[Nasional-m] Politik Tentara Belum Berakhir

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Aug 15 01:48:02 2002


Kompas
Kamis, 15 Agustus 2002

Politik Tentara Belum Berakhir
Oleh M Alfan Alfian M

DALAM sebuah tulisannya berjudul Fundamental Proses Perubahan UUD 1945
(Kompas, 6/8/2002), Agus Widjojo, Wakil Ketua MPR yang juga penasihat Fraksi
TNI/Polri MPR, antara lain mengemukakan pendapatnya bahwa "akhirnya,
perubahan apa pun yang dihasilkan, harus bertujuan memenuhi tolok ukur: (1)
mampu mengayomi dan menjawab tuntutan ciri kebhinnekaan bangsa; (2) memberi
ketegasan sistem politik bebas dari sifat kerancuan koalisi; (3) mampu
membangun pemerintahan yang efektif guna mengendalikan arah pembangunan
nasional dan dibangun di atas landasan kesepakatan terhadap kaidah
fundamental visi tata penyelenggaraan negara kesatuan Republik Indonesia
masa depan yang demokratis, modern, dan beradab berdasarkan Pancasila".
Boleh dibilang, itulah rumusan sikap konservatif tentara di dalam merespons
dan menghadapi perubahan sistem politik nasional. Perubahan memang sulit
dielakkan walaupun hasilnya belum dapat dipastikan. Namun, asumsinya adalah
perubahan sistem politik nasional, berdasar inisiatif konstruktif dari hasil
Perubahan UUD 1945, diharapkan mampu mengarah pada penguatan demokrasi.
Penguatan demokrasi sendiri diharapkan mampu secara signifikan mempengaruhi
membaiknya kondisi multikrisis, dan pada akhirnya memperkuat posisi kita
sebagai bangsa yang bermartabat, kokoh, dan mandiri.
"Politik TNI adalah politik negara", demikian kalimat yang kerap meluncur
dari para petinggi TNI, tatkala ditanya soal politik. TNI tidak mau terjebak
pada urusan politik, dan tidak mau pula menjebakkan diri berpolitik. TNI
ingin mempertegas profesionalismenya di bidang pertahanan dan keamanan
nasional, di bawah paradigma supremasi sipil. Pandangan demikian, belakangan
kerap terlontar dari kalangan tentara. Dan, jelas perlu pembuktian.
Tampaknya di Sidang Tahunan (ST) MPR 2002, kalangan TNI/Polri ingin
membuktikan bahwa pihaknya tidak alergi perubahan. Dikeluarkannya sikap
TNI/Polri tentang Perubahan UUD 1945 dalam ST MPR oleh Panglima TNI Jenderal
Endriartono Sutarto merupakan gejala menarik dalam dinamika politik militer
transisi.
Tentara lewat Panglima mengeluarkan dua pilihan: kembali dulu ke naskah asli
UUD 1945 hingga Pemilu 2004; dan alternatif kedua menyepakati seluruh hasil
perubahan UUD 1945 sebagai konstitusi transisi, yang kemudian dikaji ulang
oleh Komisi Konstitusi. (Kompas, 31/7/2002)
Kesannya memang bersayap. Tidak ada satu tafsir yang bisa memastikan
pandangan politik TNI/Polri tersebut. Sikap hati-hati dan wait and see
memang menonjol.
Pantas dicatat, TNI/Polri bukan faktor signifikan penghambat proses
Perubahan UUD 1945. Di tubuh internal TNI/Polri, tampak ada dua
kecenderungan: (1) yang setuju untuk mempertahankan UUD 1945, katakan
kelompok konservatif garis keras; dan (2) yang setuju Perubahan UUD 1945,
sebut saja kelompok konservatif lunak.
Tampaknya, eksistensi dan pengaruh kalangan konservatif garis keras, tidak
signifikan, sebab yang keras berteriak kebanyakan justru para purnawirawan.
Sementara sikap politik TNI/Polri jelas tak mungkin dibikin keras, melainkan
harus dikesankan independen dan tidak antiperubahan.
Hanya saja, kini pergesekan pendapat internal TNI/Polri tidak terasa keluar.
Tidak seperti fenomena fragmentasi politik militer yang begitu transparan di
masa Presiden Abdurrahman Wahid tempo hari. Mungkin ini wujud dari
"keberhasilan konsolidasi internal TNI" di bawah komando Panglima TNI
Jenderal Endriartono, yang dikenal tegas dalam menerapkan sistem komando.
Lantas, dari mana publik bisa merasakan adanya "fragmentasi" di tubuh TNI
kini? Antara lain dari pilihan sikap di atas.
***
CATATAN yang ditegaskan oleh Agus Widjojo tersebut tergolong bersifat
"konservatif lunak". Tapi, namanya juga "kriteria normatif", hal itu tidak
menutup kemungkinan memunculkan adanya penafsiran berbeda. Cara pandang
kalangan tentara soal poin "mampu mengayomi dan menjawab tuntutan ciri
kebhinnekaan bangsa" misalnya, mungkin berbeda dengan pendapat lain dari
kalangan nonmiliter.
Apakah hal itu dimaksudkan sebagai cara untuk kembali ke sentralisasi
pengendalian kekuasaan? Ataukah, justru mempertegas paradigma
desentralisasi, dengan prioritas yang lebih pada ciri kebhinnekaan daerah?
Agaknya masih perlu diskusi panjang soal ini. Intinya, kelak, bagaimanapun
segala problematika bangsa tak bisa diselesaikan dengan keputusan sepihak
dengan mengabaikan proses dialog sipil-militer.
Ditariknya kekuatan politik TNI/ Polri dari DPR dan MPR, secara tegas
menandakan berakhirnya campur tangan politik formal mereka. Namun, bukan
berarti lantas TNI/Polri tidak berpolitik sama sekali-mengingat politik tak
