneruskan pembangunan bukan merontokkannya dengan defisit anggaran.
Meningkatkan kesejahteraan bukan merusaknya dengan kenaikan harga-harga
listrik, telepon, BBM, elpiji, dan kehidupan yang makin susah seperti
edan-edanan biaya sekolah.
Jika pemerintah tidak turun tangan, sama saja terjadi pembodohan massal pada
fondasi utama kemajuan bangsa, yakni pendidikan, karena hanya mereka yang
kaya saja yang bisa menyekolahkan anaknya dengan baik.
Malaysia mempunyai Sepang sebagai lintasan Formula 1, sayang Sentul tidak
bernasib baik apalagi penggagasnya, Tommy Soeharto, dirundung persoalan
peradilan yang mahaberat. Tanpa harus menyebut Menara Kembar Petronas,
bangunan super jangkung milik Pertamina-nya Malaysia, bandara yang terkenal
sebagai airport in the forest dan Multimedia Super Corridor yang terkenal
sebagai Silicon Valley-nya Asia, berita penting hari-hari ini dari Malaysia
menjadi pelajaran kita yang merasa abangnya, yang merasa lebih hebat, tapi
itu dulu.
Tinggalkan melihat Malaysia sebatas objek untuk ” diganyang” ala Orla dan
jangan lagi sebut Dr M sebagai Little Soekarno. Hal-hal ini hanya membuat
kita pongah dan memandang rendah Malaysia dengan mitos kuno, dulu warga
Malaysia belajar ke perguruan tinggi di Indonesia.

Sekarang, mereka mengirimkan lebih banyak anak muda berbakat dibanding
Indonesia di sekolah-sekolah terkenal di negara maju. Mereka telah melangkah
ke pergaulan dunia dengan bahasa Inggris, ketika kita masih sibuk dengan
ejaan yang disempurnakan (EYD) Bahasa Indonesia.

Catatan Penutup
Dr M seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia dan Presiden Megawati
yang dalam konteks ini untuk lebih mendekatkan peranannya yang besar di
kawasan nasional dan regional kita panggil saja dengan akrab sebagai
Presiden M. Sayang bahwa apa yang sudah dicapai Presiden M sebagai pemenang
Pemilu masih ditolak-tolak secara politis keberadaannya hanya karena belum
menang mutlak dan wanita.
Kini, Presiden M sudah berada di puncak kekuasaan, ketika Dr M justru ingin
mundur. Pelajaran yang bisa dipetik ialah dewasalah dalam suksesi
kepemimpinan nasional. Utamakan kepenerusan yang bisa memajukan bangsa dan
menyejahterakan rakyat. Tanpanya kita terjebak pada politik gonta-ganti
kepemimpinan, trial and error kekuasaan belaka.
Jangan sekadar rotasi kepemimpinan untuk memuaskan nafsu kekuasaan partai
politik atau golongan, tapi jauh dari kepenerusan kepemimpinan. Politik
mempertahankan Presiden M sampai 2004, bukan berarti mutlak menggantinya.
Yang lebih penting ialah kesadaran apakah kepenerusan kepemimpinan bisa
berjalan tanpa gesekan atau perombakan pemerintahan sebagai ajang balas
dendam. Belum apa-apa sudah muncul kaukus politik, calon presiden baru, ”
politik amendemen”, koalisi yang sangat tidak permanen tergantung
kepentingan politik sesaat partai atau golongan dan bukan negara.
Tata cara pemilihan presiden yang lagi hangat harus mengacu pada keselarasan
yang mendukung dan menjaga kepenerusan kepemimpinan dan bukan sekadar tata
cara antre giliran menjabat kursi RI 1. Sukses suksesi kepemimpinan nasional
hanya bisa diukur dari makin majunya bangsa dan kesejahteraan rakyat dan
bukan mendegradasikannya seperti yang dialami Indonesia pasca-Soeharto,
dengan krisis multidimensionalnya selama pemerintahan tiga presiden. Tengok
Malaysia, apa yang nak kita pilih?

Penulis adalah peneliti pada Center for National Urgency Studies, Jakarta.