[Nasional-m] Idenya dari Tiongkok

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Aug 15 01:48:03 2002


Kompas
Kamis, 15 Agustus 2002

Idenya dari Tiongkok

BAGI orang yang suka cerita sejarah, asal-usul sesuatu yang sudah menjadi
besar, seperti tahu sumedang, menjadi amat penting. Tapi sayangnya, Ong
Kino, pencetus gagasan yang sekaligus pembuat tahu pertama di Sumedang pada
tahun 1917, pulang kampung ke Hokian, daratan Tiongkok (Cina) dan meninggal
di sana.
Keberadaan makam Ong Kino di Cina menyulitkan kalangan pedagang tahu
sumedang yang ingin berziarah. "Kuburannya masih ada. Kadang-kadang masih
diziarahi keluarganya," kata Ong Yu Kim alias Ukim (64), cucu Ong Kino yang
sekarang meneruskan usaha pembuatan tahu di Jalan 11 April Nomor 53,
Sumedang.
Ong Kino adalah perantau asal Tiongkok yang ulet, tabah menghadapi kerasnya
mencari mata pencarian di tanah Sunda, persisnya di Sumedang, Jawa Barat.
Tapi, setelah lelah merantau, ia pulang kampung mendekati makam orangtuanya.
Ukim yang ditemui Kompas, awal Agustus lalu, menceritakan kembali tentang
Ong Kino yang ia tangkap dari cerita-cerita keluarganya. Ketika Ong Kino
datang, Kota Sumedang masih sepi. Belum ada mobil, rumah-rumah masih
berbentuk panggung. Kota Sumedang belum terbangun seperti sekarang ini.
Kedatangan Ong Kino ke Indonesia bermotif mencari nafkah. "Saat itu kakek
berjualan keripik aci yang terbuat dari singkong di pinggir jalan. Lalu
tahun 1917, mulai membuat tahu," kata Ukim. Kedelai, sebagai bahan pokok
tahu, saat itu dijatah oleh Jepang yang saat itu berkuasa di negeri ini.
Pembuatan tahu ketika itu masih dilakukan secara tradisional. Kedelai
digiling dengan penggilingan batu yang digerakkan dengan tenaga manusia.
Beda dengan penggilingan kedelai sekarang yang serba elektrik.
Oleh karena alat produksi masih tradisional, jumlah produksinya sedikit.
"Sekadar untuk menyambung bisa makan sehari-hari," katanya. Waktu itu tempat
pembuatannya di rumah yang sekarang terletak di Jalan 11 April Nomor 53,
Sumedang. Jalan ini dulu bernama Jalan Tegal Kalong, Kelurahan Kota Kaler.
Tahu hasil produksi Ong Kino saat itu dijual keliling dengan cara
mengasongkan. Tapi, tidak di terminal bus dan angkutan kota seperti
sekarang. Ketika itu mobil belum ada. Baru ketika tahun 1955, angkutan umum
mulai ada.
Penjualan tahu secara asongan di terminal bus atau oplet mulai dilakukan.
Ketika usaha pembuatan tahu mulai membesar dan Ong Kino sudah merasa lelah,
anaknya yang bernama Ong Bung Keng (1901-1993) diserahi mengelola pabrik
tahunya.
Di tangan Ong Bung Keng, usaha tahu pun berkembang dan berhasil
mempertahankan kekhasan tahu produknya yang diberi label tahu Bungkeng
(mengambil nama Ong Bung Keng). Nama tahu bungkeng saat itu sudah mulai
dikenal.
ZAMAN mulai berubah. Kota Sumedang mulai ramai, ada mobil berseliweran
sehingga memungkinkan untuk mengembangkan usaha tahu. Ketika zaman memasuki
rezim Orde Baru, tahu semakin laris. Pasalnya, pemerintah Orde Baru ketika
itu menggalakkan tahu dan tempe sebagai makanan rakyat.
Pada tahun 1970 hingga 1980, perkembangan bisnis tahu cukup menonjol. Usaha
pembuatan tahu yang dikelola Ong Bung Keng pun menunjukkan peningkatan.
Semula pada tahun 1950-an, pembuatan tahu bungkeng menghabiskan 16 hingga 20
kg kedelai per hari, meningkat menjadi sekitar 50 kg hingga 60 kg per hari
(pada tahun 1970-1980).
"Banyak orang yang mengambil tahu dari rumah ini dan menjualnya," tuturnya.
Waktu itu, kemampuan pembuatan mencapai 2.000 hingga 3.000 potong. Usaha Ong
Bung Keng mengalami zaman keemasan pada tahun 1992. Pada tahun menjelang
kematian Ong Bung Keng hingga 1995, pabrik tahunya per hari menghabiskan 100
kg kedelai dan menghasilkan tahu sekitar 7.000 potong per hari.
Pada tahun 1996, pabrik tahu bungkeng yang beralih ke tangan anak Ong Bung
Keng, Ukim, mulai melorot. "Penurunannya mencapai 30 persen," kata Ukim.
Penurunan ini bukan akibat kemerosotan kualitas tahu, tapi karena banyak
saingan. Pabrik-pabrik tahu lain bermunculan. Dan, ketika itu ekonomi
Indonesia sudah mulai menunjukkan gejala tidak stabil.
Sekarang perusahaan tahu yang pernah dikelola sang perintis itu tinggal
memproduksi tahu antara 4.500 hingga 5.000 potong. Semua produksinya dijual
melalui empat outlet-nya, termasuk satu outlet di depan pabrik tahunnya.
Tiga lainnya didirikan konsumen dan pelanggan yang biasa datang dengan
menggunakan mobil. "Kalau kami tetap menjual tahu di Jalan 11 April ini,
akan sepi pembeli. Mobil tidak bisa langsung belok kemari, harus memutar
karena ada rambu-rambu larangan," tutur Ukim.
Sekarang Ukim dan anaknya harus menghadapi saingan perusahaan tahu lainnya
yang juga sama-sama mendirikan outlet dan warung-warung kecil untuk
penjualan tahu. Pembuat tahu di perusahaan lain itu, sebagiannya, dulu
karyawan pabrik tahu bungkeng. Sekarang tahu sudah berkembang di seluruh
Sumedang dan sekitarnya. Tahu telah menjadi identitas Sumedang.
Ukim yang hingga sekarang bertahan dalam usaha tahu, mengaku bukan karena
pesan kakeknya semata, tapi juga untuk nafkah sehari-hari. Ia merasa sayang
bila usaha kakeknya tidak diteruskan. "Tahu bungkeng sudah terkenal,"
tuturnya.
Dengan ketenaran Bungkeng, Ukim memasang papan nama di depan tempat usahanya
di Jalan 11 April yang berbunyi "Tahu Bungkeng, Perintis Tahu Sumedang Sejak
1917". Kepeloporan Bungkeng dalam dunia pertahuan, membedakan tahu-tahu
sumedang lainnya.
Pada awal-awal tahun, Ong Kino merintis membuat tahu, sejumlah pemimpin
Sumedang sudah menaruh perhatian terhadap usaha Ong Kino. Mereka, termasuk
Bupati Sumedang, saat itu sudah meramalkan usaha Ong Kino akan maju.
Dan, benar apa yang diperbuat Ong Kino berkembang, dan ternyata menjadi
cikal-bakal tahu sumedang yang sekarang terkenal. Ong Kino telah meletakkan
dasar-dasar berwiraswasta bagi masyarakat Sumedang.
Ia memberi contoh dalam membuat tahu yang baik. Setelah itu, Ong Kino
kembali ke negerinya dan menutup lembaran sejarah hidup. (nas)
Search :