sebatas bermakna formal, yakni memiliki wakil di parlemen.
Pandangan TNI maupun Polri soal pelbagai persoalan sosial dan politik
nasional adalah bagian dari politik. TNI dan Polri masih memiliki peluang
berpolitik secara tidak langsung. Pada intinya politik mereka adalah
penerjemahan atas sikap konservatif yang menjadi ciri khasnya, yang tak bisa
dihilangkan.
Bagi kalangan tentara, perubahan politik boleh terjadi, tapi prinsip-prinsip
dasar yang konservatif, tidak boleh dilanggar. Soal perubahan sistem
politik, sistem bikameral akan segera diterapkan, maka dapat dipastikan tak
akan ada wakil TNI/Polri lagi di parlemen.
Bolehlah diucapkan selamat tinggal politik TNI/Polri di parlemen. Kini,
mereka harus menaati tata main yang muncul atas sistem politik baru, di mana
semua wakil rakyat dipilih oleh rakyat, tak ada yang diangkat. Bila hendak
berprofesi dikancah politik anggota TNI/Polri harus pensiun dulu, dan bisa
berkompetisi dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
TNI/Polri memang tidak perlu berkecil hati bila, lantas, posisinya di DPR
dan MPR hilang. Mungkin hal ini harus dibaca sebagai bagian dari sumbangan
mereka yang berharga bagi masa depan bangsa dan negara.
***
TNI/Polri sebaiknya memilih jalan yang menegaskan bahwa Indonesia akan bisa
melewati masa transisi dengan baik, ke arah alam "demokrasi yang
sesungguhnya". Sehingga pihaknya bukan menjadi faktor penghambat demokrasi,
alias faktor yang mempertegas kehadiran kondisi "transisi permanen", sebuah
masa transisi yang tak kunjung usai.
Intervensi politik-baik secara langsung, ataupun tidak, dengan cara kasar
ataupun halus-oleh kalangan militer dikhawatirkan hanya akan membawa kondisi
politik nasional ke dalam sistem yang semiotoriter. Maka, yang perlu
didorongkan ke militer Indonesia adalah, kehendak kuat untuk mengakhiri masa
transisi, menuju demokrasi. Artinya ia harus mendorong proses demokratisasi.
Bagi kalangan sipil, "bahaya tentara" hingga kini masih membayang. Tentara
masih kerap diartikan sebagai kelompok kepentingan yang memiliki ambisi
politik, yang setiap saat bisa menciptakan peluang, dan merebut peluang itu
untuk "berkuasa". Mungkin tidak lewat kudeta militer yang amat tidak populer
itu. Melainkan dengan cara yang lebih bersifat menciptakan kondisi politik,
di mana lantas kalangan politisi sipil tak ada pilihan lain selain
memberikan sebagian besar kekuasaan politik pada tentara.
Kini, kalangan konservatif lunak yang dominan menguasai TNI, sehingga tidak
alergi terhadap perubahan. Persoalannya, bagaimana bila kelak yang
mendominasi tentara adalah kelompok konservatif garis keras?
Di tengah arus deras perubahan, maka bila tentara tidak mau berubah, maka
hanya akan membuat kondisinya menjadi fatal. Wawasan politik tentara perlu
terus dikembangkan, untuk memahami secara benar dan tepat di mana pihaknya
bisa menempatkan diri. Memperluas wawasan politik, terutama bagi kalangan
elite tentara, jelas amat diperlukan, supaya tidak berbenturan dengan
kehendak politik kalangan sipil. Tetapi lebih dari itu, terutama adalah
mereka bisa menghargai demokrasi, dan bukan untuk merebut kekuasaan politik.
***
FAKTOR eksternal, juga amat berpengaruh, yakni kondisi kalangan sipil.
Memang dualisme sipil-militer menyisakan banyak pertanyaan, dan dalam
konteks tertentu kurang relevan dipaksakan.
Akan tetapi, bila yang dimaksud kalangan sipil adalah para pemain politik
formal, di mana partai-partai politik dominan, maka dinamika mereka menjadi
faktor. Bila dinamika politik sipil goyah, dan cenderung memberi kesimpulan
awal atas kondisi "instabilitas politik permanen", maka dalam kondisi
seperti itu militer lebih mudah tergoda untuk kembali terjun ke wilayah
politik kekuasaan.
Politik TNI/Polri belum berakhir memang; dan mereka suka memilih idiom
"politik negara" sebagai hal yang menegaskan bahwa pihaknya tidak berpolitik
lagi, oleh pertimbangan yang sempit. Tetapi, mereka masih akan tetap
berpolitik, dengan pertimbangan yang luas, dengan mencantumkan apa yang
disebutnya "politik negara" itu.
Sebaiknya klaim "politik negara" itu kelak tidak dijadikan sebagai dalih
bagi TNI/Polri untuk kembali berpolitik. Dan sebaiknya pula tidak ada tafsir
sepihak atas "politik negara" itu.
Maka di masa depan TNI dan Polri harus lebih bisa bersikap terbuka, tidak
kaku, dan harus mau rajin berdialog dengan kalangan sipil. Eksklusifitas
harus dihilangkan. Sisi manusiawi mereka harus dikedepankan, sehingga
tempatnya di mata publik menjadi lebih terhormat, ketimbang di masa lampau,
tatkala tentara dipakai sebagai penjaga kekuasaan rezim.
M Alfan Alfian M, Peneliti Katalis dan ACG, Jakarta
Search :










Berita Lainnya :
•TAJUK RENCANA
•REDAKSI YTH
•Pasal 134 dan Helaan Napas Demokrasi yang Tersengal
•Politik Tentara Belum Berakhir
•POJOK